Beranda / Romansa / Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO / Bab 3. Siksaan Sepanjang Malam

Share

Bab 3. Siksaan Sepanjang Malam

Penulis: Silvania
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 10:37:20

Emily sontak menoleh, betapa kagetnya dia saat melihat Arnold datang.

Jantung Emily seketika berdebar kencang, dadanya naik turun. Arnold menatapnya tanpa berkedip, lagi, hanya dengan melihat tubuh Emily, membuat miliknya langsung berontak.

Arnold berjalan pelan sambil membuka kancing piyamanya. Diraihnya pinggul Emily dan didekapnya erat.

Bibirnya sudah berlabuh di bibir Emily, membuat perempuan itu hanya bisa pasrah.

Dengan satu gerakan cepat, Arnold membawa Emily ke atas ranjang dan menyingkap handuk itu.

Lagi dan lagi, Arnold menyerangnya....

**

"Akh..." Emily terbangun dalam keadaan seluruh tubuh ngilu, Arnold benar-benar menyiksanya sepanjang malam. Dia bahkan tidak memberi Emily waktu untuk beristirahat.

Kasur, sofa, dinding, bahkan bath up menjadi saksi bisu betapa ganasnya Arnold.

Saat bangun, Emily hanya sendirian. Arnold sudah tidak ada di sisinya. Emily menyeret kakinya ke kamar mandi.

Kini sudah satu bulan Emily menjadi istri kedua Arnold.

Arnold juga tidak sekasar saat pertama, dia datang tanpa berbicara sepatah kata pun, melepaskan pakaiannya dan menidurinya. Tidak ada paksaan maupun bentakan, tapi Emily malah merasa dirinya hanyalah seperti boneka pemuas nafsu yang ditinggalkan begitu saja setelah Arnold puas menjamahnya.

Dan parahnya lagi, semingguan ini Arnold melampiaskan hasratnya hingga menjelang pagi dan membuat Emily tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kalau tidak karena terpaksa, Emily tidak akan bangun saking sakitnya pangkal pahanya.

Tiba-tiba perutnya terasa mual. Emily pergi ke kamar mandi dan muntah, tetapi yang keluar hanya cairan. Mualnya benar-benar tak bisa ia tahan, padahal ia sudah berusaha mengosongkan isi perutnya, tetapi tetap saja tidak ada yang keluar selain cairan.

"Ada apa denganku," desahnya lirih sembari memijit pelipisnya yang terasa pening. Emily kemudian memutuskan berendam di air hangat agar bisa menghilangkan sedikit mual dan pusingnya.

Akan tetapi, selesai mandi, Emily kembali mual, ia mencoba untuk mengeluarkan apa saja yang ada di dalam perutnya, namun nihil.

Mengingat hari ini ibu mertuanya datang, dengan terpaksa Emily menyeret kakinya menuruni anak tangga, meskipun tubuhnya lemah dan wajahnya pucat.

Sesampainya ia di meja makan, semua orang sudah ada di sana, mereka menunggunya atas perintah dari Nyonya Ruby.

Nyonya Ruby langsung berdiri, memeluknya dengan hangat, sementara di sudut lain Sarah memasang senyum palsunya.

Melihat wajah Emily yang tampak pucat, Arnold merasa istri keduanya tersebut tidak sedang baik-baik saja, ia khawatir Emily akan terjatuh, melihat bagaimana lemasnya Emily saat berjalan. Namun, belum sempat ia mengutarakan kecemasannya, Sarah yang juga memperhatikan Emily sadar bahwa Arnold ingin menginterupsi pembicaraan Nyonya Ruby, sehingga ditariknya tangan Arnold dan digenggamnya mesra.

Mereka semua menuju makan dan duduk bersama-sama. Emily di samping Nyonya Ruby, dan Sarah di samping Arnold, berusaha menguasainya sepenuhnya. Makanan datang, terlihat sangat lezat. Nasi goreng, makanan favoritnya. Tetapi, entah mengapa makanan itu berbau tidak enak. Aneh. Baunya sangat kuat sampai akhirnya, “Hoek…”

Arnold menoleh, menatap Emily dengan bingung.

“Maaf, a-aku… Hoek…”

Tak tahan lagi, Emily lari ke kamar mandi. Arnold sontak berdiri untuk mengikuti, tetapi Sarah menahannya.

Akhirnya Nyonya Ruby yang menghampiri Emily.

Setelah cukup lama berada di toilet, Emily keluar dengan wajah pucat dan keringat dingin di keningnya. Nyonya Ruby langsung membimbingnya dan membawanya ke luar rumah, Arnold yang bingung lantas mengejar ibunya.

