Rey tersenyum miris sesaat setelah pria itu pergi meninggalkan rumah. Dia sudah punya firasat jika pria dengan senyum ramah itu tidak datang membawa kabar baik. Buktinya sekarang dia malah harus berpikir keras karena rumah yang ia tempati bukan lagi miliknya. Wanita itu sudah tidak punya pilihan lain lagi kecuali segera berkemas dan mencari tempat tinggal."Sepertinya nasibku tidak akan membaik," keluh Rey beranjak dari sana.Sebenarnya sangat sulit untuk meninggalkan rumah itu. Mungkin Rey tidak memiliki banyak kenangan indah bersama orang tuanya di rumah ini namun tetap saja sulit rasanya untuk beranjak.Rey menghela napas berat sesaat setelah menyeret kopernya keluar dari rumah. Dia sengaja pergi meninggalkan rumah itu di malam hari. Takut ada yang melihatnya.Hei! Rey tidak mau ada yang tahu jika sekarang dia tidak punya apa-apa lagi. Harga dirinya adalah yang paling penting. Karena hanya itu yang Rey punya saat ini.Pilihan Rey jatuh pada rumah kecil di pinggir kota. Harga sewany
Julian Narendra tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Senyum yang tidak pernah luntur serta bunga mawar berwarna merah di tangannya adalah bentuk dari rasa bahagia itu. Kebahagiaan Julian semakin lengkap ketika melihat sosok yang sangat ia rindukan sedang duduk di sofa tunggal sambil menikmati secangkir teh hangat. Dengan langkah pelan Julian mendekatinya dan langsung memeluk wanita itu dari belakang."Astaga!" sosok itu terperajak ketika tangan Julian melingkar di lehernya. "Julian!" katanya saat melihat pria itu."Aku merindukanmu, Sayang," gumam Julian pelan lalu mencium pipi wanita itu lembut. Dia beranjak duduk di samping wanita itu lalu memberikan bunga mawar tadi padanya. Bunga favorit sang istri.Anita menerima bunga itu lalu mencium aroma wangi yang menyeruak. Dia sangat menyukainya namun lebih menyukai sosok di hadapannya."Aku juga merindukanmu, Julian," kata Anita memeluk pria itu erat seakan meluangkan segala rasa rindu yang membuncah di hatinya.Setelahnya tidak ad
Hamil.Anita pernah merasakan sosok malaikat kecil menghuni rahimnya. Pernah merasakan bagaimana tidak enaknya saat dia tertidur pulas di pagi hari namun harus bangun karena perutnya bergejolak. Atau saat dia begitu sensitif dengan aroma yang selama ini tidak pernah mengganggunya."Aku hamil?" Satu pertanyaan yang dijawab anggukan oleh seorang dokter bagai sihir yang mengubah hidup Anita. Dia tidak bisa menggambarkan bagaimana bahagianya ia saat itu. Apa lagi saat dia memberitahu sang suami."Aku hamil, Julian," kata Anita seraya menyodorkan surat hasil pemeriksaan dari dokter."Benarkah?" tanya Julian masih tak percaya. "Iya," jawab Anita mengangguk dengan senyum lebar di wajahnya. Julian langsung menghamburkan pelukan hangat pada sang istri. "Aku akan jadi seorang ayah, Sayang. Aku akan jadi seorang ayah!" kata Julian mengekspresikan rasa bahagianya.Namun kenyataan jika tidak ada yang abadi di dunia ini akhirnya merenggut kebahagian itu.Anita kehilangan janin yang baru saja men
"Berdoalah agar anak yang kukandung sekarang itu perempuan," kata Anggun membuat Anita bergeming dengan mata membulat kaget. Namun itu tidak bertahan lama, sebisa mungkin Anita tidak menampakkan rasa gelisah dan takutnya dengan menarik dua sudut bibirnya membetuk sebuah senyuman."Jadi kau sudah hamil?" tanya Anita tenang."Ya. Usianya sudah menginjak tiga minggu." Begitu angkuh nada suara wanita itu bahkan dia dengan sengaja mengelus perutnya yang masih rata."Baguslah. Jaga kandunganmu baik-baik kalau begitu, Anggun. Aku harap kau tidak mengalami hal mengerikan seperti yang ku alami," kata Anita kemudian berlalu setelah mengelus pundak adik tirinya itu lembut.Anggun mengerutkan keningnya bingung. Reaksi Anita sungguh di luar ekspektasinya. Dia pikir wanita itu akan marah atau apa, yang bisa menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya."Kenapa dia terlihat sangat tenang? Sial!" umpat Anggun kecewa. Ternyata sandiwara Anita bisa dengan baik menipu Anggun.Wanita dengan tubuh lebih kurus
