Share

4. Bukan Orang Yang Mencurigakan

Aroma tanah basah mulai tercium di indera penciuman ku. Aromanya sangat khas, dan membuat jiwaku sedikit lebih tenang. Hujan masih terus membasahi bumi, membuat suhu menurun drastis.

Aku mematikan Ac kamar dan menuju jendela kaca kamarku. Jendelanya sudah berembun, dengan iseng aku menulis disana. Saat jari-jari menyentuh permukaan jendela yang licin dan terasa basah, tanpa sadar aku menulis nama Serafin disana. 

Buru-buru kuhapus nama itu. Kenapa tetangga menyebalkan itu yang terpikir di otakku. Sepertinya virus yang disebarkan oleh Serafin sangat berbahaya. 

"Astaga bisa-bisa aku menulis nama orang menyebalkan itu," kataku sambil terus mengusap jendela kaca yang berembun. Tanganku menjadi dingin dan basah karena bersentuhan langsung dengan jendela kaca kamarku. 

Kulirik jam dinding di kamarku. Seperti om Rendi sesudah pulang kalau jam segini. Kami ingin membicarakan tentang masalah harta warisan papa yang diperebutkan oleh tante Wenda.

Bukan hal yang mudah untuk om Rendi mengurus hal ini. Banyak orang berspekulasi buruk tentangnya karena gosip masa lalu. Pernikahannya dengan mama dianggap sebagai hasil penghianatan. 

Aku tau hal itu tidak benar. Hanya saja pikiran orang berbeda. Apalagi om Rendi adalah sahabat dan tiba-tiba menikah dengan mama setelah tidak lama mereka bercerai.

"Om," kataku memanggilnya saat aku sudah berada di ruang keluarga. Om Rendi duduk disamping mama dengan segelas teh dan gorengan di atas meja. 

"Duduk Lunar," katanya sambil tersenyum lalu menyesap tehnya. 

"Lunar mau mama bikinin teh, atau coklat hangat?" tanya mama yang langsung bangkit dari duduknya. Mama berjalan padaku dan memegang bahuku. Mengelusnya lembut dan menatapku dengan sayang. 

"Gak usah Ma. Mama duduk aja," kataku tidak enak. "Nanti Lunar bikin sendiri aja."

"Biar mama buat coklat panas aja. Lunarkan suka banget coklat."

Mama lalu bergegas pergi ke dapur. Walaupun aku ditinggal mama di usia yang masih kecil dan jarang bertemu lagi. Mama masih sangat tahu kesukaanku. Aku tau ada rahasia dibalik perceraian orang tuaku. Satu yang pasti bukan karena kebencian diantara mereka. Hal itu dibuktikan mereka selalu memuji satu sama lain dengan sebutan orang baik. 

"Om sudah menyelidiki tentang Serafin. Walaupun tidak mendapatkan banyak, tapi om yakin dia tidak ada hubungannya dengan tantemu," kata om Rendi membuka pembicaraan. 

"Tapi bukan berarti om mau kamu menikah dengannya hanya karena masalah ini."

"Jadi Serafin bukan orang yang mencurigakan. Itu saja sudah cukup untuk Lunar om."

"Kamu jangan terlalu memikirkan masalah ini. Kamu tenang aja, om akan berusaha sebaik mungkin," kata om Rendi lalu menggeser piring gorengan padaku. "Makanlah, tadi om beli. Gorengnya enak kok."

Aku mengambil satu pisang goreng dari piring dan memakannya. Om Rendi memang sosok figur ayah yang baik. Walaupun aku masih canggung kalau memanggilnya papa. 

Bersama papa pun aku tidak pernah merasa momen ini. Momen sederhana, menikmati minuman dan gorengan saat hujan bersama. 

"Gimana gorengannya enak kan? Pisangnya empuk dan manis."

"Iya om enak. Kasih tau lunar belinya dimana kapan-kapan Lunar akan kesana beli lagi," kataku dengan mengambil gorengan lagi. Menahan air mata, teringat papa yang selalu sibuk bekerja. Tidak ada kenangan seperti ini dengan papa selama sisa hidupnya. 

"Kalau Lunar mau. Tinggal bilang om aja, nanti pulang kerja om pasti belikan. Atau besok, kalau lunar mau om akan belikan martabak coklat," kata om Rendi semangat. Aku hanya bisa mengangguk.

Aku tidak peduli jika aku dianggap kegeeran, tapi bagiku om Rendi sudah menganggapku anak kandungnya. Dia sangat perhatian dengan perhatian sederhananya. 

Tidak lama kemudian mama datang membawa segelas coklat panas dan sepiring kue dan cookies. Mama tersenyum dan duduk di samping om Rendi. 

"Makasih Ma," kataku mengambil gelas diatas meja dan meniup-niup sehingga uap hangat menerpa wajahku dengan lembut. 

