Share

3. Pencuri Bantal Dan Guling

Aku mengabaikan Serafin yang berteriak-teriak minta pertanggung jawaban dan lebih memilih mandi. Sampai aku selesai mandi dia masih melempari balkon kamarku dengan pesawat kertas warna-warni.

"Pesawat kertasnya sudah habis. Tidak seperti cintaku padamu yang tidak ada habisnya. Jadi aku akan berjuang terus, sampai pintu hatimu terbuka kalau gak terbuka tinggal dobrak. Kalau gak terbuka juga nanti bisa lewat jendela. Gak apa-apa dikira maling penting dapat cinta," katanya berteriak dari balkon kamarnya, tanpa terasa aku tersenyum sendiri. Dasar Serafin aneh!

Aku turun kelantai bawah dan menuju dapur. Di sini aku sudah melihat mama sedang menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue. Mama memang bilang akan membuat cookies. 

Pantas mama sangat betah di dapur. Dapur didesain sangat lengkap dan apik. Tipe dapur mama adalah tipe dapur modern dengan peralatan modern juga. Dapurnya juga sangat luas, dilengkapi dengan barang-barang modern. Seperti oven listrik, microwave, kulkas dua pintu, mesin pencucian piring, lemari kabinet dan wastafel yang apik. 

"Lunar bisa bantu mama buat kue?" tanya mama padaku saat melihat aku mendekatinya. 

"Lunar akan coba. Lunar belum perna buat kue sebelumnya," kataku jujur. Aku berdiri di samping mama dan mengamati bahan-bahan untuk membuat cookies.

"Mama akan ajarin Lunar. Kalau Serafin dia udah jago, selain pintar belajar dia juga jago bikin kue. Dia sering bantu-bantu mama buat kue sejak kecil."

"Kayaknya Serafin serba bisa ya Ma," kataku cuek. Mama lalu menggambarkan segala kelebihan tetangga kami itu. Mulai dari pintar belajar, olahraga dan memasak. Bagi mama Serafin sangat sempurna. Mama tidak tahu laki-laki yang sudah dianggap anaknya sendiri itu sangat aneh, mesum dan sangean. 

"Nah baru aja kita omongin anaknya sudah datang," kata mama berbarengan dengan datangnya Serafin. Dia tersenyum manis dan sopan pada mama. Sementara padaku tanpa sepengetahuan mama dia tersenyum genit dan mengedipkan matanya padaku.

"Pagi Tante. Serafin datang buat bantu Tante bikin kue," katanya sopan. Aku ingin sekali memukul wadah yang berisi tepung ini padanya. 

"Tante kira Serafin gak datang. Bukanya Serafin lagi sibuk, kan lagi buka cabang kantor baru," kata mama riang dan gembira. Hanya aku yang merasa perlu mengusir Serafin dari sini. 

"Sesibuk apapun waktu dengan keluarga lebih penting Tante."

"Benar sekali, Tante sangat setuju dengan kamu," mama menepuk bahu Serafin dengan bangga. Tanpa mama ketahui saat melewati aku dia melai rambutku pelan dan melempar seringai.

"Wangi," katanya sambil mencium tangannya yang memegang rambutku. 

"Pergi sana," kataku tanpa suara. Dia menggeleng dan tersenyum senang.

Mama tidak memperhatikan Serafin yang terus melempar senyum jenaka padaku. Mama masih sibuk dengan mempersiapkan takaran untuk membuat cookies. 

"Ada tepung disini," kata serafin mengusap wajahku dengan tisu. Mama tersenyum melihat perilaku yang dianggapnya baik padahal tanpa diketahui mama dia memasukkan tisu itu ke dalam bajuku. 

Aku memukul tangannya dan menepuk pipinya dengan tangan berlumuran tepung. Pipinya selain berlumuran tepung, juga memerah. Karena aku menepuknya sangat kuat. 

"Lunar, jangan main-main," kata mama mengingatkan. Kenapa pada saat seperti ini mama melihat. Kalau Serafin yang sedang menjahili aku. Mama sama sekali tidak melihatnya.

"Gak apa-apa Tante. Lunar mungkin mau becanda sama Serafin."

"Tetap gak boleh gitu. Lihat pipi kamu sampe merah gitu."

"Gak papa Tante. Ini bukan karena pukulan dari Lunar. Ini karena Serafin malu Tante. Serafin belum pernah sedekat ini dengan wanita sebelumnya," kata Serafin membuatku tersedak. Malu katanya, padahal saat mengatakan kalau dia sangean. Wajahnya tidak ada malu-malu, bahkan terkesan datar dan seperti sudah biasa. 

