Share

Bab 10. Ancaman

last update Huling Na-update: 2025-01-16 10:54:36

Setelah memastikan Clara sudah masuk ke dalam kamar dan pintunya tertutup rapat, Bagas berjalan dengan langkah cepat menuju dapur. Wajahnya terlihat serius, dan pikirannya penuh dengan kegelisahan.

Di dapur, Maya sedang merapikan piring-piring dengan hati-hati. Ia mencoba menenangkan dirinya setelah percakapan menyakitkan tadi, namun suara langkah Bagas membuatnya tersentak. Maya menoleh dan melihat Bagas berdiri di ambang pintu, tatapan matanya dingin seperti biasa.

“Tuan?” Maya berkata dengan nada hati-hati.

Bagas melangkah mendekat, suaranya rendah namun tegas. “Maya, aku nggak mau bertele-tele. Aku hanya ingin memperingatkanmu.”

Maya menunduk, merasa takut dengan nada suara Bagas. “Apa yang ingin Tuan katakan?”

Bagas mendekatkan tubuhnya, membuat Maya semakin merasa terpojok. “Dengar baik-baik. Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan atau rasakan, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Jangan pernah, sekalipun, memberi tahu Clara kalau selama ini kita belum pernah melakukan hubungan suami istri. Mengerti?”

Maya terdiam, tubuhnya sedikit gemetar. “Tapi, Tuan…”

Bagas langsung memotong, suaranya lebih keras namun tetap dingin. “Nggak ada tapi. Kalau Clara sampai tahu, semuanya akan kacau, dan aku nggak akan segan-segan menyalahkan kamu untuk semuanya. Jadi pastikan rahasia ini tetap aman.”

Maya menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Saya mengerti, Tuan. Saya tidak akan mengatakan apa-apa.”

Bagas menghela napas panjang, melonggarkan ekspresinya sedikit. “Bagus. Aku nggak mau dengar Clara ribut tentang ini lagi. Tugas kamu hanya melakukan apa yang dia perintahkan, tanpa membuat masalah.”

Maya mengangguk pelan. “Baik, Tuan,” jawabnya, meskipun hatinya terasa hancur dengan kenyataan pahit yang harus ia terima.

Bagas belum sempat keluar dari dapur ketika suara Maya yang gugup memanggilnya.

“Tuan...” Maya berkata pelan, hampir berbisik.

Langkah Bagas terhenti, dan ia berbalik menatap Maya dengan alis sedikit terangkat. “Ada apa lagi?” tanyanya dingin.

Maya menggenggam erat celemeknya, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tuan, saya hanya ingin tahu… kenapa selama ini Tuan tidak pernah menyentuh saya? Kita… kita ini suami istri yang sah, bukan?”

Bagas terdiam sejenak, matanya tajam menatap Maya. Perlahan, ia mulai berjalan mendekat, membuat Maya sedikit mundur karena gugup. Setelah cukup dekat, Bagas berhenti, menatap Maya dengan pandangan yang penuh ketegasan dan tanpa emosi.

“Aku akan jujur,” ujar Bagas dingin. “Aku tidak pernah mencintai kamu, Maya. Dan sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mencintaimu.”

Kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Maya. Ia terdiam, tubuhnya terasa kaku.

Bagas melanjutkan, “Pernikahan ini bukan karena aku menginginkannya. Ini hanyalah sandiwara. Satu-satunya alasan aku melakukannya adalah karena Clara. Aku tidak ingin kehilangan dia. Clara adalah istri yang sangat aku cintai, dan aku tidak akan pernah mengkhianati cinta itu untuk siapapun, termasuk kamu.”

Maya menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Tuan… lalu, kenapa saya harus berada di sini? Kenapa saya harus menjalani ini?”

Bagas mendesah, sedikit kesal dengan pertanyaan itu. “Karena ini bagian dari kesepakatan. Kamu sudah tahu sejak awal, bukan? Aku tidak pernah menjanjikan cinta, Maya. Aku hanya menjanjikan bahwa Clara tidak akan menyakitimu selama kamu melakukan apa yang dia inginkan.”

