“Neng, sudah sampai di tujuan.”
Lamunan Isabel sontak terbuyar seketika karena ucapan sopir taksi tersebut, ia pun meronggoh tasnya dan mengambil beberapa lembaran uang sesuai harga yang tertera di papan digital.
“Terima kasih, ya, Pak,” ucap Isabel serta menyerahkan uang bayarannya kepada sopir tersebut, lalu keluar dari mobil.
Isabel berdiri di depan sebuah rumah bergaya minimalis, dengan pagar besi yang tak terlalu tinggi terbentang di sana. Ia pun menekan tombol bel yang berada di tembok tersebut.
“SEAN! INI AKU ISABEL!”
Tetapi sia-sia, tak ada jawaban apapun dari dalam sana. Sekeras apapun Isabel berteriak atau puluhan kali pun ia memencet bel, tak ada jawaban apapun dari dalam sana.
Hati Isabel nyeri, ia merasakan hatinya bagai ditusuk oleh sebilah pisau. Pikirannya menjadi tak tenang, selalu memikirkan hal yang tidak-tidak terjadi pada Sean.
“Kamu di mana, Sean?” gumam Isabel. Kakinya bahkan melemas dan ia membiarkan dirinya terduduk di depan pagar Sean, dengan air mata yang berjatuhan. Isabel pun menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya, tetapi gadis itu tetap saja tak peduli. Ia tetap bertahan pada posisinya, menumpahkan tangisnya di sana.
“Isabel?”
Suara lelaki tersebut membuat Isabel sontak mendongakkan kepalanya, ia menatap terkejut pria di hadapannya. Segera Isabel memeluk pria itu dengan erat. “Sean! Kamu dari mana saja, aku merindukanmu.”
Tetapi, Sean melepaskan pelukan mereka, ia seolah tak ingin disentuh oleh Isabel. Membuat hati gadis itu hancur berkeping-keping.
“SAYANG!” Teriakan dari seorang gadis yang berlari kecil ke arah Sean membuat mereka berdua menolehkan kepala.
Gadis itu tampak memeluk lengan Sean dengan erat dan mesra, seolah mereka adalah sepasang kekasih. Kedua mata Isabel pun membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya.
“S-sean, dia siapa?” cicit Isabel. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan yang ada.
“Kenalin, dia adalah calon tunangan aku. Aku akan menikah dengan dia sebentar lagi,” ucap Sean santai. Namun, tak ada yang tahu hati pria itu tengah terluka. Tak ingin meninggalkan cintanya, tetapi keadaan yang memaksa.
“Tunangan?!” Suara Isabel tertahan di tenggorokan. Ia ingin memekik, tetapi rasanya suaranya tercekat di tenggorokan.
Kepala Sean mengangguk kecil. “Iya, dia adalah tunanganku.” Tangan Sean terlihat memeluk pinggang ramping milik gadis itu.
“Kenapa? Padahal hubungan kita baru berakhir beberapa hari yang lalu, tapi kamu dengan gampangnya dapat penggantiku. Dasar, Berengsek!” seru Isabel, bahkan ia saat ini tak peduli lagi dengan air matanya yang berjatuhan.
Sean menatap Isabel dengan sorot kecewa, tetapi ia segera menggelengkan kepalanya dan menghapus sorot tersebut. “Kan kamu sendiri yang ingin mengakhiri hubungan kita kan? Kenapa saat aku punya pengganti kamu malah marah? Ada hak kamu marah?”
Ucapan Sean sangat tajam, menusuk tepat di jantungnya. Ini adalah definisi yang sebenarnya dari sakit tetapi tak berdarah.
“Kamu jahat, Sean!” seru Isabel. Gadis itu memilih berlari meninggalkan Sean dan gadis itu sendiri. Ia bahkan membiarkan berlari tanpa alas kaki karena sendalnya yang putus.
