Emily sontak menoleh, betapa kagetnya dia saat melihat Arnold datang.
Jantung Emily seketika berdebar kencang, dadanya naik turun. Arnold menatapnya tanpa berkedip, lagi, hanya dengan melihat tubuh Emily, membuat miliknya langsung berontak. Arnold berjalan pelan sambil membuka kancing piyamanya. Diraihnya pinggul Emily dan didekapnya erat. Bibirnya sudah berlabuh di bibir Emily, membuat perempuan itu hanya bisa pasrah. Dengan satu gerakan cepat, Arnold membawa Emily ke atas ranjang dan menyingkap handuk itu.Lagi dan lagi, Arnold menyerangnya....
** "Akh..." Emily terbangun dalam keadaan seluruh tubuh ngilu, Arnold benar-benar menyiksanya sepanjang malam. Dia bahkan tidak memberi Emily waktu untuk beristirahat. Kasur, sofa, dinding, bahkan bath up menjadi saksi bisu betapa ganasnya Arnold. Saat bangun, Emily hanya sendirian. Arnold sudah tidak ada di sisinya. Emily menyeret kakinya ke kamar mandi. Kini sudah satu bulan Emily menjadi istri kedua Arnold. Arnold juga tidak sekasar saat pertama, dia datang tanpa berbicara sepatah kata pun, melepaskan pakaiannya dan menidurinya. Tidak ada paksaan maupun bentakan, tapi Emily malah merasa dirinya hanyalah seperti boneka pemuas nafsu yang ditinggalkan begitu saja setelah Arnold puas menjamahnya. Dan parahnya lagi, semingguan ini Arnold melampiaskan hasratnya hingga menjelang pagi dan membuat Emily tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kalau tidak karena terpaksa, Emily tidak akan bangun saking sakitnya pangkal pahanya. Tiba-tiba perutnya terasa mual. Emily pergi ke kamar mandi dan muntah, tetapi yang keluar hanya cairan. Mualnya benar-benar tak bisa ia tahan, padahal ia sudah berusaha mengosongkan isi perutnya, tetapi tetap saja tidak ada yang keluar selain cairan. "Ada apa denganku," desahnya lirih sembari memijit pelipisnya yang terasa pening. Emily kemudian memutuskan berendam di air hangat agar bisa menghilangkan sedikit mual dan pusingnya. Akan tetapi, selesai mandi, Emily kembali mual, ia mencoba untuk mengeluarkan apa saja yang ada di dalam perutnya, namun nihil. Mengingat hari ini ibu mertuanya datang, dengan terpaksa Emily menyeret kakinya menuruni anak tangga, meskipun tubuhnya lemah dan wajahnya pucat. Sesampainya ia di meja makan, semua orang sudah ada di sana, mereka menunggunya atas perintah dari Nyonya Ruby. Nyonya Ruby langsung berdiri, memeluknya dengan hangat, sementara di sudut lain Sarah memasang senyum palsunya. Melihat wajah Emily yang tampak pucat, Arnold merasa istri keduanya tersebut tidak sedang baik-baik saja, ia khawatir Emily akan terjatuh, melihat bagaimana lemasnya Emily saat berjalan. Namun, belum sempat ia mengutarakan kecemasannya, Sarah yang juga memperhatikan Emily sadar bahwa Arnold ingin menginterupsi pembicaraan Nyonya Ruby, sehingga ditariknya tangan Arnold dan digenggamnya mesra. Mereka semua menuju makan dan duduk bersama-sama. Emily di samping Nyonya Ruby, dan Sarah di samping Arnold, berusaha menguasainya sepenuhnya. Makanan datang, terlihat sangat lezat. Nasi goreng, makanan favoritnya. Tetapi, entah mengapa makanan itu berbau tidak enak. Aneh. Baunya sangat kuat sampai akhirnya, “Hoek…” Arnold menoleh, menatap Emily dengan bingung. “Maaf, a-aku… Hoek…” Tak tahan lagi, Emily lari ke kamar mandi. Arnold sontak berdiri untuk mengikuti, tetapi Sarah menahannya. Akhirnya Nyonya Ruby yang menghampiri Emily. Setelah cukup lama berada di toilet, Emily keluar dengan wajah