Maya mengangguk perlahan, air matanya mulai mengalir. Ia sadar bahwa harapannya selama ini untuk sedikit saja mendapatkan perhatian atau rasa hormat dari Bagas hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah terwujud.

Bagas menatap Maya sekali lagi, matanya tetap dingin. “Jangan pernah berharap lebih dari ini, Maya. Kamu tahu posisimu. Dan aku harap, kamu tidak lupa tentang itu.”

Setelah mengatakan itu, Bagas berbalik dan meninggalkan dapur tanpa menoleh lagi, meninggalkan Maya yang terisak sendirian, memeluk perasaan hancurnya dalam keheningan.

Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela ruang makan, menciptakan suasana hangat. Clara sudah duduk dengan anggun di meja makan, mengenakan gaun kerja rapi sambil menikmati secangkir kopi yang telah disiapkan oleh Maya.

Langkah kaki Bagas terdengar dari arah kamar. Begitu tiba di ruang makan, ia langsung menghampiri Clara, seperti kebiasaannya setiap pagi. Tanpa ragu, Bagas membungkuk sedikit dan mencium pipi Clara dengan lembut.

“Selamat pagi, Sayang,” ucap Bagas dengan suara tenang namun penuh perhatian.

Clara tersenyum tipis, meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Pagi, Mas. Sudah siap untuk hari ini?”

Bagas duduk di kursi di sebelah Clara, menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Selalu siap kalau ada kamu di sampingku.”

Clara tertawa kecil, merasa tersanjung dengan ucapan Bagas. Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, Maya muncul dari dapur membawa piring berisi sarapan. Ia berjalan dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang tumpah atau jatuh.

“Selamat pagi, Tuan, Nyonya,” Maya menyapa sopan, sambil meletakkan piring-piring di meja.

Bagas hanya mengangguk dingin tanpa berkata apa-apa, sementara Clara menatap Maya dengan tatapan penuh arti, seolah masih belum puas dengan kejadian malam sebelumnya.

“Pastikan sarapan ini sempurna, Maya. Aku nggak mau ada yang mengecewakan pagi ini,” ujar Clara sambil menyilangkan tangan di depan dada.

“Baik, Nyonya,” jawab Maya cepat, menunduk sedikit sebelum kembali ke dapur, meninggalkan pasangan itu melanjutkan obrolan pagi mereka.

Bagas kembali memfokuskan perhatiannya pada Clara, berusaha menjaga suasana tetap tenang, meskipun ada sesuatu dalam hatinya yang tidak nyaman setiap kali melihat Maya berjalan menjauh dengan wajah sedih.

Setelah Maya keluar dari ruang makan, Clara mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah Bagas. Ia berbicara dengan suara pelan, hampir seperti berbisik, namun nadanya jelas penuh kecurigaan.

“Mas, aku mau ngomong sesuatu,” Clara memulai, sambil menatap Bagas dengan serius.

Bagas yang sedang memotong roti bakarnya mengangkat wajah. “Apa, Sayang?”

Clara melirik pintu dapur untuk memastikan Maya tidak mendengar, lalu kembali menatap suaminya. “Aku merasa ada yang aneh dengan Maya. Sudah hampir tujuh bulan sejak pernikahan kalian, tapi kenapa dia belum juga menunjukkan tanda-tanda hamil?”

Bagas terdiam sejenak, wajahnya tetap tenang meski hatinya mulai gelisah. Ia tahu Clara sangat peka dan bisa mencium sesuatu jika dirinya tidak hati-hati.

“Sayang, aku rasa ini bukan sesuatu yang perlu dicurigai. Mungkin Maya butuh waktu, sama seperti pasangan lain yang tidak langsung dikaruniai anak,” jawab Bagas dengan nada setenang mungkin, berusaha mengalihkan perhatian Clara.

