**
"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya."Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu."Nggak akan.""Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun.""Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik.""Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"Kiran hanya menggeleng tanpa mampu menjawab. Rasa bersalah memenuhi dadanya. Ia pikir Karan dan Soraya berseteru hingga hubungan keduanya merenggang seperti ini, juga karena dirinya. Maka apakah bisa jika Kiran hanya diam?"Ibu, Kiran juga salah di sini. Nggak hanya Mas Karan."Percuma saja bagaimanapun Kiran membujuk. Soraya tetap bersikeras pada pendiriannya. Wanita itu memilih pergi ke dalam kamar sementara Karan mulai memasuki mobilnya dan hendak meninggalkan halaman rumah. Menyisakan Kiran berdua dengan Herman yang masih terpaku di tempat, menyaksikan segala keberantakan itu."Ayah, gimana ini?" Kiran bergumam pelan kepada sang ayah mertua."Kita biarin dulu aja." Herman membuang napas lelah. "Percuma dipaksakan, Ki. Dua orang itu sama-sama keras kepala. Biarkan Ibu istirahat dan sendirian dulu untuk saat ini. Nanti kalau sudah tenang, kamu temui Ibu lagi dan ajak bicara. Jujur aja, Ibu memang hanya bisa luluh sama kamu. Jadi Ayah minta tolong, ya."Tampaknya, jalan terbaik memang seperti ini. Sekali lagi Kiran menengok ke arah halaman rumah di mana debu-debu sisa ban mobil Karan masih bertebaran. Hatinya ngilu sekali saat mengingat kembali bahwa suaminya sudah berlalu bersama perempuan lain di dalam mobil itu."Kiran istirahat juga." Herman kembali bertutur. "Ibu tadi udah masak. Kamu belum makan, kan? Mau makan dulu?"Perempuan dua puluh empat tahun itu hanya menggeleng pelan. Jujur saja, bahkan sampai beberapa hari ke depan pun perutnya pasti menolak diisi oleh sesuatu. Ingatan tentang Karan dan Nevia selalu membuatnya mual."Aku akan balik ke rumah buat beres-beres, Yah.""Beres-beres?""Cepat atau lambat, kalau aku udah resmi cerai sama Mas Karan, harus pindah juga, kan? Maka sebaiknya harus dimulai dari sekarang aja."Kiran mencoba tersenyum, namun Herman menanggapi dengan wajah trenyuh. Lelaki separuh baya itu hanya mampu mengangguk lirih sembari menepuk lembut bahu sang menantu."Bawa barang-barangmu ke sini. Kamu udah janji akan tetap jadi anak Ayah sama Ibu, kan? Kamu tinggal di sini, temani Ibu, Ki."Jujur saja, Kiran tidak tahu apakah bisa melakukan hal itu atau tidak. Pulang ke rumah orangtua Karan, berarti ia masih harus sering bertemu suaminya —yang sebentar lagi akan menjadi mantan— itu lagi. Namun untuk sekarang, Kiran memang belum memiliki tujuan lain selain rumah mertuanya ini."Iya, Ayah. Nanti aku balik ke sini. Biar Ibu istirahat dan tenangin diri dulu."Perempuan itu beranjak pergi setelah berpamitan. Dan sepenuhnya berharap bahwa Karan serta Nevia tidak pulang ke rumah saat ini.*Kiran duduk termenung di tepi ranjang dalam kamarnya. Memasuki rumah ini dengan status baru sebagai istri seorang Karan Raditya Gathfan, adalah hal paling berat yang pernah dirasa oleh Kiran dalam hidupnya. Namun, ia tidak pernah menyangka, bahwa akan keluar dari rumah ini dengan melepas status itu, ternyata sama beratnya. Perempuan manis itu menepis air mata yang hendak turun lagi membasahi pipi. Ia meraih koper di mana seluruh barang-barangnya yang tak seberapa sudah terkemas di dalam sana. Menyeret benda itu keluar dari kamar, melintasi ruangan-ruangan rumah yang hening."Bahkan kamu nggak ijinin aku pamitan, Mas," gumamnya kala melewati pintu kamar Karan yang tertutup rapat. "Berbahagialah selalu sesudah ini. Aku nggak akan lagi jadi penghalang jalanmu. Bangun rumah tangga yang selalu kamu impi-impikan bersama