Ia merasakan bahwa Sean baru saja mengkhianati dirinya, bahkan mereka belum mengucapkan kata putus apapun. Tetapi dengan gampangnya pria itu memilih wanita lain.
“Andai kamu tahu, Se. Aku mendatangi kamu untuk mengenalkan kamu dengan Abi, andai kamu tahu. Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan aku dari perjodohan ini adalah kamu,” cicit Isabel. Kakinya berjalan tanpa arah, dan ia hanya mengikuti ke mana kakinya membawa dirinya.
Hingga, ia memilih bersinggah di sebuah taman dengan danau kecil sebagai penghiasnya. Isabel pun duduk di salah satu kursi kayu di sana, mendinginkan kepalanya dengan melihat pemandangan yang tersaji. Bayangan kebersamaannya dulu bersama Sean pun kembali terbayang di kepalanya.
***
“Happy graduation, Isabel!” seru Sean seraya berlari ke arah Isabel.
Pakaian toga berwarna hitam telah melekat di tubuh mereka, tanda bahwa mereka baru saja mendapat gelar sarjana mereka. Wajah bahagia sangat kentara di raut Isabel dan Sean.
“Happy graduation too, Sean! Aku senang bisa lulus bersama dengan kamu,” ucap Isabel, ia menatap haru ke arah Sean dan teman-temannya yang lain.
“Sama, Isabel. Aku juga senang sekali bisa lulus bersama-sama dengan kamu. Aku janji, akan selalu bersama kamu, akan selalu melindungi kamu, dan akan selalu berusaha memperjuangkan cinta kita sampai aku tak bisa lagi berjuang.” Sean menghadiahkan sebucket bunga mawar merah kesukaan Isabel.
Gadis itu pun menerimanya dengan senang hati, ia menghirup wangi bunga tersebut dan tersenyum merekah setelahnya. “Aku bahagia memiliki kamu.”
***
Rintikan cairan bening kembali terjun dari pelupuk matanya, membasahi kedua pipinya yang putih nan lembut. Tak kuasa ia menahan rasa sakit yang mendalam di hatinya.
“Mana janji kamu, Sean? Mana janji kamu! Katanya kamu ingin mempertahankan cinta kita, tapi apa Sean? Kamu jahat!” Mata Isabel yang belum sepenuhnya baik kini semakin membengkak. Wajahnya bahkan telah memerah karena terlalu banyak menangis.
Tiba-tiba, sebuah sapu tangan terulur di hadapan Isabel, gadis itu pun menolehkan kepalanya dan menatap pria yang memberikan sapu tangan tersebut.
“Pakai ini, hapus air mata kamu.”
Kedua alis Isabel pun saling bertautan, rasa tak percayanya pada orang asing membuatnya sedikit takut dan bersiap akan beranjak. “Nggak usah, makasih.”
“Saya orang baik, tidak ada racun apapun di sapu tangan itu. Kamu bisa buktikan sendiri,” celetuk pria itu saat menyadari ketakutan Isabel.
Akhirnya Isabel pun memberanikan diri mengambil sapu tangan tersebut dan menghapus jejak air matanya di kedua pipinya. “Terima kasih.”
“Sama-sama, simpan saja sapu tangan itu. Pakai kalau kamu sedang sedih atau butuh sesuatu untuk menghapus air matamu,” ucap pria itu sesaat sebelum pergi meninggalkan Isabel yang kembali sendirian.
Isabel pun jua memilih beranjak dari duduknya, ia menghentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas di depannya. Lalu menyebutkan alamat rumahnya.
Gadis itu telah mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang akan mengubah kehidupannya secara menyeluruh ke depannya.
Isabel merasakan kepalanya sakit dan sedikit pusing karena terlalu banyak menangis, ia pun memilih memejamkan matanya dan tidur sejenak selama perjalanan.
***
“Neng, bangun, Neng.”
Suara sopir taksi tersebut membangunkan Isabel pun akhirnya berhasil. Gadis itu akhirnya membuka matanya lalu mengedipkan beberapa kali, membiasakan cahaya tuk masuk ke dalam sana.
