Sama-sama sibuk di dapur, terdapat perbedaan bahan-bahan yang diolah Fazia dan Delisha untuk membuat camilannya masing-masing. Delisha yang merupakan seorang dokter, tentu mengutamakan gizi dan kebersihan dalam pengolahan, berbeda dari Fazia yang lebih mementingkan soal cita rasa.Tidak memerlukan banyak waktu dan tenaga, Delisha sudah selesai membuat dua porsi spinach mancha, bayam muda yang dicampur yogurt segar. Dia juga membuat dua gelas lime squash, campuran jeruk nipis, soda dan daun mint untuk disuguhkan kepada calon suaminya, Mirza Kalandra Rajasa. Dua puluh menit berlalu, akhirnya Fazia selesai membuat kentang keju, bakwan jagung, dan banana pom pom serta avocado yogurt smoothies yang dia kerjakan seorang diri. Citra tentu ada di sana, hanya saja dia lebih asyik bertukar pesan bersama Kenzo ketimbang sibuk mengolah beberapa camilan. Fazia mengumpulkan makanan dan minuman buatannya di atas nampan, lalu menyusul Delisha yang sudah lebih dulu pergi ke lantas atas. Citra ada di
Di antara banyaknya pengunjung restoran yang terus berdatangan, Imran selaku manager di sana berjalan terburu-buru menuju keluar bangunan. Dahinya sedikit mengkerut ketika mendapati seorang pria yang sedang memasuki tempat itu. Sudah lama tidak bertemu, wajar dia merasa pangling."Mas Mirza?" Imran menyapa dengan sopan."Pak Imran."Mirza mengangguk satu kali. "Di mana adik saya?" tanyanya seraya celingukan."Saya belum lihat Citra. Kayaknya belum ke sini, Mas." Imran ikut mengedarkan pandangannya ke beberapa meja."Tadi dia bilang di sini." Mirza memberitahu."Oh ...." Imran tidak kaget, mungkin dia yang belum melihat Citra hari ini. "Fazia," panggilnya.Gadis yang dipanggil Imran sontak menghentikan langkah dan menoleh dengan cepat. Rautnya yang semula tenang, seketika terlihat tegang. Alasan apa lagi jika bukan karena keberadaan Mirza? Tak ingin membuat Imran bingung, dia berusaha menyembunyikan emosi dan bersikap setenang mungkin. "Iya, Pak?" Fazia mendekati tanpa mempedulikan Mir
"Saya harap kamu gak lupa sama permintaan saya semalam." Mirza berjalan melewati Fazia tanpa menolehnya."Kenapa gak nyuruh adik Anda sendiri yang jauhin saya?" Fazia tetap berdiri di tempatnya, tapi ucapannya itu berhasil membuat Mirza berbalik dan menatapnya tajam. "Saya gak punya alasan buat jauhin Citra, tapi Citra punya alasan buat jauhin saya.""Kamu nantang saya buat kasih tau yang sebenarnya ke Citra?" Mirza terkesan mengancam."Silakan." Fazia bersikap masa bodoh, padahal otaknya mendadak sibuk mencari kalimat balasan yang setimpal."Saya pastikan bukan cuma Citra yang tau soal pekerjaan kamu, tapi kampus kamu juga." Mirza lalu tersenyum sinis."Dan di saat harga diri saya sehancur itu, saya pastikan hubungan Anda dan tunangan Anda juga hancur." Fazia balik mengancam."Apa mau kamu?" Mirza tampak tak terima calon istrinya dilibatkan."Anggap kita gak saling kenal dan jangan ungkit masa lalu, apalagi sampai nyinggung harga diri saya." Fazia tidak sulit mencari jawaban."Sepulu
"Kayaknya di sini gak susah nyari pelanggan." Mirza berdiri tepat di belakang Fazia, bersedekap dada sambil memperhatikan pergerakan gadis itu. "Harganya masih sama?" tanyanya yang sungguh tak enak didengar. "Kamu tuli?" geram, dia mencekal lengan Fazia yang hendak pergi dengan membawa satu gelas air minum."Maaf?" Fazia pura-pura tak mengerti, padahal hatinya berdenyut nyeri."Jangan sandiwara di depan saya." Mirza menatap tajam seakan ingin membunuhnya saat ini juga."Saya bukan Gaby yang dulu. Jadi, tolong jangan bahas yang udah berlalu." Fazia tak ragu memohon."Sekarang jadi siapa? Zia?" Mirza tersenyum kecut. "Kamu sengaja ganti nama-" "Itu nama asli saya, Fazia. Sedangkan Gaby ... itu cuma nama sial." Fazia menyela ucapan, tahu apa yang Mirza pikirkan."Jauhi adik saya. Jangan sampai dia terbawa arus kotor kayak kamu." Mirza mengecam, menelisik tubuh Fazia dengan tatapan hina."Apa bedanya saya sama Anda? Bukannya kita sama-sama kotor, Pak?" Fazia balik menyinggung, tak terima
Langkah Fazia terhenti saat itu juga, sementara detak jantungnya langsung berirama di dalam sana. Akhirnya dia mendengar suara itu lagi, suara lembut Mirza ketika menyerukan nama samarannya, Gaby. Apa pria itu ingin menyapanya? Mungkin dia merasa canggung melakukan hal itu di hadapan Citra? Tubuh Fazia berbalik sehingga tatapan mereka kembali bertemu. Kerinduan tak terelakkan dari raut masing-masing, tapi lagi-lagi mereka hanya terdiam menatap satu sama lain. Banyak ungkapan yang tersirat dalam sorot mata Mirza, hanya saja dia tidak bisa menyerukannya karena beberapa alasan.Dering yang berasal dari ponsel Mirza berhasil mengganggu suasana, mengembalikan kesadaran mereka ke dunia nyata. Melihat nama si pemanggil di layar ponselnya, Mirza pergi tanpa mengatakan apa pun pada Fazia, meninggalkan gadis itu yang tetap berdiri di tempatnya dalam kebingungan. "Gimana? Udah lo cek ke lokasi belum?""Udah gue jemput. Thanks buat infonya.""Jadi beneran yang tadi itu adek lo? Gue mau tegur di
Kedatangan pria itu tak hanya membuat Fazia terkejut, tapi senyuman Citra pun perlahan meredup hingga akhirnya menghilang. Seolah menginterupsi yang lain, aktivitas serta obrolan di meja tersebut turut terhenti secara tiba-tiba. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan setiap gerakannya. Tanpa kata, pria yang tidak lain adalah Mirza itu menarik lengan kanan Citra dengan kasar. Khawatir meninggalkan temannya di sana, tangan kiri Citra reflek menarik Fazia hingga terjadilah tarik-tarikan. Fazia yang kebingungan tak sempat bertanya, hanya mengikuti ke mana Citra akan membawanya. Berhasil keluar dari tempat club, Mirza lantas melepaskan cengkramannya. Citra mengaduh sakit, tapi tatapan Mirza malah menghunus tajam kedua netra Fazia. Tak perlu memaki sekalipun, sorot mata pria itu sudah mengandung banyak tuduhan atas apa yang dilakukan adik tercintanya malam ini. “Masuk ke mobil,” titah Mirza pada Citra.“Ayok, Zi.” Citra mengajak Fazia untuk ikut.“Gue naik taksi aja.” Fazia jelas meno