Senja perlahan turun, mewarnai langit dengan rona oranye dan ungu. Di dalam rumah berdinding kayu, Azena bersantai di sofa empuk ruang tamu. Suasana tenang itu adalah pelarian sempurna dari ketegangan yang ia rasakan selama seharian penuh. Kemarin, ia baru saja menyelesaikan misi penyamaran yang berisiko tinggi. Berpura-pura menjadi guru Silvergade Academy. Ia membuka majalah yang tergeletak di atas meja, membalik halamannya dengan santai, mencoba mengalihkan pikirannya dari misi yang baru saja ia jalani. Sembari membaca, sesekali ia melirik ke luar jendela, memastikan keamanannya.Tiba-tiba, suara notifikasi dari ponselnya memecah keheningan. Sebuah pesan masuk dari Edward, sepupu yang selalu membantunya. Azena membuka pesan itu dan mendapati tulisan singkat yang membuat jantungnya berdegup kencang."kamu tengah di intai, arah jam 12 dan arah jam 3."Tanpa pikir panjang, Azena langsung bangkit dari sofa, menyelinap ke jendela, dan mengintip keluar. Benar saja, di seberang jalan, ia
Pagi harinya, Azena bangun dengan begitu semangat. Tidak sabar memulai misi kali. Jam dinding menunjukkan pukul 06.00, dan sinar matahari pagi sudah menyelinap masuk melalui celah gorden. Dengan langkah mantapnya, ia segera beranjak dari tempat tidur. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu—wawancara kerja di Silvergade Academy.Ia membuka lemari, mengambil kemeja putih bersih dan rok pensil berwarna gelap. Penampilannya harus rapi dan profesional, mencerminkan citra seorang calon guru seni yang serius, tak lupa kacamata sebagai pelengkap penampilannya. Kacamata yang ia gunakan bukan kacamata biasa, itu kacamata modifikasi alat perekam. Setelah berpakaian, Azena duduk di meja kerjanya. Di sana, tumpukan berkas lamaran sudah tertata rapi. Curriculum Vitae (CV), portofolio karya seni, ijazah, dan surat lamaran semuanya telah disiapkan dengan teliti sejak semalam. Ia memasukkannya ke dalam map, memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal.Getaran ponsel diatas meja, mengalihkan perh
Azena duduk santai di sofa kulit tua, memandangi senja yang merayap masuk lewat jendela besar berwarna putih. Ruangan itu hening, hanya ada suara Edward yang sedang membereskan beberapa perlengkapan di meja sudut. Rumah persembunyian ini terasa sunyi, jauh dari hiruk pikuk kota. Dibutuhkan waktu tiga jam untuk sampai di pusat kota. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu gelap, lantai parketnya berderit lembut di bawah langkah kaki Edward. "Aku harus pergi," ujar Edward, suaranya memecah keheningan. "Tim sudah menunggu di titik pantau. Kita akan memantau dari kejauhan."Edward menghampiri Azena, meletakkan sebuah ponsel kecil di tangannya. Ponsel itu jadul, model yang mungkin sudah tidak diproduksi lagi. "Ini untukmu," katanya. "Ponsel biasa, tidak bisa dilacak. Hanya bisa digunakan untuk panggilan dan pesan teks darurat."Azena membalik-balik ponsel di tangannya, tersenyum kecil. "Terima kasih.""Tidak perlu berterima kasih padaku. Besok kamu sudah mulai melamar kerja disana," jawab Ed
Azena turun dari mobil dan berdiri di depan sebuah rumah kayu sederhana yang tampak nyaman. Rumah itu dicat krem dengan aksen jendela berwarna putih, dikelilingi oleh pagar kayu rendah yang dicat senada. Di halaman depan, pot-pot bunga aneka warna bermekaran, menambah kesan asri pada pemandangan. Azena memandang sekeliling, deretan rumah tetangga yang berjajar rapi dan pohon-pohon pinus yang berdiri tegak di seberang jalan menciptakan suasana damai yang jauh dari hingar-bingar kota."Selamat datang di tempat persembunyianmu yang baru," kata Edward sambil tersenyum tipis, membuka pintu mobil untuk Azena. "Aku sudah memodifikasinya sesuai kebutuhan mu."Azena melangkah keluar, menghirup udara segar. "Ini... benar-benar tidak seperti yang kubayangkan.""Aku kira kakek akan menyiapkan rumah yang lumayan layak untuk ku tempati. Tapi, ini ...."Azena tidak menyangka bahwa Kakeknya menyiapkan tempat yang sangat sederhana, ini sungguh di luar ekspektasinya. Edward terkekeh mendengar gumaman
Kotak dan buket itu, ia taruh di meja dan melanjutkan aktivitasnya. Ia mengambil vas bunga dari lemari kaca, mengisinya dengan air, lalu menata bunga lili putih itu dengan hati-hati. Aroma harum bunga segera memenuhi ruangan, membuat suasana terasa lebih segar dan menenangkan. Setelah selesai, Azena kembali ke sofa, mengambil kotak makanan itu, dan membukanya. Di dalamnya terdapat chicken cordon bleu yang masih hangat, lengkap dengan kentang tumbuk dan sayuran.Azena baru saja akan menyantap makanan itu ketika pintu ruang keluarga terbuka. Edward muncul dengan senyum lebar, berjalan santai menghampirinya."Pagi, Ze. Wah, sudah dapat sarapan, ya?" sapa Edward, matanya melirik kotak makanan di tangan Azena.Azena mendongak, sedikit terkejut dengan kedatangan Edward. "Pagi. Ah, iya. Tadi ada kurir yang mengantarnya," jawabnya, sedikit canggung."Kelihatannya enak. Chicken cordon bleu lagi," goda Edward sambil duduk di sofa seberang Azena. "Jadi, siapa yang mengirim ini, Ze? Apa pengagum
Matahari pagi menyusup dari balik tirai jendela, menembus kaca dan menciptakan motif-motif cahaya di lantai marmer. Di ruang keluarga, Azena bersantai dengan posisi tiduran di sofa panjang, kakinya dilipat, dan sebuah majalah populer berada ditangannya. Layar televisi menyala tanpa suara, menampilkan berita-berita pagi yang tidak begitu diperhatikannya. Fokusnya hanya pada majalah ditangan.Di meja di depannya, tertata rapi piring berisi potongan buah-buahan segar—apel, jeruk, dan melon—dan secangkir teh lemon hangat yang masih mengepulkan uap. Sesekali, Azena menyuap sepotong melon lalu menyesap tehnya. Pagi ini begitu tenang dan damai bagi Azena. Sebelum mengambil cuti, hidup Azena hanya monoton. Pagi berangkat kerja pulang tidak menentu. Jarang sekali Azena memiliki waktu luang seperti sekarang ini.Namun, kedamaian itu terusik saat pintu utama terbuka. Sosok Julian muncul dengan langkah gontai, raut wajahnya terlihat lelah. Jas dokternya tersampir di lengan, dan kemeja birunya sed