Share

11. Kecelakaan

**

"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"

Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya.

"Mbaknya kenal sama korban?"

"Keluarganya, ya?"

"Oh, syukurlah ada yang kenal."

"Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."

Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu.

"Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"

Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat berat untuk mengangkat rongsokan mobil yang terbalik itu.

"Mas Karan!" Lagi-lagi, Kiran menjerit histeris bagai orang lupa diri. "Mas Karan, bertahan, Mas! Tolong, jangan kenapa-kenapa! Tunggu polisi datang sebentar lagi, aku mohon! Aku mohon jangan kenapa-kenapa!"

Perempuan itu menjerit dan meraung. Berusaha menarik lengan yang terhimpit tak bergerak, namun orang-orang di sana menahan perbuatannya. Hingga beberapa saat kemudian ketika petugas kepolisian dan ambulans datang, Kiran sudah berada di ambang sadar dan tidak.

"Mbaknya ikut ke rumah sakit." Salah seorang petugas berkata dengan nada menuntut. Itu sebuah perintah mutlak, bukannya tawaran. Tanpa pikir panjang, Kiran melompat masuk ke dalam ambulans, di mana tubuh diam bersimbah darah itu telah dibaringkan.

"Ya Tuhan, Mas Karan ...." Kiran merintih pedih. Tangan gemetarnya mengusap kening lelaki tampan itu. "Mas Karan, bertahan sebentar ya, Mas. Aku di sini. Aku ada di sini, jangan khawatir."

Kiran genggam jemari pucat itu erat-erat. Segala doa ia ucapkan dalam hati. Memohon kepada Tuhan untuk mengulur waktu. Untuk memberi kesempatan kepada lelaki yang dicintainya ini. Kiran sepenuhnya melupakan apa yang telah terjadi pagi tadi. Tentang rencana perceraiannya dengan lelaki ini.

"S-sakit ...." rintih lemah itu terdengar dari sela-sela bibir Karan yang pucat. "T-tolong ... s-sakit ...."

"Sebentar lagi kita sampai." Kiran eratkan genggaman tangannya dengan air mata berderai, berjatuhan di atas wajah Karan. "Mas Karan, tolong bertahan buat aku. Buat Ayah dan Ibu."

Ambulans tiba di rumah sakit dan segera merapat ke depan gate UGD untuk mendapatkan perawatan dari dokter jaga di sana. Kiran merasa tubuhnya lunglai tak berdaya. Segalanya bagai mimpi buruk menjelang pagi.

"Anda keluarganya?" Dokter jaga bertanya kepada Kiran, yang hanya mampu dijawab dengan anggukan lemah dari gadis itu.

"Korban butuh transfusi segera. Tolong anda hubungi anggota keluarga lain yang memiliki golongan darah sama. Stok kami terbatas untuk golongan ini."

"Go-golongan darah?"

"A resus positif."

Jantung Kiran seperti mencelos saat mendengar hal ini. Keajaiban apa yang Tuhan kirimkan padanya? Ternyata golongan darahnya sama dengan Karan.

"S-saya A positif, Dok." Kiran berkata dengan napas tersengal. "Saya sehat, tidak memiliki penyakit atau kelainan apapun. Di mana ruang transfusinya?"

*

Segalanya terjadi seperti kelebatan mimpi buruk yang tidak bisa Kiran putar lagi dalam benak sebab terlalu mengerikan. Meski demikian, perempuan itu kali ini menghela napas dengan lega. Karan tidak terlambat mendapat pertolongan. Tubuhnya menerima dengan baik darah yang tadi Kiran transfusikan. Kini perempuan ayu itu duduk dengan lunglai di luar ruangan ICU. Menyesap sekotak susu yang diberikan petugas medis kepadanya.

"Oh, Ya Tuhan!" Ia melonjak kecil ketika baru saja menyadari sesuatu. "Ayah dan Ibu belum tau hal ini. Aku harus kasih tau segera." Ia meraba ponsel di saku celana jeans-nya. Ternyata sudah ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor yang dimaksud. Jelas saja, Kiran tadi pagi berjanji akan kembali, namun hingga malam begini, ia baru sempat menelepon.

