Part 5 Surat Perjanjian
Rumi datang menghampiriku, ia duduk di kursi sampingku, juga dengan ibu yang ikut membersamai kami."Kenapa, Mbak? "Aku mengeluarkan selembar kertas dari saku gamisku, meletakkannya di atas meja. "Tanpa basa-basi ya Rum, aku mau kamu tanda tangan ini, sekalian nanti suamimu, ibu dan mas Arga juga."Rumi mengambil kertas tersebut. Matanya membelalak ketika ia mulai membacanya. Karena rasa penasaran, ibu pun ikut membacanya.Selembar surat perjanjian yang dibubuhi materai di dalamnya. Ini ku gunakan sebagai pengikat agar, jika terjadi sesuatu diluar dugaanku kedepannya, mereka tetap membayar angsuran bank, dimana sertifikat tanah tempatku tinggal yang dijaminkan."Loh, maksudnya apa ini, Mbak?" Rumi tampak bingung."Iya, Nduk, kenapa tiba-tiba pakai surat perjanjian segala?""Buat kesepakatan aja, biar Tama atau Rumi nggak telat bayar angsurannya. Kan, masalahnya pakai sertifikatku, jadi buat jaga-jaga. "Raut wajah Rumi mulai berubah. Ia seperti kesal mendengar penuturanku. "Jadi Mbak Fira nggak percaya sama kami? ""Aku, kan, bilang buat jaga-jaga. ""Iya itu artinya kamu nggak percaya sama kami! " ujar Rumi seraya bangkit dari duduknya. Ia menampakkan kekesalannya."Sudah, sudah. Rumi duduk, " titah ibu."Terserah kamu nganggepnya apa, tapi kalau nggak mau tanda tangan, aku bakal laporin ke pakdeku, " ancamku.Mereka pasti takut kalau permasalahan ini sampai pada pakdeku, jelas saja, pakdeku kan lurah di sini. Karena, jika masalah ini sampai pada beliau, otomatis para warga dengan cepatnya akan tahu.Keluarga mas Arga akan menjadi bahan gosip di kampung, karena memiliki hutang banyak di bank dengan jaminan sertifikat anak menantu.Apalagi selama ini, keluarga mas Arga, yang kata tetangga, banyak tingkahnya. Bu Darmi yang mata duitan, si bungsu yang hanya bisa joget-joget nggak jelas, Rumi si menantu yang bergaya sok kaya, dan mas Arga yang membangga-banggakan dirinya karena bisa menikahi anak mudin di kampung ini.Sementara Tama, anak kedua di keluarga ini, sifatnya jauh beda dari mereka. Tak banyak tingkah, selalu menurut kata orang tua, termasuk menikahi Rumi yang merupakan anak sahabat dari ibunya. Mungkin sifat inilah yang diturunkan dari bapak mertuaku untuknya.Kalau saja umurku masih muda, sudah ku tolak mas Arga dulu. Sayangnya, takdir berkata lain."Arga! Arga!" teriak ibu.Aku pun menyadarinya, bahwa sejak kedatangan kami tadi mas Arga tak menampakkan batang hidungnya.Wah, sepertinya aku kecolongan, nih. Aku lupa kalau di rumah ini ada menantu baru yang di sembunyikan. Sial. Mas Arga pasti lagi kangen-kangenan sama Preti di dalam. Awas saja kamu, Mas!"Fir, Fira, mau kemana? " tanya ibu mertuaku, ketika melihatku bangkit dari dudukku dan berjalan cepat ke dalam rumah.Tak perlu ku jawab pertanyaan ibu, aku terus melangkahkan kaki ke dalam.Langkahku pun berhenti di depan kamar milik Tara. Menjijikkan. Terdengar lenguhan bahkan suara desahan dari dalam.Tidak mungkin Tara, karena ku lihat tadi Tara bermain dengan anak tetangga. Tidak juga dengan Rosi, karena