Gadis yang baru saja menamatkan masa Sarjana Bisnisnya satu bulan yang lalu menatap kedua wanita di depannya. Mereka asik dengan isi dari sekian banyak paper bag yang mereka bawa dari pusat pembelanjaan hits di Kota Jakarta. Hal seperti ini sudah biasa atau bahkan menjadi rutinitas mereka. Aruna hanya menatap jengah Kakak dan Ibu sambungnya.
Aruna Brawista, biasa dipanggil Ana. Usianya 21 tahun dengan rambut pendek berwarna coklat dan sedikit cat blonde. Tinggi badan yang terbilang tinggi di Indonesia, yaitu 170 cm.
Postur tubuh yang ideal, tak ayal ia menjadi gandrungan bagi lelaki. Wajah cantik sudah menjadi anugerah dari Tuhan, sekalipun tanpa polesan make up. Ya namanya juga cantik dari lahir, diapain aja tetep cantik.
Satu lagi anugerah yang menjadi nilai plus untuknya, bahkan ini menjadi anugerah yang banyak sekali gadis di luar sana inginkan. Selain lahir cantik, ia juga lahir dari kalangan keluarga berada. Brawista Company, perusahaan ternama di Indonesia bahkan sudah mendirikan cabang di beberapa negara luar. Perusahaan yang bergerak di bidang investasi ini merupakan perusahaan turun temurun dari Keluarga Brawista.
Bana Brawista, ayah dari Aruna yang sekarang memimpin perusahaan itu. Usianya sudah tidak muda lagi, jadinya anaknya yang harus menggantikannya. Akan tetapi, kendali yang seharusnya diturunkan untuk Aruna teralih oleh Kakaknya. Luniza Brawista, kakak tiri Aruna.
Sebenarnya Aruna tidak masalah akan hal itu. Toh ia juga ingin berdiri dengan kakinya sendiri, bukan dari hasil turun temurun. Mungkin, bagi sebagian orang yang memang harus ditakdirkan seperti Aruna terpaksa melakukan itu untuk memenuhi keinginan orang tuanya. Akan tetapi, tidakkah menjadi diri sendiri itu lebih menyenangkan.
Aruna berdiri dari sofa di ruang keluarga. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Tak lama pintu terbuka, menampilkan sesosok lelaki berusia 48 tahun. Lelaki yang disapa Ayah itu mendudukkan dirinya di sofa bekas Aruna duduki tadi.
Aruna datang dengan dua gelas air putih di tangannya. Menyodorkan yang satunya kepada Bana.
"Kalian berdua bisa tidak kalau sehari saja tidak foya-foya," ucap Bana menatap istri dan anak pertamanya.
"Oh come on, uang itu digunakan untuk membeli bukan hanya disimpan saja. Memangnya mau dimuseumkan?" sahut Muning, istri sekaligus ibu sambung Aruna. Ia menatap takjub baju-baju di depannya, sesekali menempelkannya di badannya.
"Ayah, selagi bisa foya-foya kenapa harus nunda-nunda," sambung Luniza atau Liza.
Liza menyodorkan beberapa paper bag ke Aruna. "Pakailah! Jangan hanya memakai baju itu-itu saja, kamu ini anak orang kaya. Jangan berlagak kayak anak orang susah," ucapnya.
Aruna menerimanya dan mengendikan bahunya sembari menatap Ayahnya. Bana menghembuskan napas pasrah. Sebuah tangan lentik nan putih mengelus lembut punggung tangan yang sudah mulai menua itu. Aruna tersenyum menenangkan Ayahnya.
Drtt...drtt...
Bana mengambil ponselnya di meja dan menerima sambungan telepon itu. Inilah awal dari semuanya. Awal dari kontrak pernikahan sebagai pelunasan utang.
***
Kehidupan mewah dan selalu bergelimang harta tidak akan sepenuhnya mendampingi. Ada kalanya Tuhan menguji dengan merampas itu semua, ya 'kan semua yang ada di dunia ini milik Tuhan. Manusia? Hanya penumpang layaknya penumpang bus.