Aku sampai syok dan tidak bisa membela diri. Pandai sekali dia menjaga imagenya di depan orang-orang. Padahal di depanku dia sangat minus akhlak. 

"Maaf," kataku akhirnya dengan cemberut.

"Gak apa-apa. Selow aja Lunar," katanya menatapku lalu mengedipkan matanya sebelah. Nah saat seperti ini mama malah gak lihat dan fokus mencetak cookies. 

Serafin kemudian menghias cookies yang ada di atas loyang dengan choco chips. Sesekali dia menggigit bibir bawahnya yang berwarna merah. 

Ternyata Serafin sangat tampan, tapi minus akhlak. Dia juga sangat jago pencitraan ternyata.

"Tinggal dipanggang selama 35 menit," kata Serafin sambil masukkan loyang kedalam oven dan mengatur waktunya. Karena ovennya besar jadi bisa memanggang sekalian. Sekarang aku sedang membuat minuman untuk Serafin. Dia sedang duduk dengan mama dimeja makan. 

Saat aku kesana, mama malah pergi untuk mengecek cookiesnya. Serafin langsung bangkit dan mengambil nampan dari tanganku. Dia berada dibelakangku sekarang. Meletakan minuman di meja. Tanganya menyentuh bahuku keren posisiku yang berada didapatnya. Dia terlihat seperti memelukku. 

"Rambutnya gak usah diikat. Leher lo kelihatan, otak gue bandel nih," katanya sambil menarik ikat rambutku membuat rambutku terurai dan jatuh ke bahuku.

"Digerai aja bikin otak gue kemana-mana. Apalagi harus lihat leher lo sepanjang hari," katanya dan mendekatkan wajahnya padaku. Kukira dia ingin menciumku. Membuat aku membeku. Ternyata dia hanya mengambil sedikit rambutku dan menciumnya. Kemudian menyeringai. 

"Dasar mesum. Lo kira gue mau ngapain?" Serafin kemudian tertawa. Aku geram dan menjambak rambutnya.

"Tante…." katanya, aku langsung menutup mulutnya takut dia mengadu. Bagi mama Serafin itu malaikat, pasti aku yang akan salah. 

"Awas lo kalau ngadu," kataku mengancam 

"Tante aku izin ke lantai atas mau ngambil sesuatu."

"Iya," kata mama singkat. 

"Mau kemana lo Serafin?"

"Lo gak usah ikut lo kan tau kalau gue sangean. Gak boleh dekat-dekat ya cantik," kata Serafin mengacak-acak rambutku. Karena tidak ada yang salah aku membiarkan. Aku akhirnya memilih untuk melihat cookies saja. 

Aku kepikiran apa yang sebenarnya dilakukan Serafin diatas. Karena penasaran akhirnya aku memberanikan diri untuk menyusulnya. Kami berpapasan saat aku telah selesai menaiki tangga.

Dia tersenyum sambil membawa bantal dan guling diperlukannya. Aku hanya melihatnya bingung. Aku lebih memilih menuju kamarku. Sebentar tadi dia membawa bantal dan guling. Loh kok bantal dan guling ku hilang. 

Aku melihat benda itu sudah hilang. Tidak ada tanda-tanda dua benda yang selalu aku gunakan saat malam untuk melelapkan tidurku itu. Jangan bilang serafin yang mencurinya. 

"Serafin," teriakku dan langsung lari ke bawah dan mengejar Serafin yang sudah berlari yang dengan membawa bantal dan guling ku. 

"Serafin balikin bantal dan guling gue.

"Gak mau. Ini udah punya gue. DP ganti rugi karena lo udah melakukan kekerasan," katanya sambil berlari. Aku mengejarnya sampai ke rumahnya, tapi dia berhasil lolos. Dia masuk dan langsung mengunci pintu rumahnya.

"Serafin buka pintunya. Balikin bantal dan guling gue," kataku sambil menggedor-gedor pintu. 

"Gak mau ini punya gue sekarang. Gak bakal gue balikin, kecuali lo nikah sama gue sekarang.

"Serafin buka pintu," kataku bersikeras. Kesal karena dia sudah mencuri bantal dan guling ku. 

"Ok, gue buka, tapi ingat gue sendirian di rumah. Lo yakin mau masuk kesini," katanya dengan nada mengancam. "Kesempatan sih buat gue kalau lo masuk."

Otakku langsung menyalakan alarm bahaya. Bukan ide yang baik kalau aku bersikeras. Terpaksalah aku harus merelakan bantal dan guling.

"Dasar serafin sialan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status