"Sama-sama sayang, nanti kalau hujannya sudah reda tolong antar cookies yang kita buat untuk Serafin," kata mama padaku. 

"Iya Ma. Nanti Lunar antar."

Sejujurnya aku enggan untuk kesana lagi, tapi aku tidak ingin menolak permintaan mama. Serafin akan galak sekali kalau kami berduaan. Kalau ada orang disekitar kami baru dia menggodaku. 

"Lunar tenang saja selama Lunar disini. Lunar akan aman, jadi jangan khawatir. Tidak ada yang bisa menyakiti Lunar selama om masih hidup," kata om Rendi bersungguh-sungguh. Sebelum aku tinggal dirumah ini. Aku memang sering sekali mengalami kecelakaan. 

Kecelakaan kecil yang terlihat tidak disengaja. Seperti jatuh dari tangga karena ada air sisa pel-an yang belum kering. Atau pot bunga yang terjatuh dari lantai atas. Untung semua kecelakaan itu tidak membuatku terluka fatal.

Aku mengabaikan semua kejadian itu. Sampai om Rendi, tau aku mengalami kecelakaan. Menabrak trotoar jalan karena rem mobilku blong. Om Rendi langsung menjemputku dari rumah sakit dan memindahkan aku dari sana ke rumah sakit lain.

"Lunar kami tidak apa-apa?" katanya dengan panik saat itu. Wajahnya pucat dan sangat khawatir. Om Rendi bertindak cepat agar aku semakin tidak celaka. 

"Lunar percaya sama om," kataku sambil tersenyum tulus. 

"Lunar kalau mau apa-apa tinggal bilang om aja.  Kami tenang saja perusahaan papa kamu juga sudah semaksimal mungkin om amankan. Om sudah menempatkan orang yang bisa dipercaya disana."

"Makasih atas bantuan Om. Lunar sangat berterima kasih sama Om. Setelah papa pergi, hanya Om dan Mamalah yang Lunara punya. Makasih pa," kataku pada akhirnya. Aku buru-buru bangkit dan membalikan badanku. Agar om Rendi dan mama tidak bisa melihat air mataku.

Sebelum aku berbalik aku masih bisa menangkap ekspresi terkejut dan dan senangnya om Rendi. 

"Lunar mau ngantar cookies dulu buat Serafin," kataku sambil menuju dapur. Aku bisa melihat om Rendi menumpukan kepalanya di bahu mama. Mama juga mengelus pundak om Rendi pelan. 

Aku mengambil satu toples cookies dan segera menuju rumah Serafin. Karena hujan masih turun aku menggunakan payung berwarna kuning bermotif bunga matahari. 

Setelah melewati gerbang rumah Serafin akhirnya aku sampai ke depan pintu rumahnya. Kuketuk pintu rumahnya dengan pelan. Baru juga ketukan ketiga pintu sudah dibuka. 

Serafin membuka pintu dengan senyum cerah, layaknya mentari pagi. Padahal hari ini mendung dan hujan. Anehnya kenapa dia tau aku akan datang. Kamarnya ada di lantai dua. Butuh beberapa menit untuk sampai ke depan pintu rumahnya. 

"Insting gue bilang. Lo bakal datang jadi gue nunggu di ruang tamu dan duduk di sofa," katanya menjelaskan tanpa ku minta. Seakan tau apa yang aku pikirkan.

"Sini cookies gue," katanya langsung mengambil setoples cookies yang kubawa tanpa malu-malu, atau menunggu aku memberikannya terlebih dahulu. 

Serafin lalu meletakan toples cookies itu di meja tamu. Tumben dia tidak langsung mengusirku pulang, ataupun menutup pintu rumahnya dengan galak. Aku jadi curiga padanya.

Serafin langsung memeluk pinggangku dan berlari ke arah hujan. Dia memutar-mutar tubuhku dibawah guyuran hujan yang deras. 

"Serafin sinting, gue jadi basah," kataku kesal. Dia cuman tertawa sanagt bahagia. 

"Gak apa-apa. Gue seneng lihat penampilan lo kayak gini. Rambut basah, baju basah yang menampilkan lekuk tubuh," katanya menyeringai. Aku langsung memukul kepalanya dan berlari meninggalkan Serafin.

"Cantik payungnya tinggal," katanya sambil tertawa. "Jangan pernah sedih di depan gue, gue lebih suka lo senyum bahagia. Kalau gak bisa marah aja kayak gini," katanya sambil melambai-lambaikan tangan. 

"Ayo sini, masuk rumah. Gue masih sendiri nih di rumah," katanya lagi. Aku langsung berlari kencang meninggalkan dia. 

"Dasar mesum!" teriakku. Tingkahnya sangat aneh, tapi setidaknya dia bukan orang yang mencurigakan atau orang yang berhubungan dengan tante Wenda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status