kamar Rosi berselang dua kamar dari kamar Tara. Pasti mas Arga sedang aneh-aneh dengan istri keduanya.Dasar gil*! Apa mereka tak tahu malu, hari masih siang begini, berani-beraninya berbuat demikian. Tak masalah memang, karena mereka sudah sah sebagai suami istri. Tapi akan bermasalah jika orang lain tahu, karena orang-orang tahu bahwa mas Arga adalah suamiku."Fira? " tanya ibu yang tiba-tiba muncul di belakangku, juga ada Rumi di sebelahnya."Sssstt! " aku menempelkan jari telunjuk kananku tepat di depan mulutku. "Ibu denger nggak? "Ibu dan Rumi mencoba mendengar dengan seksama. Mereka kompak menautkan kedua alisnya. Pasti pikiran mereka sama denganku."Jadi mas Arga punya selingkuhan? Di sembunyiin di sini?" Selidikku. Pura-pura tak tahu."Ah, nggak mungkin, Nduk, kalau di sembuyiin di sini, ibu dan Rumi pasti sudah tahu. "'Ya, jelas tahu, lah. Secara kalian, kan, bersekongkol menyembunyikannya dariku, ' batinku.Dorr!! Dorr!! Dorr!!"Mas Arga! Keluar kamu, Mas! " teriakku seraya mengetuk pintu dengan keras."Iya, iya, sebentar! " sahut mas Arga dari dalam."Rumi, pelan-pelan, " ujar ibu.Mas Arga tak kunjung keluar juga. Aku yang tiba-tiba muncul ide pun segera mengambil sapu yang tak jauh dari ruangan tempatku berdiri."Astaghfirullah, Fir, sabar, Nduk. " Ibu mertuaku mencoba menahanku ketika aku hendak memukul pintu kayu tersebut dengan sapu.'Masih bisa nyebut juga, toh, ibu mertuaku ini, ' batinku lagi.Ttokk! Ttokk! Ttokk!Berpura-pura tak sabar, aku terus memukul pintu itu dengan cepat."Nggak bisa sabar aku, Bu. Ini pasti mas Arga nyembunyiin selingkuhannya di dalam. "Bugh!!"Aakk! " teriak mas Arga kesakitan saat pukulan sapuku mengenai dahinya.Tak sengaja juga, salah siapa membuka pintu saat aku masih memukulinya dengan sapu. Tapi baguslah, anggap saja balasan dariku.Praaak!Ku lempar sapu itu ke lantai. Memasang wajah geram dan kesal. Tentu ini berpura-pura, ya."Jujur, Mas, kamu ngapain di dalam? Main gila sama siapa, kamu? Jawab, Mas! " ucapku penuh emosi seraya mendorong tubuh mas Arga. Meski begitu, mas Arga juga tak jatuh, hanya mundur beberapa langkah saja.Mas Arga menutup pintunya. "Ya ampun Fir, kamu itu ngomong apa, sih? Orang cuma numpang tidur di kamarnya Tara, kok, " sanggahnya."Halah, kamu pasti bohong, jelas-jelas aku denger suara aneh-aneh dari dalam.""Aku tuh lagi nonton itu lhoo. Cari posisi enak saat masa kehamilan, biar kamu nggak kesakitan. ""Hueekk! Huuekk! " aku bergegas lari kearah kamar mandi."Kenapa, Fir? " tanya mas Arga agak panik."Hati-hati, Nduk, takut ada tumpahan sabun lagi, " peringat ibu mertuaku yang masih terdengar kala aku sudah beranjak dari tempat.Aku menutup pintu kamar mandi. Ish, rasanya geli-geli menjijikan mendengar alasan mas Arga tadi. Untung aku sedang berpura-pura hamil, jadi bisa beralasan untuk tak mendengar lebih lanjut perkataannya.Lagi, kecurigaanku dengan mas Arga ini bisa ku gunakan sebagai senjata untuk memaksa mereka menandatangani surat perjanjian yang ku buat tadi.Pokoknya aku harus berhasil, karena, sementara, ini adalah satu-satunya cara agar mereka tersiksa secara perlahan dengan angsuran bank yang harus mereka penuhi.