Share

Bab 4. KEDATANGAN OMA AMBAR

Bibir Maura terkatup rapat sambil menatap Dewangga. Pria itu begitu akrab dan hangat ketika berbicara dengan Alena, tapi akan tampak dingin dan kasar ketika berbicara dengannya.

"Aku nggak menuduh kamu selingkuh. Aku hanya merasa ...." Maura menghentikan kalimatnya. Dia tak tahu bagaimana cara mengatakan seluruh perasaannya bahwa dia sangat menyesal atas situasi mereka yang sekarang terjebak sebuah pernikahan yang tak diinginkan. "Intinya, aku ingin meminta maaf atas segala kesalahanku yang dulu. Maaf, aku telah hadir di antara kalian."

Maura beranjak dari sana untuk mencuci peralatan makan yang digunakannya. Tapi, Dewangga dan Alena sama-sama terkejut.

Apa yang barusan mereka dengar? Seorang Maura bersedia meminta maaf?

Dewangga mengepalkan tangannya erat. Kata maaf yang Maura lontarkan tak akan mengubah pendiriannya untuk membuat wanita itu menderita di rumahnya.

Dia tak akan berbelas kasih atas penderitaannya selama tiga tahun terakhir yang telah memaksa mereka hidup bersama.

Dewangga menghela napasnya. Dia meraih segelas air mineral dan meminumnya sampai tandas, kemudian menyeka bibirnya dengan serbet. Walaupun hatinya dipenuhi amarah, ada rasa tak nyaman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Maura yang selalu ribut mencari perhatiannya, maupun Maura yang diam seolah ingin menghindarinya, sungguh membuatnya sangat terganggu.

"Makanlah sendiri, Alena," ujar Dewangga sambil berdiri.

"Kamu juga udahan makan malamnya?" Alena terkejut sambil menyentuh lengan pria itu. "Makanan kamu belum habis."

Dewangga menarik tangannya. "Saya sudah selesai."

"Makan lagi sedikit, Dewangga. Siang tadi kamu nggak sempat makan karena rapat," bujuk Alena.

"Tidak," tolak pria itu. "Satu hal, Alena. Saya tak pernah mengundangmu makan malam. Kamu sendiri yang bersikeras ingin datang untuk melihat Maura. Saya tahu tujuanmu datang ke sini untuk apa. Kamu sudah mencapai tujuanmu karena Maura berpikir kita memiliki hubungan khusus."

"Aku minta maaf. Lain kali aku nggak akan ngomong sembarangan lagi, Dewangga," ujar Alena menyesal. "Apa ucapanku tadi akan jadi masalah buatmu?"

"Saya tak peduli apa yang Maura pikirkan tentang kita. Tapi, saya tak berharap Oma Ambar berpikiran sama dengannya. Di rumah ini, ada banyak mata dan telinga. Mereka memperhatikan kita," jawab Dewangga sambil beranjak tanpa mau menoleh. Dia berjalan sambil melepaskan dasinya.

"Dewangga." Alena cemberut melihat pria itu meninggalkannya.

Setengah tujuannya memang tercapai. Tapi, dia tak berhasil membuat Maura marah dan menyerangnya seperti dulu. Dia gagal membuat Dewangga semakin membenci Maura seperti biasa.

"Aku yang kurang perhitungan. Sepertinya Maura benar-benar amnesia," gerutu Alena sambil bersiap untuk pergi.

***

Pagi menjelang.

Sebelum matahari terbit, Maura sudah lebih dulu bangun dan mencuci pakaiannya dengan tangan sampai kulitnya kemerahan.

Maura tahu bahwa dia harus bisa melakukan banyak hal sendiri agar ketika dia keluar dari rumah itu dia sudah terbiasa. Dia sadar uang yang dimilikinya tak banyak, serta tak memiliki dukungan keluarga. Sudah seharusnya dia belajar melakukan segalanya sendiri.

Setelah selesai mencuci dan menjemur pakaian, dia mengambil beberapa foto pakaiannya dari walking closet serta beberapa barang lain untuk dijual di toko online preloved. Ada banyak pakaian yang tak mau dipakainya lagi. Lagipula saat pindah nanti, dia tak bisa membawa seluruh barang-barangnya karena akan sangat merepotkan.

Maura sangat lapar di tengah-tengah kegiatan yang dilakukannya. Masih ada banyak barang yang belum sempat difoto. Wanita itupun bergegas turun ke lantai bawah menuju dapur.

Sesampainya di ruang makan, aroma sup daging tercium di udara sehingga membuat Maura semakin kelaparan.

