Lampu di lorong lantai tiga redup dan lembab. Sepi, nyaris seperti bukan bagian dari rumah sakit. Rindu menggenggam clipboard erat di tangannya saat berhenti di depan pintu kamar 306. Dia menarik napas panjang. Entah mengapa, ada kegelisahan yang merayap sejak panggilan dari ruang jaga tadi.Tiga ketukan pelan.Lalu pintu dibuka.Ruangannya bersih dan senyap. Di tengahnya, berbaring seorang perempuan dengan selimut setinggi perut. Rambut hitam panjang menjuntai ke bantal. Wajahnya pucat, tapi tenang. Sorot matanya tajam, namun ramah. Dan tanpa perlu ditanya, Rindu tahu—ini pasti Nora.“Ibu Nora?” sapa Rindu, berusaha menyembunyikan getaran kecil di suaranya.Perempuan itu mengangguk pelan. “Iya. Kamu dari bagian perawatan malam?”“Residen jaga. Diminta bantu observasi karena Dokter Galang sedang—”“Berhalangan, ya,” potong Nora cepat, tapi tetap sopan. “Silakan.”Rindu melangkah masuk dan mulai mencatat suhu tubuh, detak jantung, kondisi kulit, serta gejala-gejala yang disebutkan dala
Malam sudah turun ketika Janu memarkir mobilnya kembali di area belakang rumah sakit. Dia baru saja mengantar Chalia pulang. Gadis itu masih setengah gelisah, mempertanyakan apakah teh earl grey yang disimpannya beracun. Tapi bagi Janu, kecurigaan Chalia hanya bagian dari efek stres.“Kamu terlalu capek, Chal. Bukan semua hal harus dicurigai,” katanya tadi, sambil merapikan rambut perempuan itu dengan lembut.“Teh basi bisa saja sebabkan gangguan jantung ringan. Lagipula, siapa yang bisa meracuni teh itu? Kamu yang menyimpannya, kan?”Chalia sempat mengangguk, ragu. Tapi seperti biasa, Janu tahu titik lemahnya. Sedikit pelukan, nada suara lembut, dan janji untuk sarapan bersama minggu depan, cukup untuk meredakan segalanya.Sekarang, di lorong rumah sakit yang setengah sepi, Janu berjalan perlahan ke arah ruang data pasien. Pikirannya sepenuhnya pada Nora. Dia ingin tahu. Sedikit saja. Hanya agar bisa tetap selangkah di depan.Namun sebelum mencapai tangga belakang, suara langkah terg
Pintu kamar 306 terbuka pelan. Dokter Galang muncul dengan langkah cepat dan wajah sedikit letih. Tangannya menggenggam clipboard, tapi matanya langsung menatap Nora yang sedang duduk bersandar di ranjang yang mengenakan selimut tipis dan wajah datar seperti biasa.“Kemarin saya janji kontrol siang, tapi maaf saya agak terlambat,” ujar Galang sambil mendekat.“Tidak apa-apa, Dok,” jawab Nora ringan, meski matanya menyorot sedikit tajam. “Saya tahu dokter pasti sibuk.”Galang mengangguk singkat. Dia memeriksa tensi, denyut nadi, lalu menulis sesuatu di lembarannya. Tapi kali ini gerakannya tidak setenang biasanya. Ada jeda dalam gestur tangan. Ada sesuatu di balik tatapannya yang tak sepenuhnya medis.“Sebenarnya... saya baru saja dari IGD. Ada insiden,” katanya sambil meletakkan stetoskop.Nora menoleh. “Insiden?”Galang menarik napas pendek. “Suster Yati kolaps. Tiba-tiba. Kami duga henti jantung mendadak.”Sekujur tubuh Nora menegang. Tapi wajahnya tetap diam. Terkendali. Terlatih.
“SUSTER YATI!” Chalia melonjak dari kursinya, berlutut di sisi perawat itu.Perawat jaga berlari masuk saat mendengar suara benturan.“Kode biru! Cepat!” seru Chalia.Mereka bekerja cepat. Dalam waktu dua menit, tim medis mulai menangani Yati yang kini tak sadarkan diri. Napasnya tak teratur, irama jantungnya memburuk.Chalia berdiri di pojok ruangan, menatap kosong, napasnya naik-turun.Serangan jantung? Tapi Suster Yati jarang sakit …. Dia menoleh perlahan pada cangkir teh yang kini terguling di meja. Cairan cokelat keemasan itu menyebar ke permukaan meja. Harumnya masih tercium.Teh itu …. Mungkinkah teh itu?Dia menggigit bibir.Bukan... bukan itu penyebabnya. Tapi—Tiba-tiba dia teringat. Teh itu bukan dari pantry umum. Itu milik pribadi Janu, yang dia simpan di lemari kecil sejak minggu lalu. Teh earl grey kemasan Inggris, jenis yang tidak dijual di minimarket biasa.Kenapa Janu tidak pernah meminumnya akhir-akhir ini, ya? Pikiran itu hanya sekilas. Lalu dia menggeleng.“Jangan
Pagi itu lorong lantai tiga masih sepi. Hanya beberapa perawat mondar-mandir membawa troli obat. Rindu berdiri di dekat nurse station, mencatat sesuatu di clipboard kecil, sesekali melirik ke arah pintu kamar 306.Tak lama kemudian, dr. Galang muncul dari lift. Pria paruh baya dengan tubuh tegap dan langkah cepat. Rindu segera menyapanya dengan sopan.“Pagi, Dok. Saya Rindu, koas dari angkatan baru. Saya diminta bantu observasi pasien kamar 306.”Galang berhenti sejenak. Keningnya berkerut tipis. “Pasien kamar 306?”“Iya, Dok. Katanya kasusnya unik dan bisa jadi pengalaman belajar yang bagus untuk saya.”dr. Galang menatapnya dengan tatapan tak langsung percaya. “Siapa yang menyuruhmu?”“Dokter Janu. Beliau tidak jelaskan banyak. Hanya meminta saya mengikuti Bapak hari ini dan fokus pada pasien itu.”Galang menghela napas pendek, lalu menatap langsung ke matanya.“Pasien itu bukan untuk observasi umum. Kondisinya masih fluktuatif dan dia minta privasi total. Tidak semua staf boleh mas
Cahaya dari layar ponsel memantul di wajah Nora saat malam turun perlahan di luar jendela kamar 306. Langit mendung. Rumah sakit mulai sepi. Mesin infus berdetak halus di samping ranjang, menyatu dengan suara langkah yang sesekali terdengar dari lorong.Nora duduk bersandar, ponsel di tangannya. Otaknya mulai bekerja. Dia sadar tak bisa menghindar sepenuhnya dari Janu. Nora harus membuat kesan jika dia bukan sedang mengawasi, tapi sedang kritis.Nora membuka jendela pesan pribadi dan mengetik pelan.“Maaf, Mas… Aku tahu kamu sudah datang. Perawat tadi cerita. Tapi aku benar-benar belum sanggup bertemu siapa pun.Badanku masih lemas, mual makin parah. Rasanya seperti tubuhku perlahan-lahan tidak lagi milikku.Aku cuma ingin bilang… aku minta maaf. Untuk semuanya.Kalau selama ini aku keras kepala. Kalau aku pernah menyakitimu. Kalau aku tidak cukup jadi istri yang baik.Tapi tolong, jangan datang dulu.Aku takut. Bukan pada kamu… tapi pada kondisiku sendiri. Takut kamu lihat aku makin