Share

11. Kecelakaan

last update Last Updated: 2023-06-04 20:38:15

**

"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"

Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya.

"Mbaknya kenal sama korban?"

"Keluarganya, ya?"

"Oh, syukurlah ada yang kenal."

"Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."

Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu.

"Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"

Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat berat untuk mengangkat rongsokan mobil yang terbalik itu.

"Mas Karan!" Lagi-lagi, Kiran menjerit histeris bagai orang lupa diri. "Mas Karan, bertahan, Mas! Tolong, jangan kenapa-kenapa! Tunggu polisi datang sebentar lagi, aku mohon! Aku mohon jangan kenapa-kenapa!"

Perempuan itu menjerit dan meraung. Berusaha menarik lengan yang terhimpit tak bergerak, namun orang-orang di sana menahan perbuatannya. Hingga beberapa saat kemudian ketika petugas kepolisian dan ambulans datang, Kiran sudah berada di ambang sadar dan tidak.

"Mbaknya ikut ke rumah sakit." Salah seorang petugas berkata dengan nada menuntut. Itu sebuah perintah mutlak, bukannya tawaran. Tanpa pikir panjang, Kiran melompat masuk ke dalam ambulans, di mana tubuh diam bersimbah darah itu telah dibaringkan.

"Ya Tuhan, Mas Karan ...." Kiran merintih pedih. Tangan gemetarnya mengusap kening lelaki tampan itu. "Mas Karan, bertahan sebentar ya, Mas. Aku di sini. Aku ada di sini, jangan khawatir."

Kiran genggam jemari pucat itu erat-erat. Segala doa ia ucapkan dalam hati. Memohon kepada Tuhan untuk mengulur waktu. Untuk memberi kesempatan kepada lelaki yang dicintainya ini. Kiran sepenuhnya melupakan apa yang telah terjadi pagi tadi. Tentang rencana perceraiannya dengan lelaki ini.

"S-sakit ...." rintih lemah itu terdengar dari sela-sela bibir Karan yang pucat. "T-tolong ... s-sakit ...."

"Sebentar lagi kita sampai." Kiran eratkan genggaman tangannya dengan air mata berderai, berjatuhan di atas wajah Karan. "Mas Karan, tolong bertahan buat aku. Buat Ayah dan Ibu."

Ambulans tiba di rumah sakit dan segera merapat ke depan gate UGD untuk mendapatkan perawatan dari dokter jaga di sana. Kiran merasa tubuhnya lunglai tak berdaya. Segalanya bagai mimpi buruk menjelang pagi.

"Anda keluarganya?" Dokter jaga bertanya kepada Kiran, yang hanya mampu dijawab dengan anggukan lemah dari gadis itu.

"Korban butuh transfusi segera. Tolong anda hubungi anggota keluarga lain yang memiliki golongan darah sama. Stok kami terbatas untuk golongan ini."

"Go-golongan darah?"

"A resus positif."

Jantung Kiran seperti mencelos saat mendengar hal ini. Keajaiban apa yang Tuhan kirimkan padanya? Ternyata golongan darahnya sama dengan Karan.

"S-saya A positif, Dok." Kiran berkata dengan napas tersengal. "Saya sehat, tidak memiliki penyakit atau kelainan apapun. Di mana ruang transfusinya?"

*

Segalanya terjadi seperti kelebatan mimpi buruk yang tidak bisa Kiran putar lagi dalam benak sebab terlalu mengerikan. Meski demikian, perempuan itu kali ini menghela napas dengan lega. Karan tidak terlambat mendapat pertolongan. Tubuhnya menerima dengan baik darah yang tadi Kiran transfusikan. Kini perempuan ayu itu duduk dengan lunglai di luar ruangan ICU. Menyesap sekotak susu yang diberikan petugas medis kepadanya.

"Oh, Ya Tuhan!" Ia melonjak kecil ketika baru saja menyadari sesuatu. "Ayah dan Ibu belum tau hal ini. Aku harus kasih tau segera." Ia meraba ponsel di saku celana jeans-nya. Ternyata sudah ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor yang dimaksud. Jelas saja, Kiran tadi pagi berjanji akan kembali, namun hingga malam begini, ia baru sempat menelepon.