Di meja makan, Dewangga sudah duduk menikmati sarapannya bersama Alena.

Ketika melihat mereka berdua, ada rasa tak nyaman menyusup ke hati Maura, terlebih ketika Maura melihat kedekatan mereka.

Maura amnesia. Dia tak ingat apapun. Dan dia membutuhkan dukungan seseorang di saat kondisinya yang seperti ini, namun suaminya pasti tak akan mau melakukannya.

Alena beruntung bisa diterima dan dicintai Dewangga. Tak sepertinya yang selalu dipandang bagaikan musuh.

Tiba-tiba rasanya Maura ingin menangis. Tapi dia harus menahannya.

Mungkin amnesianya adalah karma. Karma karena di masa lalu dia begitu jahat.

Maura menggeleng perlahan sambil menarik napasnya. Dia masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukannya.

"Selamat pagi," sapa Maura dengan suara rendah namun cukup nyaring didengar.

Dewangga yang mendengar sapaan Maura hanya mengangkat sebelah alisnya, tak berminat menjawab. Lagipula, untuk apa berbasa-basi dengan wanita yang dibencinya?

Sedangkan Alena tersenyum melihat Maura dan menjawab sapaannya singkat sebelum mereka mengobrol kembali sambil sarapan.

Dewangga melirik Maura yang berjalan ke arah konter dapur tak jauh darinya, kemudian dia juga melihat Maura mengambil beberapa lembar roti tawar yang diolesi selai coklat dan diletakkan di atas piring.

Maura juga mengambil susu UHT dari kulkas, yang langsung dituangkan ke dalam gelas tanpa dipanaskan terlebih dahulu.

Pria itu terus memperhatikan Maura dan memprediksi bahwa Maura akan duduk bersamanya di meja makan.

Namun, ketika Maura berlalu dari sana dengan membawa nampan berisi sepiring roti dan segelas susu dingin, dugaannya salah.

"Hanya itu sarapanmu?" tanya Dewangga.

Maura berbalik dan menoleh. Wanita itu hanya memberikan anggukan sebagai jawaban, kemudian berlalu dari sana dan kembali ke kamarnya sehingga membuat Dewangga mengerutkan alisnya.

Seingatnya, Maura tak pernah mau sarapan roti. Wanita itu juga tak pernah mau meminum susu dingin di pagi hari. Sarapannya harus berupa sup hangat. Tapi sekarang wanita itu tak rewel dengan makanannya?

"Baguslah dia tak menggangguku," gumam pria itu perlahan.

Alena yang menyadari perhatian Dewangga teralihkan pada Maura hanya bisa mengepalkan tangannya kuat sambil tersenyum masam.

Dewangga mendadak kehilangan selera makannya. Rasanya ada yang mengganjal di hatinya.

Dulu, Maura selalu mencari perhatiannya. Selalu ribut dan melakukan berbagai trik untuk mengganggunya, dan selalu ingin makan di sampingnya. Maura yang dulu benar-benar tak terkendali.

Harusnya dia merasa senang dan lega karena Maura berubah. Tapi ternyata sikap wanita itu membuatnya semakin terusik.

Entah mengapa Dewangga lebih memilih Maura kembali seperti dulu. Setidaknya dia masih memiliki alasan kuat untuk tetap membencinya.

Sementara itu di dalam kamar, Maura menghabiskan rotinya dengan cepat. Yang tersisa hanya setengah gelas susu dingin yang belum sanggup dihabiskannya karena perutnya mendadak terasa sedikit tak nyaman.

Selesai makan, wanita itu segera memotret barang-barang yang ingin dijualnya, dan mengambil video setiap produk dengan durasi pendek.

***

Sekitar pukul sebelas siang, Maura telah selesai memotret sebagian barang-barang yang ingin dijualnya. Bahkan dia juga telah selesai memasangnya di aplikasi belanja.

Dia pun keluar kamar berjalan-jalan sejenak untuk mencari udara segar sambil meregangkan tubuhnya.

Ketika dia tiba di depan pintu ruang kerja Dewangga yang tertutup rapat, dia ingat bahwa ada berkas yang harus ditandatanganinya.

"Dewangga, kamu ada di dalam?" tanya Maura sambil mengetuk dan membuka pintu itu.

Maura melihat tak ada siapapun di sana.

"Benar. Dia gak mungkin ada di sini," gumamnya perlahan ketika dia teringat dengan Alena yang datang menjemput pria itu pagi-pagi.

Maura berjalan ke arah meja kerja. Dia ingat kemarin Dewangga meletakkan berkas perceraian mereka di laci. Kebetulan, semalam dia telah berlatih tanda tangannya lagi.