pucat dan keringat dingin di keningnya. Nyonya Ruby langsung membimbingnya dan membawanya ke luar rumah, Arnold yang bingung lantas mengejar ibunya. "Emily mau dibawa ke mana, Ma?" "Mama mau membawanya ke Dokter untuk memastikan!" Emily langsung membelalak saat mendengar kata ke dokter. Ia juga baru ingat bahwa tamu bulanannya sudah datang terlambat, terlebih Arnold terus mengajaknya untuk berhubungan. Mendadak, Emily mengelus perutnya yang masih datar. Tanpa menunggu respons Arnold, atau memperhatikan wajah Emily yang berubah, dengan cepat, Nyonya Ruby memanggil sopir, masuk ke dalam mobil bersama Emily, dan meninggalkan kediaman Arnold. Sarah yang menyusul belakangan langsung menggandeng tangan Arnold yang masih menatap kepergian mama dan istri keduanya. "Ada apa, Hon?" tanyanya mesra. Tanpa sadar Arnold menarik tangannya, kemudian menatap Sarah. “Mereka akan ke rumah sakit untuk memastikan sesuatu, lebih baik aku pergi dulu.” Arnold lalu mencium kening Sarah dan berpamitan, meninggalkan Sarah yang terlihat kesal. *** Nyonya Ruby berteriak girang saat Dokter mengatakan Emily hamil. Dia lantas memeluk Emily dan ingin mencium pipinya, tetapi Emily menundukkan wajahnya. Emily merasa dirinya tidaklah pantas menerima perlakuan istimewa dari Nyonya Ruby. Mendapat penolakan dari Emily, Nyonya Ruby tidak putus asa, dia lantas mengelus elus perut rata Emily. “Ini cucuku, sebentar lagi kamu akan menjadi ibu dan aku akan menjadi nenek!” Setelah itu, Nyonya Ruby menyuruh supir untuk mengantarkan mereka ke toko perhiasan langganannya, dan membelikan Emily sebuah kalung dan perhiasan berlian yang tadi sempat Emily curi-curi lihat. Sesampainya di rumah, Nyonya Ruby mengajak Emily untuk duduk santai di ruang keluarga. Dia membuka semua paper bag berisi perhiasan yang dia beli tadi. Dibukanya salah satu kotak perhiasan berwarna merah menyala dengan hiasan gambar angsa di atas kotaknya. “Apa kau menyukainya, Sayang?” tanyanya sambil mengangkat sebuah kalung berliontin berlian ke arah Emily. Emily mengerjapkan matanya. “Hei, kenapa diam saja,” tegurnya ramah. “Apa kau menyukainya? Mama membelikannya untukmu!” Seulas senyum manis terbit di bibirnya. “Ini terlalu mahal, Nyonya!” “Berhenti memanggil Nyonya, panggil Mama! Ya? Mama. Kau adalah menantuku dan aku membelikan ini untukmu." Ekspresi bahagia yang ditunjukkan Nyonya Ruby tidak membuat Emily bahagia, dia justru tersadar akan posisinya sebagai ibu pengganti. Setelah bayi ini lahir ke dunia, maka Emily harus menyerahkannya kepada Sarah dan Arnold. Emily lantas menggeleng dengan cepat sambil mengelus perutnya. “Tidak, bukan begitu, maksud saya, Nyo … eh, Mama!” Nyonya Ruby kembali tersenyum. “Aku adalah mamamu, jadi kamu harus menerimanya!” Tanpa menunggu persetujuan dari Emily, Nyonya Ruby melingkarkan kalung berlian yang sedari tadi di pegangnya ke leher Emily. Emily tidak lagi bisa menolak. “Cantik sekali! Sangat cocok denganmu!” Sarah keluar dari kamarnya, ia hendak mengambil minuman dan tidak sengaja melewati Emily dan Nyonya Ruby. Tatapannya jatuh pada leher wanita itu, sebuah kalung dengan liontin berlian berukuran besar melingkar di lehernya. "Emily, kalungmu indah sekali," pujinya. Ia tersenyum tetapi di dalam hatinya mengutuk. Selama menikah dengan Arnold, ibu mertuanya tak pernah sekalipun membelikannya perhiasan. "Iya, aku yang membelikannya untuk Emily sebagai hadiah." Jawaban Nyonya Ruby semakin memantik rasa cemburu