Julian membolakan matanya. Sungguh terkejut dengan ucapan spontan sang istri. Dan yang lebih membuatnya tidak habis pikir, raut wajah Anita yang tampak tak berdosa sama sekali setelah mengatakan hal itu."Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan tadi, Anita?" tanya Julian masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar."Hanya dengan cara itu kita bisa memiliki anak sesuai dengan yang aku inginkan, Julian," kata Anita.Julian bangkit dari tempat duduknya. "Jangan gila, Anita! Sampai kapanpun aku tidak akan menikahi wanita lain selain dirimu!" tolak Julian dengan keras. Baginya dia hanya akan menikah sekali seumur hidup. Dan itu hanya bersama Anita.Anita sudah menduga jika reaksi Julian akan seperti itu."Tapi aku tidak bisa mengadopsi anak itu juga. Dia tidak mempunyai hubungan darah dengan kita. Sekalipun itu bukan anakku setidaknya dia masih anakmu," kata Anita masih kekeh dengan keputusannya.Julian mengerang frustasi. "Apakah
"Jadi dia wanita yang kau pilih?" tanya Julian sambil menatap foto seorang gadis berumur sekitar dua puluh tahun ke atas."Ya. Namanya Reyna Anindira. Dia seorang mahasiswa jurusan seni," kata Anita."Apa kau yakin dia mau? Dia masih sangat muda dan punya masa depan yang bisa lebih baik dari pada menjadi wanita yang disewa untuk melahirkan anak kita," kata Julian berpendapat."Masa depan?" Anita terkekeh. "Masa depan seperti apa yang bisa dimiliki seorang wanita yatim piatu sepertinya?" lanjutnya dengan nada remeh.Julian terdiam. Ternyata itu alasan Anita memilih wanita ini. Dengan memanfaatkan keadaannya yang sebatang kara."Kita yang akan menjamin masa depannya, Julian. Dia tidak mungkin menolak," kata Anita lagi meyakinkan sang suami.Julian tersenyum kecil. "Baiklah. Jadi kapan aku akan menemuinya?" tanyanya kemudian."Kau bisa mengintainya terlebih dahulu. Ini jadwal kegiatannya. Kau bisa menemukan waktu yang tepat
Rey mengusap kasar rambutnya. Dengan balutan piyaman serta tampilan yang masih acak-acakan dia keluar dari kamarnya menuju dapur. Kebiasaan yang selalu Rey lakukan di kala pagi. Sebelum melakukan apapun dia akan meminum air hangat dulu."Astaga!" Namun betapa Rey sangat terkejut saat melihat seorang pria tengah berdiri di ruang tamu sambil menatapnya dengan senyuman manis.Julian juga sebenarnya kaget namun dia masih menjaga sikapnya. Untung saja dia masih bisa mengendalikan gelak tawanya melihat tampilan Rey."Kau sudah bangun?" tanya Julian terdengar begitu ramah."Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Rey dengan ekspresi yang sangat lucu. Mata membulat dengan tangan yang memegangi dadanya. Dia masih kaget omong-omong."Tentu saja menemuimu," jawab Julian enteng. "Dan juga membantumu memindahkan barang-barangmu," kata Julian lagi dengan netra yang berfokus pada beberapa koper dan tas yang terletak di samping sofa.
"Terima kasih sudah mengantarku," ujar Rey menenteng tasnya kemudian turun dari mobil itu. Julian menurunkan kaca mobilnya untuk melihat Rey yang berjalan masuk ke dalam kampus."Telpon aku jika sudah selesai!" teriak Julian pada Rey.Wanita itu hanya menaikkan jarinya membentuk huruf O sebagai tanda setuju. Rey menghela napas berat. Entah sudah berapa pertemuan yang dia lewatkan karena terlalu sibuk bekerja. Rey harap dia tidak akan mendapat masalah. Namun sepertinya Rey salah karena baru saja akan bersembunyi di balik mejanya, seorang pria tinggi berumur lima puluh tahun itu sudah memanggilnya.Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Rey dan dosen pembimbingnya."Kau dari mana saja, Rey?" tanya pria itu membuka suara."Maafkan saya, Pak," kata Rey dengan nada menyesal. Dia tidak cukup memalukan untuk mengatakan semuanya pada sang dosen. Lagi pula dia yakin pria itu juga tidak akan tertarik mendengar kisah hidup Rey yang menyedihkan.