“Duh, gimana, dong? Mana Hasan udah OTW mau ke sini! Gue jadi gak bisa ke mana-mana!” Kalina terdengar mengeluh pada seseorang yang sedang dihubunginya. “Masa lo gak bisa paksain, sih? Bantuin gue kali ini, kek.”
“Masalahnya itu satu minggu, Lin. Kalo cuma semalem mah gue bisa.” Dona memberi alasan sebelum akhirnya memberi saran, “Lo cancel aja, sih.” “Mana bisa! Lo tau sendiri si botak bakal maki gue habis-habisan! Apalagi dia udah nerima duitnya!” Kalina berteriak frustasi. “Ya, abis gimana? Lagian rencananya mendadak banget. Job gue udah full, Lin.” Dona tetap tak bisa membantu apa-apa. “Kenapa juga si Hasan datang tiba-tiba gitu? Cowok lo aneh! Gak tau jadwal!” “Gue lagi berantem sama dia, terus dia mau ke sini.” Kalina lanjut menceritakan masalahnya. Fazia Azara, gadis yang baru saja lulus SMA itu tak sengaja menguping obrolan sang majikan. Kalina memang seorang janda satu anak yang dikenal sebagai PSK, tapi Fazia tidak peduli karena pekerjaannya hanya sebatas antar jemput anak Kalina ke sekolah setiap hari. Sepertinya Fazia tahu Kalina dilema karena apa. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja sebuah ide konyol yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya terlintas begitu saja. Hanya satu yang dia inginkan saat ini, yaitu mencari uang untuk melarikan diri dari rumah dan keluarganya yang berantakan. “Butuh bantuan, Mbak? Mungkin aku bisa bantu.” Fazia menawarkan diri dalam keadaan kalut. “Emang lo ngerti yang gue bahas barusan?” Kalina menatapnya curiga bercampur was-was. Fazia mengangguk pelan, padahal hati kecilnya merasa tak yakin. Kalina yang menganggap gadis itu bersungguh-sungguh pun segera mengatur rencana. Saat itu juga, Fazia diberikan banyak arahan dan nasehat agar menggantikan dirinya menjadi teman ranjang untuk seorang pria selama satu minggu. Bodoh! Mungkin semua orang akan mengatai Fazia dengan kalimat itu atas keputusannya yang gegabah dan tergesa-gesa. Namun, dia benar-benar tidak ingin pulang ke rumah. Untuk apa? Hanya akan mendengar bujukan ibunya dan mendapat makian atau bahkan pukulan dari sang ayah. *** Jam menunjukkan pukul delapan malam ketika Fazia tiba di tempat tujuan, sebuah villa yang terletak di pesisian pantai pedalaman Kota Cilegon. Entah mengapa gadis itu merasa gugup, niat yang tadi sudah bulat kini terasa ambruk. Bisakah waktu diputar kembali? Dia tidak ingin berada di tempat yang sangat asing itu. Penampilan Fazia kini sudah persis seorang PSK. Tak hanya pakaiannya yang sangat terbuka, tapi wajahnya pun dirias sedemikian rupa. Belum apa-apa, dia sudah merasa menjadi wanita paling hina. Namun ketika mengingat keluarganya yang tidak harmonis, tekadnya kembali sekuat baja. Tidak seperti dugaan Fazia, ternyata pria yang menyewa Kalina masih sangatlah muda, bukan pria tua bangka dengan perut buncit dan mata jelalatan. Pertama kali bertemu, wajah pria itu terlihat seperti pria baik-baik, sopan, ramah, tidak ada gelagat bajingan sama sekali. Jujur saja, Fazia terpana pada pandangan pertama. “Mirza.” Pria tampan itu tiba-tiba mengulurkan tangannya usai mempersilakan Fazia untuk masuk. “Gaby.” Fazia turut memperkenalkan diri menggunakan nama samaran. “Berapa usia kamu?” Mirza menelisik Fazia dari atas sampai bawah dengan tatapan biasa saja. “18, Pak.” Fazia memaksakan senyumnya. “18?” Mirza mengernyit tak percaya, penampilan gadis berambut sedada itu terlihat seperti sudah dewasa. “Kenapa, Pak?” Fazia ikut memperhatikan penampilannya dengan perasaan tak nyaman. “Kayaknya kamu masih amatir.” Mirza menatap remeh, padahal dia merasa tak tega. “Saya