"Emily mau dibawa ke mana, Ma?"

"Mama mau membawanya ke Dokter untuk memastikan!"

Emily langsung membelalak saat mendengar kata ke dokter. Ia juga baru ingat bahwa tamu bulanannya sudah datang terlambat, terlebih Arnold terus mengajaknya untuk berhubungan. Mendadak, Emily mengelus perutnya yang masih datar.

Tanpa menunggu respons Arnold, atau memperhatikan wajah Emily yang berubah, dengan cepat, Nyonya Ruby memanggil sopir, masuk ke dalam mobil bersama Emily, dan meninggalkan kediaman Arnold.

Sarah yang menyusul belakangan langsung menggandeng tangan Arnold yang masih menatap kepergian mama dan istri keduanya.

"Ada apa, Hon?" tanyanya mesra.

Tanpa sadar Arnold menarik tangannya, kemudian menatap Sarah. “Mereka akan ke rumah sakit untuk memastikan sesuatu, lebih baik aku pergi dulu.”

Arnold lalu mencium kening Sarah dan berpamitan, meninggalkan Sarah yang terlihat kesal.

***

Nyonya Ruby berteriak girang saat Dokter mengatakan Emily hamil. Dia lantas memeluk Emily dan ingin mencium pipinya, tetapi Emily menundukkan wajahnya. Emily merasa dirinya tidaklah pantas menerima perlakuan istimewa dari Nyonya Ruby.

Mendapat penolakan dari Emily, Nyonya Ruby tidak putus asa, dia lantas mengelus elus perut rata Emily.

“Ini cucuku, sebentar lagi kamu akan menjadi ibu dan aku akan menjadi nenek!”

Setelah itu, Nyonya Ruby menyuruh supir untuk mengantarkan mereka ke toko perhiasan langganannya, dan membelikan Emily sebuah kalung dan perhiasan berlian yang tadi sempat Emily curi-curi lihat.

Sesampainya di rumah, Nyonya Ruby mengajak Emily untuk duduk santai di ruang keluarga. Dia membuka semua paper bag berisi perhiasan yang dia beli tadi. Dibukanya salah satu kotak perhiasan berwarna merah menyala dengan hiasan gambar angsa di atas kotaknya.

“Apa kau menyukainya, Sayang?” tanyanya sambil mengangkat sebuah kalung berliontin berlian ke arah Emily.

Emily mengerjapkan matanya.

“Hei, kenapa diam saja,” tegurnya ramah. “Apa kau menyukainya? Mama membelikannya untukmu!” Seulas senyum manis terbit di bibirnya.

“Ini terlalu mahal, Nyonya!”

“Berhenti memanggil Nyonya, panggil Mama! Ya? Mama. Kau adalah menantuku dan aku membelikan ini untukmu."

Ekspresi bahagia yang ditunjukkan Nyonya Ruby tidak membuat Emily bahagia, dia justru tersadar akan posisinya sebagai ibu pengganti. Setelah bayi ini lahir ke dunia, maka Emily harus menyerahkannya kepada Sarah dan Arnold.

Emily lantas menggeleng dengan cepat sambil mengelus perutnya. “Tidak, bukan begitu, maksud saya, Nyo … eh, Mama!”

Nyonya Ruby kembali tersenyum. “Aku adalah mamamu, jadi kamu harus menerimanya!”

Tanpa menunggu persetujuan dari Emily, Nyonya Ruby melingkarkan kalung berlian yang sedari tadi di pegangnya ke leher Emily. Emily tidak lagi bisa menolak.

“Cantik sekali! Sangat cocok denganmu!”

Sarah keluar dari kamarnya, ia hendak mengambil minuman dan tidak sengaja melewati Emily dan Nyonya Ruby. Tatapannya jatuh pada leher wanita itu, sebuah kalung dengan liontin berlian berukuran besar melingkar di lehernya.

"Emily, kalungmu indah sekali," pujinya. Ia tersenyum tetapi di dalam hatinya mengutuk. Selama menikah dengan Arnold, ibu mertuanya tak pernah sekalipun membelikannya perhiasan.

"Iya, aku yang membelikannya untuk Emily sebagai hadiah."

Jawaban Nyonya Ruby semakin memantik rasa cemburu Sarah. Ia mengulas senyum terpaksa dan memilih kembali ke kamar, dengan tangan terkepal. Ingin marah tapi ia tak punya hak.

