Sementara Adrian yang berada di kamarnya mendadak uring-uringan karena ulah Lea. Entah sudah berapa puluh kali ia menelpon dan mengirim pesan Lea, tapi tetap saja tidak ada tanggapan. Ia tak menyangka jika dampaknya akan seperti ini. Bahkan yang terakhir kali nomor Lea sudah tidak aktif. Pikirannya berkelana pada kejadian tadi sore. Sadar bawah ia telah salah langkah, seharusnya bukan seperti itu caranya. Ia bisa mendesak, tetapi mengeluarkan perkataan yang melukai harga diri Lea. Ucapannya seakan-akan menganggap Lea seperti sampah yang tak berarti. “Aaa.....” Ia berteriak kesal. Menyambar kunci mobilnya, keluar dari kamar. Sempat berpapasan dengan sang Mama, tapi ia tidak peduli dan tetap melangkah. Membiarkan Dea berteriak, seolah paham jika ia tanggapi akan semakin menjadi berujung pada perdebatan yang belum usai. Melajukan mobilnya meninggalkan kawasan rumah. Ia berhenti di tepat di gang perumahan Lea. Duduk di sana sekitar lima belas menit sambil sesekali mencoba menelpon Lea,
Seperti diberi harapan tapi tidak ada kepastian. Dibuat nyaman namun tak diprioritaskan. Lea Queenara *** “Aku hanyalah pelacur bagimu!!” Deg! Adrian terhenyak mendengar perkataan Lea. Dalam bias pantulan cahaya ruangan ia bisa melihat wajah Lea yang memerah. “Saya permisi!” Adrian menatap nanar pada pintu yang tertutup. Ia tak menduga kemarahan Lea begitu meledak. Selama beberapa bulan mengenalnya, ia seakan baru mengetahui sisi emosi yang lain. “Sial! Apa yang barusan ku lakukan. Bukannya menyelesaikan masalah justru menambah masalah,” umpatnya. Sementara Lea yang baru keluar dari ruangan Adrian langsung menuju toilet, mencuci wajahnya ia berusaha meredakan kemarahannya. Setelahnya ia pun keluar kembali ke ruangan yang sudah sepi, karena memang jam kantor sudah habis. Mengambil tas miliknya, ia buru-buru keluar dari ruangan. Ia tidak ingin sedikit saja bertemu dengan Adrian. “Lea bareng yuk,” tawar Evan. “Gak usah. Aku udah pesan taksi, Van. Tuh taksinya.” Lea
Sore hari Lea merenggangkan ototnya yang terasa kaku, bersamaan dengan itu ponsel miliknya bergetar ada serentetan notif pesan yang masuk.Lea membukanya dan membaca salah satu pesan yang ternyata dari Adrian.[Berani sekali kau mengabaikan perintahku, Lea!!]Lea tersentak, kesadarannya langsung pulih. Ia baru ingat jika ada perintah ke ruangan Adrian. Karena sangking sibuknya bekerja ia bahkan sampai melupakannya. Mengambil data iklan yang ingin Adrian tanyakan, menghela napas berkali-kali sebelum kemudian beranjak dari tempat duduknya. Di ambang pintu berkali-kali ia menghela napasnya demi meredakan kegugupan yang mendera. Ia harus sadar ini di kantor dan tidak bisa mencampurkan urusan pribadi. Setelah dirasa sudah tenang, ia pun mengetuk pintu ruangan Adrian. Setelahnya mendapatkan sahutan dari dalam, ia pun masuk. Seketika atmosfer ruangan itu terasa menghilang berganti suasana yang mencekam, ia bisa melihat tatapan Adrian yang penuh kekesalan. Namun, sebisa mungkin ia pura-pura t
Nyaris semalaman Lea tidak bisa memejamkan matanya. Memikirkan langkah apa yang harus ia ambil kedepannya tentang hubungannya dengan Adrian. Dan kini kepalanya benar-benar terasa pening, bahkan merasa tubuhnya pun menggigil. Namun, meski begitu ia tetap memaksa bekerja. Ia yakin kondisinya akan membaik setelah meminum obat.Lea masih sibuk berkutat dengan layar monitor di depannya, saat yang lain sudah pergi istirahat. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat hari ini, karena telah berjanji akan menjemput Lea. Setidaknya di balik rasa sakitnya ada kebahagiaan yang hadir. Ia bahagia adiknya sudah bisa pulang. Karena terlalu fokus Lea bahkan sampai tak menyadari ada sosok pria masuk mendekati mejanya, bahkan ia juga tak begitu mendengar sapaan para karyawan lain. Ia hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan segera.“Lea...” Suara bariton yang ia kenal itu terdengar lebih dekat membuat ia mengalihkan pandangannya, terkejut mendapati Adrian sudah berdiri di sisi mejanya dengan
“Sembarangan, emang mukaku itu tampang penikung apa!” sergah Ben tak terima membuat Aditya terbahak. Menoleh ke arah Lea. “Lea kenalin ini Aditya, sahabat Adrian juga. Dan ini Laras calon istrinya mungkin,” lanjutnya.Lea mengangguk menyalami keduanya. “Lea.”“Aditya.”“Laras.”“Ck! Kok bisa kamu bawa dia? Gak takut sama Adrian. Bisa dibabat habis kalau dia tahu.” Aditya menggelengkan kepalanya heran. Sementara Laras menawarkan makanan pada Lea, tapi perempuan itu lebih memilih minuman saja. “Ada sedikit masalah tadi. Adrian itu sekali-kali perlu diberi pelajaran.”“Ben, jangan terlalu ikut campur lah. Aku tahu kamu gak suka sama cara Adrian yang begitu. Tapi, aku takut juga itu berimbas pada persahabatan kita.” Ben menggelengkan kepalanya pelan. “Aku hanya ingin membuat dia sadar akan perasaannya. Kamu tahu apa yang barusan dia lakukan...” Ia menghentikan ucapannya sejenak. “Dia telah berjanji akan mengajak Lea makan malam. Tapi, bisa-bisanya ia melupakannya dan lebih menemani Beli
Terima kasih ya, Adrian.”“Hem...”“Kamu gak mampir?” tawar Belinda kemudian.“Enggak, sudah malam. Sana masuk.”“Oke deh. Makasih banget ya. Aku senang banget hari ini.” Belinda berjinjit mengecup pipi Adrian sebelum masuk ke rumah. Adrian melajukan mobilnya membelah jalan raya yang cukup padat itu. Ia mengambil ponselnya yang ternyata mati, mengambil power bank ia segera menghidupkannya lagi. Saat itu pula notif pesan dan panggilan tak terjawab masuk secara beruntun. Memelankan mobilnya, ia segera membuka notif tersebut.15 panggilan tak terjawab 20 pesan belum terbaca[Ian, aku sudah tiba di restoran ni][Tempatnya indah banget, Ian. Aku suka][Ian, kamu kok belum datang? Macet ya][Aku tunggu di sini ya][Pramusaji udah datang nawarin menu yang kamu pesan. Tapi, aku bilang nanti tunggu kamu. Ian, kamu gak lupa kan?][Ian, kamu di mana sih? Aku sudah 30 menit di sini][Ian, kamu baik-baik saja kan?][Seharusnya kalau tidak bisa datang katakan padaku, Ian. Agar aku tidak menunggu