mau ganti.” “Aku gak amatir, kok.” Fazia menyangkal dengan percaya diri. “Saya tetap mau ganti.” Mirza tak peduli, segera mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang. “Aku lagi butuh uang, Pak.” Fazia tak malu menampilkan wajahnya yang memelas. Mirza terdiam beberapa saat, berusaha menimang keputusannya. “Jangan panggil pak. Saya bukan atasan kamu dan saya masih muda.” Ia akhirnya mengiyakan. “Om?” Fazia menawarkan panggilan lain. “Emang saya kelihatan udah om-om?” Mirza tentu tak terima atas panggilan itu. “Nggak, sih.” Fazia menggeleng dengan cepat, khawatir Mirza tersinggung. “Daddy, gimana?” “Daddy?” Mirza terkekeh geli. “Apa yang lucu? Kalo manggil mas, 'kan, malah kayak orang pacaran.” Fazia membatin kesal. “Terus panggil apa? Tuan? Mister?” tawarnya. “Ehem.” Mirza segera menetralkan ekspresinya. “Panggil kakak aja biar lebih enak didenger.” “Oke.” Fazia manggut-manggut tanda mengerti. “Waktunya makan malam. Kebetulan saya juga udah lapar.” Mirza lalu berjalan ke ruangan lain. Fazia sempat terdiam bingung, akan tetapi dia bergegas menyusul ke mana Mirza pergi. Melihat pria itu sudah duduk di hadapan meja makan dengan beberapa hidangan di atasnya, ia pun berinisiatif untuk melakukan sesuatu semata-mata memulai 'pekerjaannya'. “Mau makan apa aja?” Fazia sigap membalikan piring yang sudah tertata rapi di atas meja. “Siapa yang minta kamu layani saya di meja makan?” Mirza menatap bingung, baru tahu tugas seorang PSK melayani makannya juga. “Duduk. Ikut makan. Jangan sampai kamu sakit di sini.” Fazia merasa konyol sendiri akibat nasehat dari Kalina, 'layani pria itu seperti raja'. Tak heran, dia yang tak terbiasa pun bersikap aneh dan berlebihan. Tanpa penolakan, Fazia duduk di hadapan Mirza untuk ikut makan. Suasana saat itu mendadak hening, keduanya malah sibuk dengan pikiran masing-masing. Mirza sebenarnya risih atas kehadiran Fazia. Sudah satu bulan dia mengasingkan diri di tempat itu, merenungkan banyak hal terutama cintanya yang berakhir menyakitkan. Jangankan bermain wanita, mengenal minuman keras saja baru kali ini, itu pun karena dia sedang patah hati. Tanpa persetujuan, teman sekaligus pemilik villa tersebut—Gustaf, mengirimkan seorang wanita untuk menemani kesendiriannya. Baiklah, tak apa, sepertinya melakukan hal baru dan bersenang-senang bisa sedikit mengobati luka hatinya. Namun, jujur saja Mirza ragu mengetahui usia Fazia yang belum dewasa, seumuran adiknya. “Orang tua kamu tau kamu kerja kayak gini?” Mirza berusaha mencari topik pembicaraan. “Gak tau, Kak.” Fazia menggeleng malas. “Selain buat kebutuhan sehari-hari, ada lagi alasan kamu kerja gini?” Mirza ingin tahu alasan seorang wanita menjadi PSK. “Misalnya buat beli tas branded, HP, mobil, atau bahkan apartemen?” “Aku punya alasan sendiri yang gak bisa diceritain ke orang lain.” Fazia menolak menjelaskan. Terlalu rumit, tak yakin Mirza akan mengerti. “Sejak kapan kamu terjerumus ke dunia hitam? Juga, mau sampai kapan? Gak mungkin kamu kerja gini terus, 'kan?” Mirza sungguh menyayangkan 'pekerjaan' Fazia saat ini. “Masa depan kamu masih panjang, jadi harus ada kemauan buat jadi lebih baik kedepannya.” “Aku mau kuliah, cari kerjaan yang halal, dan mungkin juga cari calon suami.” Fazia hanya asal menjawab, tak tertarik untuk membahasnya. “Jangan buru-buru nikah, apalagi usia kamu masih belasan tahun.” Mirza memberi saran sebagai orang dewasa, tepatnya kakak. “Punya pacar?” “Enggak ada, Kak.” Fazia menjawab jujur. “Bagus.” Mirza mengangguk senang. “Fokus sama pendidikan, kejar cita-cita selagi bisa.” “Kakak sendiri punya