Share

Sindiran

Part 3 Sindiran

Aku dan mas Arga pun sampai di rumah ibu. Setelah memarkirkan motor matic tepat di depan teras rumah, aku dan mas Arga pun masuk setelah mengucap salam.

Sudah kebiasaan mas Arga kalau pulang ke rumah ibunya, mengucap salam lalu masuk melongos begitu saja. Kalau ditegur alasannya selalu bilang kalau ini rumah ibuku. Ya, memang benar, sih.

Terlihat semua anggota keluarga sedang berkumpul di ruang tengah seraya menonton sinetron ikan terbang. Termasuk Tara, anak satu-satunya Tama dan Rumi.

Kadang kasihan melihat Tara, anak yang baru menginjak usia enam tahun itu lebih sering menonton sinetron yang unfaedah menurutku, karena ibunya tak pernah menegur jika Tara ikut duduk bersamanya ketika di depan tv.

"Bu, aku dan Fira punya kabar baik buat Ibu," ujar mas Arga mendudukan badannya di bawah sebelah ibunya. Sementara aku, duduk di atas sofa tak jauh dari mereka.

"Kabar apa?" tanya ibu mertuaku yang tetap fokus ke layar tv.

"Fira hamil,Bu!"

"Apa?!" kali ini ibu menoleh kearah anak sulungnya itu. Ekpresi wajahnya terlihat terkejut dan tak percaya.

"Serius?" Rumi menyakinkan pernyataan mas Arga.

Praaang!!

"Apa itu, Bu?" tanyaku setelah terdengarnya benda jatuh dari arah dapur.

Ibu tampak kikuk, pun dengan yang lainnya juga. Membuatku jadi penasaran. Jangan-jangan kucing berkepala manusia lagi.

"Aku periksa, ya, penasaran aku," ucapku seraya melangkahkan kaki ke dapur.

"Fir, nggak usah," sergahan mas Arga ku hiraukan begitu saja. Aku tetap berjalan ke dapur.

Saat di dapur, terlihat pecahan piring di bawah dekat meja makan. Sepertinya ada yang sedang ingin mengambil makan, namun tak sengaja ia memecahkannya dan buru-buru pergi. Mungkinkah Preti si istri kedua mas Arga? Secara, semua anggota, kan, sedang di depan.

"Nggak ada siapa-siapa, kan?" tanya mas Arga yang tiba-tiba muncul.

"Mas, makanan ibu banyak, aku kepengen, nih," pintaku ketika melihat makanan yang hampir memenuhi meja makan.

Sayur tumisan, bakso, daging ayam, bahkan sampai rendang pun ada. Pasti ini sisa hajatan kemarin. Kalau memang iya, sebenarnya mereka menikah dimana? Setahuku, Preti orang Jogja, sementara kami tinggal di Boyolali.

Ah, sudahlah, tak ada pentingnya juga aku memikirkan hal itu.

"Iya makan aja."

"Aku bungkus aja, Mas, lumayan buat sarapan besuk."

"Terserah."

"Bu, Fira minta makanannya, aku bungkus!" teriakku.

"Ya, bungkus saja, Nduk!" balasnya dari arah ruang tengah.

Mas Arga kembali ke ruang tengah. Sementara aku sibuk membungkus semua makanan yang ada, kecuali tumisan sayur. Biar saja mereka yang makan. Lagipula ini pasti hasil uang pinjaman bank yang katanya untuk modal tambahan toko kelontong.

Dikiranya aku bod*h apa, mana mungkin uang lima puluh juta hanya buat tambahan modal, pasti lari ke pelemanin, tuh.

Selesai membungkus, aku diam-diam berjalan kearah kamar mandi. Aku tahu, sabun shampo yang biasa dipakai anggota keluarga ini. Itu semua karena mas Arga yang cerita. Kalau

Benar saja, seperti dugaanku, ada sabun cair yang ukuran botol besar. Pasti ini milik Preti yang sosoknya disembunyikan di rumah mertuaku ini.

Ting!

Ku rogoh saku gamisku, menganbil ponselku. Sebuah pesan W* masuk. Ku intip dari layar depan, ternyata dari nomer yang misterius kemarin.

[Hati-hati, istri kedua Arga di rumah mertuamu]

Deg!

Ternyata benar,kan. Tanpa membalas pesan aku langsung menutup ponselku kembali. Ku raih sabun cair itu, lalu ku buang dengan menumpahkannya di lantai kamar mandi.

Tak ada niat menyelakai siapa pun, hanya melampiaskan kekesalan saja. Tapi, kalau ada yang celaka biarkan saja, asal jangan Tara. Kasihan.

Sebenarnya siapa pemilik nomer misterius itu, kenapa dia bisa tahu detail tentang keadaan rumah tanggaku, bahkan tentang Preti yang berada di rumah mertuaku.

Kalau dia salah satu anggota keluarga mas Arga, rasanya tidak mungkin. Kalau orang luar, lalu siapa?

Aku pun kembali ke ruang tengah dengan membawa kantong kresek berisi beberapa bungkus makanan. Terlihat besar hingga membuat mata pasang yang ada mengalihkan pandangannya kearahku.

"Dek, banyak banget yang kamu bawa? Kamu sisain, kan, buat yang di sini?"

"Sisain lah, Mas, masa aku tega engga nyisain. Lagain ini keinginan ini, nih, pengen makan banyak," ujarku membual seraya menunjuk kearah perut.

Tapi aku, kan, benar masih menyisakan makanan di meja, walaupun hanya tumisan sayur.

Aku kembali ke ruang tengah membersamai mereka. Duduk di sebelah mas Arga yang berada di atas sofa. Tiba-tiba pandanganku beralih kearah pisang ambon di atas meja di depanku.

"Oleh-olehnya mana, Rum?" tanyaku basa-basi pada Rumi.

"Eee, anu Mbak .... " Rumi tampak kebingungan menjawab pertanyaanku.

"Itu di depanmu, Fir," timpal ibu yang seakan mengerti situasi.

"Lah, ke Jogja oleh-olehnya pisang?" aku berpura-pura terkejut. "Tapi nggak papa,deh, daripada mantan," tambahku seraya mengambil satu buah pisang. Maksud hati menyindir mas Arga.

"Ma-maksud kamu apa, Dek?" mas Arga seketika tampak pucat.

"Ngga papa, Mas. Oya, kemarin aku abis dapet gosip lho, kalau ada suami pamitnya ke luar kota ee taunya malah nikah lagi, kurang dihajar kali ya tuh suami."

Sekejap semua yang ada mengalihkan pandangannya kearahku. Kecuali Tara yang sedari tadi sibuk dengan pensil warnanya.

"Wah, sekarang emang lagi jamannya pelakor, Mbak Fira, hati-hati sampeyan, ya," timpal Rosi. Rasa-rasanya ia bersemengat sekali berucap demikian.

"Nggak usah ngomporin kamu Ros, masih bocah juga," kali ini Rumi angkat suara. Maklum, dia kan juga bersuami seperti aku. Mungkin takut juga kalau suaminya diembat pelakor. Hahaha.

"Jangan suka dengerin gosip, deh, kamu itu," ucap mas Arga sok menasihati.

"Iya, Nduk, apalagi gosip seperti itu, nggak baik buat rumah tangga kalian," tambah ibu mertuaku memberi nasihat. Ah, sok bijak sekali dia, padahal, weeek!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo buka kedoknya mertua dan suami kamu
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
Ayuk tunjukan bahwa semua itu bukan gisip
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status