Aku menatap tante Wenda dengan senyum yang dipaksakan. Sementara dia sedang memotong steak-nya dengan elegan.
"Apakah kamu tidak percaya pada tante? Sehingga kamu ingin melawan tante di pengadilan?" tanya tante Wenda dengan nada yang rendah. Tante Wenda sedang mengintimidasiku. Aku mencoba untuk tenang dan terus tersenyum. Tidak menampilkan kekhawatiranku. "Lunar bahkan tidak tahu jika ada persidangan tante. Lunar sama sekali tidak mendengar kabar apapun," kataku pura-pura terkejut dan polos. Ternyata suka mengamati orang berpura-pura itu ada gunanya juga. Aku juga jadi lebih mudah untuk berpura-pura. "Bagaimana cara menghentikannya, tante," kataku panik. Tante Wenda menatapku dengan mata menyipit. Berusaha mencari jejak kebohongan di mataku. Namun aku sudah bisa menyembunyikan dengan baik. "Mama menipuku. Mereka bilang akan mengurusnya untukku. Tapi sepertinya mereka menyalahgunakan kepercayaanku tante," kataku dengan e"Jadi nona Lunar. Anda ingin kemana?" tanya Serafin saat aku mencoba untuk membuka pintu mobilnya. "Mau pulang. Gue mau pulang pakek mobil gue aja," kataku singkat. Serafin menaikan sebelah alisnya."Coba aja kalau bisa keluar dari mobil gue," katanya dengan senyum miring. "Kok dikunci?" tanyaku yang tidak berhasil membuka pintu mobilnya. Aku mencoba berulang kali tapi tetap gagal. Melihatku yang terus berusaha membuka pintu mobilnya. Serafin malah tertawa. "Gak bakal berhasil mending nyerah aja," katanya sambil tertawa. "Gue bawa mobil Serafin. Gue pingin pulang. Nanti mama khawatir.""Gak perlu khawatir. Mobilmu aman kok. Untuk urusan mamamu juga pasti aman," katanya santai. Serafin mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang. "Tante. Lunar pulangnya agak telat ya tante. Serafin mau ajak main," katanya. Aku yakin sekal
"Pergi ke kampus bareng gue aja," kata Serafin dari balkon kamarnya. Seperti biasa dia tidak suka menggunakan ponsel. Dia lebih suka teriak-teriak dari balkon kamarnya. "Sekalian gue, juga berangkat kerja. Kita searah kok," kata Serafin lagi. Dia sedang memasang dasinya sekarang. Rambutnya juga sudah disisir rapi. Aroma parfumnya sama-sama dapat kucium dari balkon kamarku. Aku sudah selesai mandi dan siap-siap dari tadi. Sementara Serafin yang bangun kesiangan. Terus keluar masuk dari kamarnya dan berteriak. Agar aku tidak pergi duluan ke kampus. "Iya makannya cepatan," kataku yang gerah melihat dia yang terus keluar masuk dari tadi. "Bentar. Dasi aku belum rapi. Nanti ada rapat. Calon istri gak pasangin sih," katanya meledekku. Aku memutar bola mataku dan memperhatikan jari jemari lentik milik Serafin. Dia dengan cekatan memasang dasinya. Setelah s
Sebelum aku pergi. Aku mengambil ponselku dan mengambil foto Selin dan orang itu. Wajahnya meteak terlihat jelas. Kemudian sebelum mereka melihatku. Aku langsung berlari dan menghilangkan di kerumunan mahasiswa lainnya. Aku menghembuskan nafasku lega saat berhasil sampai di mobil Serafin. Laki-laki itu melihatku dengan heran."Lunar lo kenapa?" Tanyanya membuka pintu mobilnya. Setelah aku masuk ke dalam mobilnya. Serafin langsung mengambil tisu dan menyerahnya padaku. Aku mengelap wajahku yang berkeringat. Kemudian membuang tisu yang diberikan Serafin pada tempat sampah kecil yang ada di mobilnya."Serafin aku tau siapa yang sudah menerorku. Dia suruhan Selin," kataku dengan berkaca-kaca.Mengingat kembali betapa takutnya aku dulu. Menderitanya dalam kesendirian dan tidak bisa mengatakan pada siapapun. Untung Serafin mengetahui keadaanku. Sehingga membantumu untuk ban
Alaska dan Serafin sedang berdebat sekarang. Sementara aku sedang memperhatikan dari luar ruangan kerja Alaska. Setelah Serafin menjemputku dari kampus. Dia mengajak aku ke kantornya. Katanya dia ada hal yang harus dibicarakan dengan Alaska. Walaupun aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka. Dari raut wajah mereka berduaan. Aku yakin jika Serafin dan Alaska sedang berdebat sengit. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. Serafin melirik tajam ke arah Alaska. Laki-laki itu langsung mengangguk dan diam."Ayo," kata Serafi membuka pintu kaca ruangan milik Alaska. Tidak ada lagi tatapan tajam. Serafin tersenyum lembut dan jenaka seperti biasanya. Raut wajah dingin dan tatapan dingin itu. Seakan-akan tidak pernah ada sama sekali. Padahal jelas-jelas aku melihatnya. Raut wajah tidak bisanya yang langsung membuat Alaska tidak melanjutkan perdebatan. "Udah seles