Bana menatap putri kandungnya sendu. Jujur ia tidak ingin mengorbankan anaknya demi hal seperti ini. Perusahaannya mengalami masalah finansial, membuatnya berada di ujung tanduk. Sedangkan, tagihan kredit melembung tinggi akibat telat membayar yang membuat bunganya semakin tinggi.
Beginilah jika hanya foya-foya yang diutamakan, sampai lupa mengurus keuangan untuk ke depan. Sampai akhirnya Bana meminta bantuan sahabatnya untuk memberikan pinjaman. Jika harus meminjam bank, Bana takut kondisinya semakin memburuk. Pinjaman itu bukan jumlah kecil, sangat besar.
Ini membuat Woni, sahabat Bana meminta kesepakatan dengan menikahkan salah satu anaknya dengan anak tunggalnya. Ini semata-mata sebagai jaminan dan pelonggaran pembayaran, atau bahkan pelunasan? Bisnis tetaplah bisnis, tidak ada kata sahabat atau apapun itu. Ya begitulah dunia yang banyak diidamkan orang-orang.
"Ayah, Runa ngga pa-pa kok. 'Kan ini juga demi keluarga kita. Rina ngga mungkin biarin Ayah dipenjara karena tidak bisa membayar karyawan dan utang perusahaan. Selagi Runa bisa bantu ini Runa akan lakukan, toh Runa juga belum mendapat pekerjaan. Tabungan Runa juga hanya seperempat dari utangnya," ucap Aruna dan mengelus genggaman Ayahnya.
"Seharusnya Ayah bisa bertanggung jawab. Seharusnyaㅡ"
"Sstt, anggap aja ini cobaan buat kita. 'Kan kalau kita bisa lolos kita bisa naik kelas. Namanya kehidupan tidak selamanya mulus, Yah. Jadi, kita nikmatin saja dan selesaikan secara perlahan, tapi pasti."
Bana memeluk Aruna erat. Seharusnya Liza yang menikah, tapi Liza menolak dengan janji ia akan membantu memperbaiki keadaan. Toh ia juga sudah memiliki kekasih. Sampai pada akhirnya ia menunjuk Aruna.
"Aruna saja, ia 'kan baru tidak punya kekasih dan belum dapat pekerjaan. Ia juga baru lulus, jadi sulit untuk membantu memperbaiki finansial nantinya. Ia belum ada pengalaman," ucap Liza.
"Iya sayang, Aruna itu 'kan bungsu. Jadi yaa, harus nurut sama yang lebih tua. Setidaknya membantu lah," timpal Muning.
Aruna yang duduk di samping Ayahnya hanya diam. Sakit jujur mendengar perkataan Kakak dan Ibunya, tapi Aruna ada benarnya juga. Jika Aruna memulai pun butuh waktu, itupun tidak instan. Takutnya hal yang tidak Aruna inginkan terjadi.
"Aku berkorban demi Ayahku, karena ia selalu berkorban demi kebahagiaanku."
"Maafkan Ayah," lirih Bana dan mengusap punggung putrinya.
"Aruna yang seharusnya minta maaf karena tidak bisa bantu Ayah."
***
Aruna menatap pantulan dirinya di cermin. Inikah takdirnya? Lalu, bagaimana dengan misi kesuksesannya? Terbuang sia-sia? Entahlah.
Liza masuk dan membawakan sekotak perhiasan untuk Aruna. Ia berdiri di belakang adik tirinya. "Kamu selalu cantik, Ana. Bahkan terkadang aku iri denganmu," ucapnya dan mengelus pundak Aruna yang tidak terbalut apapun.
Gaun Sandrina berwarna coklat susu dengan aksen berlian kecil di pinggang membuat Aruna benar-benar menawan. Kaki jenjangnya terekspos penuh dan kakinya terbalut high heels berwarna putih berlian. Rambut yang tertata rapi dengan satu hiasan rambut di samping kiri berbentuk bunga. Liza membuka kotak itu dan memakaikan kalung tanpa motif di leher putih Aruna.
