Malam itu, gemerlap bintang berkelip diatas langit, seolah bersorak atas kebahagiaan di sana, bulan yang terlihat bulat sempurna pun kontan menyinari pelaminan. Kini para tamu undangan silih berganti berdatangan, memasuki area lahan berukuran satu hektar tersebut. Di sekelilingnya telah terdapat beberapa media yang akan meliput. Pesta pernikahan yang diadakan di kediaman Nyonya Nirwasita, bersifat semi intimate, di mana hanya dihadiri beberapa rekan bisnis, keluarga inti, dan beberapa awak media. Lahan taman yang lebih terlihat seperti lapangan golf tersebut telah didekorasi dengan konsep rustic romantic. Pelataran beige sepanjang tiga meter membentang jalan dihiasi standing flower menuju pelaminan. Barisan kursi dan meja panjang telah tertata rapih di sisi kanan kiri pelataran tersebut. Beberapa orang yang sudah hadir telah memenuhi kursi tamu yang telah disesuaikan. Mereka siap menyambut kedatangan mempelai malam itu. Sambutan tepuk tangan menggema diiringi musik romantis yang berp
Suasana pagi tercipta begitu hangat, Nyonya Nirwasita tak henti-hentinya mengulas senyum. Kebahagiaannya kini terpenuhi, seorang cucu menantu yang menyayanginya sepenuh hati. Kala itu, matahari menyinari ruang makan yang berada di dekat kolam, pintu kaca yang terbuka membiarkan angin alam memberikan kesejukan di antara mereka. Anjani masih bergeming sambil menghabiskan sarapannya, sedangkan Arjuna sesekali melirik gadis tersebut. Ada yang berbeda dari gadisnya, wajah itu terlihat pucat dan sembab. “Kau baik-baik saja, Anjani?” Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Arjuna, Nyonya Nirwasita menelan keheningan. Wanita itu memandang Anjani intens, menatap mata yang tak berani memandangnya. “Kau sakit?” Sejak tadi Anjani masih belum menjawab pertanyaan sang nenek, pikirannya entah ke mana. Sesungguhnya ia merasa sangat malu, perasaannya berkecamuk atas kebohongan-kebohongan yang telah dilakukan. Hatinya tak mampu mengelabui wanita yang terlampau baik terhadapnya, serta tak mampu membohon
Sepekan berlalu, rapat umum pemegang saham luar biasa segera berlangsung. Desas-desus terdengar bersahutan ketika “orang baru” muncul pada rapat kali. Gadis dengan long coat blazer biru dan accordion skirt navy, membuat seluruh mata memandang ke arahnya. Rambut yang sedikit digulung ke atas dengan poni tipis berserakan membuatnya tampak manis. Tak sedikit wanita yang hadir di sana iri dengan kecantikannya. “Baik ... Bapak, Ibu, kita mulai acara rapat hari ini.” Naomi memecah desas-desus itu. Seluruh peserta rapat kini menoleh ke arahnya yang tengah duduk di bangku pertama sayap kanan Arjuna. Meja persegi yang membentang sepanjang tiga meter terlihat padat meski ada dua atau tiga kursi yang kosong. “Mata acara RUPSLB hari ini yakni membahas dua hal diantaranya pertama pengangkatan dan pemberhentian Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko—”Belum genap Naomi menyelesaikan ucapannya, seketika ruangan menjadi bising. Para pemegang saham bersahutan, mereka tidak percaya bahwa pimpinan ra
Anjani berjalan di antara rerimbun pohon di pusat kota Jakarta Selatan. Sesekali ia merasa angin menyapu wajahnya dengan lembut. Sejak mendapati suaminya berpelukan dengan gadis lain, tak ada yang bisa ia perbuat, mengingat ada kesepakatan yang telah disetujui. 'Tapi tunggu? Seharusnya Arjuna tidak melupakan pasal keempat, tentang orang ketiga 'kan?' Entahlah, pikiran Anjani kini jadi kacau. Ia terus melangkah dengan menyampirkan long coat biru di lengan, lantas berjalan sambil mencoba menghilangkan kegalauanya. Anjani tiba di tribun taman tersebut, lantas duduk. Tiba-tiba nada pesan mengejutkan. Ia meraih ponsel dari saku coat-nya, melihat pesan yang datang dari sang sahabat. Naomi pasti khawatir tentang persaaannya saat ini. Are u ok? Seulas senyum tipis nampak di wajah Anjani, ia sungguh beruntung memiliki sahabat yang mengerti perasaannya. Anjani gegas mengetik. I don’t think so. But I’m trying to be okay. Pesan itu hampir saja dikirim, namun, ponselnya tiba-tiba mati. Ia
