Home / Rumah Tangga / Sebelum Kita Bercerai / Bab 3. TAMU SUAMIKU

Share

Bab 3. TAMU SUAMIKU

Author: Clau Sheera
last update Last Updated: 2023-08-02 23:29:46

Maura mengatur napasnya sambil berjalan. Dia bersikap seolah-olah tak mendengar apapun.

Seberapa keras Maura mencoba mengingat, nyatanya tak ada ingatan apapun di kepalanya. Yang ada kepalanya malah berdenyut sakit.

Kedua asisten rumah tangga itu terdiam ketika mereka mendengar langkah kaki Maura yang berjalan ke arah meja makan. Keduanya segera pergi dari sana dengan wajah gugup.

Setelah makan, Maura kembali ke kamar dan membersihkan dirinya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki.

Dengan mengenakan jubah mandi, dia duduk di depan meja rias dan memandang wajahnya yang polos tanpa make-up. Dia teringat ucapan Lusi yang mengatakan bahwa Dewangga menyukai wanita cantik.

"Apa aku harus berdandan lagi hari ini demi menarik perhatian Dewangga seperti yang Lusi bilang?" gumamnya perlahan sambil menatap lekat wajahnya.

Dewangga membencinya, dia ingat itu. Jadi, rasanya percuma jika dia berdandan. Toh, pasti Dewangga tetap akan membencinya karena dia pernah menjebak pria itu di kamar hotel.

"Apa benar aku jahat?"

Maura teringat dengan ucapan Dewangga dan kedua asisten rumah tangga itu.

Sungguh, dia hampir sepenuhnya percaya bahwa dirinya yang dulu cukup jahat sehingga pantas dibenci seperti itu.

"Kalau benar dulu aku sejahat itu, kasihan juga Dewangga. Mungkin saat itu dia sudah memiliki kekasih dan harus putus gara-gara nikah sama aku," ucapnya perlahan dengan perasaan sesal. "Apa kekasihnya itu ... Alena?"

Maura menggeleng perlahan. Jika dia memang sejahat itu, sungguh Maura ingin sekali memperbaiki setiap kesalahannya.

Maura segera masuk ke walking closet-nya untuk menyiapkan pakaian. Dia tercengang dengan isi di dalamnya yang dipenuhi dengan pakaian-pakaian terbuka yang kebanyakan dipenuhi dengan hiasan sequin sehingga terlihat sangat glamor dan mencolok.

Nakal. Kata itulah yang paling cocok untuk menggambarkan seperti apa pakaiannya.

"Yang ini terlalu ketat." Maura melemparkan satu pakaian yang diambilnya secara acak.

"Yang ini punggungnya terlalu terbuka."

Satu persatu, pakaian-pakaian itu berpindah ke atas single sofa yang ada di dalam sana, tapi dia masih belum menemukan pakaian yang menurutnya pantas dikenakan untuk mengunjungi orang tua.

"Apa selera pakaianku seburuk ini?" gumam Maura kebingungan.

Maura menghela napasnya. Dia akui pakaian-pakaian miliknya pasti harganya cukup mahal. Pakaian-pakaian itu jauh dari kata sopan dan mungkin hanya cocok digunakan dalam pesta-pesta tertentu.

"Sepertinya dulu aku memang bukan wanita baik-baik," keluhnya.

Maura menemukan sweater rajut putih lengan panjang yang sepertinya sudah lama tak dipakai. Dia juga menemukan sebuah celana jeans biru pucat yang sudah ketinggalan zaman.

"Aku pakai ini aja," gumamnya sambil mengenakan pakaian itu.

***

Maura berdiri di depan sebuah rumah yang cukup besar. Ada banyak pertanyaan di benaknya yang ingin segera dia cari tahu jawabannya.

Dia membunyikan bel rumah yang terletak di samping pagar.

Seorang penjaga keamanan datang berlari kecil melihat Maura berdiri di luar.

