Seperti biasa Serafin suka sekali berteriak-teriak dari balkon kamarnya untuk membangunkan aku. Sepertinya dia tidak mengenal yang namanya ponsel.
Untuk membangunkan aku hanya butuh ponsel. Dia tinggal menelponku, aku yakin aku akan langsung bangun. Apalagi aku bukanlah orang yang tidur seperti orang mati.Serafin malah memilih cara unik. Membangunkan aku dengan cara berteriak dari balkon. Untung saja rumah kami besar sehingga tidak ada teguran dari tetangga. Tetangga juga tidak tahu jika Serafin sering sekali berteriak tidak karuan. Serafin mirip orang utan."Lunar, bangun dong. Udah siang ini," katanya dari seberang sana.Aku cepat-cepat menuju balkon dan melempar Handuk yang sebelumnya kugunakan untuk melilit rambutku.Handuk ku langsung mendarat di wajah Serafin. Dia malah nyengir, dan tersenyum hangat. Kemudian malah menjemur handuk ku di pagar balkon nya."Udah jadi hak milik gue. gak bakal bisa dikembalikan lagi. Keputusan sudah final. Tidak bisaAku sedang memeluk boneka beruang pemberian Serafin saat mendapat pesan dari orang kepercayaanku. Orang yang sengaja kususupkan pada perusahaan almarhum papa. Alea gadis cantik yang memiliki hutang budi pada papa. Sehingga dia sangat setia padaku. Gadis itu bertugas sebagai mata-mata di perusahaan cabang. Dia mengumpulkan informasi di perusahaan cabang. Alea juga sudah beberapa kali menemukan bukti kecurangan tante Wenda dan bawahannya. Sehingga nanti akan lebih mudah menyingkirkan orang-orang itu. Dengan adanya Alea juga. Aku bisa tau siapa saja yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak bisa dipercaya. Sehingga aku tidak jatuh pada jebakan licik tante Wenda. [Manager keuangan kita bukan orang yang bersih, buk. Beberapa kali laporan keuangan tidak sesuai kondisi keuangan perusahaan.][Awasi saja dulu Alea. Belum saatnya kita bertindak. Kamu kumpulkan bukti yang kuat dan berhati-hatilah. Jaga dirimu baik-baik.]
Entah ada angin apa. Tante Wenda menghubungi aku dan meminta aku untuk bertemu dengannya. Aku ingin menghindari tante wendah, tapi aku tidak ingin menimbulkan kecurigaan pada tanteku itu. Sehingga aku terpaksa menyetujui permintaannya. Karena hal ini sangat berbahaya aku meminta bantuan om Rendi. Aku tidak ingin kecolongan lagi kali ini. "Pa, Lunar mau minta tolong," kataku pada om Rendi yang sedang duduk di dekat gazebo yang ada di halaman belakang. "Lunar mau minta tolong apa?" kata om Rendi sedikit heran karena tidak biasa aku meminta tolong."Lunar sebentar lagi akan bertemu dengan tante Wenda. Lunar mau minta tolong, agar ada yang menjaga Lunar," kataku menatap langsung ke mata om Rendi. "Papa akan sediakan pengawal untuk Lunar.""Maaf pa merepotkan, tapi bisa gak kalau pengawalnya gak kelihatan. Dari jauh aja. Lunar gak mau tante wenda tau. Satu lagi pa, Lunar mau minta tolong. Tolong rahasia hal ini dari mana. Lunar gak mau mama khawatir," kat
Aku menatap tante Wenda dengan senyum yang dipaksakan. Sementara dia sedang memotong steak-nya dengan elegan."Apakah kamu tidak percaya pada tante? Sehingga kamu ingin melawan tante di pengadilan?" tanya tante Wenda dengan nada yang rendah.Tante Wenda sedang mengintimidasiku. Aku mencoba untuk tenang dan terus tersenyum. Tidak menampilkan kekhawatiranku."Lunar bahkan tidak tahu jika ada persidangan tante. Lunar sama sekali tidak mendengar kabar apapun," kataku pura-pura terkejut dan polos.Ternyata suka mengamati orang berpura-pura itu ada gunanya juga. Aku juga jadi lebih mudah untuk berpura-pura."Bagaimana cara menghentikannya, tante," kataku panik.Tante Wenda menatapku dengan mata menyipit. Berusaha mencari jejak kebohongan di mataku. Namun aku sudah bisa menyembunyikan dengan baik."Mama menipuku. Mereka bilang akan mengurusnya untukku. Tapi sepertinya mereka menyalahgunakan kepercayaanku tante," kataku dengan e