Clara menyipitkan matanya, seolah tidak sepenuhnya percaya. “Aku ngerti, Mas. Tapi aku nggak bisa berhenti mikir, apa mungkin dia sengaja menunda atau... dia nggak serius dengan tujuan kita? Mas juga nggak curiga?”

Bagas menarik napas panjang, menyesap kopinya untuk memberi jeda sebelum menjawab. “Clara, kamu harus lebih sabar. Aku sudah pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Nggak perlu terlalu memikirkan ini.”

Clara mendengus kecil, lalu menyilangkan tangannya di depan dada. “Aku cuma nggak mau pernikahan ini jadi sia-sia, Mas. Kalau sampai Maya nggak bisa kasih kita anak, aku nggak tahu apa gunanya dia ada di sini.”

Bagas tidak merespons langsung. Ia hanya memegang tangan Clara dengan lembut, mencoba meredakan kekesalannya. “Percayalah sama aku. Aku akan urus ini. Kamu nggak perlu khawatir.”

Meskipun Clara tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, ia memilih untuk mengangguk kecil. “Baiklah. Tapi, Mas, pastikan aku nggak salah mengambil keputusan dengan menerima perempuan itu ke dalam hidup kita.”

Bagas mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai menghantuinya. Di dalam hati, ia tahu bahwa kebohongannya ini tidak akan bertahan lama.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 17. video Bagas

    “Sekarang cepat katakan, darimana kalian pergi?” tanya Clara dengan mata yang terliat menyelidiki. “Aku baru saja mengantar Maya ke rumah sakit, dan kamu tahu Dokter bilang apa?” Bagas menghentikan ucapannya. “Dokter bilang kalau Maya saat ini sedang mengandung, itu berarti sebentar lagi kita akan memiliki anak, Sayang.” Bagas dengan wajah bahagia segera meraih tangan Clara. Kebahagiaan yang di rasakan Bagas justru berbanding terbalik dengan Clara, wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan. Melainkan lebih pada kebencian. Clara langsung menarik kedua tangannya dengan kasar. “Kita,” ucapnya dengan senyum sinis. “Kamu yang menginginkan anak itu, bukan aku.” Jawaban Clara langsung membuat Bagas terdiam, ia tidak menyangka jika Clara yang awalnya ia pikir akan bahagia dengan kehamilan Maya justru menolak berita bahagia tersebut. “Sayang, aku tahu kalau selama ini aku yang menginginkan anak itu, tapi bukankah setelah anak itu lahir aku akan bercerai dengan Maya dan secara tidak langsung

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 16. Kebersamaan

    “Jam segini makanan belum juga siap?” ucap Clara saat sudah berdiri di meja makan. Clara melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kanannya. Terlihat jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, meja makan masih terlihat begitu rapi tanpa ada makanan yang tersaji. Clara memegang salah satu kursi sambil tangan yang lain menyentuh pinggangnya. Tatapannya terlihat penuh dengan emosi yang sudah siap ia lampiaskan kepada Maya, asisten rumah tangga sekaligus madunya. “Dimana wanita itu, kenapa sampai jam segini masih belum ada sarapan untukku.” Clara segera berjalan ke arah paviliun. Dengan perlahan Clara membuka pintu kamar Maya yang tidak terkunci, terlihat Maya masih terlelap dalam tidurnya. Clara yang sudah tidak dapat menahan emosinya segera berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di pojok paviliun. Dengan segera ia mengambil seember air dan membawanya ke kamar Maya. Dengar gerakan cepat Clara langsung menyiramkan air ke arah Maya yang masih tertidur pulas. “Dasar pembant

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 15.

