Aroma tanah basah mulai tercium di indera penciuman ku. Aromanya sangat khas, dan membuat jiwaku sedikit lebih tenang. Hujan masih terus membasahi bumi, membuat suhu menurun drastis.
Aku mematikan Ac kamar dan menuju jendela kaca kamarku. Jendelanya sudah berembun, dengan iseng aku menulis disana. Saat jari-jari menyentuh permukaan jendela yang licin dan terasa basah, tanpa sadar aku menulis nama Serafin disana.
Buru-buru kuhapus nama itu. Kenapa tetangga menyebalkan itu yang terpikir di otakku. Sepertinya virus yang disebarkan oleh Serafin sangat berbahaya.
"Astaga bisa-bisa aku menulis nama orang menyebalkan itu," kataku sambil terus mengusap jendela kaca yang berembun. Tanganku menjadi dingin dan basah karena bersentuhan langsung dengan jendela kaca kamarku.
Kulirik jam dinding di kamarku. Seperti om Rendi sesudah pulang kalau jam segini. Kami ingin membicarakan tentang masalah harta warisan papa yang diperebutkan oleh tante Wenda.
Bukan hal yang mudah untuk om Rendi mengurus hal ini. Banyak orang berspekulasi buruk tentangnya karena gosip masa lalu. Pernikahannya dengan mama dianggap sebagai hasil penghianatan.
Aku tau hal itu tidak benar. Hanya saja pikiran orang berbeda. Apalagi om Rendi adalah sahabat dan tiba-tiba menikah dengan mama setelah tidak lama mereka bercerai.
"Om," kataku memanggilnya saat aku sudah berada di ruang keluarga. Om Rendi duduk disamping mama dengan segelas teh dan gorengan di atas meja.
"Duduk Lunar," katanya sambil tersenyum lalu menyesap tehnya.
"Lunar mau mama bikinin teh, atau coklat hangat?" tanya mama yang langsung bangkit dari duduknya. Mama berjalan padaku dan memegang bahuku. Mengelusnya lembut dan menatapku dengan sayang.
"Gak usah Ma. Mama duduk aja," kataku tidak enak. "Nanti Lunar bikin sendiri aja."
"Biar mama buat coklat panas aja. Lunarkan suka banget coklat."
Mama lalu bergegas pergi ke dapur. Walaupun aku ditinggal mama di usia yang masih kecil dan jarang bertemu lagi. Mama masih sangat tahu kesukaanku. Aku tau ada rahasia dibalik perceraian orang tuaku. Satu yang pasti bukan karena kebencian diantara mereka. Hal itu dibuktikan mereka selalu memuji satu sama lain dengan sebutan orang baik.
"Om sudah menyelidiki tentang Serafin. Walaupun tidak mendapatkan banyak, tapi om yakin dia tidak ada hubungannya dengan tantemu," kata om Rendi membuka pembicaraan.
"Tapi bukan berarti om mau kamu menikah dengannya hanya karena masalah ini."
"Jadi Serafin bukan orang yang mencurigakan. Itu saja sudah cukup untuk Lunar om."
"Kamu jangan terlalu memikirkan masalah ini. Kamu tenang aja, om akan berusaha sebaik mungkin," kata om Rendi lalu menggeser piring gorengan padaku. "Makanlah, tadi om beli. Gorengnya enak kok."
Aku mengambil satu pisang goreng dari piring dan memakannya. Om Rendi memang sosok figur ayah yang baik. Walaupun aku masih canggung kalau memanggilnya papa.
Bersama papa pun aku tidak pernah merasa momen ini. Momen sederhana, menikmati minuman dan gorengan saat hujan bersama.
"Gimana gorengannya enak kan? Pisangnya empuk dan manis."
"Iya om enak. Kasih tau lunar belinya dimana kapan-kapan Lunar akan kesana beli lagi," kataku dengan mengambil gorengan lagi. Menahan air mata, teringat papa yang selalu sibuk bekerja. Tidak ada kenangan seperti ini dengan papa selama sisa hidupnya.
"Kalau Lunar mau. Tinggal bilang om aja, nanti pulang kerja om pasti belikan. Atau besok, kalau lunar mau om akan belikan martabak coklat," kata om Rendi semangat. Aku hanya bisa mengangguk.