Nevia dan anak-anak kalian kelak. Aku pamit, terimakasih untuk semuanya."Kiran melangkah keluar dengan menyeret kopernya. Untuk kali terakhir, memandang rumah yang sudah menjadi tempatnya berteduh selama beberapa waktu belakangan ini."Nggak apa-apa, ini bukan akhir dunia. Meski tanpa Mas Karan, hidup akan tetap berjalan sebagaimana mestinya." Berusaha menghibur dirinya sendiri, Kiran menaikkan kopernya ke bagian depan si motor matic kesayangan.Menyusuri jalan raya tengah kota yang ramai sore hari ini. Kiran setengahnya berpikir, sebaiknya ia membelikan Soraya sesuatu. Mungkin makanan kesukaan ibu mertuanya itu. Tadi pagi Kiran pulang tanpa pamit dan Soraya dalam keadaan tidak baik-baik saja."Mungkin Ibu seneng kalo aku beli kue kesukaannya. Aku mampir bakery dulu kalo gitu." Kiran mengulas senyum. Menarik gas motor sedikit lebih kencang untuk menuju bakery langganan Soraya. "Tapi kenapa jalanan lebih macet dari biasanya, ya? Padahal ini bukan weekend."Motor matic berwarna merah itu melaju perlahan. Sesekali meliuk di antara dua mobil besar. Motor memang efisien digunakan ketika jalan sedang macet begini. Nah, tapi sekali lagi, jalanan justru kian macet. Bahkan motor Kiran sama sekali tak bisa bergerak. Tampak kerumunan manusia di depan sana, membuat Kiran merasa agak aneh."Maaf, di depan ada apa, ya? Tumben, kok macet parah?" Perempuan itu mencoba bertanya dengan ramah kepada salah seorang lelaki pengguna jalan yang tengah melintas."Oh, ada kecelakaan, Mbak. Korbannya belum dievakuasi. Masih nunggu polisi," jawab lelaki itu sementara melangkah menjauh.Hati Kiran terasa mencelos. Kecelakaan katanya? Ah, apakah keadaannya seburuk itu hingga harus menunggu petugas? Kiran membelokkan motornya ke depan sebuah toko dan memarkirkannya di sana. Ia lantas melangkah menuju kerumunan massa karena didera rasa penasaran. Perlahan tertangkap oleh pandangannya melalui sela-sela kerumunan, bodi mobil yang tampaknya sudah remuk redam. Kiran bergidik membayangkan bagaimana keadaan si penumpang jika mobilnya saja seperti itu. Rasa kian penasaran membuat Kiran turut merangsek maju pula. Ia merasa darahnya berdesir kala menyadari jenis mobil yang remuk itu adalah sebuah SUV berwarna hitam. Persis mobil milik Karan.Lalu di bawah himpitan rongsokan baja yang terbalik, sepotong lengan terkulai lemas dengan bercak-bercak darah. Kepala Kiran mulai pening. Bahkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan itu, juga sama persis dengan milik Karan."Pe-permisi ...." Kiran kian merangsek mendekat. Jantungnya berpacu gila-gilaan saat ia menemukan serpihan ponsel di sela-sela pecahan kaca. Ia memungut ponsel yang separuh layarnya sudah hancur itu.Dan ...."Nggak!" Kiran menggeleng dengan tubuh tremor. Sebuah plat nomor kendaraan teronggok tak jauh dari lengan yang terkulai berdarah-darah tadi."MAS KARAN! YA TUHAN! MAS!"*****"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya."Mbaknya kenal sama korban?""Keluarganya, ya?""Oh, syukurlah ada yang kenal.""Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu."Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat
**"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki
**"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi
**"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d
**"Jadi, kenapa kamu bilang ini kamarku dan kamarmu ada di tempat lain? Bukankah seharusnya kita cuma punya satu?"Kiran terkesiap. Tidak mengira laki-laki yang sedang menatapnya dengan sorot mata polos itu akan bertanya demikian."Kiran? Kok diem? Apa aku salah tanya?" Karan berkata dengan nada khawatir kali ini. