**
"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya."Mbaknya kenal sama korban?""Keluarganya, ya?""Oh, syukurlah ada yang kenal.""Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu."Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat berat untuk mengangkat rongsokan mobil yang terbalik itu."Mas Karan!" Lagi-lagi, Kiran menjerit histeris bagai orang lupa diri. "Mas Karan, bertahan, Mas! Tolong, jangan kenapa-kenapa! Tunggu polisi datang sebentar lagi, aku mohon! Aku mohon jangan kenapa-kenapa!"Perempuan itu menjerit dan meraung. Berusaha menarik lengan yang terhimpit tak bergerak, namun orang-orang di sana menahan perbuatannya. Hingga beberapa saat kemudian ketika petugas kepolisian dan ambulans datang, Kiran sudah berada di ambang sadar dan tidak."Mbaknya ikut ke rumah sakit." Salah seorang petugas berkata dengan nada menuntut. Itu sebuah perintah mutlak, bukannya tawaran. Tanpa pikir panjang, Kiran melompat masuk ke dalam ambulans, di mana tubuh diam bersimbah darah itu telah dibaringkan."Ya Tuhan, Mas Karan ...." Kiran merintih pedih. Tangan gemetarnya mengusap kening lelaki tampan itu. "Mas Karan, bertahan sebentar ya, Mas. Aku di sini. Aku ada di sini, jangan khawatir."Kiran genggam jemari pucat itu erat-erat. Segala doa ia ucapkan dalam hati. Memohon kepada Tuhan untuk mengulur waktu. Untuk memberi kesempatan kepada lelaki yang dicintainya ini. Kiran sepenuhnya melupakan apa yang telah terjadi pagi tadi. Tentang rencana perceraiannya dengan lelaki ini."S-sakit ...." rintih lemah itu terdengar dari sela-sela bibir Karan yang pucat. "T-tolong ... s-sakit ....""Sebentar lagi kita sampai." Kiran eratkan genggaman tangannya dengan air mata berderai, berjatuhan di atas wajah Karan. "Mas Karan, tolong bertahan buat aku. Buat Ayah dan Ibu."Ambulans tiba di rumah sakit dan segera merapat ke depan gate UGD untuk mendapatkan perawatan dari dokter jaga di sana. Kiran merasa tubuhnya lunglai tak berdaya. Segalanya bagai mimpi buruk menjelang pagi."Anda keluarganya?" Dokter jaga bertanya kepada Kiran, yang hanya mampu dijawab dengan anggukan lemah dari gadis itu."Korban butuh transfusi segera. Tolong anda hubungi anggota keluarga lain yang memiliki golongan darah sama. Stok kami terbatas untuk golongan ini.""Go-golongan darah?""A resus positif."Jantung Kiran seperti mencelos saat mendengar hal ini. Keajaiban apa yang Tuhan kirimkan padanya? Ternyata golongan darahnya sama dengan Karan."S-saya A positif, Dok." Kiran berkata dengan napas tersengal. "Saya sehat, tidak memiliki penyakit atau kelainan apapun. Di mana ruang transfusinya?"*Segalanya terjadi seperti kelebatan mimpi buruk yang tidak bisa Kiran putar lagi dalam benak sebab terlalu mengerikan. Meski demikian, perempuan itu kali ini menghela napas dengan lega. Karan tidak terlambat mendapat pertolongan. Tubuhnya menerima dengan baik darah yang tadi Kiran transfusikan. Kini perempuan ayu itu duduk dengan lunglai di luar ruangan ICU. Menyesap sekotak susu yang diberikan petugas medis kepadanya."Oh, Ya Tuhan!" Ia melonjak kecil ketika baru saja menyadari sesuatu. "Ayah dan Ibu belum tau hal ini. Aku harus kasih tau segera." Ia meraba ponsel di saku celana jeans-nya. Ternyata sudah ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor yang dimaksud. Jelas saja, Kiran tadi pagi berjanji akan kembali, namun hingga malam begini, ia baru sempat menelepon."Kiran!" Suara Soraya berseru dari seberang sana. "Kiran, kamu nggak apa-apa, Nak? Kok belum balik ke sini? Nggak angkat telepon Ibu? Kamu nggak apa-apa, kan?"Bagaimana Kiran menjelaskannya?"I-Ibu ...." Suaranya kelewat serak dan bergetar. Tak mungkin Soraya tidak mengira jika ada yang terjadi. "Ibu, aku di rumah sakit.""Rumah sakit?" Suara Soraya kembali berseru terkejut dari seberang sana. "Kiran! Ada apa? Kamu nggak apa-apa, kan? Kenapa ke rumah