“Seperti yang pernah kamu bilang dulu, sekarang aku benar-benar menyesal karena kita menikah. Jadi, ayo kita bercerai, Dewangga.”Bagi Maura, tak mudah mengatakan hal itu. Dia memang sangat mencintai Dewangga.Tentu saja Maura menyesal. Dia menyesal karena tak bisa melihat dengan jelas bahwa hati Dewangga benar-benar tertutup untuknya.Mengapa dia terus menerus melambungkan harapan untuk tetap bersama hingga berharap Dewangga akan membalas cintanya?‘Dewangga tertekan dan tak bahagia bersamaku.’Kenyataan itu sebenarnya sudah disadarinya sejak awal. Namun harapannya yang terlalu tinggi memaksanya untuk bertahan dalam pernikahan yang tak bahagia.Maura juga menyadari bahwa dia tak benar-benar bahagia melihat Dewangga tak bahagia.Dia ingat, mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu. Dia juga ingat bahwa dia terlalu menuntut Dewangga agar memperlakukannya seperti seorang istri.Tentu saja Dewangga tak sanggup karena dia terpaksa menikahi Maura.Maura juga tahu, ada banyak kesalahpaha
Hujan baru saja turun saat Dewangga tiba di rumahnya setelah perjalanan dari luar kota.Jadwal yang direncanakan akan selesai dalam waktu seminggu, ternyata bisa diselesaikan dalam beberapa hari.Tak biasanya memang.Dulu, meski urusannya selesai lebih cepat, biasanya dia akan pergi ke suatu tempat atau menginap di tempat lain lebih dulu. Bukan pulang ke rumah dan bertemu Maura yang bersiap menumpahkan kemarahannya karena dia pergi tanpa pamit.Tapi sekarang, rasanya dia ingin langsung pulang, bahkan membelikan oleh-oleh untuknya.“Mia, berikan ini pada Maura,” pinta Dewangga begitu dia masuk dan disambut oleh Mia, sambil menyerahkan paperbag kecil berisi parfum favorit Maura.“Nyonya lagi keluar, Tuan,” jawab Mia sambil menerima paper bag kecil itu. “Mau saya taruh di kamarnya aja?”“Ya, simpan aja di kamarnya. Dan tolong bawakan koper ini ke kamar saya.” Dewangga menyerahkan kopernya, kemudian berjalan ke arah ruang kerja dengan membawa sebuah map hitam.“Ya, Tuan.” Mia dengan cepat
Maura termenung sendirian di ruang kerja Dewangga di rumahnya sambil duduk di sofa, tempat yang dia duduki pertama kali setelah amnesia. Pertama kali dia ke sana saat itu, atmosfernya terasa menyesakkan. Namun setelah datang beberapa kali, dia mulai merasa nyaman dalam kesepian, terlebih sekarang saat ingatannya telah pulih. Bukankah terkadang dulu dia suka pergi ke sana diam-diam hanya untuk menenangkan diri meski Dewangga selalu memarahinya kalau ketahuan? Dia selalu mengobati rasa kesepiannya dengan membayangkan bahwa Dewangga ada di sana bersamanya, menemaninya, meski hanya ditemani sedikit aroma parfumnya yang tertinggal. Wanita itu melihat langit yang gelap. Mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Jam di dinding menunjukkan waktu pukul setengah delapan malam. Dia pun berdiri dan berjalan menuju meja kerja Dewangga yang rapi. Dia membuka lacinya. Berkas perjanjian perpisahannya dengan Dewangga masih ada di sana. Dia tak ingin menyentuhnya, takut tergoda untuk merobeknya.
Malam menjelang.Maura tiba di rumah Dewangga sekitar pukul tujuh dan langsung bertemu Mia yang seolah menunggu sesuatu.“Nyonya,” sapa Mia dengan wajah khawatir. “Nyonya baik-baik aja?”Maura tersenyum menatap Mia. Sejak bekerja di rumah itu, Mia selalu memperhatikan segala kebutuhannya, namun dia selalu abai dan sibuk dengan perasaan cintanya yang tak terbalaskan. Seingatnya, dia belum pernah memberikan Mia apapun sebagai rasa terima kasihnya.“Aku baik-baik aja, jangan khawatir,” jawab Maura sambil berjalan masuk rumah lebih dulu.“Bukan saya yang khawatir, Nyonya, tapi tuan,” ujar Mia, membuat Maura menoleh.“Dewangga?”Mia mengangguk.“Ngaco, kamu.” Maura tersenyum tulus sambil berlalu.Tiba di ruang keluarga, dia melihat Dewangga tengah duduk di sofa, sambil menumpukan dagunya di jari-jari tangannya yang saling terjalin, sementara sikunya bertumpu di lututnya.Maura mengerutkan alisnya saat pandangan mata mereka bertemu. Pria itu terlihat gelisah sekaligus marah.“Apa ponselmu b
“Aku ….”Maura menahan napasnya. Dadanya yang berdebar-debar, berdenyut sakit. Ternyata sekuat itu pengaruh Dewangga di hidupnya padahal hari kemarin dia sudah meyakinkan diri untuk melepasnya.“Kamu baik-baik aja?” tanya pria itu, dengan nada suara yang lebih lembut.“Ya.”“Maaf, atas kejadian itu,” ujar Dewangga sambil memeluk Maura dengan perasaan lega.‘Eh?’Maura mematung dengan jantung yang semakin berdebar-debar.Bagaimana bisa seorang Dewangga meminta maaf secara langsung padanya sambil memeluknya?Oh, Maura ingat. Pria itu hanya ingin berpisah secara baik-baik dengannya. Tak masalah. Dia juga akan melepasnya dengan ikhlas.Tangan Maura terangkat sejenak untuk menyambut pelukan hangat Dewangga, namun segera berhenti di udara dan jari-jarinya mengepal.Dia tak bisa menyambut pelukan hangat itu, atau dia akan semakin terbelenggu oleh perasaannya.Setelah mengalami amnesia selama beberapa waktu, dia banyak belajar bahwa sudah saatnya dia melepaskan sesuatu yang bukan miliknya, at
Langit cerah pagi itu. Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela yang gordennya terbuka lebar.Maura duduk bersandar sambil termenung menatap partikel debu halus yang terbang dan berkilauan.Kakinya yang jenjang, berbalut selimut rumah sakit. Bahkan, pakaian yang dikenakannya juga adalah pakaian rumah sakit.Pagi itu rasanya tenang, begitu juga dengan hati dan pikirannya, setelah seharian kemarin badai di hatinya berkecamuk sejak dia pergi dari rumah oma Ambar. Tepatnya sejak ingatannya pulih sepenuhnya.“Bu Maura, apa hari ini kepala Anda masih sakit?” tanya seorang perawat yang datang ke ruangan itu setelah mengetuk pintu.“Ah, iya, Sus.” Maura segera memegang kepala dan mengurutnya sedikit sambil meringis. “Masih lumayan sakit. Saya juga ngerasa … nggak tenang kalau harus pulang sekarang. Bisa kasih saya waktu lagi? Di rumah, saya sendirian, nggak bakal ada yang rawat kalau ada apa-apa.”Itu hanya alasan saja sebenarnya. Alasan agar dia bisa tinggal di sana minimal sehari lagi