Share

10. Mala Petaka

**

"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"

Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya.

"Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu.

"Nggak akan."

"Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun."

"Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik."

"Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"

Kiran hanya menggeleng tanpa mampu menjawab. Rasa bersalah memenuhi dadanya. Ia pikir Karan dan Soraya berseteru hingga hubungan keduanya merenggang seperti ini, juga karena dirinya. Maka apakah bisa jika Kiran hanya diam?

"Ibu, Kiran juga salah di sini. Nggak hanya Mas Karan."

Percuma saja bagaimanapun Kiran membujuk. Soraya tetap bersikeras pada pendiriannya. Wanita itu memilih pergi ke dalam kamar sementara Karan mulai memasuki mobilnya dan hendak meninggalkan halaman rumah. Menyisakan Kiran berdua dengan Herman yang masih terpaku di tempat, menyaksikan segala keberantakan itu.

"Ayah, gimana ini?" Kiran bergumam pelan kepada sang ayah mertua.

"Kita biarin dulu aja." Herman membuang napas lelah. "Percuma dipaksakan, Ki. Dua orang itu sama-sama keras kepala. Biarkan Ibu istirahat dan sendirian dulu untuk saat ini. Nanti kalau sudah tenang, kamu temui Ibu lagi dan ajak bicara. Jujur aja, Ibu memang hanya bisa luluh sama kamu. Jadi Ayah minta tolong, ya."

Tampaknya, jalan terbaik memang seperti ini. Sekali lagi Kiran menengok ke arah halaman rumah di mana debu-debu sisa ban mobil Karan masih bertebaran. Hatinya ngilu sekali saat mengingat kembali bahwa suaminya sudah berlalu bersama perempuan lain di dalam mobil itu.

"Kiran istirahat juga." Herman kembali bertutur. "Ibu tadi udah masak. Kamu belum makan, kan? Mau makan dulu?"

Perempuan dua puluh empat tahun itu hanya menggeleng pelan. Jujur saja, bahkan sampai beberapa hari ke depan pun perutnya pasti menolak diisi oleh sesuatu. Ingatan tentang Karan dan Nevia selalu membuatnya mual.

"Aku akan balik ke rumah buat beres-beres, Yah."

"Beres-beres?"

"Cepat atau lambat, kalau aku udah resmi cerai sama Mas Karan, harus pindah juga, kan? Maka sebaiknya harus dimulai dari sekarang aja."

Kiran mencoba tersenyum, namun Herman menanggapi dengan wajah trenyuh. Lelaki separuh baya itu hanya mampu mengangguk lirih sembari menepuk lembut bahu sang menantu.

"Bawa barang-barangmu ke sini. Kamu udah janji akan tetap jadi anak Ayah sama Ibu, kan? Kamu tinggal di sini, temani Ibu, Ki."

Jujur saja, Kiran tidak tahu apakah bisa melakukan hal itu atau tidak. Pulang ke rumah orangtua Karan, berarti ia masih harus sering bertemu suaminya —yang sebentar lagi akan menjadi mantan— itu lagi. Namun untuk sekarang, Kiran memang belum memiliki tujuan lain selain rumah mertuanya ini.

"Iya, Ayah. Nanti aku balik ke sini. Biar Ibu istirahat dan tenangin diri dulu."

Perempuan itu beranjak pergi setelah berpamitan. Dan sepenuhnya berharap bahwa Karan serta Nevia tidak pulang ke rumah saat ini.

*

Kiran duduk termenung di tepi ranjang dalam kamarnya. Memasuki rumah ini dengan status baru sebagai istri seorang Karan Raditya Gathfan, adalah hal paling berat yang pernah dirasa oleh Kiran dalam hidupnya. Namun, ia tidak pernah menyangka, bahwa akan keluar dari rumah ini dengan melepas status itu, ternyata sama beratnya. Perempuan manis itu menepis air mata yang hendak turun lagi membasahi pipi. Ia meraih koper di mana seluruh barang-barangnya yang tak seberapa sudah terkemas di dalam sana. Menyeret benda itu keluar dari kamar, melintasi ruangan-ruangan rumah yang hening.