"Nona Maura?" sapanya tak percaya sambil menatap wajah Maura yang hanya mengenakan sedikit pewarna bibir. "Udah lama Non nggak ke sini. Silakan masuk. Nyonya pasti senang karena Non datang."

Maura tersenyum kecil. Dia datang bukan untuk mengunjungi ibu tirinya, melainkan untuk mengunjungi ayahnya.

"Apa papa ada di rumah?"

"Ada, Non. Tuan kebetulan hari ini nggak ngantor karena mau ada urusan lain di luar. Mari, saya antar."

Maura mengangguk sambil berjalan di belakang petugas keamanan itu sampai ke ruang tamu.

"Silakan duduk dulu, Nonam. Tuan sebentar lagi pasti keluar," ujar petugas keamanan itu sambil memberi tahu salah satu asisten rumah tangga bahwa Maura datang untuk bertemu ayahnya.

Maura mengangguk lagi. Tapi alih-alih duduk, dia lebih memilih berjalan ke arah dinding yang dipenuhi banyak foto berbingkai minimalis yang terpasang di sana.

Dari sekian banyak foto, dia hanya menemukan satu foto dirinya yang berdiri di samping tiga orang lain yaitu Ruslan—ayahnya, Silvia—ibu tirinya, dan Alena. Dan itupun sepertinya foto itu diambil saat dirinya masih cukup muda. Mungkin saat usianya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun.

Maura tertegun. Dia mengerti bahwa sepertinya dia tak memiliki cukup arti di dalam keluarganya sendiri. Atau mungkin ... dia sendiri yang menolak untuk berfoto bersama mereka?

"Maura." Sebuah sapaan yang dalam dan datar terdengar.

Maura menoleh ke asal suara.

"Kamu udah lama di sini? Ada apa nyari papa?" tanya seorang pria paruh baya yang wajahnya masih terlihat segar dengan tubuh tegap sambil mendekat dengan membawa sebuah tas laptop di tangannya.

Maura mengerutkan alisnya.

Apakah itu kalimat yang tepat yang diucapkan seorang ayah untuk putrinya yang masih mengalami amnesia? Mengapa pria itu tak terlihat senang saat dirinya datang? Mengapa pria itu tak terlihat mengkhawatirkan dirinya dan tak menanyakan kabarnya lebih dulu?

"Saya ... baru datang," jawab Maura canggung.

"Maura?" Seorang wanita paruh baya yang masih cantik datang melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kamu datang sama siapa, Nak?"

"Saya datang sendiri, Tante," jawab Maura.

"Kamu terlihat cukup baik," ujar Ruslan sementara Maura hanya tersenyum simpul.

"Ada mama Silvia. Mengobrollah dengannya karena papa ada urusan penting di luar," lanjut Ruslan sambil menunjuk istrinya.

Maura tertegun. Bagaimana bisa seorang ayah memperlakukan anaknya sedingin itu? Apakah benar mereka memiliki hubungan ayah dan anak?

"Papa hati-hati di jalan," kata Silvia sambil tersenyum lebar mengantar kepergian suaminya.

"Maura, ayo, duduk. Mama dengar kamu kecelakaan waktu di Perancis," kata Silvia sambil menunjuk sofa agar Maura duduk di sana. "Maaf, ya. Mama dan papa nggak bisa jenguk karena sibuk."

"Nggak apa-apa, Tante," jawab Maura yang lebih memilih memanggil wanita itu dengan sebutan 'tante'.

Maura bisa menebak bahwa mereka tak dekat sama sekali. Maura juga tahu Silvia hanya berbasa-basi saja.

"Kamu mau minum apa? Mama buatin, ya."

"Apa aja." Maura tersenyum canggung sambil duduk.

"Baiklah. Tunggu sebentar," ujar Silvia sambil beranjak pergi.

Maura mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Tak ada kesan apapun seolah dia tak pernah tinggal di sana. Dia tak yakin dengan berkunjung ke sana akan membantu ingatannya pulih.

