Beranda / Rumah Tangga / Sebelum Kita Bercerai / Bab 4. KEDATANGAN OMA AMBAR

Share

Bab 4. KEDATANGAN OMA AMBAR

Penulis: Clau Sheera
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-03 11:37:31

Bibir Maura terkatup rapat sambil menatap Dewangga. Pria itu begitu akrab dan hangat ketika berbicara dengan Alena, tapi akan tampak dingin dan kasar ketika berbicara dengannya.

"Aku nggak menuduh kamu selingkuh. Aku hanya merasa ...." Maura menghentikan kalimatnya.

Dia tak tahu bagaimana cara mengatakan seluruh perasaannya bahwa dia sangat menyesal atas situasi mereka yang sekarang terjebak sebuah pernikahan yang tak diinginkan.

"Intinya, aku ingin meminta maaf atas segala kesalahanku yang dulu. Maaf, aku telah hadir di antara kalian."

Maura beranjak dari sana untuk mencuci peralatan makan yang digunakannya. Tapi, Dewangga dan Alena sama-sama terkejut.

Apa yang barusan mereka dengar? Sejak kapan seorang Maura bersedia meminta maaf?

Dewangga mengepalkan tangannya erat. Kata maaf yang Maura lontarkan tak akan mengubah pendiriannya untuk membuat wanita itu menderita di rumahnya.

Dia tak akan berbelas kasih atas penderitaan yang dirasakannya selama tiga tahun terakhir selama mereka hidup bersama.

Dewangga menghela napasnya. Dia meraih segelas air mineral dan meminumnya sampai tandas, kemudian menyeka bibirnya dengan serbet. Walaupun hatinya dipenuhi amarah, ada rasa tak nyaman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Maura yang selalu ribut mencari perhatiannya, maupun Maura yang diam seolah ingin menghindarinya, sungguh membuatnya sangat kesal.

"Makanlah sendiri, Alena," ujar Dewangga sambil berdiri.

"Kamu juga udahan makan malamnya?" Alena terkejut sambil menyentuh lengan pria itu. "Makanan kamu belum habis."

Dewangga menarik tangannya. "Saya sudah selesai."

"Makan lagi sedikit, Dewangga. Siang tadi kamu nggak sempat makan karena rapat," bujuk Alena.

"Tidak," tolak pria itu. "Satu hal, Alena. Saya tak pernah mengundangmu makan malam. Kamu sendiri yang bersikeras ingin datang untuk melihat Maura. Saya tahu tujuanmu datang ke sini untuk apa. Kamu sudah mencapai tujuanmu karena Maura berpikir kita memiliki hubungan khusus."

"Aku minta maaf. Lain kali aku nggak akan ngomong sembarangan lagi, Dewangga," ujar Alena menyesal. "Apa ucapanku tadi akan jadi masalah buatmu?"

"Saya tak peduli apa yang Maura pikirkan tentang kita. Tapi, saya tak berharap Oma Ambar berpikiran sama dengannya. Di rumah ini, ada banyak mata dan telinga. Mereka memperhatikan kita," jawab Dewangga sambil beranjak tanpa mau menoleh. Dia berjalan sambil melepaskan dasinya.

"Dewangga." Alena cemberut melihat pria itu meninggalkannya.

Setengah tujuannya memang tercapai. Tapi, dia tak berhasil membuat Maura marah dan menyerangnya seperti dulu. Dia gagal membuat Dewangga semakin membenci Maura seperti biasa.

"Aku yang kurang perhitungan. Sepertinya Maura benar-benar amnesia," gerutu Alena sambil bersiap untuk pergi.

***

Pagi menjelang.

Sebelum matahari terbit, Maura sudah lebih dulu bangun dan mencuci pakaiannya dengan tangan sampai kulitnya kemerahan.

Maura tahu bahwa dia harus bisa melakukan banyak hal sendiri agar ketika dia keluar dari rumah itu dia sudah terbiasa. Dia sadar uang yang dimilikinya tak banyak, serta tak memiliki dukungan keluarga. Sudah seharusnya dia belajar melakukan segalanya sendiri.

Setelah selesai mencuci dan menjemur pakaian, dia mengambil beberapa foto pakaiannya dari walking closet serta beberapa barang lain untuk dijual di toko online preloved yang baru dibuatnya.