"Bersiap-siaplah, kamu bisa memakai perhiasaan itu saat Arnold sudah sampai."

Emily mengangguk dan membawanya ke kamar. Ia mendesah pelan dan kembali mengelus perutnya. Calon buah hatinya bersama Arnold. Ada perasaan senang, tetapi juga sedih yang muncul ketika mengetahui keberadaannya. Tetapi Emily berusaha menepis rasa sedihnya karena takut anaknya juga akan merasa seperti itu. Anak ini pasti akan tumbuh dengan baik bersama keluarga papanya.

Emily ke kamar untuk mandi, badannya sudah lengket apalagi cukup banyak ia harus diperiksa di rumah sakit. Sebelum itu, ia menaruh kalung dan semua perhiasaan di kotak persiapan.

Dua puluh menit kemudian, ia telah selesai sambil bersiap-siap. Terdengar suara mobil dan klakson mobil. Pasti Arnold sudah pulang. Nyonya Ruby juga memanggilnya, yang dijawab Emily dengan cepat.

Tetapi, tepat ketika dia membuka kotak perhiasannya, matanya membelalak dengan sempurna. Bagaimana ini...?

Emily menyentuh semua perhiasan itu dengan tangan gemetar. Semua kalung dan perhiasan yang diberikan ibu mertuanya telah rusak.

Bunyi langkah kaki semakin terdengar dekat, Emily bisa mendengar Nyonya Ruby mengobrol dengan Arnold. Emily panik.

Pada saat itu, ibu mertuanya muncul di depan pintu, lalu masuk sambil bertanya, “Emily, kenapa kamu belum turun?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 273. Sweet Moment

    Arnold berdiri, menatap Emily dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua tangannya menangkup pipi istrinya dengan penuh perasaan.“Sayang,” ucapnya lirih, suaranya bergetar.Ia mengecup bibir Emily dengan singkat, penuh kerinduan yang mendalam.“Kau tidak apa-apa? Apa kau terluka?” tanyanya sambil meraba kedua tangan Emily, lalu menelusuri tubuhnya dengan cemas, seolah memastikan bahwa istrinya benar-benar baik-baik saja.“Aku baik-baik saja, Arnold,” jawab Emily lembut.Arnold menghela napas lega, tetapi tiba-tiba wajahnya berubah tegang. “Di mana wanita iblis itu?”Emily mengerutkan kening. “Wanita iblis?”“Sarah! Apa dia sudah mendekam di penjara?” suara Arnold meninggi, penuh emosi.Emily terdiam. Nama Sarah membuat hatinya ikut bergetar. Melihat raut wajah suaminya, ia tahu bahwa ingatan Arnold sudah sepenuhnya kembali. Air matanya mulai berkaca-kaca.“Sarah… tewas, Arnold. Andreas yang menembaknya. Malam itu Andreas mengikuti Sarah karena sehari sebelumnya dia sudah menemukan data ide

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 272. Aku Ingat Semuanya

    Sebulan berlalu. Di sela-sela pekerjaannya yang padat, Arnold selalu meluangkan waktu untuk menjalani terapi bersama dokter saraf yang direkomendasikan oleh Nyonya Ruby. Setiap minggu, jadwalnya selalu disesuaikan agar ia tidak melewatkan satu sesi pun. Terapi itu mulai membuahkan hasil. Ada banyak kemajuan yang ia rasakan, tentu berkat kesabaran Emily yang selalu mendukungnya, serta profesionalisme dokter spesialis saraf yang menanganinya.Perubahan yang paling mencolok terlihat ketika Arnold berada di kantor. Tanpa harus berpikir keras, ia bisa menganalisis data proyek dengan cepat dan tepat, sesuatu yang dulu sempat terasa sangat berat baginya setelah kehilangan ingatan. Namun, ada satu hal yang masih terasa sulit: mengingat orang-orang di sekitarnya. Wajah-wajah yang sempat dekat dengannya terasa seperti kabur. Hanya Emily yang terkadang muncul samar di benaknya—mungkin karena kenangan mereka berdua terlalu mendalam hingga tidak sepenuhnya hilang dari ingatannya.“Tuan, Nyonya Emi

