Share

5. Menyusul ke Kantor

**

Kiran memandang gedung besar di seberang jalan dengan sedikit takjub. Tidak mengira bahwa suaminya bekerja di tempat seperti ini.

"Ini bener kan alamatnya? Ibu nggak salah kasih alamat kan, ya?" Perempuan itu bergumam kepada dirinya sendiri sementara memandang sekali lagi layar ponselnya untuk memastikan. "Ah, kayaknya sih bener yang ini kantornya Mas Karan. Oke, mungkin aku harus tanya aja sama sekuriti yang jaga."

Pada titik ini, Kiran merasa benar-benar tidak mengenal suaminya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa menjalin pernikahan dengan lelaki itu, sementara di mana ia bekerja saja tidak pernah tahu. Sedikit ragu, akhirnya ia tetap melajukan motor matic-nya menyeberang jalan dan berniat memasuki pintu gerbang yang dijaga petugas sekuriti.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Lelaki berseragam berusia separuh baya itu bertanya dengan ramah ketika Kiran tiba di sana.

"Oh ... saya bisa ketemu sama Mas Karan nggak, Pak?" Kiran menjawab dengan mengulas senyum tipis.

"Mas Karan?" Sekuriti itu tampak heran.

"I-iya. Mas Karan."

"Anda ini siapanya, kalau boleh tahu?"

Ugh. Bagaimana ini? Sebenarnya, tujuan Kiran kemari hanya untuk mengantarkan ponsel sang suami yang tadinya tertinggal di wastafel kamar mandi. Tidak bisakah petugas keamanan ini membiarkan saja dirinya masuk tanpa bertanya begini-begitu? Kiran bisa saja menjawab dengan jujur bahwa ia adalah istri Karan, namun ia punya firasat bahwa lelaki itu tidak akan suka jika ia berbuat demikian.

"Mbak, kok malah diam?" Si sekuriti melambaikan tangan di depan wajah Kiran yang tengah melamun. "Saya tanya, Mbak ini siapanya Pak Karan? Kalau mau ketemu, apakah sudah ada janji?"

"Harus pakai janji dulu, kah?"

Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Pak Karan orangnya sibuk, Mbak. Maaf, tapi kalau nggak pakai janji ketemu, biasanya ya nggak bisa ketemu."

"Saya cuma mau ketemu sebentar, kok. Nggak akan lama sampai harus ganggu kerjanya." Lama kelamaan, habis juga kesabaran Kiran sebab terus diperlakukan demikian.

"Bisa tinggalkan pesan lewat saya aja. Nanti saya sampaikan." Tapi pria sekuriti itu tetap bersikukuh.

Kiran sudah nyaris menyela, saat kemudian ia melihat objek yang sedang diperdebatkan itu berjalan di sisi gedung kantor. Nah, sudah nyaris berseru memanggil nama Karan pula, sebelum terlihat olehnya bahwa suaminya ternyata tengah berjalan bersama seorang perempuan.

Seorang perempuan.

Kiran tertegun. Bukan karena apapun, tapi ia melihat bahwa lelaki itu sedang tertawa. Tertawa lepas hingga dua lesung pipit yang manis menyeruak di kedua sisi pipinya. Membuat Kiran lupa bagaimana caranya berkedip.

"Mbak!" Tapi pria sekuriti itu membentak dengan semena-mena, membuat Kiran terpaksa mengalihkan pandangan. "Kalau nggak ada kepentingan, silakan meninggalkan tempat ini aja. Udah saya bilang kan, Pak Karan nggak bisa ditemui tanpa janji dulu.

"Itu orangnya di sana!" Kiran menunjuk parkiran gedung sekarang. Kebetulan lelaki rupawan itu sedang menuju ke sana. "Saya cuma mau ketemu bentar aja, kok."

Sebelum sempat ada yang mencegah, Kiran mendorong terbuka pintu gerbang dan berlari masuk. Membuat kaget si sekuriti, pun Karan yang kini sudah menyadari kedatangannya. Wajah lelaki itu kelihatan sangat terkejut.

"Mas!" seru Kiran dengan napas tersengal. "In-ini, aku mau anterin hape kamu. Tadi ketinggalan di kamar mandi."

Karan menatap dengan kedua mata membola dan raut wajah sulit diartikan, sementara perempuan di sampingnya —yang demi Tuhan, cantik sekali— melemparkan pandangan penuh tanya.