Ada banyak pakaian yang tak mau dipakainya lagi. Lagipula saat pindah nanti, dia tak bisa membawa semua barang-barangnya karena akan sangat merepotkan.

Maura sangat lapar di tengah-tengah kegiatan yang dilakukannya. Masih ada banyak barang yang belum sempat difoto. Wanita itupun bergegas turun ke lantai bawah menuju dapur.

Sesampainya di ruang makan, aroma sup daging tercium di udara sehingga membuat Maura semakin kelaparan.

Di meja makan, Dewangga sudah duduk menikmati sarapannya bersama Alena.

Ketika melihat mereka berdua, ada rasa tak nyaman menyusup ke hati Maura, terlebih ketika Maura melihat kedekatan mereka.

Maura amnesia. Dia tak ingat apapun. Dan dia membutuhkan dukungan seseorang di saat kondisinya yang seperti ini, namun suaminya pasti tak akan mau melakukannya.

Alena beruntung bisa diterima dan dicintai Dewangga. Tak sepertinya yang dipandang bagaikan musuh.

Tiba-tiba rasanya Maura ingin menangis. Tapi dia harus menahannya.

Mungkin amnesianya adalah karma. Karma karena di masa lalu dia begitu jahat.

Maura menggeleng perlahan sambil menarik napasnya. Dia masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukannya.

"Selamat pagi," sapa Maura dengan suara rendah namun cukup nyaring didengar.

Dewangga yang mendengar sapaan Maura hanya mengangkat sebelah alisnya, tak berminat menjawab. Lagipula, untuk apa berbasa-basi dengan wanita yang dibencinya?

Sedangkan Alena tersenyum melihat Maura dan menjawab sapaannya singkat sebelum mereka mengobrol kembali sambil sarapan.

Dewangga melirik Maura yang berjalan ke arah konter dapur tak jauh darinya, kemudian dia juga melihat Maura mengambil beberapa lembar roti tawar yang diolesi selai coklat dan diletakkan di atas piring.

Maura juga mengambil susu UHT dari kulkas, yang langsung dituangkan ke dalam gelas tanpa dipanaskan terlebih dahulu.

Pria itu terus memperhatikan Maura dan memprediksi bahwa Maura akan duduk bersamanya di meja makan.

Namun, ketika Maura berlalu dari sana dengan membawa nampan berisi sepiring roti dan segelas susu dingin, dugaannya salah.

"Hanya itu sarapanmu?" tanya Dewangga.

Maura berbalik dan menoleh. Wanita itu hanya memberikan anggukan sebagai jawaban, kemudian berlalu dari sana dan kembali ke kamarnya sehingga membuat Dewangga mengerutkan alisnya.

Seingatnya, Maura tak pernah mau sarapan roti. Wanita itu juga tak bisa meminum susu dingin di pagi hari. Sarapannya harus berupa sup hangat. Tapi sekarang wanita itu tak rewel dengan makanannya?

"Baguslah dia tak menggangguku," gumam pria itu perlahan.

Alena yang menyadari perhatian Dewangga teralihkan pada Maura, hanya bisa mengepalkan tangannya kuat sambil tersenyum masam.

Dewangga mendadak kehilangan selera makannya. Rasanya ada yang mengganjal di hatinya.

Dulu, Maura selalu mencari perhatiannya. Selalu ribut dan melakukan berbagai trik untuk mengganggunya, dan selalu ingin makan di sampingnya. Maura yang dulu benar-benar tak terkendali.

Harusnya dia merasa senang dan lega karena Maura berubah. Tapi ternyata sikap wanita itu membuatnya semakin terusik.

Entah mengapa Dewangga lebih memilih Maura kembali seperti dulu. Setidaknya dia masih memiliki alasan kuat untuk tetap membencinya.

Sementara itu di dalam kamar, Maura menghabiskan rotinya dengan cepat. Yang tersisa hanya setengah gelas susu dingin yang belum sanggup dihabiskannya karena perutnya mendadak terasa sedikit tak nyaman.

Selesai makan, wanita itu segera memotret barang-barang yang ingin dijualnya, dan mengambil video setiap produk dengan durasi pendek.

***

Sekitar pukul sebelas siang, Maura telah selesai memotret sebagian barang-barang yang ingin dijualnya. Bahkan dia juga telah selesai mengunggahnya di aplikasi belanja khusus preloved.