pacar?” Fazia memutar pertanyaan, sekadar basa-basi tidak penting. “Kalo saya punya pacar, gak mungkin saya biarin cewek lain deket-deket saya kayak sekarang ini.” Mirza tersenyum tipis sembari menggeleng. Fazia semakin terpesona, sungguh. Tak hanya tampan dari segi rupa, sikap Mirza juga sangat dewasa. Jawaban pria itu menandakan sebuah kesetiaan, matanya terdapat ketulusan, suaranya penuh kelembutan, kalimatnya pun sangat meyakinkan. Sulit dipungkiri bahwa sosok Mirza adalah impiannya. Tunggu, hentikan! Fazia langsung teringat pada alasannya berada di sana, yaitu menjadi seorang pemuas nafsu! Artinya pria itu sudah sering memanggil seorang PSK, tidak seperti wajahnya yang terlihat pria baik-baik dan santun. Ah, semua pria sama saja, Fazia jadi sulit membedakan golongan mereka! Usai makan malam, Mirza membawa Fazia ke ruang TV. Meski terasa aneh karena pria itu tidak membawanya ke kamar, Fazia tetap diserang rasa panik ketika lampu dimatikan. Gelapnya ruangan itu sedikit memudar saat TV dinyalakan. Mungkin Mirza ingin menonton sebuah film sebelum 'ritual'? Ternyata Mirza duduk di lantai beralas karpet setelah menyalakan PlayStation 5, lalu tak lama dari itu tulisan Call Of Duty pun menghiasi layar TV. Hey, apa maksudnya ini? Fazia duduk di sofa sendirian dengan jarak yang cukup jauh. Dia merasa menjadi orang linglung yang tersesat di suatu tempat. Tidak ada yang Fazia lakukan selain menonton gameplay tanpa minat, sedangkan Mirza tampak asyik sendiri, tak mempedulikan gadis yang duduk di belakangnya. Sebenarnya suasana sangat sunyi, justru berisik oleh suara tembakan-tembakan dan interaksi dari dalam game bergenre first person shooter itu. “Kamu ngantuk?” Mirza menoleh sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke layar TV. “Enggak, Kak.” Fazia pura-pura tidak jenuh. “Kalo ngantuk tidur aja di kamar. Saya gak minta kamu begadang buat temenin main game,” kata Mirza seakan ada atau tidaknya Fazia tidaklah berarti. “Itunya kapan?” Fazia membatin. Bukan tak sabar, dia hanya penasaran. “Mau minum?” Mirza menoleh lagi hanya untuk menawarkan. “Aku gak haus.” Fazia menggeleng cepat. “Maksudnya ... minuman keras.” Mirza merasa heran, Fazia terkesan polos atau hanya pura-pura polos? “Oh ....” Fazia baru ingat istilah minum, yaitu mabuk-mabukan. “Nanti aja, Kak. Santai.” “Ganti baju kamu kalo ngerasa gak nyaman,” pinta Mirza yang kali ini mulai fokus pada game. “Aku gak bawa baju banyak. Udah gitu yang dibawa ya yang gini-gini.” Fazia jadi bingung. “Pake baju saya aja kalo mau. Bebas mau pilih yang mana.” Mirza pikir itu lebih baik dibanding setelan kurang bahan yang dipakai Fazia sekarang ini. “Oke.” Fazia mengangguk tanpa bantahan. “Satu lagi.” Mirza berhasil menghentikan pergerakan gadis itu. “Hapus make up kamu.” “Iya, Kak.” Fazia berlalu dari pandangan. Entah apa yang salah dari penampilan Fazia, kelihatannya Mirza tidak tertarik sedikit pun. Tidak masalah, gadis itu justru merasa senang bisa terlepas dari penampilan yang bukan style-nya sama sekali. Semua pakaian yang dibawanya milik Kalina, tidak ada satu pun pakaian yang tertutup dan sopan. Selesai berganti pakaian dan menghapus make up, Fazia kembali ke ruang TV dengan penampilan baru. Namun, hal itu tidak mengganggu fokus Mirza pada game! Fazia semakin bingung, apa yang harus dia lakukan? Jangankan memulai lebih dulu, dia bahkan belum pernah berpacaran. Cukup lama menonton gameplay yang dimainkan Mirza tanpa perbincangan apa-apa, Fazia tak bisa menahan rasa kantuk hingga dia tertidur dengan posisi asal. Otaknya sudah tidak mau berpikir konsekuensi