Semenit, dua menit, hingga hampir tiga puluh menit berlalu. Tapi sosok Silvia atau siapapun masih belum terlihat. Maura merasa dicampakkan.

Maura tak lagi mau berpikir terlalu banyak. Sebanyak apapun dia memikirkan semuanya, dia tetap tak akan pernah tahu jawaban dari setiap kebimbangan dan ketidak-tahuannya sampai ingatannya kembali.

Dia pun beranjak meninggalkan rumah itu tanpa pamit dengan hati penuh kecewa dan kosong.

***

Pukul tujuh tepat, Maura sudah duduk di depan meja makan untuk makan malam. Kali ini dia tak membuat sendiri makanannya, melainkan membeli lauk dari luar yang dipesannya melalui aplikasi ojek online.

Dia hanya memesan satu porsi untuk dirinya, karena tahu uang yang dimilikinya saat ini tak banyak.

Lusi pernah menceritakan padanya bahwa uang bulanannya dipotong lebih dari setengahnya oleh Dewangga karena dia terlalu boros dan suka berbelanja barang-barang mewah.

Maura percaya bahwa dia benar-benar boros saat melihat koleksi pakaian, sepatu, dan tasnya yang sebenarnya tak terlalu berguna. Hanya berguna untuk menaikkan gengsinya saja.

Belum lagi ada lebih dari dua puluh botol parfum harga jutaan dan beragam make-up yang beberapa diantaranya belum pernah dipakai dan masih tersegel. Dia benar-benar jago menghambur-hamburkan uang.

Maura makan dalam diam sambil memikirkan bagaimana cara mengurangi barang-barangnya.

"Apa aku jual aja sebagian?" gumamnya perlahan ketika ide itu terlintas di benaknya.

Maura mempercepat makannya. Dia sudah memutuskan untuk menjual sebagian barang-barangnya. Itu artinya, dia harus melakukan sesuatu.

"Maura? Apa yang kamu lakukan di sini?"

Baru beberapa suap makanan yang Maura telan, sebuah suara bariton mengejutkannya, sampai dia hampir tersedak.

Maura menoleh menatap Dewangga yang berdiri tak jauh darinya. Di sampingnya ada Alena, yang merangkul lengan pria itu dan terlihat begitu lengket.

Maura tahu, dari cara Alena menyentuh Dewangga, ada sesuatu di antara mereka.

"Aku ... lagi makan." Maura hanya menjawab singkat dengan suara perlahan sambil meraih gelas dan meminum isinya, kemudian diam-diam dia menghela napasnya panjang.

'Ternyata benar, mereka punya hubungan khusus. Mereka terang-terangan berselingkuh di saat istri sahnya masih amnesia dan ada di rumah.' gumam Maura dalam hati sambil kembali mengisi mulutnya dengan makanan.

Dewangga mengerutkan alisnya ketika melihat tampilan Maura yang sangat sederhana. Wanita itu berubah sedrastis itu padahal pagi tadi di ruang kerja, dia masih melihat Maura yang mengenakan riasan tebal seperti topeng.

Sedangkan Alena tertegun melihat perubahan pada Maura. Tak seharusnya Maura berdandan polos seperti itu. Harusnya wanita itu memakai riasan tebal seperti biasa layaknya badut.

Alena menoleh ke samping. Dilihatnya Dewangga menatap Maura dengan pandangan rumit. Hatinya berubah tak tenang.

Dia tahu Maura memiliki kecantikan alami sehingga tak memerlukan banyak riasan untuk terlihat menarik. Jangan sampai suatu saat, Dewangga malah jatuh cinta padanya.

"Aku datang ke sini untuk makan malam. Dewangga yang mengundangku," ujar Alena sambil tersenyum sementara Dewangga hanya mengerutkan alisnya sambil menatap Alena sejenak.

Alena berharap Maura akan marah seperti dulu dan bersikap impulsif dengan cara membuat keributan yang tak perlu. Dia paling senang mempermainkan perasaan Maura dengan cara halus.