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 271. Hasrat Alami

    Arnold menatap Emily dengan tatapan dalam. Kata-kata Emily tadi begitu menusuk hatinya. Ia bisa merasakan betapa seriusnya wanita itu menjaga arti sebuah kesetiaan. Dengan perlahan, ia menggenggam kedua tangan Emily yang masih menempel di pipinya, menurunkannya, lalu meremasnya lembut. “Emily…” Arnold menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian. “Aku memang kehilangan ingatan tentang masa lalu kita, tapi aku tidak akan pernah rela membuatmu terluka karena alasan seperti itu. Aku berjanji—setia hanyalah untukmu.” Emily mengerjap pelan, matanya berembun. Ia bisa merasakan ketulusan dalam suara Arnold, meski ada sedikit getaran yang menyiratkan rasa takut kehilangan. Arnold menunduk, mengambil kelingking Emily dan mengaitkannya dengan kelingkingnya. Gerakannya begitu hati-hati, seperti sebuah ritual sakral. “Aku berjanji dengan ini,” ucapnya lirih namun tegas, “tidak akan ada godaan, tidak ada wanita lain, hanya kau satu-satunya. Jika aku melanggar, biarlah aku menanggung se

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 270. Berjanjilah

    Arnold menatap semangkuk sup kepiting yang terhidang di depannya. Uap panasnya mengepul tipis, membawa aroma gurih manis khas kepiting yang langsung menggugah selera. Aroma kaldu yang kaya bumbu itu terasa hangat menelusup ke hidungnya, membangkitkan rasa penasaran. “Cobalah,” pinta Emily dengan suara lembut, sambil meletakkan sendok di tangan Arnold. Arnold menatap sendok itu, kemudian melirik Emily. “Ini… makanan kesukaanku?” tanyanya ragu, matanya meneliti sup itu seolah berharap ada secercah memori yang muncul. Emily mengangguk cepat, matanya berbinar penuh keyakinan. “Ya, kau sangat menyukainya. Kau sering memintaku untuk membuatkan ini. Katamu, sup kepiting buatanku tidak ada tandingannya.” Arnold menarik napas dalam, lalu perlahan memasukkan sesendok kuah gurih dengan potongan kepiting ke dalam mulutnya. Sesaat ia terdiam, mulutnya terkatup rapat. Lidahnya merasakan rasa yang kaya dan lembut, ada perpaduan gurih kaldu dan manis daging kepiting yang begitu menggoda. Seketik

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 269. Cemburu

    Pintu kamar diketuk pelan, membuat Arnold terpaksa melepaskan pelukan hangatnya pada Emily. Ia beranjak dari tempat tidur, berjalan dengan langkah ringan namun penasaran, lalu membuka pintu.“Ada apa, Sanny?” tanyanya spontan.“Sally, Tuan,” koreksi perempuan di hadapannya, tersenyum maklum.Arnold mengerjap sebentar lalu menghela napas. “Maaf, aku lupa. Ada apa?” tanyanya lagi, suaranya terdengar sedikit canggung.“Ada tamu untuk Tuan. Katanya dari EAB, namanya kalau tidak salah Daisy,” jelas Sally sopan.Arnold terdiam sejenak. Nama itu tidak membangkitkan memori apa pun di kepalanya. Bahkan nama-nama keluarganya sendiri saja masih terasa asing di ujung ingatannya. Daripada memaksa mengingat, Arnold memilih untuk langsung menemui tamu tersebut.Ia menuruni anak tangga perlahan, dan setibanya di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang duduk dengan elegan di sofa. Wanita itu mengenakan blouse putih rapi dipadukan dengan rok mini span hitam yang ketat, membuat pen

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 268. Aku Mencintaimu Lagi

    Emily terdiam mendengar pertanyaan itu. Napasnya tercekat, dan jemarinya yang masih memegang pakaian kecil Cassie tiba-tiba berhenti bergerak. Dalam hatinya, pertanyaan Arnold terasa seperti guratan tajam. “Lalu apa kau rela aku menikah lagi?” Suara Arnold terdengar begitu serius, seakan bukan sekadar bercanda. “Arnold...” Emily menatap suaminya, mencari tanda-tanda bahwa kalimat itu hanya gurauan. Namun, tatapan mata Arnold tak main-main, menunggu jawaban darinya. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau ingin mengujiku?” Arnold mengangkat satu sudut bibirnya, senyum samar yang sulit dibaca. “Aku hanya ingin tahu... bagaimana kalau ternyata aku bukan pria yang pantas untukmu? Bagaimana kalau... aku bukan lagi Arnold yang dulu?” Emily menelan ludah, hatinya berdesir. Kata-kata itu menohok perasaannya, namun di sisi lain ia sadar bahwa Arnold masih berjuang dengan ingatan yang belum kembali sepenuhnya. Perlahan, ia meletakkan pakaian Cassie ke atas rak, lalu menatap suaminya lekat-leka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status