#MPSPart 80 Last ChapterKu alihkan pandanganku pada kedua orang tuaku. "Abah dan umi yang menyarankan Rosi untuk masuk pondok ya?"Mendengar pertanyaanku abah dan umi malah saling melempar senyum dengan ekspresi wajah yang aku tak bisa memahaminya. Kalau pun memang mereka yang menyarankan Rosi untuk pergi ke pondok, mengapa hal itu harus disembunyikan dariku? Sebegitu besarkah mereka menginginkanku untuk benar-benar menjauhi Rosi? Atau adakah hal lain yang disembunyikan oleh kedua orang tuaku itu?"Abah dan umi gak cuman menyarankan, Mbak. Beliau juga yang memasukanku ke sana dan membiayai kebutuhanku selama di pondok," ujar Rosi lagi. "Tepatnya abah patungan sama Tama. Jadi Tama dan istrinya juga ada andil soal biaya pondok juga kebutuhan Rosi," sela abah yang membuatku menoleh kearahnya. "Terus kenapa selama ini abah gak bilang sama aku?" tanyaku penasaran. Di titik ini aku merasa sedikit kecewa dengan keputusan abah yang tidak memberitahukanku tentang Rosi. Malah yang ada beli
#MPSPart 79 Pertemuan Setelah Satu TahunKetakutanku semakin menjadi-jadi ketika mas Abdullah sudah turun dari mobilnya dan melihat keberadaan Tama dan Rumi yang sudah berdiri di dekatku. Jatungku mendadak berdegup kencang berharap semuanya baik-baik saja dan tidak ada keributan sama sekali. Dan saat mas Abdullah sudah berhadapan dengan Tama dan Rumi, hal yang tak ku sangka-sangka pun terjadi. Ya, aku melihat mas Abdullah yang tampak ramah dan biasa saja terhadap Rumi juga suaminya. Bukan di situ saja, aku juga dikejutkan dengan kedatangan abah yang tiba-tiba pulang padahal masih di jam kerja. "Sudah datang semua?" tanya abah yang juga tampak biasa saja. Aku semakin bingung melihat sikap mas Abdullah dan abah yang seperti ini. Meskipun dilain sisi aku juga merasa senang lantaran kedua orang yang ku sayangi itu seperti sudah tak ada lagi rasa benci terhadap anak dan menantu dari bu Darmi tersebut. "Abah? Mas?" ku lihat wajah abah dan suamiku secara bergantian. Mas Abdullah dan a
#MPSPart 79 Bertemu KembaliKu lihat wajah umi yang sudah kembali normal. "Fira gak salah dengar 'kan?" tanyaku pada umi. "Selesai sarapan terus siap-siap. Ikut umi pergi," kata umi lalu melanjutkan lagi aktivitasnya. Seperti akan mendapatkan sebuah jawaban dari rasa penasaranku, aku pun dengan hati yang senang lantas mengikuti langkah umi dengan bersemangat. ***"Kenapa kita ke sini, Mi?" tanyaku keheranan. Sebab ternyata umi mengajakku ke rumah bu Darmi yang masih sepi. Entah apa alasan yang mendasari ibuku itu membawaku kembali ke tempat yang bagiku pernah memiliki kenangan pahit terhadapnya. "Sebentar, ya," kata umi. Umi pun mengetuk pintu utama rumah ini. Dan beberapa detik kemudian pintu pun terbuka. Aku cukup terkejut ketika mengetahui Rumi yang keluar dari rumah tersebut. Ia tampak masih seperti dulu dan keadaannya juga terlihat lebih baik. "Ya Allah, mbak Fira?" Rumi tampak terkejut ketika melihat diriku yang berdiri di hadapannya. "Kamu sehat, Mbak?" Rumi memelukk