Sarah. Ia mengulas senyum terpaksa dan memilih kembali ke kamar, dengan tangan terkepal. Ingin marah tapi ia tak punya hak. "Bersiap-siaplah, kamu bisa memakai perhiasaan itu saat Arnold sudah sampai." Emily mengangguk dan membawanya ke kamar. Ia mendesah pelan dan kembali mengelus perutnya. Calon buah hatinya bersama Arnold. Ada perasaan senang, tetapi juga sedih yang muncul ketika mengetahui keberadaannya. Tetapi Emily berusaha menepis rasa sedihnya karena takut anaknya juga akan merasa seperti itu. Anak ini pasti akan tumbuh dengan baik bersama keluarga papanya. Emily ke kamar untuk mandi, badannya sudah lengket apalagi cukup banyak ia harus diperiksa di rumah sakit. Sebelum itu, ia menaruh kalung dan semua perhiasaan di kotak persiapan. Dua puluh menit kemudian, ia telah selesai sambil bersiap-siap. Terdengar suara mobil dan klakson mobil. Pasti Arnold sudah pulang. Nyonya Ruby juga memanggilnya, yang dijawab Emily dengan cepat. Tetapi, tepat ketika dia membuka kotak perhiasannya, matanya membelalak dengan sempurna. Bagaimana ini...? Emily menyentuh semua perhiasan itu dengan tangan gemetar. Semua kalung dan perhiasan yang diberikan ibu mertuanya telah rusak. Bunyi langkah kaki semakin terdengar dekat, Emily bisa mendengar Nyonya Ruby mengobrol dengan Arnold. Emily panik. Pada saat itu, ibu mertuanya muncul di depan pintu, lalu masuk sambil bertanya, “Emily, kenapa kamu belum turun?”Emily menyipitkan matanya, menatap sang suami yang mendongakkan kepala, menunggu jawabannya. "Aku tanya kamu karena kamulah yang akan tersiksa menahan rindu saat aku tidak ada di rumah!" ucapnya dengan penuh percaya diri, padahal jelas-jelas dia yang selalu resah ketika tidak ada kabar dari istrinya. "Apa tidak sebaliknya? Kau yang tidak bisa jauh dariku, hm?" Arnold bangkit dari posisi tidurnya dan langsung menarik tengkuk Emily, lalu menciumnya dengan lembut. "Karena aku mencintaimu, juga calon buah hati kita," gumamnya lirih setelah melepaskan bibirnya. "Jadi, apa kau mengizinkanku untuk kembali memegang Maurer?" "Aku bingung. Aku ingin kau selalu bersamaku, tapi aku juga tahu bahwa kau bukan sepenuhnya milikku. Kau milik orang tuamu, Arnold. Jadi sudah selayaknya kau membantu mereka, terlebih kondisi Papa seperti sekarang ini." "Jadi aku harus menerimanya, walaupun waktuku akan semakin sedikit untukmu?" tanyanya sambil menarik tubuh Emily dan memeluknya erat. Emily hanya di
Mandy dan Yolanda terlihat salah tingkah. Yolanda bahkan tampak sangat pucat. "Tante, kenapa tidak dijawab?" Sorot mata tajam Arnold membuat keduanya kesulitan bernapas. "Yolanda, jawab!" seru Arnold semakin menuntut. "Itu—" "Memangnya kenapa kalau kami pulang lebih dulu? Kalian kan sudah ada di sini!" potong Mandy, mencoba membela diri. Perkataan itu justru membuat Arnold semakin geram. "Kalian—" "Sayang, sudahlah. Jangan berdebat di depan Papa," ujar Emily sambil merengkuh tubuh Arnold dari belakang. Suaminya memang mudah tersulut emosi jika sudah menyangkut orang-orang yang dicintainya. Arnold mengusap wajahnya kasar, lalu berbalik dan memeluk Emily. "Apa kau mau kembali ke rumah? Aku akan meminta Robert mengantarkanmu pulang. Kau pasti lelah." Ia mengecup kening Emily dan mendekapnya erat. Di saat-saat seperti ini, Arnold sangat membutuhkan Emily, namun ia juga mengerti kondisi istrinya. "Aku di sini saja menemuimu. Biarkan Mama yang pulang," ujar Emily s