“Ah, sudah sampai, ya. Terima kasih, Pak.” Isabel turun dari taksi setelah menyerahkan beberapa lembar uang berwarna hijau kepada sopir taksi tersebut.
Ia pun membuka pagar rumahnya dan berjalan lunglai masuk ke dalam, melihat Umi dan Abinya tengah berkumpul di ruang keluarga. Pas sekali bagi Isabel, ia tak perlu mengumpulkan mereka lagi.
“Assalamualaikum, Abi, Umi.”
“Waalaikumsalam,” jawab Abi dan Umi Isabel bersamaan.
“Bagaimana Isabel? Mana orang yang kamu bilang itu?” desak Abi Isaabel.
Kepala Isabel menggeleng kecil sebagai jawaban. “Isabel terima kalau Abi jodohkan Isabel.”
***
"Sean?"Mendengar seseorang namanya, Sean pun mendongakkan kepalanya menatap sang pelaku yang memanggil namanya itu.Tubuh keduanya mematung seketika saat pandangan mereka saling bertemu, membuat kerinduan yang mereka kubur bersama dengan susah payah akhirnya terbongkar hanya dalam satu detik saja."Isabel." Nama itu meluncur begitu saja dengan bebas keluar dari bibir Sean dengan bergetar.Entah mengapa kaki Isabel melangkah dengan sendirinya, berjalan mendekati pria yang sangat ia rindukan itu.Jarak keduanya pun semakin terkikis, membuat langkah Isabel terhenti tepat di hadapan pria itu. Ia mengangkat tangannya yang terlihat gemetar, hingga akhirnya tangan itu berakhir di pipi Sean."Aku rindu," bisik Isabel. Ia saat ini sama sekali tak memikirkan akibat dari perbuatannya.Ia kini seolah melupakan apa yang ada di sekitarnya, dan di mana saat ini berada. Semuanya seolah terlupakan begitu saja saat melihat wajah pria yang sangat ia rin
Selama perjalanan menuju Selat Bosporus Isabel hanya terdiam selama perjalanan, membuat Ahmed bingung melihat perilaku istrinya yang tak biasa itu. Biasanya Isabel akan berceloteh sepanjang perjalanan mereka."Kamu kenapa, Bel?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari bibir Ahmed yang sedari tadi gatal ingin bertanya.Tubuh Isabel sedikit tersentak karena suara Ahmed yang membuyarkan lamunannya. Ia pun membalikkan kepalanya menatap Ahmed seraya memberikan senyuman kecilnya. "Aku ngga apa-apa kok.""Yang benar?" tanya Ahmed memastikan. Ia tak percaya begitu saja pada istrinya, melihat wajah lesu dan tak bersemangat milik wanita itu. "Apa kamu gak suka kalau kita ke Selat Bosporus? Mau ganti tempat aja?"Dengan cepat Isabel menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, aku cuma kelelahan aja makanya jadi lemas."Tak ingin membuat mood istrinya semakin memburuk, Ahmed pun hanya menganggukkan kepalanya seolah percaya pada perkataan wanita itu. Ia memilih me
"Kita mau ke mana lagi, Sayang?" tanya Ahmed seraya menatap Isabel yang tengah sibuk menggulir layar ponselnya, melihat hasil jepretan mereka selama berjalan-jalan tadi.Isabel pun mengalihkan pandangannya menatap Ahmed, ia terlihat berpikir sejenak akan rencana mereka ke depannya. Ia kemudian mengangkat lengan kirinya dan melihat jam tangan yang terpasang manis di sana."Sebentar lagi waktu Dzuhur tiba, bagaimana kalau kita ke Blue Mosque dulu? Kamu harus merasakan bagaimana teduhnya beribadah di sana!" Isabel terlihat sangat antusias mengajak Ahmed.Melihat istrinya sangat bahagia, membuat Ahmed tak ada alasan untuk menolak permintaan wanita itu. Lagipula, tempat yang akan mereka kunjungi juga merupakan rumah Allah kan, pikir Ahmed."Yaudah, ayo. Nanti waktunya gak keburu kalau mau berjamaah," ajak Ahmed. Ia menggandeng tangan istrinya menuju mobil Syam yang sudah terparkir tepat waktu.Syam yang melihat mereka pun tersenyum ramah dan membukakan