sakit? Bilang sama ibu, ada apa?"Masih dengan menahan rasa pening di kepala, Kiran menarik napas panjang untuk mencoba menjelaskan. Ia berusaha memilih kata demi kata yang mungkin tidak akan terlalu mengejutkan bagi sang ibu mertua."Ibu sama Ayah bisa ke sini sekarang? Aku ada di rumah sakit Wisma Husada.""Kiran, kamu kenapa, Nak?""Bukan aku, Bu. Tapi Mas Karan."Seperti halnya Kiran, Soraya dan Herman pun datang dengan berlari-lari serta bersimbah air mata. Wanita paruh baya yang jelita itu segera melemparkan diri ke dalam pelukan sang menantu begitu tiba di tempat. Sepenuhnya lupa kepada pertengkarannya dengan sang putra pagi tadi."Karan gimana, Ki? Dia ada di mana sekarang? Ada apa sebenernya?" Herman yang bertanya sebab Soraya sudah kehilangan seluruh suaranya."M-Mas Karan masih di ruang ICU, Ayah. Belum boleh dijenguk sama siapapun.""Ya Tuhan ...." Herman mendesah pelan. "Gimana bisa begini, Ki?""Aku nggak tau gimana kejadiannya, Yah. Aku dalam perjalanan balik ke rumah Ayah Ibu saat lihat mobilnya Mas Karan udah terbalik sampai hancur di tengah jalan tadi."Kiran membersit ujung matanya. Bayangan mengerikan siang tadi kembali memenuhi benaknya. Sungguh Kiran bersyukur kepada Tuhan, Karan masih bisa diselamatkan. Padahal meninjau dari keadaan kendaraannya, sepertinya sudah tidak akan ada harapan."Dia bertengkar sama Ibu terakhir kali." Soraya terisak keras begitu kembali menemukan suaranya. "Ibu bentak Karan dan bilang nggak akan peduli lagi sama apapun yang terjadi sama hidupnya. Gimana kalo sampai Karan kenapa-kenapa, Ki? Ibu menyesal."Itulah. Entah apa yang terbersit dalam benak Soraya ketika tengah dilamun emosi pagi tadi. Hingga Tuhan seketika menjatuhkan murka-Nya kepada sang putra. Tak ada yang bisa dilakukan Soraya kini selain menyesal."Kiran, apa Karan sama sekali nggak boleh dilihat? Ibu mau tau gimana keadaannya sekarang. Ibu mau lihat.""Bisa dilihat dari balik kaca. Ibu yakin mau lihat?""Antar Ibu sekarang!"Kiran menghela napas sebelum bergerak bangkit dan menuntun sang Ibu menuju ruangan ICU di mana Karan berada. Sesampainya di sana, Soraya kembali dikuasai tangis histeris. Menyaksikan sang putra yang terbaring lemah dengan mata memejam rapat serta berbagai benda penyambung kehidupan yang menempel di dadanya."Mas Karan ...." Kiran berbisik lirih seraya menyentuh permukaan kaca yang menghalanginya dengan lelaki itu. "Mas Karan ... buka matamu, Mas. Lihat kami di sini."*****"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki
**"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi
**"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d
**"Jadi, kenapa kamu bilang ini kamarku dan kamarmu ada di tempat lain? Bukankah seharusnya kita cuma punya satu?"Kiran terkesiap. Tidak mengira laki-laki yang sedang menatapnya dengan sorot mata polos itu akan bertanya demikian."Kiran? Kok diem? Apa aku salah tanya?" Karan berkata dengan nada khawatir kali ini. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajahnya jadi kekanakan."Aah ... sebenernya kita emang ... punya kamar sendiri-sendiri, Mas.""Kok begitu? Katamu kita ini suami istri? Kamu bohongin aku, kah?""Nggak, nggak. Ini agak ...." Bagaimana menjelaskannya? Kiran menilai kondisi suaminya saat ini belum memungkinkan untuk menerima informasi yang agak mengejutkan. Cerita pernikahan mereka, misalnya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, Mas. Karena kita masih berdua di rumah ini, maka aku sering pakai kamar itu buat kerja atau rebahan aja biar nggak ganggu istirahat kamu.""Bener begitu?"Kiran mengangguk dengan senyum merekah. Ia kembali melangkah mendekat dan menyusul Karan duduk di t
**Seperti inikah suasana malam pertama?Kiran menepuk pipinya sendiri, mengusir pemikiran konyol yang secara tiba-tiba menghinggapi benaknya. Bisa-bisanya ia terpikir malam pertama saat suaminya sedang dalam keadaan sakit begini."Kamu capek banget, kah?" Karan bertanya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Ini karena aku, kan? Kamu kurang istirahat karena ngerawat aku di rumah sakit berhari-hari."Itu benar. Kiran bisa merasakan kepalanya sering pusing sebab tekanan darahnya menurun. