Share

Sebenarnya Dia Mesum Ma!
Sebenarnya Dia Mesum Ma!
Author: Biru Langit

1. Dia Sangean.

Author: Biru Langit
last update Last Updated: 2021-12-16 20:23:12

"Cinta tanpa nafsu itu omong kosong! Jangan dekat-dekat sama gue. Gue sang*an," katanya terus terang dan frontal. Baru kali ini aku bertemu dengan laki-laki yang begitu terus terang. Sedikit kaget, tapi sudut bibirku terangkat sedikit. 

"Lo balik deh, otak gue traveling," katanya mengambil kotak makanan dari tanganku dan menutup pintu rumahnya. Aku sama sekali tidak diberi basa-basi untuk dipersilahkan masuk dan ditawari minum. 

Aku kembali ke rumahku yang berada tepat di sebelah rumahnya. Sebelum meninggal rumahnya. Dari sudut mataku aku bisa melihat dia mengintip dibalik pintu. 

Sungguh tidak disangka laki-laki yang sering dibanggakan dan dibandingkan mama denganku. Punya sisi yang unik seperti ini. 

Keterus terangannya sungguh membuatku terkejut. Apalagi aku tidak terlalu mengenalnya secara pribadi. Hanya mendengar mama yang menggambarkan begitu sempurna. 

"Gimana udah diantar?" tanya mama saat aku baru saja masuk dan menutup pintu rumah. 

"Udah. Cuman Serafin aja yang ada di rumah kayaknya," kataku menjelaskan sebelum ditanya macam-macam. 

"Gimana? Kamu lihat sendiri kan. Anak tetangga kita, udah ganteng, pinter, baik dan sopan lagi," kata mama bersemangat. 

"Minusnya sang*an Ma," kataku dalam hati. Kalau ku utarakan bisa diceramahi habis-habisan. 

"Iya terserah Mama aja lah," kataku lalu pergi ke kamar dilantai atas. Aku duduk di balkon kamarku dan pemandangannya  menuju balkon kamar Serafin. Jendela kamarnya terbuka dan dia duduk di atas jendela. Sambil menikmati makanan yang kuberikan tadi. 

Dia melambaikan padaku tanpa malu-malu. Melempar senyum manis dengan sudut bibir terdapat sisa pasta yang kuberikan. 

Sungguh aneh kalau jauh seperti ini dia sering menggodaku. Kalau berhadapan dia sangat menjaga jarak. Tidak jarang dia langsung pergi kalau melihatku mendekat. 

"Enak," katanya menunjukan tempat pasta yang sudah habis. Sungguh kejutan badan atletis itu menghabiskan satu tupperware berukuran besar sendirian. 

"Sering-seringlah masakin gue ya," katanya lagi. Aku menunjukan jari tengah ku padanya. Kalau jauh dia bisa seperti ini. Kalau dekat dia menganggapku seperti kuman, harus dihindari. 

Makan malam kali ini terasa lebih serius dari sebelumnya. Papa tiriku sedari tadi melirik ku terus menerus. Seakan ada hal penting yang dibicarakannya, tapi menahan diri.

"Kenapa?" tanyaku saat melihat mama gelisah. Aku memang tidak dekat dengan mama, aku tinggal dengan almarhum papa sejak kecil. 

"Anu, Mama mau bilang. Papa aja lah, Mama takut salah," kata mama menyenggol lengan papa tiriku. 

"Papa juga gak tau harus ngomong apa," kata papa tiriku melihat kearah mama dan saling saling menyenggol. 

"Ngomong aja," kataku santai sambil terus menyuap nasi ke mulut. 

"Itu, sebelumnya Om minta maaf. Om tau, om tidak berhak untuk hal ini. Serafin, melamar kamu pada Om," kata papa tiriku sambil mengambil segelas air dan meminumnya dengan susah payah. Seakan-akan di dalam air itu ada kandungan sianida. 

"Mau gimana lagi, mau gak mau, Om yang jadi wali aku sekarang. Papa udah gak ada," kataku pelan. Papa anak tunggal tidak punya saudara kandung. Papa cuman punya satu satu saudara yang merupakan anak angkat. Masih hitungan saudara, karena dia adalah anak dari adik nenek yang perempuan. 

Tetap saja tidak bisa menjadi waliku. Sekarang aku tinggal dengan mama dan om Rendi. Mau tidak mau om Rendilah yang menjadi waliku.