“Ahmed! Ayo cepat. Aku sudah tidak sabar ingin berlibur!”Pekikan Isabel yang cempreng dan nyaring itu memenuhi seisi hotel, membuat Ahmed menggelengkan kepalanya seraya menutup kedua telinganya. Kebiasaan buruk Isabel yang tak bisa dihilangkan hanya satu, berteriak.Wanita itu tak akan segan untuk berteriak sekeras-kerasnya jika ia sudah kama menunggu. Hal yang tidak biasa Isabel lakukan adalah menunggu lebih lama dari lima menit. Jika lebih dari lima menit, niscaya wanita itu akan mengeluarkan suara membahananya, hal itu sudah Ahmed hafal bahkan di luar kepalanya.Tak ingin membuat wanita itu berteriak untuk kedua kalinya, Ahmed memilih bergegas keliar dari kamar dan menghampiri Isabel yang telah berkacak pinggang di depan pintu hotel. Wajahnya tampak terlihat kesal dengan bibir yang mengerucut beberapa centimeter.“Kamu lama banget sih! Aku udah pegal berdiri di sini,” gerutu Isabel.Ahmed pun membalasnya dengan cengiran
Ahmed membukakan pintu mobil untuk Isabel keluar. Cuaca yang sejuk disertai angin yang berembus cukup kencang membuat kain yang menutupi kepala wanita itu seketika beterbangan saat menginjakkan kakinya keluar dari mobil.Tangan Ahmed kini sudah menunggu di hadapan Isabel untuk diraih dan digandeng oleh wanita itu. Banyak mobil maupun orang yang keluar masuk dari bangunan kukuh di hadapan mereka. Sebuah papan besar terpasang di atas, menunjukkan nama tempat tersebut.Old Ottoman Cafe & Restauran. Sebuah rumah makan mewah yang cukup terkenal dan banyak dikunjungi oleh turis di Istanbul.“Ayo masuk,” ajak Ahmed seraya menggandeng Isabel untuk menaiki tangga di hadapan mereka. Berjalan memasuki pintu kayu dengan ukiran di hadapan mereka.Saat pertama kali masuk, indra pendengaran mereka disuguhkan dengan alunan musik klasik yang menyegarkan telinga. Pemandangan yang disajikan pun tak kalah indah dan menarik pandangan semua orang yang hadir.
Mobil yang membawa Ahmed dan Isabel pun telah berhenti di depan lobi Cheers Lightroom. Sebuah penginapan bintang lima yang terkenal di Istanbul.Terkenal bukan tanpa alasan tentunya, beberapa kamar memiliki pemandangan yang indah. Langsung menghadap ke lantai, membuat mata yang memandangnya menjadi segar seketika.Ahmed pun turun dari mobil, lalu menbukakan pintu mobil untun istri tercintanya. Mengulurkan tangannya di hadapan Isabel. "Silakan turun, Tuan Putri."Diperlakukan dengan sangat manis membuat kedua pipi Isabel memanas dibuatnya. Ia pun menundukkan kepalanya agar Ahmed tak mengetahui tentang pipinya yang bersemu merah. Ia pun menerima uluran tangan Ahmed."Teşekkür ederim Syam. Cara mengemudimu sangat bagus, sehingga kami sangat nyaman selama diantar olehmu," ucap Isabel dengan senyum manis.Syam yang mendengar Isbaek berbicara dengan bahasa Turki pun tersentak kecil dibuatnya. Tetapi, dengan segera ia menormalkan ekspresi wajahnya seperti semu