"Aku mengerti," jawab Maura sambil mengangguk. Reaksinya begitu tenang, sangat melenceng dari dugaan Alena.

Dewangga melepaskan tangan Alena dari lengannya, kemudian dia beranjak duduk di kursi diikuti Alena yang duduk persis di sampingnya sambil matanya mengawasi Maura yang menunduk fokus pada makanannya.

Beberapa asisten rumah tangga datang menghampiri.

"Tuan, saya akan segera menyiapkan makan malamnya."

Dewangga mengangguk.

Dalam sekejap, meja yang kosong penuh dengan berbagai hidangan yang menggugah selera.

Alena berinteraksi dengan Dewangga begitu akrab. Wanita itu membantu Dewangga mengisi piringnya, masih berusaha untuk membuat Maura marah.

"Oh, Maura. Apa hanya itu makan malammu?" tanya Alena tersenyum penuh simpatik sambil menatap wadah plastik di depan Maura yang isinya tinggal separuh, juga nasi putih yang tinggal setengahnya. "Mau tambah nasi? Mau kuambilkan beberapa lauk yang lain?"

Maura menaikkan bola matanya dan menatap Alena.

"Oh, iya. Aku lupa. Bukannya Dewangga melarang siapapun untuk melayanimu lagi, ya?"

Maura jelas melihat senyum samar di bibir Alena, tetapi dia tetap memilih untuk tenang. Toh, tanpa asisten rumah tangga pun, dia yakin bisa bertahan di rumah itu.

Hanya saja ... apa Dewangga selalu bercerita tentang semuanya pada Alena mengenai yang terjadi di rumah? Termasuk menceritakan tentang dirinya yang tak perlu dilayani lagi oleh siapapun?

Melihat hubungan mereka yang tak biasa, mungkin saja Dewangga menceritakan semuanya.

"Dewangga, tolong jangan bersikap terlalu kejam pada Maura. Dia masih istrimu, juga saudaraku," pinta Alena dengan suara lembut.

"Makan saja, Alena. Kamu tak perlu ikut campur urusan pribadi orang lain," jawab Dewangga yang sedari tadi sudah mulai makan.

Alena mengatupkan bibirnya. Dia mengangguk kecil dan mulai makan. Tapi tentu saja dia masih berusaha mengobrol akrab dengan Dewangga dengan cara mengganti topik pembicaraan lain.

"Para pegawai berharap bisa berlibur bersama akhir tahun ini," ujar Alena. "Pergi tour bersama ke luar kota selama beberapa hari merupakan ide bagus. Bagaimana menurutmu?"

"Kamu atur saja," jawab Dewangga sambil mengisi mulutnya, dan sesekali mencuri pandang pada Maura di seberang meja.

"Terima kasih atas kepercayaanmu, Dewangga." Alena tersenyum gembira.

Obrolan seputar kegiatan liburan untuk para pegawai terus berlanjut.

Maura yang sedari tadi diam, semakin merasa menjadi orang asing yang tak seharusnya ada di sana. Dia pun segera meletakkan sendoknya.

"Aku udah selesai," ujar Maura sambil menyeka sudut bibirnya menggunakan serbet. "Aku pergi duluan."

Maura beranjak sambil merapikan bekas makannya. Namun baru beberapa langkah dia berjalan, Alena berujar, "Kenapa, Maura? Makananmu belum habis."

Maura menoleh. "Aku udah kenyang. Kalian bisa melanjutkan makan malam kalian."

"Apa kamu cemburu?" tanya Alena sambil tersenyum setengah mengejek.

"Apa aku berhak untuk cemburu?" Maura balik bertanya dengan tenang sambil tersenyum tipis.

Ya, Maura merasa dia tak berhak untuk mencemburui siapapun. Kehadirannya di antara Dewangga dan Alena merupakan suatu kesalahan besar yang telah dilakukannya. Wajahnya sedikit murung.

"Aku merasa tak seharusnya ada di sini untuk makan malam. Kalian begitu akrab dan dekat seperti pasangan. Aku hanya ... tak ingin mengganggu," lanjut Maura yang hendak beranjak pergi.