akibat tidur di dekat pria asing, jiwanya juga terkesan pasrah. Seakan memiliki alarm pada tubuhnya, Fazia terbangun di jam enam pagi karena sudah terbiasa. Tubuhnya terasa pegal sekali, mungkin karena tidur di sofa dan pergerakannya terbatas untuk berganti posisi. Tunggu, di mana ini? Tempat itu sangat asing dan ... siapa yang telah menyelimuti tubuhnya? Reflek, Fazia bangkit dari baringnya. Seketika itu juga dia mendapati Mirza tertidur di karpet dengan kondisi TV dan game console yang masih menyala. Sepertinya pria itu juga ketiduran? Juga, sepertinya tidak terjadi apa-apa karena pakaian Fazia masih sama seperti semalam. Membayangkan Mirza menyelimuti tubuhnya, Fazia tak bisa menghentikan perasaan yang mendadak bergemuruh dalam hati. Pria itu sangat perhatian, bukan? Sebenarnya apa niat Mirza memanggil seorang PSK tapi tidak dia sentuh sedikit pun? Fazia tak mengerti sama sekali. Sedang asyik memandangi wajah Mirza yang terlihat damai tanpa ekspresi, Fazia dikejutkan oleh seorang wanita yang tiba-tiba masuk tanpa menekan bell ataupun mengetuk pintu lebih dulu. Sontak saja gadis itu terdiam kaku, sama seperti wanita yang baru saja datang.Untuk sesaat, Fazia tertegun memandangi bangunan villa di hadapannya, teringat saat pertama kali dia datang ke sana. Tempat itu tak hanya menjadi saksi hancurnya kesucian seorang wanita, tapi tempat itu juga menjadi saksi berseminya cinta yang tercipta dalam waktu tujuh hari tujuh malam. Fazia tersenyum penuh arti. Dulu dia datang sebagai wanita bayaran, sekarang dia datang sebagai istri dari pemilik villa itu sendiri. Ya, mudah bagi takdir untuk membolak-balikan keadaan, menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang bahkan tak pernah Fazia bayangkan sebelumnya. Semua ruangan sudah dibersihkan oleh Ratri sebelum mereka datang, jadi mereka hanya perlu merapikan bahan-bahan makanan yang dibawa dari kota. Selesai merapikan semua bahan makan, Fazia membuat beberapa camilan untuk melengkapi sore hari di halaman belakang, tempat favoritnya. Mirza berlalu dari pandangan, lalu kembali dengan celana boxer tanpa atasan. Pria itu melewati Fazia begitu saja, berjalan menuju alat
Kamar kedua yang semula ditempati Mirza untuk beristirahat, kini menjadi ruangan kerja meski tidak ada meja komputer di dalamnya. Tak apa, yang penting dia bisa menyelesaikan pekerjaannya malam ini agar besok tak perlu ke kantor dan dia bisa membawa sang istri ke villa untuk berlibur sesuai rencananya. Mendengar percakapan Fazia bersama Citra melalui sambungan telepon, sekali lagi Mirza merasa tak percaya dengan statusnya, yaitu memiliki seorang istri. Sekarang tempat itu tak lagi sunyi seperti dulu, tak hanya ada dirinya yang biasanya membisu. Ah, dia tidak sabar ingin mendengar tangis dari anaknya.Tunggu ... Konsentrasi Mirza mulai terganggu karena sesuatu. Walaupun posisi dia di dalam kamar sedangkan Fazia berada di ruang TV, pintu kamar terbuka lebar, tentu saja obrolan istri dan adiknya dapat dia dengar, terlebih Fazia mengaktifkan pengeras suara. Tak mau diam saja, ia pun segera menghampiri. “Masa, sih, Kak Rio suka nanyain gue?” Fazia mengerutkan keningnya usai Citra bicara