Dia pun keluar kamar berjalan-jalan sejenak untuk meregangkan tubuhnya.

Ketika dia tiba di depan pintu ruang kerja Dewangga yang tertutup rapat, dia ingat bahwa ada berkas yang harus ditandatanganinya.

"Dewangga, kamu ada di dalam?" tanya Maura sambil mengetuk dan membuka pintu itu.

Maura melihat tak ada siapapun di sana.

"Benar. Dia nggak mungkin ada di sini," gumamnya perlahan ketika dia teringat dengan Alena yang datang menjemput pria itu pagi-pagi.

Maura berjalan ke arah meja kerja. Dia ingat kemarin Dewangga meletakkan berkas perceraian mereka di laci. Kebetulan, semalam dia telah berlatih tanda tangannya lagi.

Dia pun mencari berkas itu dan menandatanganinya tanpa berpikir panjang kemudian meletakkan berkas itu di atas meja agar ketika Dewangga masuk ke sana, pria itu bisa segera melihat dan mengeceknya.

Maura melihat jam di dinding. Dia teringat dengan waktu makan siang yang sebentar lagi datang.

"Aku belajar masak aja dulu, ah. Lihat resepnya dari internet," gumamnya sambil beranjak ke dapur membawa ponselnya yang layarnya retak sewaktu dia mengalami kecelakaan di Perancis.

Di dapur, Maura menyiapkan bahan-bahan yang diperlukannya sambil melihat panduan resep. Dia ingin sekali membuat oseng sayuran yang dicampur potongan daging ayam.

"Nyonya mau bikin apa?"

Sebuah suara membuat Maura yang tengah fokus teralihkan.

"Kamu Mia, kan?" tanya Maura memastikan.

"Ya, Nyonya."

"Saya mau bikin oseng sayuran dan daging ayam," ujar Maura sambil kembali mengiris wortel.

"Wortelnya kupas dulu, Nyonya, jangan langsung dipotong," kata Mia sambil meraih wortel lain dan mengupasnya menggunakan pisau pengupas.

"Oh?" Maura sedikit tercekat. "Saya pikir karena kulitnya tipis banget, jadi gak perlu dikupas lagi."

"Gak dikupas juga sebenarnya gak apa-apa, Nyonya, asal dibersihkan dengan baik. Tapi 'kan wortel tumbuhnya di dalam tanah. Terkadang dipermukaannya ada lipatan kecil yang masih ada tanahnya dan sulit dibasuh dengan air."

Maura mengangguk mengerti. "Terima kasih, Mia. Biar saya yang ngerjain."

"Nggak apa-apa, Nyonya. Saya bantuin Nyonya masak aja, ya." Mia tersenyum.

Ini kali pertama dia mendengar Maura berterima kasih sepanjang dua tahun dia bekerja di sana.

"Eh, jangan," tolak Maura terkejut. "Kalau Dewangga tahu, mungkin dia akan marah."

"Nggak apa-apa, Nyonya. Lagipula tuan nggak ada di rumah."

"Iya juga." Maura kembali mengangguk. Tak ada salahnya jika dia menerima bantuan dari orang lain. Pasti masakannya tak akan gagal dibuat. "Tapi, saya bener-bener mau belajar masak. Kamu cukup kasih tahu aja kalau ada yang salah atau kurang, ya."

"Baik, Nyonya," jawab Mia. "Saya bantu siapin bahannya aja."

Keduanya memasak sambil diiringi dengan obrolan kecil. Tepat ketika masakan itu hampir selesai, terdengar deru mesin mobil di halaman samping.

"Nyonya, ada yang datang," kata Mia sambil mencuci tangannya dan melirik jendela di sebelah meja makan. Dia baru saja selesai mencuci peralatan dapur yang tadi digunakan. "Maaf, Nyonya. Saya permisi dulu, mau buka pintu."

Maura mengangguk. "Ya, Mia. Terima kasih udah bantuin. Sebentar lagi juga matang, kok."

Mia mengangguk sambil berlalu pergi sementara Maura mengaduk-aduk wajan agar masakannya matang merata dan mencicipinya. Wanita itu tersenyum.

"Kamu lagi apa di sana? Kamu lagi masak?"

Sebuah suara yang belum pernah terdengar menyapa sehingga Maura menoleh.