    “Clara, mau kemana kamu pagi-pagi begini?” tanya Aminah saat melihat Clara akan meninggalkan rumah. “Ibu? Hari ini ada jadwal syuting yang cukup pagi, jadi aku harus ke lokasi lebih awal dari biasanya.” Clara walaupun terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan Aminah. Namun, ia masih berusaha untuk menjawab pertanyaan mertuanya itu dengan lembut. “Syuting!” ucap Aminah dengan nada sedikit lebih keras. “Clara … Ibu tahu kamu adalah seorang artis terkenal, tapi kamu nggak bisa melupakan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang istri untuk Bagas.”“Maksud ibu apa?” tanya Clara sambil menyilangkan tangannya di dada. Aminah dengan tatapan otoriter mulai mendekati Clara yang berdiri tidak jauh darinya. Tatapan Aminah begitu tajam menatap Clara, menantu yang selama ini selalu ia banggkan. “Asal kamu tahu, Clara. Tugas utama seorang istri adalah melahirkan seorang anak dan melayani suaminya di rumah.” 

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 14. Malam Panas

    Maya yang tertidur pulas di ranjang kecilnya langsung terbangun dengan nafas terengah saat mendengar pintu kamarnya dibuka dengan keras. Matanya yang masih setengah mengantuk menatap ke arah pintu, dan ia terkejut melihat Bagas berdiri di sana dengan ekspresi wajah tegang."Tuan... ada apa?" tanya Maya gugup sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.Bagas berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya dengan sedikit keras. Ia menatap Maya tajam, membuat wanita itu semakin merasa kecil dihadapannya.Maya terkejut saat tangan Bagas dengan cepat meraih tangannya dan menariknya hingga tubuhnya terjatuh dalam pelukan pria itu. Napasnya memburu, matanya melebar menatap kosong ke arah bahu Bagas yang kini memeluknya erat. Ia terlalu bingung untuk berkata apa-apa."Tuan... apa yang Anda lakukan?" tanya Maya dengan suara gemetar, mencoba menjauh, namun pelukan Bagas justru semakin erat.Bagas menghel

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 13. Keputusan

    Saat makan malam berlangsung, suasana di meja makan terasa sedikit canggung. Clara duduk di sebelah Bagas, dengan ekspresi tenang namun penuh kewaspadaan. Aminah duduk di seberang mereka, memperhatikan kedua anak itu dengan tatapan lembut tapi penuh rasa ingin tahu.Bagas berusaha menjaga suasana tetap ringan. Ia menyendokkan makanan ke piringnya sambil tersenyum kecil. "Ibu, bagaimana masakan Maya hari ini? Tadi dia bilang mencoba resep baru."Aminah menatap piringnya sejenak sebelum mengangguk. "Masakan Maya selalu enak. Tapi, Bagas, aku merasa ada sesuatu yang berbeda di rumah ini akhir-akhir ini."Clara yang tengah menyuap makanan tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap Aminah dengan senyum tipis. "Oh, Ibu, apa maksudnya? Maksud Ibu suasananya berbeda seperti apa?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun sorot matanya penuh arti.Aminah tersenyum kecil. "Entahlah, mungkin

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 12. Terbongkar

    Clara membuka pintu rumah dengan keras dan langsung masuk ke dalam, suaranya menggema di seluruh ruangan.“Mas! Mas Bagas, di mana kamu?!” serunya dengan nada tinggi, membuat suasana rumah yang semula tenang berubah tegang.Di belakang Clara, Maya berjalan dengan kepala tertunduk. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia berusaha menahan isakanya agar tidak terdengar. Tangannya gemetar, memegang sudut jilbabnya, mencoba menenangkan diri.Clara menoleh sekilas ke arah Maya, wajahnya penuh dengan emosi. “Jangan hanya diam di situ, Maya! Kau ikut ke sini.”Clara mendengus kesal, lalu kembali berteriak, “Mas Bagas! Keluar sekarang juga!”Dari arah tangga, langkah kaki terdengar mendekat. Bagas muncul dengan wajah kebingungan, melihat Clara berdiri dengan tatapan penuh amarah, sementara Maya di belakangnya terlihat menangis.“Ada apa ini, Sayang?” tanya Bagas dengan nada datar,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status