Share

Chapter 5

Rey tersenyum miris sesaat setelah pria itu pergi meninggalkan rumah. Dia sudah punya firasat jika pria dengan senyum ramah itu tidak datang membawa kabar baik. Buktinya sekarang dia malah harus berpikir keras karena rumah yang ia tempati bukan lagi miliknya. Wanita itu sudah tidak punya pilihan lain lagi kecuali segera berkemas dan mencari tempat tinggal.

"Sepertinya nasibku tidak akan membaik," keluh Rey beranjak dari sana.

Sebenarnya sangat sulit untuk meninggalkan rumah itu. Mungkin Rey tidak memiliki banyak kenangan indah bersama orang tuanya di rumah ini namun tetap saja sulit rasanya untuk beranjak.

Rey menghela napas berat sesaat setelah menyeret kopernya keluar dari rumah. Dia sengaja pergi meninggalkan rumah itu di malam hari. Takut ada yang melihatnya.

Hei! Rey tidak mau ada yang tahu jika sekarang dia tidak punya apa-apa lagi. Harga dirinya adalah yang paling penting. Karena hanya itu yang Rey punya saat ini.

Pilihan Rey jatuh pada rumah kecil di pinggir kota. Harga sewanya cukup murah walau memang tidak senyaman rumah yang dulu tapi kembali lagi di kawasan itu tidak akan ada yang mengenalinya.

Bukan hanya mencari tempat tinggal baru, Rey pun harus berjuang mencari pekerjaan untuk bisa bertahan hidup. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh anak manja seperti dirinya.

"Keluar kau dari sini! Kau dipecat!" teriak wanita itu membanting pintu belakang kafenya.

Ini bukan yang pertama kalinya Rey diusir dari tempat kerjanya karena membuat masalah. Ini bahkan sudah yang kelima kalinya dalam kurung waktu hampir dua bulan.

Rey menghela nafas lelah. Menatap langit yang mulai terlihat gelap. Jika saja dia bisa lebih sabar mungkin nasibnya tidak akan seburuk sekarang. Dia adalah wanita dengan temperamen yang sangat buruk.

Rey berjalan pelan. Menikmati suasana yang mulai berganti malam. Melihat beberapa orang yang tertawa lepas bagaikan tiada beban. Sambil berandai-andai jika dia berada di posisi mereka.

Hingga sebuah taman dengan beberapa tempat duduk tersedia menjadi tempat beristirahat Rey. Dia mendudukkan dirinya di sana. Tapi hanya beberapa menit saja.

"Sial!" umpat Rey saat mendengar perutnya berbunyi. Dari pagi hingga malam tiba hanya segelas air putih yang mengisi perutnya. Rey kembali bangkit dari tempat duduk itu seraya mencari kedai kecil di pinggir jalan.

Rey memesan seporsi hotdog dan air putih. Sebenarnya dia ingin makan lebih dari itu namun jika dipaksakan mungkin besok dia tidak akan bisa makan lagi.

"Ini saja sudah cukup."

Sedang asyik menikmati makanannya seorang pria tiba-tiba duduk di depan Rey. Kunyahan Rey pada makanannya terhenti dan menatap pria itu.

"Rupanya kau ada di sini?" kata pria itu membuat Rey semakin bingung.

"Anda bicara padaku?" Rey menunjuk dirinya sendiri. Tentu saja dia bertanya seperti itu. Seorang pria tampan yang mungkin berusia tiga puluh tahunan ke atas tiba-tiba saja duduk di depannya, berbicara seakan dia mengenal Rey.

"Memangnya ada orang lain di meja ini?" Pria itu malah balik bertanya.

Rey bergeming lalu melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda. Mengabaikan pria itu yang terus menatapnya.

"Kau tidak ingin makanan yang lebih baik dari ini?" tanya pria dengan wajah rupawan itu.

"Jika Anda yang membelikannya untukku, aku akan menerimanya dengan senang hati," kata Rey tanpa pikir panjang. Lagi pula ucapan itu hanya untuk bercanda saja.

"Tentu. Ayo kita cari tempat makan yang lebih baik!"

Tak disangka pria itu malah mengiyakan dengan nada begitu antusias.

"Hei! Aku tidak mungkin pergi dengan seseorang yang tidak aku kenal," kata Rey terkekeh kecil.

Wajah pria itu bisa saja menawan namun Rey tidak akan mau tertipu. Bisa saja dia seorang pria mesum yang akan berbuat jahat padanya. Rey sudah terlalu banyak mengenal pria seperti itu. Pria otak selangkangan.