"Jadi nona Lunar. Anda ingin kemana?" tanya Serafin saat aku mencoba untuk membuka pintu mobilnya. "Mau pulang. Gue mau pulang pakek mobil gue aja," kataku singkat. Serafin menaikan sebelah alisnya."Coba aja kalau bisa keluar dari mobil gue," katanya dengan senyum miring. "Kok dikunci?" tanyaku yang tidak berhasil membuka pintu mobilnya. Aku mencoba berulang kali tapi tetap gagal. Melihatku yang terus berusaha membuka pintu mobilnya. Serafin malah tertawa. "Gak bakal berhasil mending nyerah aja," katanya sambil tertawa. "Gue bawa mobil Serafin. Gue pingin pulang. Nanti mama khawatir.""Gak perlu khawatir. Mobilmu aman kok. Untuk urusan mamamu juga pasti aman," katanya santai. Serafin mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang. "Tante. Lunar pulangnya agak telat ya tante. Serafin mau ajak main," katanya. Aku yakin sekal
"Pergi ke kampus bareng gue aja," kata Serafin dari balkon kamarnya. Seperti biasa dia tidak suka menggunakan ponsel. Dia lebih suka teriak-teriak dari balkon kamarnya. "Sekalian gue, juga berangkat kerja. Kita searah kok," kata Serafin lagi. Dia sedang memasang dasinya sekarang. Rambutnya juga sudah disisir rapi. Aroma parfumnya sama-sama dapat kucium dari balkon kamarku. Aku sudah selesai mandi dan siap-siap dari tadi. Sementara Serafin yang bangun kesiangan. Terus keluar masuk dari kamarnya dan berteriak. Agar aku tidak pergi duluan ke kampus. "Iya makannya cepatan," kataku yang gerah melihat dia yang terus keluar masuk dari tadi. "Bentar. Dasi aku belum rapi. Nanti ada rapat. Calon istri gak pasangin sih," katanya meledekku. Aku memutar bola mataku dan memperhatikan jari jemari lentik milik Serafin. Dia dengan cekatan memasang dasinya. Setelah s
Sebelum aku pergi. Aku mengambil ponselku dan mengambil foto Selin dan orang itu. Wajahnya meteak terlihat jelas. Kemudian sebelum mereka melihatku. Aku langsung berlari dan menghilangkan di kerumunan mahasiswa lainnya. Aku menghembuskan nafasku lega saat berhasil sampai di mobil Serafin. Laki-laki itu melihatku dengan heran."Lunar lo kenapa?" Tanyanya membuka pintu mobilnya. Setelah aku masuk ke dalam mobilnya. Serafin langsung mengambil tisu dan menyerahnya padaku. Aku mengelap wajahku yang berkeringat. Kemudian membuang tisu yang diberikan Serafin pada tempat sampah kecil yang ada di mobilnya."Serafin aku tau siapa yang sudah menerorku. Dia suruhan Selin," kataku dengan berkaca-kaca.Mengingat kembali betapa takutnya aku dulu. Menderitanya dalam kesendirian dan tidak bisa mengatakan pada siapapun. Untung Serafin mengetahui keadaanku. Sehingga membantumu untuk ban
Alaska dan Serafin sedang berdebat sekarang. Sementara aku sedang memperhatikan dari luar ruangan kerja Alaska. Setelah Serafin menjemputku dari kampus. Dia mengajak aku ke kantornya. Katanya dia ada hal yang harus dibicarakan dengan Alaska. Walaupun aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka. Dari raut wajah mereka berduaan. Aku yakin jika Serafin dan Alaska sedang berdebat sengit. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. Serafin melirik tajam ke arah Alaska. Laki-laki itu langsung mengangguk dan diam."Ayo," kata Serafi membuka pintu kaca ruangan milik Alaska. Tidak ada lagi tatapan tajam. Serafin tersenyum lembut dan jenaka seperti biasanya. Raut wajah dingin dan tatapan dingin itu. Seakan-akan tidak pernah ada sama sekali. Padahal jelas-jelas aku melihatnya. Raut wajah tidak bisanya yang langsung membuat Alaska tidak melanjutkan perdebatan. "Udah seles
"Boleh aku bergabung dengan kalian," kata Selin mengulang ucapannya. Dia tanpa menunggu persetujuan dari kami langsung duduk di bangku sebelah Serafin. Selin juga dengan seenaknya memakan, makanan yang dipesan untukku. "Kita pernah bertemu kan," kata Selin ramah. Wajahku sebenarnya sudah tidak enak untuk dipandang. Namun Selin sama sekali tidak peduli. Dia terus mencari topik pembicaraan dengan Serafin."Gue gak kenal lo. Jadi bisa pergi dari meja, kami," kata Serafin dingin. Selin tidak menanggapi ucapan Serafin. Dia malah memakan cake yang ada di atas meja. Seenaknya mengacak-acak makanan dan meminggirkan piring."Kamu lucu deh. Jelas-jelas kita ketemu beberapa kali kok. Kamu rekan bisnis mama juga. Aku melihat kamu beberapa kali ketemu mama kok," kata Selin tidak tau malu. Dia dengan seenaknya menyentuh lengan Serafin mesra. Membuat aku ingin sekali mematahkan tan