Dilihatnya seorang wanita berdiri tak jauh darinya sambil tersenyum menatapnya.

Maura mengerutkan alisnya. Dia tak mengenal siapa wanita itu.

"Nenek cari siapa?" tanya Maura heran.

"Lho? Kok, nenek? Kamu kenapa, Maura? Kamu udah nggak kenal lagi sama oma?" Wanita tua itu tampak sangat terkejut dan memandang Maura aneh.

Tepat saat itu, Dewangga muncul di sana dengan wajah keras dan menggelap. Sementara Mia yang datang setelahnya menatap Maura dengan pandangan ngeri.

Dari ekspresi Dewangga maupun Mia, Maura tahu dia telah melakukan kesalahan besar. Tapi sungguh, dia lupa siapa wanita itu.

Apa jangan-jangan ... wanita tua itu oma Ambar? Oma kesayangan Dewangga yang katanya memiliki penyakit jantung yang pernah Lusi ceritakan?

Maura tertegun sejenak dan tak tahu harus bagaimana. Dia menatap Mia meminta pertolongan, namun Mia menggeleng kecil dan tak tahu harus berbuat apa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 64. Tamu saat Hujan (2)

    Dewangga duduk di tepi ranjang kosong di kamar yang pernah Maura tempati di rumahnya sendiri. Semenjak wanita itu pergi dari sana, dia sering sekali memasuki kamar itu hanya untuk duduk diam dan merenung. Terkadang, dia juga tertidur di sana ditemani aroma stroberi yang tertinggal. Aroma kesukaan Maura. Bukankah bagus karena Maura sudah pergi dari rumahnya? Bukankah ini berita menggembirakan? Mengapa dia tetap saja merasa tak senang padahal sudah lewat dua minggu? Berkali-kali dia menghibur dirinya sendiri, namun selalu gagal. Ditatapnya sebuah gaun pink yang dibelinya untuk wanita itu. Gaun itu tergantung rapi dan bersih di atas standing hanger sebelah meja rias. Mengapa wanita itu meninggalkan gaunnya? Apakah dia tak menyukainya? Beberapa kali pria itu sempat meraih ponselnya, mengetik sebuah pesan untuk Maura, berniat menanyakan kabar atau keberadaannya. Namun berkali-kali pula dia urung melakukannya. ‘Apakah kamu benar-benar rela pergi gitu aja?’ gumamnya ratusan kali saat

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 63. Tamu saat Hujan

    Dua minggu berlalu, namun Maura masih belum mendapatkan surat panggilan untuk sidang perceraian, meski dia rutin memeriksa kotak surat maupun surelnya.Selama dua minggu itu, dia sibuk melakukan banyak hal di restoran, yang membuat pikirannya teralihkan dari masalah perpisahannya sehingga saat pulang nanti, dia sudah tak punya tenaga untuk memikirkan apapun lagi dan bisa langsung tidur pulas setelah mandi.“Sebaiknya besok kamu libur,” ujar Andreas begitu Maura hendak berpamitan untuk pulang sore itu bersama beberapa orang lainnya.“Tapi aku masih semangat kerja, Mas,” kata Maura keberatan.“Udah dua minggu kamu kerja terus tanpa ngambil libur, Maura. Kamu mungkin merasa sanggup, tapi lama-lama badan kamu bakal drop, lho,” protes Andreas dengan raut wajah khawatir. “Kamu terlalu memaksakan diri. Di sini, kamu banyak ngerjain apapun. Andy lagi nyuci piring aja kamu ambil alih dengan paksa. Pokoknya besok kamu libur, titik.”Maura membuka mulutnya hendak melayangkan protes, namun urung

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 62. Entah Mengapa ...

    “Seperti yang pernah kamu bilang dulu, sekarang aku benar-benar menyesal karena kita menikah. Jadi, ayo kita bercerai, Dewangga.”Bagi Maura, tak mudah mengatakan hal itu. Dia memang sangat mencintai Dewangga.Tentu saja Maura menyesal. Dia menyesal karena tak bisa melihat dengan jelas bahwa hati Dewangga benar-benar tertutup untuknya.Mengapa dia terus menerus melambungkan harapan untuk tetap bersama hingga berharap Dewangga akan membalas cintanya?‘Dewangga tertekan dan tak bahagia bersamaku.’Kenyataan itu sebenarnya sudah disadarinya sejak awal. Namun harapannya yang terlalu tinggi memaksanya untuk bertahan dalam pernikahan yang tak bahagia.Maura juga menyadari bahwa dia tak benar-benar bahagia melihat Dewangga tak bahagia.Dia ingat, mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu. Dia juga ingat bahwa dia terlalu menuntut Dewangga agar memperlakukannya seperti seorang istri.Tentu saja Dewangga tak sanggup karena dia terpaksa menikahi Maura.Maura juga tahu, ada banyak kesalahpaha