Aruna menatap wajah Liza di cermin. Sejutek apapun Kakaknya, Aruna tahu jika Liza menyayanginya. Hanya saja, ia terpengaruh oleh egonya. Selesai memasangkan perhiasan di tubuh adiknya, Liza menatap wajah Aruna lamat-lamat.
"Sorry," lirihnya sembari mengelus lembut pipi Aruna.
Aruna tersenyum. "Bisakah Kakak berjanji untuk menjaga Ayah?' tanya Aruna.
Liza mengangguk. "Aku akan menjaga Ayah dan memperbaiki keadaan seperti semula," sahutnya.
Aruna memeluk Liza dan mengucapkan kalimat yang tidak akan pernah Liza lupakan. "Kakak adalah Kakak terbaik buat Ana. Sekalipun Kakak tidak pernah menunjukkannya, tapi Aruna bisa merasakan jika Kakak menyayangiku."
"Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, maaf nih saya ganggu waktu nontonnya sebentar. Begini, ini ada Bapak sama Ibu dari kota yang mau gabung nonton sekaligus traktir makan buat semua yang ada di sini," ucap Ibu penjaga rumah makan. Aruna dan Jeso tersenyum menyapa seluruh orang yang bersorak bahagia di sana. "Silahkan Pak, Bu. Mari sini duduk, masih ada tikar kosong kok," ucap seorang lelaki paruh baya dengan peci di kepalanya. Jeso mengangguk dan menggandeng Aruna menuju tempat dimana sebuah tikar yang sudah terpasang sempurna, tepat di bawah pohon. "Maklum Pak, Bu, seadanya," timpal seorang wanita dengan hijab panjang warna pink. "Tidak apa-apa, Bu. Diterima dengan baik saja sudah cukup kok," jawab Aruna sopan. "Silahkan dinikmati, Pak, Bu." "Terima kasih, Bu." "Kalau perlu sesuatu jangan sungkan ya, Pak. Saya ketua RT di sini, nama saya Pak Samsul," ucap lelaki paruh baya tadi. Jeso menyambut
"Mm." Aruna membasahi bibirnya. "Sahabatku kerja di sana, Kak." Della membola. "Serius?" Aruna mengangguk. "Wahh, sepertinya kita punya misi penting Aruna." Baru saja hendak bertanya, makanan sudah tiba di meja mereka. Ternyata Della memesan cukup banyak. "Hehe, maaf ya. Aku kalau makan emang banyak," ucap Della diakhiri senyum lebarnya. Aruna tersenyum maklum dan mengangguk. "Santai aja, Kak." "Aku makan dulu, sambung setelah makan. Okay?" Aruna mengangguk dan menyesap kopinya. Satu hal yang Aruna kagum dari Della, sekalipun ia makan banyak. Akan tetapi, tubuhnya tetap ternyata langsing. Bisa Aruna pastikan ini akan membuat iri banyak orang di luar sana, padahal jika dipikir lagi pasti Della juga ingin gemuk. Namun, ia tidak bisa. Persis seperti Aruna. Mau digimanain lagi, ya udah ini dia. Menerima itu lebih baik, tidak usah iri dengan yang lain. "Kamu beneran ngga mau pesan maka
"Je, may I come in?" tanya Aruna. Jeso yang tengah berbaring menoleh ke belakang. "Tumben izin, biasanya asal nyelonong aja," sahut Jeso. Aruna berdecak dan berjalan ke arah ranjang. "Aku boleh ngomong sesuatu ngga?" tanya Aluna setelah duduk di tepi ranjang. Jeso berbalik dan memundurkan tubuhnya, menepuk sisi depannya yang kosong mengisyaratkan agar Aruna tidur di sampingnya. Aruna menurut dan membaringkan tubuhnya ke sisi kiri Jeso. "Mau ngomong apa?" tanya Jeso. Aruna memiringkan tubuhnya menghadap Jeso. "Kamu keberatan ngga--" "Ngga." Aluna mencapit hidung Jeso dengan kedua jarinya. "Aku belum selesai ngomong!" kesal Aruna. Jeso tertawa. "Keberatan soal apa? Kamu di atas aku? Ngga masalah." Aluna berdecak. "Pikiran kamu tuh sekali-kali jangan sex bisa ngga sih?" "Ngga bisa, 'kan aku cowok." "Ya tahu, tapi ya jangan selalu soal itu lah
