Sampai Rey meninggalkannya sendirian di sana Anita terus berpikir. Apakah sungguh sikapnya kekanak-kanakan karena cemburu pada Julian? Bagi Anita itu bukan cemburu, dia hanya sedikit posesif terhadap apa yang dimilikinya.Anita hanya punya Julian. Tidak ada yang lain lagi. Bukankah wajar Anita bersikap demikian? Namun dia juga tidak menampik apa yang dikatakan Rey benar.Anita menginginkan anak itu dan tidak seharusnya dia egois seperti ini. Sekarang sudah tidak ada penghalang lagi. Janin--calon anak Anggun--yang sempat menjadi rasa takut terbesar Anita kini telah tiada. Kini Anita bisa memimpin permainan jika Rey benar-benar bisa hamil secepatnya.Wanita itu tersenyum manis sebelum memutuskan untuk bangkit dari sana menuju kamarnya. Kali ini dia tidak akan membiarkan kesempatannya terbuang sia-sia.***Pukul delapan malam Julian tiba di rumah. Anita yang sejak tadi sudah menunggunya menyambut pria itu dengan senyuman hangat. Di sana juga ada Rey yang sedang menikmati cemilan seraya m
Kedua iris berwarna coklat itu terbuka saat mendengar suara mobil dari luar. Reyna Anindira bangun dari tempat tidur kemudian berjalan menuju jendela besar yang berada di sebelah kanan tempat tidurnya. Dari lantai dua dia melihat mobil berwarna hitam itu berlalu meninggalkan pekarangan rumah.Seharusnya wanita dengan rambut sebahu itu tidak perlu mengikuti sang pria. Namun ego sebagai seorang istri lebih tinggi hingga Rey; nama panggilan wanita itu, tanpa pikir panjang mengikuti mobil sang suami."Sudah kuduga dia akan datang kemari," lirih Rey melihat mobil suaminya terparkir dengan epik di sebuah rumah berlantai tiga. Tujuan sang suami jika tidak bersamanya.Rey turun dari mobil lalu melangkah dengan pelan masuk ke dalam rumah. Dia masih mengingat dengan jelas kode pintu rumah itu dan ternyata sang pemilik rumah pun tidak pernah menggantinya.Langkahnya begitu pelan menuju lantai dua rumah itu di mana suaminya berada. Seakan wanita itu begitu takut orang yang sedang dia ikuti menyad
Semuanya dimulai hari itu di mana Rey duduk terdiam di depan dua peti mati yang berisi tubuh kaku kedua orang tuanya. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya yang pucat dan kering itu. Hanya terus menatap kosong dengan raut wajah kacau.Wanita dengan rambut sebahu itu bahkan tidak menangis sedikit pun namun semua orang tahu jika rasa sakit yang dirasakannya lebih dari siapa pun yang ada dalam ruangan itu. Bagaimana tidak, dia ditinggalkan oleh dua orang yang menjadi sandarannya secara bersamaan.Masih hangat dalam ingatan Rey di mana pagi ini kedua orangnya pamit untuk keluar kota. "Kau sungguh akan baik-baik saja sendirian di rumah?" tanya sang ibu menatap putrinya yang sedang asyik dengan ponselnya."Aku sudah biasa sendiri," ujar Rey tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedang memutar video anime Jepang. Kalimat itu secara tidak langsung menyindir pasangan suami istri itu. Mereka terlalu sibuk dengan profesi sebagai seorang polisi yang harus siap siaga dalam keadaan a
Beberapa pasang mata menatap wanita dengan t-shirt putih yang di balut jaket bernilai ratusan dollar itu saat memasuki area kampus. Bukan karena kagum seperti biasanya. Maklum Rey adalah salah satu mahasiswa cukup terkenal di kampus. Bukan hanya terkenal cantik dengan pakaian mahal yang selalu membalut tubuh indahnya. Namun juga Rey terkenal sebagai gadis bar-bar dengan emosi tak terkontrol.Menjadi pusat perhatian sudah biasa untuk Rey. Tapi kali ini ada yang berbeda. Tak hanya menatap, beberapa ada yang berbisik membicarakannya."Bukankah orang tuanya baru saja meninggal?" "Kau benar. Dasar wanita tak berperasaan!""Aku dengar dia memang membenci orang tuanya.""Tapi haruskah sampai seperti itu?""Dia sungguh sangat mengerikan."Rey terus melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas. Saat sampai di sana pun pandangan kaget serta bisik-bisik tentang dirinya masih dia terima. Apakah seaneh itu Rey datang ke kampus sehari setelah kematian orang tuanya? Seperti dia baru saja melakukan kej