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajahnya jadi kekanakan."Aah ... sebenernya kita emang ... punya kamar sendiri-sendiri, Mas.""Kok begitu? Katamu kita ini suami istri? Kamu bohongin aku, kah?""Nggak, nggak. Ini agak ...." Bagaimana menjelaskannya? Kiran menilai kondisi suaminya saat ini belum memungkinkan untuk menerima informasi yang agak mengejutkan. Cerita pernikahan mereka, misalnya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, Mas. Karena kita masih berdua di rumah ini, maka aku sering pakai kamar itu buat kerja atau rebahan aja biar nggak ganggu istirahat kamu.""Bener begitu?"Kiran mengangguk dengan senyum merekah. Ia kembali melangkah mendekat dan menyusul Karan duduk di t
**Seperti inikah suasana malam pertama?Kiran menepuk pipinya sendiri, mengusir pemikiran konyol yang secara tiba-tiba menghinggapi benaknya. Bisa-bisanya ia terpikir malam pertama saat suaminya sedang dalam keadaan sakit begini."Kamu capek banget, kah?" Karan bertanya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Ini karena aku, kan? Kamu kurang istirahat karena ngerawat aku di rumah sakit berhari-hari."Itu benar. Kiran bisa merasakan kepalanya sering pusing sebab tekanan darahnya menurun. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tidur. Namun, perempuan itu tetap tersenyum kepada sang suami."Enggak, Mas. Nggak apa-apa. Itu udah kewajibanku ngerawat kamu. Biar kamu cepet sehat lagi.""Maaf aku banyak merepotkan ya, Ki. Aku beruntung kamu yang ada di sampingku saat keadaannya seperti ini."Oh, Ya Tuhan. Benarkah Karan Raditya Gathfan bisa berucap seperti itu? Kiran lagi-lagi tak bisa menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Sini, Ki. Lebih dekat, sini. Kenapa kamu kesannya yang jaga jarak ba
**Kiran memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Barangkali ia memang salah, karena dari awal kekasih Karan adalah Nevia, bukan dirinya. Namun, untuk saat ini, ia benar-benar tidak ingin mengizinkan perempuan itu untuk menemui suaminya lagi. Kiran belum lupa bagaimana Karan kesakitan saat terakhir kali Nevia menemuinya."Kiran? Kamu kok di sini?"Perempuan itu terhenyak saat sebuah suara terdengar memecah keheningan. Ia menoleh ke arah tangga, di mana sang suami sudah berdiri di sana dengan alis menukik turun."Kamu bilang nggak akan pindah kamar, kan? Kamu bilang akan temenin aku?""Aku cuma bikin minuman hangat, Mas. Nggak ke mana-mana, kok." Kiran tersenyum, ia menunjuk cangkir cokelat panas yang berada di tangannya."Tengah malam begini?""Sebenarnya, aku memang lagi nggak bisa tidur.""Apa karena aku? Apa aku mendengkur atau sesuatu?"Kiran terpaksa tertawa kecil. Ini sungguh hal baru. Menghadapi Karan yang biasanya sedingin es kutub, kini menjadi cerewet dan polos."Bukan. Seb
**"Karan!""Nevia, please!" Kiran masih sempat mencegah ketika perempuan cantik itu hendak merangsek masuk sebab menyaksikan Karan kesakitan. "Sebaiknya kamu pergi aja, Nev.""Nggak bisa! Aku mau lihat Karan, minggir kamu!" Tapi, Nevia menyentak keras. Ia nekat mendorong tubuh Kiran dan memaksa masuk. Menghampiri lelaki yang masih terhuyung sembari memegangi kepalanya di kaki tangga."Karan, kamu kenapa? Ini aku, Nevia. Maaf, aku nggak bisa temuin kamu. Ak–""Kiran ...."Kata-kata Nevia lindap begitu saja sebelum selesai. Kedua bola matanya bergetar ketika lelaki yang ia cintai justru menyebut nama perempuan lain dengan sangat jelas saat ia berada tepat dihadapannya."Kar–""Kiran, kepalaku sakit lagi. Tolong ...." Lelaki itu mengulurkan tangan kepada Kiran dan berusaha menggapainya. Sepenuhnya mengabaikan Nevia yang masih terbelalak tidak percaya."Nev, sorry, tapi ini dua kalinya kamu lihat sendiri keadaan Karan. Jadi please, sebaiknya kamu pergi aja.""Jahat!" Nevia berseru keras,