Dia pun mencari berkas itu dan menandatanganinya tanpa berpikir panjang kemudian meletakkan berkas itu di atas meja agar ketika Dewangga masuk ke sana, pria itu bisa melihat dan mengeceknya.

Maura melihat jam di dinding. Dia teringat dengan waktu makan siang yang sebentar lagi datang.

"Aku belajar masak aja dulu, ah. Lihat resepnya dari internet," gumamnya sambil beranjak ke dapur membawa ponselnya yang layarnya retak.

Di dapur, Maura menyiapkan bahan-bahan yang diperlukannya sambil melihat panduan resep. Dia ingin sekali membuat oseng sayuran yang dicampur potongan daging ayam.

"Nyonya mau bikin apa?"

Sebuah suara membuat Maura yang tengah fokus teralihkan.

"Kamu Mia, kan?" tanya Maura memastikan.

"Ya, Nyonya."

"Saya mau bikin oseng sayuran dan daging ayam," ujar Maura sambil kembali mengiris wortel.

"Wortelnya kupas dulu, Nyonya, jangan langsung dipotong," kata Mia sambil meraih wortel lain dan mengupasnya menggunakan pisau pengupas.

"Oh?" Maura sedikit tercekat. "Saya pikir karena kulitnya tipis banget, jadi gak perlu dikupas lagi."

"Gak dikupas juga sebenarnya gak apa-apa, Nyonya, asal dibersihkan dengan baik. Tapi 'kan wortel tumbuhnya di dalam tanah. Terkadang dipermukaannya ada lipatan kecil yang masih ada tanahnya dan sulit dibasuh dengan air."

Maura mengangguk mengerti. "Terima kasih, Mia. Biar saya yang ngerjain."

"Gak apa-apa, Nyonya. Saya bantuin Nyonya masak aja, ya." Mia tersenyum. Ini kali pertama dia mendengar Maura berterima kasih sepanjang dua tahun dia bekerja di sana.

"Eh, jangan," tolak Maura terkejut. "Kalau Dewangga tahu, mungkin dia akan marah."

"Gak apa-apa, Nyonya. Lagipula tuan gak ada di rumah."

"Iya juga." Maura kembali mengangguk. Tak ada salahnya jika dia menerima bantuan dari orang lain. Pasti masakannya tak akan gagal dibuat. "Tapi, saya bener-bener mau belajar masak. Kamu cukup kasih tahu aja kalau ada yang salah atau kurang, ya."

"Baik, Nyonya," jawab Mia. "Saya bantu siapin bahannya aja."

Keduanya memasak sambil diiringi dengan obrolan kecil. Tepat ketika masakan itu hampir selesai, terdengar deru mesin mobil di halaman samping.

"Nyonya, ada yang datang," kata Mia sambil mencuci tangannya dan melirik jendela di sebelah meja makan. Dia baru saja selesai mencuci peralatan dapur yang tadi digunakan. "Maaf, Nyonya. Saya permisi dulu, mau buka pintu."

Maura mengangguk. "Gak apa-apa, Mia. Terima kasih udah bantuin. Sebentar lagi juga matang, kok."

Mia mengangguk sambil berlalu pergi sementara Maura mengaduk-aduk wajan agar masakannya matang merata.

"Kamu lagi apa di sana? Kamu lagi masak?"

Sebuah suara yang belum pernah terdengar menyapa sehingga Maura menoleh.

Dilihatnya seorang wanita berdiri tak jauh darinya sambil tersenyum menatapnya.

Maura mengerutkan alisnya. Dia tak mengenal siapa wanita itu.

"Nenek cari siapa?" tanya Maura heran.

"Lho? Kok, nenek? Kamu kenapa, Maura? Kamu udah gak kenal lagi sama oma?" Wanita tua itu tampak sangat terkejut dan memandang Maura aneh.

Tepat saat itu, Dewangga muncul di sana dengan wajah keras dan menggelap. Sementara Mia yang datang setelahnya menatap Maura dengan pandangan ngeri.

Dari ekspresi Dewangga maupun Mia, Maura tahu dia telah melakukan kesalahan besar. Tapi sungguh, dia lupa siapa wanita itu.

Apa jangan-jangan ... wanita tua itu oma Ambar? Oma kesayangan Dewangga yang katanya memiliki penyakit jantung yang pernah Lusi ceritakan?

Maura tertegun sejenak dan tak tahu harus bagaimana. Dia menatap Mia meminta pertolongan, namun Mia menggeleng kecil dan tak tahu harus berbuat apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status