Kepala Rey berdenyut sakit saat ia mencoba membuka mata. Padahal dia tidak minum alkohol tapi rasa pusing yang ia rasakan seperti orang yang habis mabuk berat."Akh!" ringis Rey saat tangannya tak sengaja menyentuh kepalanya. Ternyata pusing yang dirasakan wanita itu bukan karena pengaruh minuman atau sejenisnya. Tangan Rey berlumuran darah yang telah mengering. Dengan cepat wanita itu bangkit menuju cermin untuk melihat pantulan bayangannya."Kenapa kepalaku bisa terluka?" lirih Rey mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.Flashback.Adit menarik sebelah kaki Rey untuk melingkar di pinggangnya. Tangan besar pria itu pun tidak tinggal diam. Menjelajah tubuh Rey yang begitu halus dan kencang. Satu tali baju Rey telah jatuh ke samping akibat dari perbuatan pria itu.Ciuman itu panas Adit beralih ke leher jenjang Rey. Hingga menimbulkan desahan pelan dari mulut wanita itu.Adit yang sudah dikuasai nafsu terus menjelajah hingga tangannya sampai di dada Rey. Remasan pertama mem
Rey tersenyum miris sesaat setelah pria itu pergi meninggalkan rumah. Dia sudah punya firasat jika pria dengan senyum ramah itu tidak datang membawa kabar baik. Buktinya sekarang dia malah harus berpikir keras karena rumah yang ia tempati bukan lagi miliknya. Wanita itu sudah tidak punya pilihan lain lagi kecuali segera berkemas dan mencari tempat tinggal."Sepertinya nasibku tidak akan membaik," keluh Rey beranjak dari sana.Sebenarnya sangat sulit untuk meninggalkan rumah itu. Mungkin Rey tidak memiliki banyak kenangan indah bersama orang tuanya di rumah ini namun tetap saja sulit rasanya untuk beranjak.Rey menghela napas berat sesaat setelah menyeret kopernya keluar dari rumah. Dia sengaja pergi meninggalkan rumah itu di malam hari. Takut ada yang melihatnya.Hei! Rey tidak mau ada yang tahu jika sekarang dia tidak punya apa-apa lagi. Harga dirinya adalah yang paling penting. Karena hanya itu yang Rey punya saat ini.Pilihan Rey jatuh pada rumah kecil di pinggir kota. Harga sewany
Julian Narendra tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Senyum yang tidak pernah luntur serta bunga mawar berwarna merah di tangannya adalah bentuk dari rasa bahagia itu. Kebahagiaan Julian semakin lengkap ketika melihat sosok yang sangat ia rindukan sedang duduk di sofa tunggal sambil menikmati secangkir teh hangat. Dengan langkah pelan Julian mendekatinya dan langsung memeluk wanita itu dari belakang."Astaga!" sosok itu terperajak ketika tangan Julian melingkar di lehernya. "Julian!" katanya saat melihat pria itu."Aku merindukanmu, Sayang," gumam Julian pelan lalu mencium pipi wanita itu lembut. Dia beranjak duduk di samping wanita itu lalu memberikan bunga mawar tadi padanya. Bunga favorit sang istri.Anita menerima bunga itu lalu mencium aroma wangi yang menyeruak. Dia sangat menyukainya namun lebih menyukai sosok di hadapannya."Aku juga merindukanmu, Julian," kata Anita memeluk pria itu erat seakan meluangkan segala rasa rindu yang membuncah di hatinya.Setelahnya tidak ad
Hamil.Anita pernah merasakan sosok malaikat kecil menghuni rahimnya. Pernah merasakan bagaimana tidak enaknya saat dia tertidur pulas di pagi hari namun harus bangun karena perutnya bergejolak. Atau saat dia begitu sensitif dengan aroma yang selama ini tidak pernah mengganggunya."Aku hamil?" Satu pertanyaan yang dijawab anggukan oleh seorang dokter bagai sihir yang mengubah hidup Anita. Dia tidak bisa menggambarkan bagaimana bahagianya ia saat itu. Apa lagi saat dia memberitahu sang suami."Aku hamil, Julian," kata Anita seraya menyodorkan surat hasil pemeriksaan dari dokter."Benarkah?" tanya Julian masih tak percaya. "Iya," jawab Anita mengangguk dengan senyum lebar di wajahnya. Julian langsung menghamburkan pelukan hangat pada sang istri. "Aku akan jadi seorang ayah, Sayang. Aku akan jadi seorang ayah!" kata Julian mengekspresikan rasa bahagianya.Namun kenyataan jika tidak ada yang abadi di dunia ini akhirnya merenggut kebahagian itu.Anita kehilangan janin yang baru saja men