Share

Pernikahan

Aruna menatap makanannya malas. Berapa jam lagi ia harus menunggu lelaki itu? Ini sudah larut, bahkan sebentar lagi jam 12 malam. Jika bukan karena Om Woni yang meminta, ia malas sekali. 

Jika mau sudah sedari tadi ia pulang. Tak lama seseorang datang dengan santainya duduk di samping Aruna setelah memindahkan kursi dari depan. Ia mengepulkan asap rokok dari mulutnya dan membuang puntung itu di piring Aruna. Aruna melotot sempurna.

Kurang ajar, siapa dia dengan selancang itu berbuat tidak sopan. Baru saja Aruna hendak bicara, lelaki itu sudah memotong duluan.

"Lo Aruna? Cewek yang dijodohin sama gue?" tanyanya sembari memakan daging steak yang tadi di potong Aruna.

"Kamu siapa?" tanya Aruna sopan dan bersabar.

"Jose," singkatnya.

Ternyata lelaki ini yang akan dijodohkan denganku. Apanya yang disebut lelaki berparas good boy, bad boy iya. Aku melongo sempurna saat setengah makanan di meja ludes ia makan. Ini ngga makan seminggu apa gimana? 

"Ngga usah nglihatin sampai segitunya, gue tahu gue ganteng," pedenya. 

Aku bergidik geli, pede sekali Anda. Aku pun ikut makan dengannya. Sedari tadi aku hanya menyantap sedikit makanan, aku menghargai orang yang akan makan bersamaku. Jadi, aku menunggunya untuk makan bersama. 

Ia tiba-tiba merogoh sakunya dan menyodorkan ponsel miliknya kepadaku. "Nomor telepon," ucapnya tanpa menatapku.

"Punyaku?" Ia mengangguk. 

Setelah aku memberikan itu, tak lama ada pesan masuk di ponselku. Terlampir file dengan format P*F. Aku membukanya.

"Itu kontrak perjanjian," ucap Jose sembari menyesap minuman berwarna merah. 

Aku mengerutkan kening tidak paham.

"Lo kira dengan mudahnya gitu kita nikah dan menjalin hubungan kayak di novel-novel gitu. Sorry, it's not in my dictionary."

"So, sesuai perkataan Ayah gue. Kalau utang Ayah lo lunas dengan cara menikahkan kita. Maka dari itu, berdasarkan analisis gue. Pernikahan kita hanya satu tahun. Detailnya lo baca sendiri. Bisa baca 'kan? Bisa dong 'kan S1," lanjutnya. 

Aku menghembuskan napas pasrah dan mulai membaca isi kontrak itu. Aku menatap lelaki di sampingku tidak percaya. Gila, benar-benar gila. Ia benar-benar menghitung utangnya dengan imbalan jasa aku bebas ia suruh, bahkan seperti menjadi babu untuknya. 

Ia menggajiku Rp 1.000.000/hari. Benar-benar gila. Jika seperti ini, lebih baik aku menjadi pembantunya saja. Daripada harus menjadi istrinya. 

"Keberatan?" tanyanya. 

"Bisnis tetaplah bisnis. Jangan mengira pernikahan kita menjadi pijakan mudah pelunasan utang. No-no-no, utang tetaplah utang. Itu harus dibayar setimpal," lanjutnya dengan senyum miringnya. 

"Tanda tangan di sana dan segera kirimkan kepadaku." Ia beranjak pergi setelah mengatakan kalimat terakhirnya. 

Aku benar-benar dibuat pusing dengannya. Sejujurnya dengan alur ini semua. Aku tidak paham apa yang Tuhan rencanakan padaku.

***

Om Woni meminta pernikahan kami cepat dilaksanakan, entah apa alasannya aku tidak tahu. Toh sekarang aku hanya ingin menjadi robot saja. Malas terlalu memikirkan hal yang tidak penting, karena terpenting ini cepat selesai dan aku bisa membantu Ayah ke depan. Aku menatap malas kaca di depanku, sudah sejak 5 menit yang lalu aku selesai bersiap dengan gaun pengantin yang aku akui ini sangat cantik. 

"Senyum dong, masa mau nikah manyun," ucap Kak Liza dan merangkul pundak adiknya dari belakang.

Kak Liza tertawa melihat wajahku yang masam. "Nikmati saja, anggap saja kamu tidak perlu repot-repot mencari jodoh," ucapnya. 

Aku semakin manyun dan ia asik tertawa, menertawakanku. Tak lama penata rias masuk dan mengatakan pernikahan segera dimulai. 

Aruna berjalan menuju tempat ijab, dengan Muning dan Liza yang berjalan di sampingnya. Muning mengusap punggung Aruna dan tersenyum. Ini adalah moment sakral anak gadis sambungnya, ia tetaplah seorang Ibu. 

Aruna duduk di samping Jose yang sudah siap untuk melangsungkan pernikahan.

