Share

Ke Rumah Ibu Mertua, Lagi

Part 4 Ke Rumah Ibu Mertua, lagi

"Iya, kan, aku cuma denger kemarin pas belanja sayur, " aku mencoba mengeles. "Lagian, kalau hal seperti itu terjadi di rumah tanggaku, yasudah aku pasrah aja. "

"Hah? Serius, Mbak? " tanya Rosi sedikit terkejut.

"Iya, Ros, buat apa mempertahankan laki-laki yang sudah mengkhianati istrinya. Laki-laki seperti dia itu pantasnya di buang, nih seperti ini, " aku melempar kulit pisang ke tempat sampah di sebelahku.

"Nggak guna, Ros, apalagi kalau laki-lakinya kere, nggak pakai pikir panjang, ku usir dia dari rumah! "

"Kamu kenapa, sih, Fir? " mas Arga terlihat jengkel dengan penuturanku.

"Apa sih, Mas? Orang cuma seumapanya doang, kok. Ya, kan, Ros? " Entah kenapa, Rosi bersemangat sekali membahas hal seperti ini. Tapi apapun alasannya, ia sudah seperti mendukungku.

"Betul, Mbak. "

"Rosi sudah, dibilang jangan ngomporin tetep aja ngomong, " ujar ibu menengahi.

Rosi tampak bete dengan ucapan ibunya. Ia kembali melihat layar ponselnya dengan wajah cemberut.

"Lagian, ya, Mas, aku percaya kamu akan setia sama aku, iya, kan? " ucapku seraya menyenderkan kepalaku di bahunya.

"I-iya, Fir. "

***

Usai pulang dari rumah ibu, aku dan mas Arga langsung menunaikan sholat isya dan bergegas untuk tidur.

Makanan yang tadi ku bawa, sebelumnya sudah ku hangatkan terlebih dahulu, besuk pagi-pagi akan ku berikan pada Lela.

"Huuekk! "

Mas Arga yang tadinya ingin menaiki ranjang jadi ia urungkan kembali. "Kenapa, Dek? "

"Perutku mual, Mas. Sepertinya aku nggak kuat deket-deket kamu, hueekk, " aku memegangi perutku agar lebih menyakinkan.

"Tadi juga nggak kenapa-napa," protesnya.

"Ya nggak tau, Mas, namanya juga orang hamil. "

"Terus aku harus gimana? "

"Kamu tidur diluar deh, Mas, nggak kuat ini, hueeekk! "

"Tapi Fir ...."

"Udah sana ah! " ku potong ucapan mas Arga dengan melemparkan bantal tepat di wajahnya.

"Ya Allah, Fir, tega bener .... "

"Duh, ini juga buat kebaikan calon bayi kita, Mas! "

Akhirnya dengan terpaksa mas Arga pergi keluar dari kamar.

Karena di rumah ini hanya ada satu kamar tidur, tak ada pilihan lain untuk mas Arga selain tidur di ruang tengah. Nggak sudi aku satu ranjang dengannya.

Sebenarnya ada satu kamar tidur di sebelah kamarku ini, tapi karena jarang dipakai jadinya hanya untuk tumpukan pakaian-pakaian abis nyuci. Karena entah kenapa, sering kali menunda-nunda untuk melipatnya, alhasil ya hanya di tumpuk saja.

Paling sepekan sekali melipatnya, itu saja kalau ada Lela yang bantuin, atau ketika umi datang ke rumah.

Tiba-tiba aku teringat dengan nomer W* misterius yang memberikanku informasi sejak kemarin.

Mumpung aku tidur sendiri, ku ambil ponselku yang berada di nakas sebelah ranjangku.

[Kamu siapa?]

Ku kirim pesan padanya. Tanpa di duga, langsung centang dua dan berwarna biru. Itu artinya pesanku sudah dibaca.

[Suatu saat kamu akan tahu. Tenang, aku ada di pihakmu]

[Terimakasi sudah membantuku] Kali ini balasanku hanya centang satu.

Jadi semakin penasaran siapa sebenarnya orang tersebut. Kalau dia tahu nomor W* ku, bisa saja aku juga mengenalnya. Lalu siapa? Ah pusing!

Ku kembalikan ponselku, lalu menarik selimut dan tidur.

***

"Dek, kenapa cuma ada telur ceplok, makanan dari ibu semalem kemana?! " teriak mas Arga dari arah meja makan.