"Boleh aku bergabung dengan kalian," kata Selin mengulang ucapannya. Dia tanpa menunggu persetujuan dari kami langsung duduk di bangku sebelah Serafin. Selin juga dengan seenaknya memakan, makanan yang dipesan untukku. "Kita pernah bertemu kan," kata Selin ramah. Wajahku sebenarnya sudah tidak enak untuk dipandang. Namun Selin sama sekali tidak peduli. Dia terus mencari topik pembicaraan dengan Serafin."Gue gak kenal lo. Jadi bisa pergi dari meja, kami," kata Serafin dingin. Selin tidak menanggapi ucapan Serafin. Dia malah memakan cake yang ada di atas meja. Seenaknya mengacak-acak makanan dan meminggirkan piring."Kamu lucu deh. Jelas-jelas kita ketemu beberapa kali kok. Kamu rekan bisnis mama juga. Aku melihat kamu beberapa kali ketemu mama kok," kata Selin tidak tau malu. Dia dengan seenaknya menyentuh lengan Serafin mesra. Membuat aku ingin sekali mematahkan tan
Selin terus menganggu aku di kampus. Dia mencoba menindasku dengan segala cara. Tentu saja aku tidak tinggal diam. Aku sebisa mungkin melawan kelompok Selin. Walaupun aku hanya sendirian. Aku sama sekali tidak takut pada mereka. Mereka pikir aku bisa diintimidasi. Tentu saja mereka salah. Aku ini bukan tuan putri yang baik hati dan membiarkan orang lain menyiksaku. "Siapa yang melakukan ini?" tanyaku dengan marah. Aku mengepalkan tangan saat melihat tasku. Secara sengaja seseorang menumpahkan cat ke tasku. Buku-buku langsung berwarna merah karena tumpahan cat. Aku mengeluarkan buku itu dengan marah. Mengambil tasku, tanpa peduli jika bajuku juga berwarna merah. "Siapa yang melakukan hal ini?" kataku lagi dengan dingin. Orang-orang mulai berbisik-bisik dan melihat ke arahku. Namun tidak ada satupun yang bersuara. Mereka menunduk saat aku menatap ke a
Serafin langsung datang saat aku mengatakan aku terluka. Dia masuk ke dalam klinik kampus seperti beruang lapar mencari madu. Beberapa kali aku melihat dia menabrak bangkar orang lain. Matanya mencari-cari keberadaanku. Saat melihat aku yang ditemani Naral. Serafin langsung menatap Naral dengan tidak suka. "Jelek banget baju yang lo pakek," katanya langsung melepaskan baju Naral dari tubuhku. Dia melepaskan kemejanya dan memakaikannya padaku. Serafin melempar baju Naral langsung ke lantai."Udah jauh lebih baik," katanya tanpa memperdulikan Naral yang kesal pada Serafin."Terima kasih sudah membantu kekasih saya," katanya menekankan kata kekasih dikalimatnya. "Gue bantu Lunar karena gue suka sama dia. Jadi lo gak perlu berterima kasih," kata Naral ketus. "Gue cuman mau berterima kasih aja. Karena lo udah bantu pacar gue," kata Serafin tidak mau kalah. "Tapi gue gak suka lo dekat-dekat sama Lunar. Kasihan hati lo, sakit melihat orang yang udah pu
Aku tau masalah yang aku buat akan berbuntut panjang. Aku mendapat panggilan untuk menghadapi rektor secara langsung. Anjing-anjing gila yang dibicarakan oleh Serafin juga datang. Mereka dengan sombongnya duduk dan menatapku remeh. Tentu saja Selin juga ada disana. Mereka mungkin mengira jika aku akan kalah. Apalagi mereka mendapatkan dukungan Selin. Walaupun aku pewaris tunggal Aryanta, tapi aku tidak punya dukungan. Sekarang mama Selin lah yang mengambil kekuasaan di perusahaan. Mereka mungkin berpikir, aku tidak ada apa-apa. Sehingga berani untuk menekanku. "Silahkan duduk Lunar," kata rektor yang duduk di kursi kebesarannya. Aku memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam keluarga Aryanta, namun aku yakin jika rektor pasti tau kalau aku adalah keluarga Aryanta. Papa dulu sering menyumbang untuk kampus ini. Walaupun aku tidak diperkenankan secara resmi saat itu. Aku yakin petinggi kampus tau