"Bahkan kamu nggak ijinin aku pamitan, Mas," gumamnya kala melewati pintu kamar Karan yang tertutup rapat. "Berbahagialah selalu sesudah ini. Aku nggak akan lagi jadi penghalang jalanmu. Bangun rumah tangga yang selalu kamu impi-impikan bersama Nevia dan anak-anak kalian kelak. Aku pamit, terimakasih untuk semuanya."

Kiran melangkah keluar dengan menyeret kopernya. Untuk kali terakhir, memandang rumah yang sudah menjadi tempatnya berteduh selama beberapa waktu belakangan ini.

"Nggak apa-apa, ini bukan akhir dunia. Meski tanpa Mas Karan, hidup akan tetap berjalan sebagaimana mestinya." Berusaha menghibur dirinya sendiri, Kiran menaikkan kopernya ke bagian depan si motor matic kesayangan.

Menyusuri jalan raya tengah kota yang ramai sore hari ini. Kiran setengahnya berpikir, sebaiknya ia membelikan Soraya sesuatu. Mungkin makanan kesukaan ibu mertuanya itu. Tadi pagi Kiran pulang tanpa pamit dan Soraya dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Mungkin Ibu seneng kalo aku beli kue kesukaannya. Aku mampir bakery dulu kalo gitu." Kiran mengulas senyum. Menarik gas motor sedikit lebih kencang untuk menuju bakery langganan Soraya. "Tapi kenapa jalanan lebih macet dari biasanya, ya? Padahal ini bukan weekend."

Motor matic berwarna merah itu melaju perlahan. Sesekali meliuk di antara dua mobil besar. Motor memang efisien digunakan ketika jalan sedang macet begini. Nah, tapi sekali lagi, jalanan justru kian macet. Bahkan motor Kiran sama sekali tak bisa bergerak. Tampak kerumunan manusia di depan sana, membuat Kiran merasa agak aneh.

"Maaf, di depan ada apa, ya? Tumben, kok macet parah?" Perempuan itu mencoba bertanya dengan ramah kepada salah seorang lelaki pengguna jalan yang tengah melintas.

"Oh, ada kecelakaan, Mbak. Korbannya belum dievakuasi. Masih nunggu polisi," jawab lelaki itu sementara melangkah menjauh.

Hati Kiran terasa mencelos. Kecelakaan katanya? Ah, apakah keadaannya seburuk itu hingga harus menunggu petugas? Kiran membelokkan motornya ke depan sebuah toko dan memarkirkannya di sana. Ia lantas melangkah menuju kerumunan massa karena didera rasa penasaran. Perlahan tertangkap oleh pandangannya melalui sela-sela kerumunan, bodi mobil yang tampaknya sudah remuk redam. Kiran bergidik membayangkan bagaimana keadaan si penumpang jika mobilnya saja seperti itu. Rasa kian penasaran membuat Kiran turut merangsek maju pula. Ia merasa darahnya berdesir kala menyadari jenis mobil yang remuk itu adalah sebuah SUV berwarna hitam. Persis mobil milik Karan.

Lalu di bawah himpitan rongsokan baja yang terbalik, sepotong lengan terkulai lemas dengan bercak-bercak darah. Kepala Kiran mulai pening. Bahkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan itu, juga sama persis dengan milik Karan.

"Pe-permisi ...." Kiran kian merangsek mendekat. Jantungnya berpacu gila-gilaan saat ia menemukan serpihan ponsel di sela-sela pecahan kaca. Ia memungut ponsel yang separuh layarnya sudah hancur itu.

Dan ....

"Nggak!" Kiran menggeleng dengan tubuh tremor. Sebuah plat nomor kendaraan teronggok tak jauh dari lengan yang terkulai berdarah-darah tadi.

"MAS KARAN! YA TUHAN! MAS!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status