Hubungan kami masih terbilang canggung. Aku yang tiba-tiba masuk kedalam keluarga mereka. Tinggal dan menetap disini. Sebenarnya aku punya alasan, kenapa aku tinggal disini. Tanteku sedang memperebutkan harta peninggalan papa denganku. 

Om Rendi menyarankan aku untuk tinggal disini. Sementara dia mengurus semuanya. Dia bilang harta peninggalan papa, adalah hakku. Tidak ada yang boleh menggusiknya, karena itu om Rendi menyiapkan pengacara terbaik di firma hukumnya untuk mempertahankan harta warisanku. 

"Jadi, Om jawab apa pada Serafin?" 

"Om belum jawab. Om serahkan keputusan ditangan kamu."

"Menurut Om dia laki-laki yang seperti apa. Seperti kata Om, aku butuh laki-laki yang bisa melindungi aku."

Om Rendi menatapku serius, dia menggeser gelas yang tepat di depannya ke sampingnya. Mama hanya diam sambil memandang kami bergantian. 

"Om tidak ingin kamu menikah karena ini. Om akan berusaha mempertahankan apa yang menjadi hak kamu. Kamu tidak perlu mengorbankan kebahagiaan kamu untuk ini."

"Lunar tau, Om akan berusaha, tapi papa menulis surat wasiat yang akan menyulitkan kita semua. Sebelum Lunar menikah Tante Wendalah yang menjaga dan mengatur harta warisan papa. Walaupun kita menang di pengadilan mereka masih punya kartu as untuk mengambil dan menikmati harta papa," kataku serius. Om Rendi mengusap wajahnya frustasi. 

Papa sepertinya kurang hati-hati pada tante Wenda. Dia bukan orang yang baik. Buktinya dia menuntut ke pengadilan atas pembagian harta warisan papa. Padahal sudah jelas kalau dia tidak punya hak untuk itu. 

"Tante Wenda sangat licik dan kejam. Aku harus berlindung disini agar terhindar dari rencana liciknya"

"Apa tidak sebaiknya berikan saja sebagian harta peninggalan Haris untuk mereka," kata mama.

"Memberikan harta warisan bukan hal yang benar. Hal itu bisa membuat mereka menjadi lebih serakah dan membuat mereka punya kemampuan untuk menyakiti Lunar," kata om Rendi menolak usul mama. 

"Jadi menurut om, bagaimana Serafin?"

"Seperti yang kamu lihat dia punya semua hal yang kita butuhkan. Cerdas dan punya dukungan keluarga. Hanya saja Om tidak yakin dengan karakter aslinya."

Pekerjaan Om Rendi yang sebagai pengacara membuatnya lebih waspada. Dia melihat orang dari berbagai sisi. Tidak hanya dari yang ditunjukkan oleh orang itu saja. 

"Om tidak bisa menebak karakter aslinya. Walaupun dengan pengalaman yang sudah Om dapatkan selama ini."

Aku juga kesulitan menebak karakter Serafin. Dia begitu lihai memainkan peran. Aku juga tidak tahu apakah pernyataan cinta yang diungkapkannya adalah kesungguhan atau ada udang dibalik batu.  

Disaat seperti ini kami memang harus lebih berhati-hati. Apalagi Tante Wenda menjadi lebih agresif akhir-akhir ini. Aku sampai tidak bisa keluar dengan bebas lagi. 

"Om akan memikirkan langkah kedepannya. Kamu jangan terlalu khawatir dan mengambil keputusan secara buru-buru. Apalagi kamu dan Serafin juga baru saling mengenal," kata om Rendi. 

Setelah selesai makan malam aku kembali  ke kamarku. Makan malam dengan keluarga hal yang baru untukku. Dulu almarhum papa lebih sering meninggalkan aku untuk pekerjaan. Sementara om Rendi selalu mewajibkan untuk makan malam bersama kalau dia tidak berada di luar kota. 

Keluarga ini jauh lebih hangat. Hanya saja kurang kehadiran seorang anak. Aku tau dari binar mata om Rendi saat melihatku di meja makan. Dia selalu bahagia dan tersenyum hanya saja masih canggung. 

Nanti sebagai hadiah aku akan memanggilnya papa. Panggilan itu  cocok untuknya yang memiliki perilaku hangat dan peduli keluarga. Hanya saja tuhan tidak menakdirkannya untuk memiliki seorang anak. 

Dari jendela kamarku muncul pesawat kertas yang secara perlahan mendekat dan mendarat di ranjangku. Aku melihat ke arah datangnya pesawat kertas. Rumah sebelah, tepatnya kamar Serafin. Lampu kamarnya masih menyala dan dia duduk di balkon dengan memegang gitar. 