Entah sudah berapa kali Citra menelpon, yang jelas Fazia sedang malas menjawabnya. Dia lebih asyik memasak seraya menyanyikan lagu-lagu romantis yang mengiringi keceriaan hatinya saat ini. Tak hanya sering tersenyum kecil, pikirannya pun sibuk berkhayal hal indah. Sikap manis nan romantis seorang Mirza pagi ini benar-benar membuat suasana hati Fazia teramat berbunga-bunga. Dulu dia sering kali membayangkan Mirza menjadi suaminya, tapi ternyata bayangan itu tidak ada apa-apanya. Kehangatan Mirza sekarang melebihi sebatas teman ranjang yang pernah terjadi dulu. Melihat beberapa menu makan yang sudah matang di atas meja, Fazia jadi memikirkan sesuatu. Sepertinya tidak masalah jika dia membawa makanan itu ke kantor dan makan siang bersama suaminya di sana, karena sejujurnya dia penasaran isi kantor itu seperti apa dan siapa saja penghuninya. FaziaKak, kalo aku ke sana bawa makan siang, gimana?11:03MirzaNanti kamu repot, By. 11:05FaziaGak apa-apa. Aku gak repot, kok. 11:06Mirza
Makan malam sudah tertata rapi di atas meja, berbagai hidangan kesukaan Mirza pun ada di sana. Penampilan Fazia sangat menantang walaupun potongan lingerie yang dipakainya tidak terlalu terbuka, setidaknya Mirza akan merasa heran sekaligus terkagum-kagum karena dia tak pernah berpakaian seperti itu. Detik demi detik terus Fazia lalui dengan rasa ketidaksabaran, sampai tak terasa sudah berjam-jam lamanya dia menanti kepulangan sang suami yang tak kunjung datang. Sempat ingin menanyakan keberadaannya, tapi Fazia menahan diri untuk tidak melakukan itu agar Mirza mengira dirinya tidak peduli. Entah sudah berapa kali Fazia menguap, menahan rasa kantuk yang semakin kuat. Ia berbaring di sofa, menonton siaran TV tanpa minat. Sampai tiba-tiba, pintu utama yang tak jauh dari sana terbuka. Niatnya tadi untuk menyambut hilang, sebaliknya dia malah memejamkan mata seolah ketiduran di sana.Awalnya Mirza terlihat biasa saja, menutup pintu dan menguncinya seperti biasa. Namun, pria itu mematung k
Pagi yang cerah, secerah senyuman Fazia ketika memandangi wajah Mirza yang masih terlelap di sampingnya. Pelukan hangat pria itu berhasil mengantarkannya ke alam mimpi, bahkan sampai dia terbangun kembali. Mirza sudah menjadi suaminya? Dia bertanya-tanya dalam hati, jujur saja masih tak menyangka. Tunggu! Mirza benar-benar tidak melakukan apa pun selain memeluknya selama dua malam tidur bersama, bahkan memberikan kecupan atau sekadar ucapan ‘Good night’ saja tidak. Apa dia tidak berhasrat? Walaupun Fazia pernah memberi batasan, dia bisa saja membujuk dan menaklukkan egonya, bukan?Entah apa alasannya, Fazia kesal bukan main, ingin sekali meremas-remas wajah Mirza jika saja dia tidak bisa menahan diri. Tangannya hanya bisa meremas angin di hadapan wajah pria itu, sedangkan si pemilik wajah tampan tetap terlelap dalam tidurnya. Merasa konyol, Fazia bangkit untuk menyiapkan sarapan. “By, aku berangkat, ya.” Mirza memakai jam tangannya sembari berjalan ke dapur. Fazia yang baru saja me
Pukul enam pagi, alarm pada tubuh Fazia membangunkan si pemiliknya. Hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa suhu tubuh Mirza. Syukurlah, pria itu tidak demam lagi. Fazia lalu pergi ke dapur untuk membuat bubur dan mencampurkan beberapa sayuran ke dalamnya agar kaya gizi dan vitamin.Namun, lagi-lagi selera makan Mirza sedang terganggu. Berulang kali dia menolak disuapi, berulang kali pula Fazia membujuknya seperti kepada anak kecil. Fazia sampai memohon agar Mirza membuka mulutnya, tapi kali ini Mirza benar-benar merasa mual hanya dengan mencium bau makanan di kamarnya. “Paksain makan, Kak. Abis ini minum obat.” Fazia mulai bosan memohon. “Gak mau, By.” Mirza malah berpindah posisi, menempatkan kepalanya di paha Fazia, memeluk pinggangnya di posisi seperti itu. “Terus gimana Kakak mau sembuhnya kalo makan aja gak mau, sedangkan minum obat itu harus makan dulu?!” Fazia rasa bisa gila merawat suaminya yang sulit diatur. “Biarin aja gini.” Mirza terkesan tak peduli. “Kakak mau