"Mas, ini hape kamu." Kiran mengulurkan benda pipih hitam mengkilap itu. "Aku pikir benda penting begini pasti repot kalo sampai ketinggalan, jadi aku anter aja ke sini. Tadi aku tanya alamat kantor kamu sama Ibu."

"Siapa, Kar?" Perempuan cantik di samping Karan itu bertanya, membuat yang bersangkutan berdehem salah tingkah.

"Oh, ini ... cuma saudaraku." Karan mengambil ponsel di tangan Kiran secepat kilat. Kemudian menarik tangan si perempuan untuk kembali berjalan menjauh tanpa sedikitpun berniat mengucap terimakasih.

Menyisakan Kiran yang lagi-lagi hanya bisa tertegun di tempat. Rasa nyeri pelan-pelan mulai merambati hati.

Saudara.

Rupanya Karan enggan mengaku kepada orang lain bahwa dirinya sudah menikah dan Kiran adalah istrinya.

"Kalau cuma mau kasih barang kan bisa sama saya. Takut nggak saya sampaikan apa gimana?" Pria sekuriti itu ternyata sudah menyusul ke samping Kiran dan berkata dengan kesal. "Udah dibilang, Pak Karan itu orangnya sibuk dan nggak bisa sembarang nerima tamu karena beliau pimpinan di sini. Lain kali jangan nekat begitu, dong!"

Kiran terhenyak mendengar penuturan pria di sampingnya. Pimpinan, katanya? Itu pun Kiran juga tidak tahu. Ah, bagaimana bisa tahu, berkomunikasi dengan suaminya saja ia tak pernah.

"Sekarang kalau Mbaknya udah nggak ada kepentingan, sebaiknya tinggalkan tempat ini. Takutnya ganggu kerja orang."

Dan Kiran sudah terlalu kalut bahkan untuk sekedar merasa tersinggung dengan kata-kata barusan.

*

Pukul delapan malam. Kiran menengok jam dinding saat mendengar suara deru mesin mobil memasuki garasi. Selalu pada waktu sekian, padahal jam pulang kerja seharusnya sudah sekitar tiga atau empat jam yang lalu. Kiran berdiri menyambut saat Karan membuka pintu.

"Mas–"

"Siapa yang suruh kamu dateng ke kantor?"

Terkesiap, Kiran merasa separuh tubuhnya berubah menjadi batu ketika kata-kata tajam itu yang pertama terlontar. Karan sedang menatapnya dengan sorot mata paling dingin yang pernah Kiran lihat.

"Mas, aku–"

"Aku bilang jangan pernah mengganggu kehidupan pribadiku. Kamu malah dateng ke kantor. Maksudmu apa, ha?"

"Mas, aku cuma mau anter ponselmu, nggak ada maksud apa-apa."

"Nggak ada maksud apa-apa, tapi kamu muncul di hadapan rekan-rekan kerjaku. Kalau mereka tanya seperti tadi, kamu pikir aku harus jawab gimana, ha? Mana kamu teriak-teriak kalau ponselku ketinggalan di kamar mandi, kamu seneng kalo orang mikir yang aneh-aneh tentang aku, begitu?"

Kiran merasa hatinya terbuat dari kaca dan Karan melemparnya dengan batu hingga hancur berkeping-keping. Sungguh, ini keterlaluan.

"Kamu tinggal bilang kalau aku saudaramu. Bukannya tadi kamu juga bilang begitu dan temen kamu langsung percaya?"

"Aku beruntung karena bisa mikir cepet! Aku nggak mau tau, pokoknya ini terakhir kali kamu muncul di hadapan rekan kantor aku. Jangan cari gara-gara, Kiran! Berapa kali aku bilang, jangan repot-repot urusin urusanku, aku nggak butuh!" Lelaki itu berkata dengan penuh penekanan pada ujung kalimatnya sebelum melangkah pergi.

"Mas, aku cuma–"

Blam!

Kiran memejamkan mata sesaat kala suara bantingan pintu yang keras menenggelamkan kata-katanya. Pelan-pelan perempuan itu kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa.

"Nggak apa-apa." Kiran berbisik kepada dirinya sendiri. "Nggak apa-apa, kita bertahan sedikit lagi, Kiran. Hanya harus sabar dan bertahan sedikit lagi. Kasihan Ayah sama Ibu kalau aku berhenti di sini."

Dan lebih daripada itu, Kiran selalu teringat Bapak dan Mamaknya kala dirinya nyaris menyerah.

"Besok, mungkin Mas Karan udah akan berubah."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status