"Kiran!" Suara Soraya berseru dari seberang sana. "Kiran, kamu nggak apa-apa, Nak? Kok belum balik ke sini? Nggak angkat telepon Ibu? Kamu nggak apa-apa, kan?"

Bagaimana Kiran menjelaskannya?

"I-Ibu ...." Suaranya kelewat serak dan bergetar. Tak mungkin Soraya tidak mengira jika ada yang terjadi. "Ibu, aku di rumah sakit."

"Rumah sakit?" Suara Soraya kembali berseru terkejut dari seberang sana. "Kiran! Ada apa? Kamu nggak apa-apa, kan? Kenapa ke rumah sakit? Bilang sama ibu, ada apa?"

Masih dengan menahan rasa pening di kepala, Kiran menarik napas panjang untuk mencoba menjelaskan. Ia berusaha memilih kata demi kata yang mungkin tidak akan terlalu mengejutkan bagi sang ibu mertua.

"Ibu sama Ayah bisa ke sini sekarang? Aku ada di rumah sakit Wisma Husada."

"Kiran, kamu kenapa, Nak?"

"Bukan aku, Bu. Tapi Mas Karan."

Seperti halnya Kiran, Soraya dan Herman pun datang dengan berlari-lari serta bersimbah air mata. Wanita paruh baya yang jelita itu segera melemparkan diri ke dalam pelukan sang menantu begitu tiba di tempat. Sepenuhnya lupa kepada pertengkarannya dengan sang putra pagi tadi.

"Karan gimana, Ki? Dia ada di mana sekarang? Ada apa sebenernya?" Herman yang bertanya sebab Soraya sudah kehilangan seluruh suaranya.

"M-Mas Karan masih di ruang ICU, Ayah. Belum boleh dijenguk sama siapapun."

"Ya Tuhan ...." Herman mendesah pelan. "Gimana bisa begini, Ki?"

"Aku nggak tau gimana kejadiannya, Yah. Aku dalam perjalanan balik ke rumah Ayah Ibu saat lihat mobilnya Mas Karan udah terbalik sampai hancur di tengah jalan tadi."

Kiran membersit ujung matanya. Bayangan mengerikan siang tadi kembali memenuhi benaknya. Sungguh Kiran bersyukur kepada Tuhan, Karan masih bisa diselamatkan. Padahal meninjau dari keadaan kendaraannya, sepertinya sudah tidak akan ada harapan.

"Dia bertengkar sama Ibu terakhir kali." Soraya terisak keras begitu kembali menemukan suaranya. "Ibu bentak Karan dan bilang nggak akan peduli lagi sama apapun yang terjadi sama hidupnya. Gimana kalo sampai Karan kenapa-kenapa, Ki? Ibu menyesal."

Itulah. Entah apa yang terbersit dalam benak Soraya ketika tengah dilamun emosi pagi tadi. Hingga Tuhan seketika menjatuhkan murka-Nya kepada sang putra. Tak ada yang bisa dilakukan Soraya kini selain menyesal.

"Kiran, apa Karan sama sekali nggak boleh dilihat? Ibu mau tau gimana keadaannya sekarang. Ibu mau lihat."

"Bisa dilihat dari balik kaca. Ibu yakin mau lihat?"

"Antar Ibu sekarang!"

Kiran menghela napas sebelum bergerak bangkit dan menuntun sang Ibu menuju ruangan ICU di mana Karan berada. Sesampainya di sana, Soraya kembali dikuasai tangis histeris. Menyaksikan sang putra yang terbaring lemah dengan mata memejam rapat serta berbagai benda penyambung kehidupan yang menempel di dadanya.

"Mas Karan ...." Kiran berbisik lirih seraya menyentuh permukaan kaca yang menghalanginya dengan lelaki itu. "Mas Karan ... buka matamu, Mas. Lihat kami di sini."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 4

    **Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 3

    **Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 2

    **“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 1

    **Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   102. Kembali Bersamamu

    **Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   101. Melamar

    **“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status