"Maura!" Dewangga menggebrak meja sehingga membuat Maura maupun Alena terkejut. "Kamu sedang menuduh saya berselingkuh?" tanya pria itu penuh emosi.

Entah mengapa, sikap Maura yang tenang seperti itu terasa mengganggu Dewangga. Sangat mengganggu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 64. Tamu saat Hujan (2)

    Dewangga duduk di tepi ranjang kosong di kamar yang pernah Maura tempati di rumahnya sendiri. Semenjak wanita itu pergi dari sana, dia sering sekali memasuki kamar itu hanya untuk duduk diam dan merenung. Terkadang, dia juga tertidur di sana ditemani aroma stroberi yang tertinggal. Aroma kesukaan Maura. Bukankah bagus karena Maura sudah pergi dari rumahnya? Bukankah ini berita menggembirakan? Mengapa dia tetap saja merasa tak senang padahal sudah lewat dua minggu? Berkali-kali dia menghibur dirinya sendiri, namun selalu gagal. Ditatapnya sebuah gaun pink yang dibelinya untuk wanita itu. Gaun itu tergantung rapi dan bersih di atas standing hanger sebelah meja rias. Mengapa wanita itu meninggalkan gaunnya? Apakah dia tak menyukainya? Beberapa kali pria itu sempat meraih ponselnya, mengetik sebuah pesan untuk Maura, berniat menanyakan kabar atau keberadaannya. Namun berkali-kali pula dia urung melakukannya. ‘Apakah kamu benar-benar rela pergi gitu aja?’ gumamnya ratusan kali saat

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 63. Tamu saat Hujan

    Dua minggu berlalu, namun Maura masih belum mendapatkan surat panggilan untuk sidang perceraian, meski dia rutin memeriksa kotak surat maupun surelnya.Selama dua minggu itu, dia sibuk melakukan banyak hal di restoran, yang membuat pikirannya teralihkan dari masalah perpisahannya sehingga saat pulang nanti, dia sudah tak punya tenaga untuk memikirkan apapun lagi dan bisa langsung tidur pulas setelah mandi.“Sebaiknya besok kamu libur,” ujar Andreas begitu Maura hendak berpamitan untuk pulang sore itu bersama beberapa orang lainnya.“Tapi aku masih semangat kerja, Mas,” kata Maura keberatan.“Udah dua minggu kamu kerja terus tanpa ngambil libur, Maura. Kamu mungkin merasa sanggup, tapi lama-lama badan kamu bakal drop, lho,” protes Andreas dengan raut wajah khawatir. “Kamu terlalu memaksakan diri. Di sini, kamu banyak ngerjain apapun. Andy lagi nyuci piring aja kamu ambil alih dengan paksa. Pokoknya besok kamu libur, titik.”Maura membuka mulutnya hendak melayangkan protes, namun urung

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 62. Entah Mengapa ...

    “Seperti yang pernah kamu bilang dulu, sekarang aku benar-benar menyesal karena kita menikah. Jadi, ayo kita bercerai, Dewangga.”Bagi Maura, tak mudah mengatakan hal itu. Dia memang sangat mencintai Dewangga.Tentu saja Maura menyesal. Dia menyesal karena tak bisa melihat dengan jelas bahwa hati Dewangga benar-benar tertutup untuknya.Mengapa dia terus menerus melambungkan harapan untuk tetap bersama hingga berharap Dewangga akan membalas cintanya?‘Dewangga tertekan dan tak bahagia bersamaku.’Kenyataan itu sebenarnya sudah disadarinya sejak awal. Namun harapannya yang terlalu tinggi memaksanya untuk bertahan dalam pernikahan yang tak bahagia.Maura juga menyadari bahwa dia tak benar-benar bahagia melihat Dewangga tak bahagia.Dia ingat, mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu. Dia juga ingat bahwa dia terlalu menuntut Dewangga agar memperlakukannya seperti seorang istri.Tentu saja Dewangga tak sanggup karena dia terpaksa menikahi Maura.Maura juga tahu, ada banyak kesalahpaha