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 61. Ayo Kita Bercerai

    Hujan baru saja turun saat Dewangga tiba di rumahnya setelah perjalanan dari luar kota.Jadwal yang direncanakan akan selesai dalam waktu seminggu, ternyata bisa diselesaikan dalam beberapa hari.Tak biasanya memang.Dulu, meski urusannya selesai lebih cepat, biasanya dia akan pergi ke suatu tempat atau menginap di tempat lain lebih dulu. Bukan pulang ke rumah dan bertemu Maura yang bersiap menumpahkan kemarahannya karena dia pergi tanpa pamit.Tapi sekarang, rasanya dia ingin langsung pulang, bahkan membelikan oleh-oleh untuknya.“Mia, berikan ini pada Maura,” pinta Dewangga begitu dia masuk dan disambut oleh Mia, sambil menyerahkan paperbag kecil berisi parfum favorit Maura.“Nyonya lagi keluar, Tuan,” jawab Mia sambil menerima paper bag kecil itu. “Mau saya taruh di kamarnya aja?”“Ya, simpan aja di kamarnya. Dan tolong bawakan koper ini ke kamar saya.” Dewangga menyerahkan kopernya, kemudian berjalan ke arah ruang kerja dengan membawa sebuah map hitam.“Ya, Tuan.” Mia dengan cepat

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 60. Panggilan dari Dewangga

    Maura termenung sendirian di ruang kerja Dewangga di rumahnya sambil duduk di sofa, tempat yang dia duduki pertama kali setelah amnesia. Pertama kali dia ke sana saat itu, atmosfernya terasa menyesakkan. Namun setelah datang beberapa kali, dia mulai merasa nyaman dalam kesepian, terlebih sekarang saat ingatannya telah pulih. Bukankah terkadang dulu dia suka pergi ke sana diam-diam hanya untuk menenangkan diri meski Dewangga selalu memarahinya kalau ketahuan? Dia selalu mengobati rasa kesepiannya dengan membayangkan bahwa Dewangga ada di sana bersamanya, menemaninya, meski hanya ditemani sedikit aroma parfumnya yang tertinggal. Wanita itu melihat langit yang gelap. Mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Jam di dinding menunjukkan waktu pukul setengah delapan malam. Dia pun berdiri dan berjalan menuju meja kerja Dewangga yang rapi. Dia membuka lacinya. Berkas perjanjian perpisahannya dengan Dewangga masih ada di sana. Dia tak ingin menyentuhnya, takut tergoda untuk merobeknya.

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 59. Persiapan Pindah

    Malam menjelang.Maura tiba di rumah Dewangga sekitar pukul tujuh dan langsung bertemu Mia yang seolah menunggu sesuatu.“Nyonya,” sapa Mia dengan wajah khawatir. “Nyonya baik-baik aja?”Maura tersenyum menatap Mia. Sejak bekerja di rumah itu, Mia selalu memperhatikan segala kebutuhannya, namun dia selalu abai dan sibuk dengan perasaan cintanya yang tak terbalaskan. Seingatnya, dia belum pernah memberikan Mia apapun sebagai rasa terima kasihnya.“Aku baik-baik aja, jangan khawatir,” jawab Maura sambil berjalan masuk rumah lebih dulu.“Bukan saya yang khawatir, Nyonya, tapi tuan,” ujar Mia, membuat Maura menoleh.“Dewangga?”Mia mengangguk.“Ngaco, kamu.” Maura tersenyum tulus sambil berlalu.Tiba di ruang keluarga, dia melihat Dewangga tengah duduk di sofa, sambil menumpukan dagunya di jari-jari tangannya yang saling terjalin, sementara sikunya bertumpu di lututnya.Maura mengerutkan alisnya saat pandangan mata mereka bertemu. Pria itu terlihat gelisah sekaligus marah.“Apa ponselmu b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status