Aruna mengintip dari balik tembok, di sana Jeso dan Ardis tengah bercengkrama sebentar sebelum Jeso pergi. Saat Jeso melintas di depannya, sontak Aruna langsung menatap ke sisi kanan. Tepatnya ke arah kaca dan mencoba menutupi wajahnya dengan ponsel. Merasa sudah aman, Aruna mengelus dadanya dan menghela napas lega. Baru saja hendak menghampiri Ardis, Aruna kembali berhenti dan bersembunyi. "Saya sudah menandatangani kontrak tersebut, jadi kita jalankan rencananya," ucap Ardis kepada seseorang di seberang sana. "Rencana? Kontrak?" beo Aruna di balik tembok. "Apa ini ada hubungannya sama perusahaan Jeso?" lanjut Aruna. Aruna yang terus berpikir tanpa sadar Ardis mengerutkan keningnya dan menatapnya dari samping. "Kamu mau di sini terus atau kembali ke kantor?" tanya Ardis dingin. Aruna tersentak dan menoleh ke arah kiri. "Iya, Pak. Maaf." "Minta maaf mulu, lebaran masih lama," sahut Ardis pelan.&n
Aruna kembali menatap minumannya setelah memastikan Jeso tidak berulah dengan Ayahnya. Ya, memang lelaki itu tidak seburuk itu. Ah, Aruna hanya takut lelaki itu bisa berbicara aneh-aneh. Bukan soal kontrak mereka, tapi ya mungkin hal lain. Entahlah lupakan, hanya kekhawatiran sesaat. Saking asiknya menatap cairan dalam gelas, Aruna tidak menyadari ada seseorang berdiri di sampingnya menandinginya dengan kening berkerut. "What's happen with you, mu daughter-in-law," ucap Erni. Aruna langsung teralih dan tersenyum. "Nothing, Mam. Mama sama Ayah?" Erni mengangguk. "Dia sedang bernostalgia dengan anaknya." Aruna membalikkan badan, tak jauh dari sana Jeso sedang bercengkrama dengan Woni. "Ah, gimana kabar kalian?" tanya Erni sembari mengambil beberapa buah dessert di sana. Aruna kembali menatap Erni dan tersenyum. "Everything okay, Mam." Erni tersenyum dan mengangguk senang. "Mama tahu kamu bisa
Aruna terdiam. Parfum Ardis memang soft, tapi wanginya akan lama menempel jika berada di dekatnya. And you know lah, seharian dia bolak-balik ke ruangan lelaki itu bahkan mengikuti rapat yang dimana posisi duduk mereka selalu berdekatan. "Honey," panggil Jose, membuyarkan lamunan Aruna. Lebih tepatnya, diamnya Aruna yang entah harus menjawab seperti apa. "Emm, ah iya tadi calonnya kak Liza 'kan datang. Ya dia lelaki dengan selera parfum yang benar-benar anti-mainstream," alibi Aruna. Jeso mengerutkan keningnya. "Apa kalian banyak menghabiskan waktu berdekatan?" Aruna meneguk salivanya samar dan meringis. "Ya aku harus akrab dengannya, bukan?" Jeso membuka mulutnya, tapi detik selanjutnya ia memutuskan untuk menghentikan sesi wawancara ini. Pasalnya, ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu saat ini. "Sudahlah lupakan, kita lanjutkan." Tanpa menunggu balasan Aruna, Jeso kembali menyusuri tubuh Aruna deng