Aku yang berada di belakang pun menghampirinya. "Udah aku kasih Lela tadi pagi, mual aku, Mas, lihat daging-daging gitu, " balasku.

"Ya, jangan dilihat .... "

"Gimana nggak lihat, wong aku yang berurusan di dapur, kok! " jawabku dengan meninggikan nada. "Kecuali kalau mas Arga yang masak, aku tinggal makan! " imbuhku.

Mas Arga menela salivanya. Ia terlihat bingung sekaligus seperti menahan amarah karena perkataanku.

"Kamu, kok, jadi berubah gini, sih? "

"Aku nggak berubah, Mas, mungkin bawaan bayi aja, biasa kan ibu hamil pasti bawaannya sensitif. "

"Apa iya begitu? " mas Arga menarik kursi di depannya. Lalu mendudukinya.

"Kamu tanya aja sama ibu. "

Entah benar atau tidak jawabanku. Tapi yang aku tahu, ibu hamil memang gampang emosian.

"Udah makan aja yang ada, setelah itu kita ke rumah ibu lagi, mumpung Mas libur hari ini. "

"Mau ngapain lagi? " tanyanya seraya mengambil nasi.

"Nagih utang! " jawabku lalu kembali ke belakang. Menyelesaikan cucian.

Aku ingin tahu reaksi mereka setelah apa yang aku lakukan tadi malam. Hanya menyisakan tumis sayuran saja. Apalagi ada seseorang yang ku yakini adalah Preti yang awalnya mau mengambil makan.

Selain itu, saatnya aku beraksi lebih dari tadi malam. Kali ini akan ku buat mereka tahu siapa aku sebenarnya. Fira si anak mudin nggak bisa di permainan begitu saja.

***

"Assalamualaikum, " ucapku ketika sampai di rumah ibu.

"Waalaikumsalam, " balas ibu seraya meletakkan sapunya.

Sekilas aku melihat seseorang berambut panjang hampir sepinggang dengan cepat berlalu ke dalam rumah. Itu pasti Preti, karena Rosi ataupun Rumi tak sepanjang itu rambutnya.

"Seperti ada yang masuk, siapa, Bu? " tanyaku penasaran.

Ingin tahu jawaban ibu, karena jam segini Rosi pasti sibuk dengan benda pipihnya di kamar. Dan Rumi terlihat jelas dia sedang melayani pembeli di toko kelontong yang cukup besar yang berada tepat di sebelah rumah tadi.

Sebenarnya toko kelontong Rumi ini masih menyambung dengan rumah, hanya saja tokonya menghadap langsung ke jalan raya, sebelahnya ada pagar kecil yang memasuki area halaman rumah ibu mertua.

"Siapa? Rosi mungkin. " Balasnya dengan tenang. Pandai juga ibu mertuaku ini berakting.

"Oya, Fir, tadi malam kamu nyisain di rumah cuma tumisan sayur, ya? "

Wah, berani juga ibu bertanya demikian. Biasanya segala sesuatu yang ku perbuat, jarang dia menanyakan.

"Beneran, Dek? "

"Iya, Mas, " jawabku tanpa merasa berdosa.

"Kamu, kok, tega, sih? Lagian yang kamu bawa semalem malah dikasihin Lela, ngeselin, deh, kamu, " ujar mas Arga tampak kesal. Ia melongos begitu saja ke dalam rumah. Kebiasaan.

"Namanya juga ibu hamil, kalau gitu aku gugurin aja, deh! Kalau nggak dapet warisan dari abah juga nggak papa aku! " omelku yang ku pastikan mas Arga mendengarnya.

"Sudah, sudah, ibu nggak papa kok. Ibu cuma mastiin aja. Jangan berpikir untuk gugur-gugurin, dosa. Oya, kamu ada perlu apa pagi-pagi kesini? "

"Mau ketemu Rumi, Bu, " jawabku seraya berjalan kearah kursi yang berbeda di teras.

"Ibu panggilkan dulu, " ibu pun berlalu ke dalam rumah.

Begitulah ibu mertuaku, ia selalu bersikap baik, ramah, dan bahkan kerap mengalah. Tapi kenyataan yang ada, aku tahu maksud dari sikapnya tersebut. Semata-mata hanya ingin menutupi pengkhianatan yang dilakukan anaknya sendiri.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
gak sabaran nih Fira ngebalas mertua dan suaminya Arga dan jg pelakor
goodnovel comment avatar
Tatheer Zahra
ceritanya bagus , aku suka banget cerita ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status