Aku tidak peduli jika aku dianggap kegeeran, tapi bagiku om Rendi sudah menganggapku anak kandungnya. Dia sangat perhatian dengan perhatian sederhananya.
Tidak lama kemudian mama datang membawa segelas coklat panas dan sepiring kue dan cookies. Mama tersenyum dan duduk di samping om Rendi.
"Makasih Ma," kataku mengambil gelas diatas meja dan meniup-niup sehingga uap hangat menerpa wajahku dengan lembut.
"Sama-sama sayang, nanti kalau hujannya sudah reda tolong antar cookies yang kita buat untuk Serafin," kata mama padaku.
"Iya Ma. Nanti Lunar antar."
Sejujurnya aku enggan untuk kesana lagi, tapi aku tidak ingin menolak permintaan mama. Serafin akan galak sekali kalau kami berduaan. Kalau ada orang disekitar kami baru dia menggodaku.
"Lunar tenang saja selama Lunar disini. Lunar akan aman, jadi jangan khawatir. Tidak ada yang bisa menyakiti Lunar selama om masih hidup," kata om Rendi bersungguh-sungguh. Sebelum aku tinggal dirumah ini. Aku memang sering sekali mengalami kecelakaan.
Kecelakaan kecil yang terlihat tidak disengaja. Seperti jatuh dari tangga karena ada air sisa pel-an yang belum kering. Atau pot bunga yang terjatuh dari lantai atas. Untung semua kecelakaan itu tidak membuatku terluka fatal.
Aku mengabaikan semua kejadian itu. Sampai om Rendi, tau aku mengalami kecelakaan. Menabrak trotoar jalan karena rem mobilku blong. Om Rendi langsung menjemputku dari rumah sakit dan memindahkan aku dari sana ke rumah sakit lain.
"Lunar kami tidak apa-apa?" katanya dengan panik saat itu. Wajahnya pucat dan sangat khawatir. Om Rendi bertindak cepat agar aku semakin tidak celaka.
"Lunar percaya sama om," kataku sambil tersenyum tulus.
"Lunar kalau mau apa-apa tinggal bilang om aja. Kami tenang saja perusahaan papa kamu juga sudah semaksimal mungkin om amankan. Om sudah menempatkan orang yang bisa dipercaya disana."
"Makasih atas bantuan Om. Lunar sangat berterima kasih sama Om. Setelah papa pergi, hanya Om dan Mamalah yang Lunara punya. Makasih pa," kataku pada akhirnya. Aku buru-buru bangkit dan membalikan badanku. Agar om Rendi dan mama tidak bisa melihat air mataku.
Sebelum aku berbalik aku masih bisa menangkap ekspresi terkejut dan dan senangnya om Rendi.
"Lunar mau ngantar cookies dulu buat Serafin," kataku sambil menuju dapur. Aku bisa melihat om Rendi menumpukan kepalanya di bahu mama. Mama juga mengelus pundak om Rendi pelan.
Aku mengambil satu toples cookies dan segera menuju rumah Serafin. Karena hujan masih turun aku menggunakan payung berwarna kuning bermotif bunga matahari.
Setelah melewati gerbang rumah Serafin akhirnya aku sampai ke depan pintu rumahnya. Kuketuk pintu rumahnya dengan pelan. Baru juga ketukan ketiga pintu sudah dibuka.
Serafin membuka pintu dengan senyum cerah, layaknya mentari pagi. Padahal hari ini mendung dan hujan. Anehnya kenapa dia tau aku akan datang. Kamarnya ada di lantai dua. Butuh beberapa menit untuk sampai ke depan pintu rumahnya.
"Insting gue bilang. Lo bakal datang jadi gue nunggu di ruang tamu dan duduk di sofa," katanya menjelaskan tanpa ku minta. Seakan tau apa yang aku pikirkan.
"Sini cookies gue," katanya langsung mengambil setoples cookies yang kubawa tanpa malu-malu, atau menunggu aku memberikannya terlebih dahulu.
Serafin lalu meletakan toples cookies itu di meja tamu. Tumben dia tidak langsung mengusirku pulang, ataupun menutup pintu rumahnya dengan galak. Aku jadi curiga padanya.