"Lepaskan!" Wanita itu berteriak, membuat orang-orang di sekitar mereka menatap heran. Arnold seketika melepaskan cengkeramannya. Tanpa perlu melihat wajahnya, ia tahu bahwa wanita ini bukanlah Sarah. "Apa yang Tuan lakukan? Kenapa menarik tangan saya?" cecarnya, melontarkan berbagai pertanyaan. "Maafkan aku, aku salah orang," ucap Arnold sembari membungkuk, lalu segera berlalu kembali ke kedai kopi dengan ribuan pertanyaan memenuhi kepalanya. "Kenapa wajahnya berbeda sekali? Tapi aku yakin Sarah ada di sini," gumamnya sambil menoleh ke kanan dan kiri. Arnold tidak bisa mengabaikan pikiran tentang Sarah, terlebih saat ini Emily sedang mengandung. "Kenapa lama sekali, Sayang?" tanya Emily ketika Arnold duduk kembali di kursinya. Minuman dan camilan mereka sudah tersaji di atas meja sejak beberapa waktu lalu. "Antre. Banyak orang, Sayang," jawabnya berbohong. Emily mengangguk pelan, lalu menyesap jus jeruk yang Arnold pesan untuknya. Mereka bertiga berbincang ringan, namun Arno
Sean tampak berpikir. Ia mencoba mengingat-ingat lagi, namun sulit karena dirinya tidak melayani secara langsung. Sean baru saja datang kala itu, jadi ia hanya melihat sekilas. "Mungkin yang kau bilang benar. Aku salah lihat, Arnold." Mendengar jawaban Sean, Arnold bisa bernapas lega. Setidaknya hingga resepsi selesai, Arnold ingin semuanya berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Cukup sudah beberapa hari ini ia memikirkan banyak hal yang tidak penting. Saat mereka berdua berbincang, Emily keluar dari kamar ganti dengan senyum lebar. Ia benar-benar puas dengan gaun resepsi karya Sean. "Sean, kami pamit. Terima kasih untuk gaun luar biasanya!" ujar Arnold sambil merangkul Emily. Keduanya tampak bahagia karena persiapan pesta sudah hampir rampung. Sean mengangguk. "Sampai ketemu di pesta. Aku sungguh tidak sabar melihat kalian bersanding!" Mereka bertiga saling menatap sejenak. Bukan hanya Sean, Arnold dan Emily pun tak sabar menantikan malam pesta itu tiba. --- "Bioskop, Rober
"Kenapa kau bertanya lagi?" Mandy berdiri menghadap jendela kaca, tangan terlipat di dada. "Bukankah kamu yang menginginkannya? Kau menginginkan Arnold dan tidak rela dia bersama wanita lain?" Jovanka terdiam di tempatnya. Tubuhnya bergetar, tak menyangka ibunya bisa melakukan tindakan nekat seperti ini. "Ma, sebaiknya kita pergi ke psikiater!" "Ke psikiater? Kau menganggap Mama gila, hah?!" Mandy menatap tajam ke arah Jovanka yang berdiri tak jauh darinya. Sorot matanya berkilat penuh amarah. "Kemari!" titahnya sambil menggerakkan telunjuk. Yolanda perlahan mendekat. Bibirnya pucat pasi. "Ingat, selesaikan apa yang sudah kita mulai. Dan Mama peringatkan, jangan pernah menceritakan apa pun kepada siapa pun—kalau kau tidak ingin bernasib sama seperti Yura!" Yolanda menggeleng cepat. Harusnya dia lebih peka sejak dulu, ketika ibunya tega mencekik hewan peliharaan mereka sewaktu di Jerman, hanya karena membuang makanan yang diberikan. Apa karena Papa selalu memukuli
Arnold kembali ke rumah dengan wajah lesu. Kalau hanya soal pekerjaan, dia tidak akan sepusing ini. "Sayang!" Emily yang sejak tadi menunggunya langsung menghambur ke pelukannya begitu Arnold masuk ke rumah. "Aku sudah menunggumu sejak tadi. Kau pulang terlambat tapi tidak mengabariku!" rajuk Emily sambil melepaskan pelukannya. Wajah cemberutnya bahkan masih terlihat sangat cantik di mata Arnold. "Maafkan aku. Tadi aku mampir ke rumah Mama sebentar, mengabari soal resepsi pernikahan kita." Tangannya terulur merapikan helaian rambut Emily, lalu turun mengusap lembut perut istrinya yang masih datar. Arnold benar-benar tidak sabar ingin melihat perut itu membesar. "Padahal aku juga rindu Mama. Tapi tidak apa-apa, besok aku ke rumah Mama ya, boleh?" tanyanya sambil bergelayut manja di lengan Arnold. "Boleh, apa sih yang tidak boleh untukmu?" Satu kecupan mendarat di pipi Arnold, disusul kecupan kedua di bibirnya. Baru saja keduanya hendak menuju tangga, Robert memanggil