#MPSPart 78 Satu Tahun BerlaluPanggilan telepon pun berakhir. Dan sayangnya sampai di detik terakhir panggilan tersebut aku belum sempat mendengar suara Rosi lantaran kata Rumi ia sudah tertidur setelah lelah menangis karena kepergianku tadi. Mendengar hal itu entah mengapa tiba-tiba kedua mataku berkaca-kaca. Sungguh, rasa bersalah mendadak menguncang batinku. "Rosi, semoga kamu selalu baik-baik saja ya," batinku dengan rasa sakit yang teramat dalam. ***Beberapa hari berlalu dan aku tak lagi mendengar kabar tentang keluarga bu Darmi termasuk bagaimana keadaan Rosi. Baik diriku ataupun Rumi pun sama sekali tak saling memberi kabar yang berkaitan dengan Rosi. Selain saran dari abah beberapa waktu yang lalu, mas Abdullah juga dengan tegas memintaku untuk benar-benar berhenti menghubungi Rosi. Bahkan sekedar bertanya pada tetangga atau mencari tahu melalui media sosial pun tak diperbolehkannya. Meski berat namun aku juga tak punya kuasa apa-apa. Aku hanya bisa menurut apa yang su
#MPSPart 76 Saran dari Abah"Kita gak perlu pengakuan, Mas!" sergah tama yang membuatku dan lainnya menoleh kearahnya. "Langsung laporkan saja!" tandasnya lagi. Mendengar hal itu spontan mataku menoleh kearah bu Darmi yang tercengang melihat sikap anaknya itu. Dalam hati aku berkata, "kalah sudah kamu, Bu!""Gak!" bu Darmi beranjak dari tempat duduknya. "Tama, jangan jadi anak durhaka kamu!" tunjuk bu Darmi pada anak keduanya itu dengan mata melotot yang amat menyeramkan. Lalu jari telunjuk bu Darmi berubah kearahku dan mas Abdullah. "Dan kalian, pergi dari rumahku sekarang! Pergi!" usir bu Darmi tanpa ampun untuk kami. Aku menoleh kearah wajah suamiku yang sepertinya memang sudah kehilangan rasa bersabarnya. "Kita pergi!" kata mas Abdullah seraya menarik tanganku lalu berjalan keluar rumah. "Mbak Saudah, tolong jangan pergi, Mbak!" teriak Rosi saat aku mulai berjalan meninggalkan ruangan. Ia hendak berlari guna mencegahku, namun dengan cepat ibunya menahan tubuhnya yang menyebab
#MPSPart 75 Kemunculan RosiDan di titik inilah aku bisa kembali tersenyum penuh bangga pada suamiku. Sebab, ku yakini sebentar lagi kebenaran antara bu Darmi atau Rosi akan terungkap. Beberapa detik setelah mas Abdullah berkata demikian, aku mendengar langkah kaki yang berjalan kearah kami. Rosi secara tiba-tiba muncul di hadapan kami semua dengan tatapan tajam yang mengarah ke ibunya sendiri. Melihat Rosi yang seperti itu sontak membuat suasana menjadi tegang kembali. Entah apa yang akan diperbuat Rosi sampai-sampai ia bisa memberanikan diri untuk keluar. Merasa suasana tidak kondusif aku pun berusaha memberikan senyuman manis kearah Rosi ketika ia melirikku. Meskipun sebenarnya dalam hati takut juga kalau anak itu tiba-tiba berbuat diluar dugaan. Namun di sisi lain aku juga berharap senyuman yang ku berikan bisa sedikit meredamkan amarahnya yang tampak sudah diujung kepala. Cukup lama Rosi membuat kami tertegung melihat kondisinya yang seperti itu. Dan benar saja, tiba-tiba ta