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tidur. Namun, perempuan itu tetap tersenyum kepada sang suami."Enggak, Mas. Nggak apa-apa. Itu udah kewajibanku ngerawat kamu. Biar kamu cepet sehat lagi.""Maaf aku banyak merepotkan ya, Ki. Aku beruntung kamu yang ada di sampingku saat keadaannya seperti ini."Oh, Ya Tuhan. Benarkah Karan Raditya Gathfan bisa berucap seperti itu? Kiran lagi-lagi tak bisa menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Sini, Ki. Lebih dekat, sini. Kenapa kamu kesannya yang jaga jarak ba
**Kiran memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Barangkali ia memang salah, karena dari awal kekasih Karan adalah Nevia, bukan dirinya. Namun, untuk saat ini, ia benar-benar tidak ingin mengizinkan perempuan itu untuk menemui suaminya lagi. Kiran belum lupa bagaimana Karan kesakitan saat terakhir kali Nevia menemuinya."Kiran? Kamu kok di sini?"Perempuan itu terhenyak saat sebuah suara terdengar memecah keheningan. Ia menoleh ke arah tangga, di mana sang suami sudah berdiri di sana dengan alis menukik turun."Kamu bilang nggak akan pindah kamar, kan? Kamu bilang akan temenin aku?""Aku cuma bikin minuman hangat, Mas. Nggak ke mana-mana, kok." Kiran tersenyum, ia menunjuk cangkir cokelat panas yang berada di tangannya."Tengah malam begini?""Sebenarnya, aku memang lagi nggak bisa tidur.""Apa karena aku? Apa aku mendengkur atau sesuatu?"Kiran terpaksa tertawa kecil. Ini sungguh hal baru. Menghadapi Karan yang biasanya sedingin es kutub, kini menjadi cerewet dan polos."Bukan. Seb
**"Karan!""Nevia, please!" Kiran masih sempat mencegah ketika perempuan cantik itu hendak merangsek masuk sebab menyaksikan Karan kesakitan. "Sebaiknya kamu pergi aja, Nev.""Nggak bisa! Aku mau lihat Karan, minggir kamu!" Tapi, Nevia menyentak keras. Ia nekat mendorong tubuh Kiran dan memaksa masuk. Menghampiri lelaki yang masih terhuyung sembari memegangi kepalanya di kaki tangga."Karan, kamu kenapa? Ini aku, Nevia. Maaf, aku nggak bisa temuin kamu. Ak–""Kiran ...."Kata-kata Nevia lindap begitu saja sebelum selesai. Kedua bola matanya bergetar ketika lelaki yang ia cintai justru menyebut nama perempuan lain dengan sangat jelas saat ia berada tepat dihadapannya."Kar–""Kiran, kepalaku sakit lagi. Tolong ...." Lelaki itu mengulurkan tangan kepada Kiran dan berusaha menggapainya. Sepenuhnya mengabaikan Nevia yang masih terbelalak tidak percaya."Nev, sorry, tapi ini dua kalinya kamu lihat sendiri keadaan Karan. Jadi please, sebaiknya kamu pergi aja.""Jahat!" Nevia berseru keras,
**"Apa dia orang jahat, Ki? Kenapa kepalaku selalu sakit kalau aku lihat dia?"Kiran terkesiap lagi. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Karena sebenarnya pun, Kiran tidak tahu sudah sejauh mana hubungan antara Karan dengan Nevia. Segala sesuatu tentang lelaki ini buram seperti bayang-bayang. Sekarang Kiran menyadari, betapa ia tidak mengenal suaminya sendiri."Dia itu ... teman dekat kamu." Setelah berbagai pertimbangan panjang tanpa suara, akhirnya Kiran memutuskan menjawab."Teman dekat?""Benar, Mas.""Kok bisa teman dekat? Sepertinya nggak mungkin, ah. Bahkan kepalaku sakit kalau lihat dia.""Itu–"Dering ponsel yang berbunyi di kejauhan menyelamatkan situasi. Kiran bergegas beranjak dari kursinya untuk menghampiri benda pipih di atas meja di seberang ruangan itu. Setelah bercakap-cakap beberapa saat, ia kembali ke luar balkon di mana sang suami sudah menunggu."Siapa yang nelepon, Ki?""Dokter Frans. Aku beneran lupa kalau hari ini jadwal check-up kamu, Mas. Siap-siap