"Kiran!" Suara Soraya berseru dari seberang sana. "Kiran, kamu nggak apa-apa, Nak? Kok belum balik ke sini? Nggak angkat telepon Ibu? Kamu nggak apa-apa, kan?"

Bagaimana Kiran menjelaskannya?

"I-Ibu ...." Suaranya kelewat serak dan bergetar. Tak mungkin Soraya tidak mengira jika ada yang terjadi. "Ibu, aku di rumah sakit."

"Rumah sakit?" Suara Soraya kembali berseru terkejut dari seberang sana. "Kiran! Ada apa? Kamu nggak apa-apa, kan? Kenapa ke rumah sakit? Bilang sama ibu, ada apa?"

Masih dengan menahan rasa pening di kepala, Kiran menarik napas panjang untuk mencoba menjelaskan. Ia berusaha memilih kata demi kata yang mungkin tidak akan terlalu mengejutkan bagi sang ibu mertua.

"Ibu sama Ayah bisa ke sini sekarang? Aku ada di rumah sakit Wisma Husada."

"Kiran, kamu kenapa, Nak?"

"Bukan aku, Bu. Tapi Mas Karan."

Seperti halnya Kiran, Soraya dan Herman pun datang dengan berlari-lari serta bersimbah air mata. Wanita paruh baya yang jelita itu segera melemparkan diri ke dalam pelukan sang menantu begitu tiba di tempat. Sepenuhnya lupa kepada pertengkarannya dengan sang putra pagi tadi.

"Karan gimana, Ki? Dia ada di mana sekarang? Ada apa sebenernya?" Herman yang bertanya sebab Soraya sudah kehilangan seluruh suaranya.

"M-Mas Karan masih di ruang ICU, Ayah. Belum boleh dijenguk sama siapapun."

"Ya Tuhan ...." Herman mendesah pelan. "Gimana bisa begini, Ki?"

"Aku nggak tau gimana kejadiannya, Yah. Aku dalam perjalanan balik ke rumah Ayah Ibu saat lihat mobilnya Mas Karan udah terbalik sampai hancur di tengah jalan tadi."

Kiran membersit ujung matanya. Bayangan mengerikan siang tadi kembali memenuhi benaknya. Sungguh Kiran bersyukur kepada Tuhan, Karan masih bisa diselamatkan. Padahal meninjau dari keadaan kendaraannya, sepertinya sudah tidak akan ada harapan.

"Dia bertengkar sama Ibu terakhir kali." Soraya terisak keras begitu kembali menemukan suaranya. "Ibu bentak Karan dan bilang nggak akan peduli lagi sama apapun yang terjadi sama hidupnya. Gimana kalo sampai Karan kenapa-kenapa, Ki? Ibu menyesal."

Itulah. Entah apa yang terbersit dalam benak Soraya ketika tengah dilamun emosi pagi tadi. Hingga Tuhan seketika menjatuhkan murka-Nya kepada sang putra. Tak ada yang bisa dilakukan Soraya kini selain menyesal.

"Kiran, apa Karan sama sekali nggak boleh dilihat? Ibu mau tau gimana keadaannya sekarang. Ibu mau lihat."

"Bisa dilihat dari balik kaca. Ibu yakin mau lihat?"

"Antar Ibu sekarang!"

Kiran menghela napas sebelum bergerak bangkit dan menuntun sang Ibu menuju ruangan ICU di mana Karan berada. Sesampainya di sana, Soraya kembali dikuasai tangis histeris. Menyaksikan sang putra yang terbaring lemah dengan mata memejam rapat serta berbagai benda penyambung kehidupan yang menempel di dadanya.

"Mas Karan ...." Kiran berbisik lirih seraya menyentuh permukaan kaca yang menghalanginya dengan lelaki itu. "Mas Karan ... buka matamu, Mas. Lihat kami di sini."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status