Serafin langsung memeluk pinggangku dan berlari ke arah hujan. Dia memutar-mutar tubuhku dibawah guyuran hujan yang deras.
"Serafin sinting, gue jadi basah," kataku kesal. Dia cuman tertawa sanagt bahagia.
"Gak apa-apa. Gue seneng lihat penampilan lo kayak gini. Rambut basah, baju basah yang menampilkan lekuk tubuh," katanya menyeringai. Aku langsung memukul kepalanya dan berlari meninggalkan Serafin.
"Cantik payungnya tinggal," katanya sambil tertawa. "Jangan pernah sedih di depan gue, gue lebih suka lo senyum bahagia. Kalau gak bisa marah aja kayak gini," katanya sambil melambai-lambaikan tangan.
"Ayo sini, masuk rumah. Gue masih sendiri nih di rumah," katanya lagi. Aku langsung berlari kencang meninggalkan dia.
"Dasar mesum!" teriakku. Tingkahnya sangat aneh, tapi setidaknya dia bukan orang yang mencurigakan atau orang yang berhubungan dengan tante Wenda.
Sebenarnya aku ingin bertanya ke mana Serafin akan membawaku. Namun aku mencoba untuk menahan diri dan menantikan kejutan dari dirinya. aku sangat yakin kali ini pun kejutannya pasti sangat istimewa. Serafin memang tidak pernah gagal memberikan sesuatu untukku. Dia selalu bisa memikirkan hal yang sebelumnya tidak pernah ada di benakku. "Lunar, sepertinya kita akan pulang telat malam ini. Lo nggak papa kan?""Nggak apa-apa kok kalau kita pulang telat. Tapi kayaknya gue mau minta izin ke mama dulu. Biar mama nggak khawatir nantinya," kataku sambil mengambil ponsel dari dalam tasku. Ingin menghubungi Mama agar dia tahu kalau aku pulang telat. "Gue udah minta izin ke mama, lo, kok. Mama, lo, juga udah ngijin kita pulang telat." Kalau Serafin yang meminta izin kepada Mama pasti diizinkan. Karena serafin adalah salah satu orang yang paling dipercayai Mama di dunia ini. Serafin juga adalah calon mantu idaman mama. Jadi meminta izin dari mama bukanlah hal yang sulit untuknya. Apalagi Seraf
Pagi-pagi sekali aku langsung ke kantor. Tentu saja untuk melaksanakan proses pemecatan pada direktur keuangan yang bekerja di perusahaan cabang.Suat aku memasuki ruangan, aku melihat jika tante wenda, melempar asbak ke kepala Lea. Sehingga darah langsung mengucur kewajah cantiknya. "Tante apa-apaan ini?" Kataku dengan nada marah yang tidak bisa disembunyikan. Aku langsung menghampiri Lea dan menekan kepalanya yang terluka. Sehingga darahnya juga membasahi tanganku. "Kamu tidak apa-apa Lea?" tanyaku dengan khawatir. Tentu saja itu pertanyaan yang sangat bodoh. Saya sedang terluka sekarang dan tentunya dia tidak baik-baik saja. "Jangan ikut campur urusan tante," katakan Wenda dengan nada yang arogan. "Kamu sudah lancang! Bisa-bisanya kamu melakukan proses pengecatan tanpa membicarakan yang terlebih dulu dengan tante," katanya marah dengan wajah yang memerah. Aku juga menatap tante wenda dengan tajam."Aku tidak lancang. Itu memang seharusnya aku lakukan," kataku menantang tante
Ternyata cepat sekali kabar sampai ke telinga tante Wenda. Dia langsung mengirimi aku pesan. Namun aku abaikan.[Kenapa kamu bertindak tanpa sepengetahuan tante? kamu sudah berani lancang ternyata!]Aku tidak ambil pusing. Aku juga sengaja tidak mengatakan masalah pemecatan pada tante Wenda. Kalau aku mengatakan. Dia pasti akan mencari cara untuk menyingkirkan bukti. Dia pastinya akan mempersulit aku. Biarkan saja dia mengamuk sesuka hatinya. Aku tidak peduli, bagiku sekarang yang paling penting adalah perusahaan cabang selamat. Yah, walaupun aku belum tau bagaimana cara menyelamatkan perusahaan cabang. "Lunar, mau pergi denganku malam ini?" kata Serafin berteriak dari balkon kamarnya. Aku keluar dari kamarku dan berjalan menuju balkon."Mau kemana?""Pasar malam. Di daerah sini ada pasar malam. Mau pergi?" katanya lagi. Serafin berdiri bersandar di pagar balkon. Rambutnya yang berantakan telihat indah kerena pantulan lampu balkonnya. "Gue mau ganti baju dulu.""Oke. Gue tunggu