Pagi itu Anjani mulai terlihat sibuk di ruang kerjanya. Tepat seminggu berlalu, saat gadis itu ditetapkan sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko. Ia banyak menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya, setelah hampir empat bulan vakum di dunia industri. Selama menjalani posisi baru, Anjani terus mendengar desas-desus tak enak sampai ke telinganya. Hampir sebagian petinggi pun banyak meragukan kemampuan dirinya serta mempertanyakan kredibilitasnya. Mengingat, kehadiran gadis itu melalui jalur dalam, yaitu Arjuna.Tak ingin ambil pusing, Anjani berjibaku dengan berkas-berkas yang perlu dipelajarinya. Sudah seminggu ini ia didampingi oleh seorang asisten, Sinta. Gadis yang usianya lebih muda satu tahun darinya itu merupakan asisten Tuan Arwan Singgih, mantan Direktur yang lama. Sinta banyak membantu Anjani menyesuaikan diri. Anjani berusaha mengakrabkan diri, menganggap Sinta sebagai temannya, bukan lagi asistennya. “Ini, Nyonya, kopi untukmu—” Sinta menyodorkan segelas kopi yan
Dokter wanita paruh baya itu melepas earpieces stetoskop lalu berbalik ke arah seorang pria yang menantinya. Di sebuah ruang kerja, Anjani terbaring pada sofa panjang dengan selang infus menggantung. Sejak terjatuh di depan lift, Kris langsung menghubungi dokter pribadi keluarga Barathawardana untuk memeriksa keadaan istri Arjuna. Hening sesaat. “Nona Anjani baik-baik saja, kau tak perlu khawatir.”Terpancar raut kekhawatiran. Meski sikapnya dingin bagaikan es, Arjuna masih memiliki hati nurani. Ia jelas mengkhawatirkan sang istri yang tiba-tiba pingsan. “Apa ada yang serius?” “Tidak,” ujar dokter ber-nametag Reisa dengan santai. “Imunnya hanya sedang turun akibat perubahan cuaca dan mungkin juga karena terlalu lelah bekerja.” Dokter Reisa hanya mendiagnosa gadis itu kelelahan, tidak ada yang serius Anjani disarankan untuk beristirahat beberapa waktu. Selang infus yang nampak menggantung seolah menjadi sumber energi bagi gadis yang terbaring lemah tersebut. Wajah Anjan
Anjani berhasil melewati ambang pintu itu lalu berpapasan langsung dengan Kayla, gadis yang pernah ada di kehidupan Arjuna serta pewaris tunggal Manendra Corporation. Mata mereka saling bersitatap dalam waktu yang cukup lama. Anjani berusaha menebar senyuman seraya menyapa, namun Kayla sama sekali mengabaikannya dan berlalu begitu saja. Dalam hati Anjani mengumpat. ‘Sombong sekali dia ... apa yang salah dariku? Jika harus ada yang cemburu, bukankah istrinya lebih pantas melakukannya? Tsk! Kenapa menatapku seolah aku ini perusak hubungannya!’ Anjani bermonolog. Cih! Ekor mata Anjani melirik gadis yang saat ini berhasil lolos masuk ke dalam ruang kerja Arjuna. Sedetik kemudian, Naomi menepuk tangannya di depan wajah sang sahabat ketika Anjani berhasil melewati gawang pintu. Kontan, Anjani pun terkejut. “Uhuk! Kau jealous?” Wajah Anjani merah padam, bibirnya berkedut. Ia tak mengingkari bahwa dirinya memang tengah dibakar api cemburu. Bukankah dalam perjanjian itu A
“Maaf ... ini adalah kesalahan—”Anjani mengulang kembali kalimat yang membuat dirinya tak habis pikir. Hatinya masih sakit, sungguh. Dalam perjalan menuju kediaman, baik Anjani dan Arjuna tak bersuara. Sesekali supir melirik dari balik kaca spion, merasakan atmosfer dingin yang tercipta membuat tengkuknya bergidik ngeri. Akibat kejadian siang itu ... Arjuna seolah bersikap tak terjadi apapun, meski rasa canggung meyelimutinya. Di sepanjang jalan, Arjuna hanya fokus memantau pergerakan saham melalu iPad-nya. Perjalanan pulang yang dibersamai keheningan membuat Anjani tak mampu berkata apapun. Gadis itu lantas melirik sang suami yang tampak tak menganggapnya ada. Seolah keseriusan Arjuna hanya untuk menutupi ketidanyamanan. Waktu berlalu tanpa obrolan. Hingga akhirnya, suara getar ponsel mengisi keheningan. Anjani gegas memeriksa ponsel yang tengah ada digenggaman, memandang sebuah nama yang tak asing baginya. Sedangkan pria di sebelahnya diam-diam melirik. Raut wajah itu semakin ding