Seperti dia hanya berniat memegang saja, tanpa berniat memainkan. Aku berdiri didepan pintu yang menguntungkan ke balkon dan tersenyum mengejek padanya. Dia menaikan sebelah alisnya dan melirik ke arah dadaku lalu menyeringai. 

Aku lalu kembali dan menutup pintu balkon. Saat kulihat pesawat kertas yang dilemparkan Serafin padaku. Ternyata didalamnya ada tulisan. 

Aku membuka lipatan pesawat kertas yang dibuatnya dengan hati-hati. Lalu membaca tulisan indah disana.

Aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku ini sebenarnya laki-laki baik, pengertian dan bisa menerima kamu apa adanya. Minusnya hanya sang*an doang. Jadi terimalah lamaranku 😊

Inilah tetangga yang selalu dibanggakan oleh mama. Haruskah aku memperlihatkan ini pada mama. Agar dia berhenti membanggakan laki-laki itu? 

Walau bagaimanapun dia mencurigakan kan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebenarnya Dia Mesum Ma!   68. Lagi-lagi Kejutan

    Sebenarnya aku ingin bertanya ke mana Serafin akan membawaku. Namun aku mencoba untuk menahan diri dan menantikan kejutan dari dirinya. aku sangat yakin kali ini pun kejutannya pasti sangat istimewa. Serafin memang tidak pernah gagal memberikan sesuatu untukku. Dia selalu bisa memikirkan hal yang sebelumnya tidak pernah ada di benakku. "Lunar, sepertinya kita akan pulang telat malam ini. Lo nggak papa kan?""Nggak apa-apa kok kalau kita pulang telat. Tapi kayaknya gue mau minta izin ke mama dulu. Biar mama nggak khawatir nantinya," kataku sambil mengambil ponsel dari dalam tasku. Ingin menghubungi Mama agar dia tahu kalau aku pulang telat. "Gue udah minta izin ke mama, lo, kok. Mama, lo, juga udah ngijin kita pulang telat." Kalau Serafin yang meminta izin kepada Mama pasti diizinkan. Karena serafin adalah salah satu orang yang paling dipercayai Mama di dunia ini. Serafin juga adalah calon mantu idaman mama. Jadi meminta izin dari mama bukanlah hal yang sulit untuknya. Apalagi Seraf

  • Sebenarnya Dia Mesum Ma!   67. Lea Terluka

    Pagi-pagi sekali aku langsung ke kantor. Tentu saja untuk melaksanakan proses pemecatan pada direktur keuangan yang bekerja di perusahaan cabang.Suat aku memasuki ruangan, aku melihat jika tante wenda, melempar asbak ke kepala Lea. Sehingga darah langsung mengucur kewajah cantiknya. "Tante apa-apaan ini?" Kataku dengan nada marah yang tidak bisa disembunyikan. Aku langsung menghampiri Lea dan menekan kepalanya yang terluka. Sehingga darahnya juga membasahi tanganku. "Kamu tidak apa-apa Lea?" tanyaku dengan khawatir. Tentu saja itu pertanyaan yang sangat bodoh. Saya sedang terluka sekarang dan tentunya dia tidak baik-baik saja. "Jangan ikut campur urusan tante," katakan Wenda dengan nada yang arogan. "Kamu sudah lancang! Bisa-bisanya kamu melakukan proses pengecatan tanpa membicarakan yang terlebih dulu dengan tante," katanya marah dengan wajah yang memerah. Aku juga menatap tante wenda dengan tajam."Aku tidak lancang. Itu memang seharusnya aku lakukan," kataku menantang tante

  • Sebenarnya Dia Mesum Ma!   66. Pasar Malam

    Ternyata cepat sekali kabar sampai ke telinga tante Wenda. Dia langsung mengirimi aku pesan. Namun aku abaikan.[Kenapa kamu bertindak tanpa sepengetahuan tante? kamu sudah berani lancang ternyata!]Aku tidak ambil pusing. Aku juga sengaja tidak mengatakan masalah pemecatan pada tante Wenda. Kalau aku mengatakan. Dia pasti akan mencari cara untuk menyingkirkan bukti. Dia pastinya akan mempersulit aku. Biarkan saja dia mengamuk sesuka hatinya. Aku tidak peduli, bagiku sekarang yang paling penting adalah perusahaan cabang selamat. Yah, walaupun aku belum tau bagaimana cara menyelamatkan perusahaan cabang. "Lunar, mau pergi denganku malam ini?" kata Serafin berteriak dari balkon kamarnya. Aku keluar dari kamarku dan berjalan menuju balkon."Mau kemana?""Pasar malam. Di daerah sini ada pasar malam. Mau pergi?" katanya lagi. Serafin berdiri bersandar di pagar balkon. Rambutnya yang berantakan telihat indah kerena pantulan lampu balkonnya. "Gue mau ganti baju dulu.""Oke. Gue tunggu