Sepulang dari kantor, Arnold dan Robert langsung menuju Ting Resto. Arnold harus menemui karyawan yang semalam memaksa Emily meminum jus jeruk. Sepanjang perjalanan, Arnold tampak berpikir keras. Hidupnya yang semula sangat bahagia bersama Emily, tiba-tiba mulai dipenuhi masalah. Sulit rasanya menjalani kehidupan normal seperti pasangan lain. Namun, Arnold cukup sadar diri. Dulu ia memang bersikap sangat keterlaluan kepada Emily. Mungkin ini adalah teguran dari Tuhan. “Robert!” “Ya, Tuan.” “Menurutmu, aku punya musuh?” Sepanjang kariernya, Arnold nyaris tak pernah menghadapi masalah. Namun, akhir-akhir ini, beberapa kejadian mulai mengusik pikirannya. “Musuh pasti ada, Tuan. Terlebih, Tuan selalu berada di puncak dalam dunia bisnis,” jawab Robert. “Tapi itu dulu. Sekarang aku sudah bukan bagian dari Maurer. Masa jaya itu sudah lewat, dan kini aku mulai merintis dari bawah. Lalu, kenapa musuhku baru muncul sekarang?” “Saya juga tidak tahu, Tuan.” Robert tak berani ber
Emily mengangkat gelasnya dan bersiap meminumnya. Namun, aroma jeruk yang menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya membuatnya mual. “Kenapa baunya begini?” batinnya. Emily meletakkan kembali jus jeruk itu dan mengambil tisu untuk mengusap hidungnya yang berair. Penciumannya sangat sensitif. “Ada apa, Nyonya?” tanya pelayan itu cemas. Ia harus memastikan Emily meminum jus itu, agar orang yang menyuruhnya tidak mencelakai adiknya. Ya, dia dipaksa membubuhkan racun ke dalam minuman Emily agar adiknya selamat dari tangan penjahat. Entah mimpi apa semalam, Yura mendapat telepon dari orang tak dikenal. Orang itu tahu tentang reservasi Arnold Edgar dan menyuruhnya memasukkan bubuk racun yang telah dikirimkan sebelumnya. Yura tentu saja menolak. Namun, malangnya, adik laki-lakinya berada di bawah kekuasaan orang jahat itu. Orang tersebut berjanji akan membantunya menyelesaikan kasus hukumnya, asalkan Yura “bermain bersih”. “Entahlah, aku mual. Maaf, bawa saja kembali jus jeru
"Kenapa kau bertanya seperti itu? Apa kau masih tidak percaya padaku?" Arnold memegang kedua pundak Emily dan menatap lembut manik mata sendu istrinya. "Tidak, bukan begitu..." Keraguan kini melanda. Haruskah Emily jujur? Atau diam saja dan melupakan pesan ancaman itu? Ia tercenung sejenak. Suaminya baru saja mengalami kejadian yang tidak mengenakkan—haruskah ia menambah beban pikirannya? "He, Sayang. Kenapa melamun?" Arnold mengusap pipi Emily dengan punggung tangannya. Pipi lembut itu tampak merona alami. "Arnold, kita bicara di kamar saja," ucap Emily, kemudian menarik lengan suaminya dan membawanya meniti anak tangga. Sesampainya di kamar, Arnold langsung mengunci pintu. Tanpa banyak bicara, ia membopong Emily dan merebahkannya di tempat tidur. "Arnold, aku ingin bicara dulu!" Emily hendak bangkit, namun Arnold menahan tubuhnya. "Nanti saja. Masih banyak waktu untuk kita berbincang. Aku sudah tidak tahan..." Emily hendak memprotes, namun bibirnya lebih dulu d