Ijab pun dimulai, jujur Aruna benar-benar gemetar. Sekalipun ini bukan yang Aruna inginkan, tapi ini tetap pernikahan. Setelah ijab berjalan lancar, dilanjutkan prosesi lainnya.

***

Aruna mendudukkan dirinya di kasur dan menarik napas lelah. Seharian pernikahan berlangsung dengan segala macam prosesi dan harus menerima tamu yang terbilang banyak. Maklum lah, keluarga Jose keluarga yang terpandang. Keluarga terpandang harus dengan keluarga terpandang juga bukan?

Inilah dunia Aruna. Dunia yang katanya indah di novel dengan alur pernikahan seperti ini, tapi bagi Aruna sangat memuakkan. Dikata pernikahan buat ajang ketenaran dan harta dunia saja, aishh. Asik dengan dumelannya, Jose masuk dan merebahkan tubuhnya di kasur. 

"Lo mau tidur pakai gaun?" ucap Jose membuyarkan lamunan Aruna.

Aruna berdiri dan berjalan menuju kamar mandi setelah mengambil baju tidur di kopernya. Sekarang ini mereka ada di apartemen Jose, sebenarnya Erni Ibunda Jose meminta agar Aruna dan Jose tinggal di rumah Jose. Akan tetapi, Jose mengatakan jika besok ada rapat penting di kantor. Ya terserah sih bagi Aruna, toh ia 'kan akan menjadi robot saja.

Setelah membersihkan diri, Aruna menatap Jose yang terlelap dengan balutan jas. Awalnya Aruna membiarkan dan menaruh handuk di tempatnya, tapi ia tetaplah seorang istri. Aahh, jangan posisikan Aruna di posisi seperti ini. Aruna berjalan mendekat ke arah Jose dan membuka jasnya.

Pelan-pelan agar lelaki itu tidak bangun dan menuduhnya macam-macam. Setelah melepas jas dan sepatu, serta melonggarkan baju dan ikat pinggang Jose. Aruna menarik selimut sampai batas pinggang Jose. Aruna berjalan menuju sofa dan memutuskan tidur di sana.

Ingatlah ini pernikahan kontrak. Ingat, sebatas kontrak. Jadi, jangan berharap lebih. 

***

Mentari mulai memancarkan sinarnya, tak terasa waktu begitu cepat berjalan. Aruna bangun dari tidurnya dan melihat jam di nakas. Pukul 05.20, masih ada waktu untuk sholat. Setelah sholat Shubuh, Aruna merapikan dirinya dan menyiapkan sarapan. 

Merapikan kamar, membersihkan apartemen, menyiapkan pakaian kerja, bahh rasanya benar-benar biasa saja. Membangunkan Jose? Ia tidak berani, ia takut mengganggu dan memilih untuk mandi saja. Jose membuka matanya perlahan dan mendudukkan tubuhnya. 

Pukul 07.30, masih ada waktu 30 menit untuk bersiap dan berangkat ke kantor. Jose beranjak dari tempat tidur dan membuka kenop pintu kamar mandi. Aruna yang tengah berdiri membelakangi Jose dengan tubuh tanpa sehelai benang membuat Jose berdiri dan menyandarkan tubuhnya di pinggiran pintu sambil melipat tangannya di dada. 

"Siapa gadis yang ku bawa semalam? Perasaan aku tidak pergi ke club," batinnya sambil asik memandangi tubuh Aruna. 

Aruna yang masih belum menyadari sesuatu, kemudian ia berbalik dan langsung berteriak kencang sembari menutup dada dan kemaluannya dengan tangan. 

"Lo kalau mau masuk ketuk pintu dulu!" kesal Aruna dan meraba mengambil handuknya. 

"Ini handuk kenapa ngga bisa diajak kompromi sih, mana lagi," batinnya dengan tangan yang masih mencari keberadaan handuk. 

Jose menahan tawanya. Ia lupa jika ia sudah menikah. Akan tetapi, asik juga baginya melihat tubuh Aruna. Toh ia juga suaminya, berhak dong.

Aruna langsung menutup badannya dengan handuk dan menatap nyalang Jose. Bukannya takut Jose malah menutup pintu kamar mandi dan berdiri di depannya. Menunggu apa yang akan Aruna lakukan. 

"Keluar dari sini!" desis tegas Aruna. 

"Nope," sahut Jose santai.

"Ke-lu-ar!" 

Jose berjalan mendekat ke arah Aruna dan menggelengkan kepalanya. Takut? Tidak ada di dalam kamus Aruna. Ia mendongak menatap Jose yang memang lebih tinggi darinya dengan tatapan tajam. 

"Keㅡ"

Baru saja Aruna hendak bicara, Jose sudah melepas balutan handuk di tubuh Aruna dan memeluk pinggang Aruna. Jose memandangi wajah Aruna yang sedang memerah karena marah. 

"Cantik," batin Jose. 

"Sial, milikku berdiri," batin Jose lagi. 

Tapi setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya bukan jika mereka melakukan itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status