"Ah benar juga." Seakan menyadari kebodohannya, pria itu mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan Rey. "Julian Narendra," katanya lembut namun terkesan tegas. "Dan kau Reyna Anindira, iya 'kan?" lanjut Julian tak membiarkan Rey untuk menjawab.

"Anda tahu siapa aku?" tanya Rey mengerjabkan matanya lucu. Gawat! Padahal Rey sudah pergi sangat jauh kenapa masih ada yang mengenalinya?

"Ya. Tentu saja aku tahu," kata Julian mengangguk. "Ingin ikut denganku dan aku akan menceritakan semuanya." Entah itu sebuah tawaran atau perintah. Rey tidak bisa membedakannya.

Walau sempat ragu, wanita itu tetap mengangguk dan ikut bersama pria itu setelah dia membayar makanannya.

***

"Jadi kau mengenal ayah dan ibuku?" tanya Rey menatap pria yang sedang sibuk di balik kemudi mobil. Syukurlah, Rey bisa bernapas lega. Dia dalam keadaan terburuknya sekarang, bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya itu tidak baik.

"Tepatnya ayah dan ibumu telah menyelamatkan salah satu orang yang sangat berharga dalam hidupku," kata Julian tersenyum manis hingga lesung pipinya terlihat.

Rey mendengus pelan lalu mengalihkan pandangannya ke depan. "Bukankah itu memang tugas seorang polisi?" gumamnya pelan.

"Ya, itu memang benar. Karena itu aku sangat berhutang budi pada orang tuamu." Raut wajah Julian yang semula sumbringah berubah sendu. Dia menarik napas pelan. "Tapi sayang aku terlambat. Bahkan aku baru tahu kemarin," katanya begitu menyesal.

Rey tidak merespon sama sekali. Tepatnya dia tidak tahu harus berkata apa. Bahkan dia sendiri pun masih belum bisa percaya jika orang tuanya kini telah tiada.

Mobil yang ditumpangi Julian dan Rey berhenti di depan restoran yang cukup besar.

"Haruskah kita makan di sini?" tanya Rey sesaat setelah dia turun dari mobil.

"Memangnya kenapa?"

"Apa kau tidak melihat tampilanku?" tanya Rey pada pria itu.

Sungguh sangat memalukan. Julian memakai pakaian bergaya casual yang terlihat sangat mahal sementara Rey hanya menggunakan t-shirt dan celana pendek. Itu pun sudah kusut dan kotor karena pekerjaannya tadi. Mencuci piring.

Julian kembali tersenyum. "Kau tetap cantik," katanya.

"Berhenti berbual! Aku tidak suka!" kata Rey melangkah mendekati Julian lalu berbisik pelan, "Kuharap kau tidak malu karena membawaku kemari." Setelahnya Rey masuk ke dalam dengan muka tebalnya. Tak peduli beberapa pasang mata yang melihatnya.

Sungguh. Dia bisa saja terlihat percaya diri namun dalam hatinya menjerit. Andai dia bisa memakai pakaian-pakaian mahalnya sekarang.

Ralat.

Rey tidak memikirkan tentang pakaian yang lebih pantas lagi saat melihat meja di depannya telah penuh dengan makanan.

"Ayo makan!" kata Julian. Dia tahu jika Rey sudah tidak sabar untuk mencicipi makanan itu.

"Bolehkah?"

"Tentu, Rey."

Rey benar-benar tidak membuang waktu untuk menikmati makanan itu. Setiap suapan begitu memanjakan lidahnya. Tak peduli dengan tatapan gemas Julian melihat tingkahnya yang seperti anak kecil.

Setelah acara makan malam yang singkat, Julian mengantar Rey pulang ke rumah sewanya.

"Kau tinggal di sini?" tanya Julian sesaat setelah mobilnya berhenti.

"Ya," jawab Rey cepat, melepaskan sabuk pengaman lalu menatap Julian. "Terima kasih untuk hari ini, Pak Julian. Aku akan membalasmu suatu hari nanti," kata Rey kemudian turun dari mobil.

"Tunggu, Rey!"

Rey yang baru saja akan melangkah masuk ke dalam rumahnya berbalik.

"Ada apa?" tanyanya.

Julian menghampiri Rey dengan tangan yang saling bertautan. Seperti seseorang yang sedang gugup. Dia menghela napas pelan terlebih dahulu sebelum membuka suara.

"Saat itu aku tidak punya apa-apa untuk membalas budi orang tuamu ...," kata Julian menjeda ucapannya sebentar. "dan sekarang aku datang berencana untuk membalas tapi ternyata takdir berkata lain."

Rey mengangkat satu alisnya. "Lalu?"

"Aku akan membalas kebaikan mereka lewat dirimu, Rey. Tolong terimalah!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status