  • Sebenarnya Dia Mesum Ma!   65. Selin Melempar Batu Ke Jendela Kaca Mama

    Karena suara itu sangat keras. Kami langsung keluar dan melihat apa yang terjadi. Ternyata Selin melempar batu yang sangat besar pada jendela kaca rumah. Sehingga pecah berkeping-keping. Apalagi masalahnya kali ini."Lunar keluar lo!" teriaknya tidak tau malu. Untung saja komplek perumahan ini perumahan elit. Sehingga tidak banyak orang berada di rumah pada jam segini. Orang-orang juga tidak terlalu kepo, karena mereka sangat sibuk. "Lo gila ya. Kenapa juga lo bisa masuk ke sini?" kataku kesal melihat ulahnya yang sudah sangat keterlaluan. "Itu gak penting. Yang penting, kenapa lo nyuruh Naral buat menjauhi gue," katanya dengan amarah yang menggebu-gebu. Dia langsung maju ke depan dan mencoba menamparku. Untung saja Serafin dengan sigap menahan tangannya. "Jangan coba-coba untuk kasar pada Lunar," kata Serafin memperingatinya. Namun sepertinya Selin tidak peduli. Dia langsung menepis tangan Serafin dengan kasar. "Lo gak perlu ikut campur. Ini urusan gue sama wanita jalang itu,"

  • Sebenarnya Dia Mesum Ma!   64. Perusahaan Cabang Diambang Kebangkrutan

    Kepalaku benar-benar sakit saat menerima laporan dari Lea. Penggelapan keuangan sangat parah. Jam kerja yang tidak beraturan dan beberapa masalah dari bagian pemasaran. Aku yang belum pernah menangani masalah seperti ini. Benar-benar kebingungan bagaimana cara mengatasi semua ini. Terlebih lagi ada laporan keuangan ganda yang ditemukan oleh Lea. Juga beberapa masalah dari mitra kerja yang dibiarkan berlarut-larut. Walaupun aku tidak banyak tahu. Tapi aku yakin, jika perusahan cabang ini. Sedang berada di ambang kebangkrutan. "Kenapa bisa separah ini?" kataku saat membolak-balik kertas dokumen. Benar-benar membuatku ingin muntah saja. Sudah pasti ada campur tangan oleh Tante Wenda. Dalam masalah ini. Tidak mungkin, dia tidak tahu semua ini. Apalagi laporan keuangan ganda yang sangat rapi. Seakan-akan semuanya sudah dipersiapkan. Untung saja aku menyusupkan Lea ke perusahaan cabang. Jika tidak aku tidak akan punya bukti dalam kasus ini. Perusahaan juga akan bangkrut dan tenggelam

  • Sebenarnya Dia Mesum Ma!   63. Kamar Serafin

    Aku gugup sekali, karena baru kali ini. Aku masuk ke kamar Serafin. Biasanya dia tidak pernah mengizinkan aku masuk ke dalam kamarnya. Baru kali ini aku bisa melihat kamar Serafin. Ternyata kamarnya sangat rapi. Hampir semua perabotan di kamarnya dari kayu dan berwarna coklat. Ranjangnya terlihat sangat besar. Terlihat nyaman dan mewah. Gulingku sepertinya punya perlakuan khusus. Dia ditempatkan begitu mencolok. Dia berada di atas bantal. "Jangan coba-coba. Itu udah jadi punya gue," katanya memperingati aku. Sepertinya dia tau apa yang aku pikirkan. Aku ingin mengambil kembali gulingku. "Itu punya gue. Lo yang nyuri dari gue." "Gak gue curi. Mama lo bilang gue bisa ambil yang gue butuhin. Makanya gue ambil guling dan bantal lo, soalnya itu yang paling gue butuhin," katanya tanpa merasa bersalah sama sekali."Mana mungkin mama gue nyangka kalo lo bakal ngambil guling dan bantal gue.""Karena itu gue ambil. Sekarang bantal dan gulingnya udah jadi punya gue."Walaupun aku mengatakan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status