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 61. Ayo Kita Bercerai

    Hujan baru saja turun saat Dewangga tiba di rumahnya setelah perjalanan dari luar kota.Jadwal yang direncanakan akan selesai dalam waktu seminggu, ternyata bisa diselesaikan dalam beberapa hari.Tak biasanya memang.Dulu, meski urusannya selesai lebih cepat, biasanya dia akan pergi ke suatu tempat atau menginap di tempat lain lebih dulu. Bukan pulang ke rumah dan bertemu Maura yang bersiap menumpahkan kemarahannya karena dia pergi tanpa pamit.Tapi sekarang, rasanya dia ingin langsung pulang, bahkan membelikan oleh-oleh untuknya.“Mia, berikan ini pada Maura,” pinta Dewangga begitu dia masuk dan disambut oleh Mia, sambil menyerahkan paperbag kecil berisi parfum favorit Maura.“Nyonya lagi keluar, Tuan,” jawab Mia sambil menerima paper bag kecil itu. “Mau saya taruh di kamarnya aja?”“Ya, simpan aja di kamarnya. Dan tolong bawakan koper ini ke kamar saya.” Dewangga menyerahkan kopernya, kemudian berjalan ke arah ruang kerja dengan membawa sebuah map hitam.“Ya, Tuan.” Mia dengan cepat

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 60. Panggilan dari Dewangga

    Maura termenung sendirian di ruang kerja Dewangga di rumahnya sambil duduk di sofa, tempat yang dia duduki pertama kali setelah amnesia. Pertama kali dia ke sana saat itu, atmosfernya terasa menyesakkan. Namun setelah datang beberapa kali, dia mulai merasa nyaman dalam kesepian, terlebih sekarang saat ingatannya telah pulih. Bukankah terkadang dulu dia suka pergi ke sana diam-diam hanya untuk menenangkan diri meski Dewangga selalu memarahinya kalau ketahuan? Dia selalu mengobati rasa kesepiannya dengan membayangkan bahwa Dewangga ada di sana bersamanya, menemaninya, meski hanya ditemani sedikit aroma parfumnya yang tertinggal. Wanita itu melihat langit yang gelap. Mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Jam di dinding menunjukkan waktu pukul setengah delapan malam. Dia pun berdiri dan berjalan menuju meja kerja Dewangga yang rapi. Dia membuka lacinya. Berkas perjanjian perpisahannya dengan Dewangga masih ada di sana. Dia tak ingin menyentuhnya, takut tergoda untuk merobeknya.

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 59. Persiapan Pindah

    Malam menjelang.Maura tiba di rumah Dewangga sekitar pukul tujuh dan langsung bertemu Mia yang seolah menunggu sesuatu.“Nyonya,” sapa Mia dengan wajah khawatir. “Nyonya baik-baik aja?”Maura tersenyum menatap Mia. Sejak bekerja di rumah itu, Mia selalu memperhatikan segala kebutuhannya, namun dia selalu abai dan sibuk dengan perasaan cintanya yang tak terbalaskan. Seingatnya, dia belum pernah memberikan Mia apapun sebagai rasa terima kasihnya.“Aku baik-baik aja, jangan khawatir,” jawab Maura sambil berjalan masuk rumah lebih dulu.“Bukan saya yang khawatir, Nyonya, tapi tuan,” ujar Mia, membuat Maura menoleh.“Dewangga?”Mia mengangguk.“Ngaco, kamu.” Maura tersenyum tulus sambil berlalu.Tiba di ruang keluarga, dia melihat Dewangga tengah duduk di sofa, sambil menumpukan dagunya di jari-jari tangannya yang saling terjalin, sementara sikunya bertumpu di lututnya.Maura mengerutkan alisnya saat pandangan mata mereka bertemu. Pria itu terlihat gelisah sekaligus marah.“Apa ponselmu b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status