Karena suara itu sangat keras. Kami langsung keluar dan melihat apa yang terjadi. Ternyata Selin melempar batu yang sangat besar pada jendela kaca rumah. Sehingga pecah berkeping-keping. Apalagi masalahnya kali ini."Lunar keluar lo!" teriaknya tidak tau malu. Untung saja komplek perumahan ini perumahan elit. Sehingga tidak banyak orang berada di rumah pada jam segini. Orang-orang juga tidak terlalu kepo, karena mereka sangat sibuk. "Lo gila ya. Kenapa juga lo bisa masuk ke sini?" kataku kesal melihat ulahnya yang sudah sangat keterlaluan. "Itu gak penting. Yang penting, kenapa lo nyuruh Naral buat menjauhi gue," katanya dengan amarah yang menggebu-gebu. Dia langsung maju ke depan dan mencoba menamparku. Untung saja Serafin dengan sigap menahan tangannya. "Jangan coba-coba untuk kasar pada Lunar," kata Serafin memperingatinya. Namun sepertinya Selin tidak peduli. Dia langsung menepis tangan Serafin dengan kasar. "Lo gak perlu ikut campur. Ini urusan gue sama wanita jalang itu,"
Kepalaku benar-benar sakit saat menerima laporan dari Lea. Penggelapan keuangan sangat parah. Jam kerja yang tidak beraturan dan beberapa masalah dari bagian pemasaran. Aku yang belum pernah menangani masalah seperti ini. Benar-benar kebingungan bagaimana cara mengatasi semua ini. Terlebih lagi ada laporan keuangan ganda yang ditemukan oleh Lea. Juga beberapa masalah dari mitra kerja yang dibiarkan berlarut-larut. Walaupun aku tidak banyak tahu. Tapi aku yakin, jika perusahan cabang ini. Sedang berada di ambang kebangkrutan. "Kenapa bisa separah ini?" kataku saat membolak-balik kertas dokumen. Benar-benar membuatku ingin muntah saja. Sudah pasti ada campur tangan oleh Tante Wenda. Dalam masalah ini. Tidak mungkin, dia tidak tahu semua ini. Apalagi laporan keuangan ganda yang sangat rapi. Seakan-akan semuanya sudah dipersiapkan. Untung saja aku menyusupkan Lea ke perusahaan cabang. Jika tidak aku tidak akan punya bukti dalam kasus ini. Perusahaan juga akan bangkrut dan tenggelam
Aku gugup sekali, karena baru kali ini. Aku masuk ke kamar Serafin. Biasanya dia tidak pernah mengizinkan aku masuk ke dalam kamarnya. Baru kali ini aku bisa melihat kamar Serafin. Ternyata kamarnya sangat rapi. Hampir semua perabotan di kamarnya dari kayu dan berwarna coklat. Ranjangnya terlihat sangat besar. Terlihat nyaman dan mewah. Gulingku sepertinya punya perlakuan khusus. Dia ditempatkan begitu mencolok. Dia berada di atas bantal. "Jangan coba-coba. Itu udah jadi punya gue," katanya memperingati aku. Sepertinya dia tau apa yang aku pikirkan. Aku ingin mengambil kembali gulingku. "Itu punya gue. Lo yang nyuri dari gue." "Gak gue curi. Mama lo bilang gue bisa ambil yang gue butuhin. Makanya gue ambil guling dan bantal lo, soalnya itu yang paling gue butuhin," katanya tanpa merasa bersalah sama sekali."Mana mungkin mama gue nyangka kalo lo bakal ngambil guling dan bantal gue.""Karena itu gue ambil. Sekarang bantal dan gulingnya udah jadi punya gue."Walaupun aku mengatakan