LOGINMusim panas, Seoul-Korea Selatan.
Hye Jin duduk bersandar di Halte, sambil meneguk sebotol air mineral dingin. Di lehernya terdapat kamera Canon dengan resolusi cukup tinggi, serta tanda pengenal bertuliskan Trainee di depan dadanya. Setelah berkeliling kota mencari bahan berita untuk dilaporkan, gadis itu merehatkan diri sejenak sambil menselonjorkan kedua kakinya yang ingin melepaskan diri setelah disiksa berjalan jauh.
“Ah … aku harap ada sebuah kejadian besar. Agar aku bisa kembali membawa berita yang spektakuler,” pintanya sambil menerawang ke langit yang terik karena cahaya matahari.
Hye Jin memejamkan matanya sejenak yang terasa lengket seperti diberi perekat. Gadis yang baru menyelesaikan pendidikannya lima bulan lalu, dan memilih bergabung di salah satu perusahaan Pers terbesar harus kehilangan banyak waktu tidur. Tentu saja, tim kejahatan dan politik memang terkenal menyita waktu setiap anggotanya. Termasuk Hye Jin Si Anak Lugu yang baru bergabung selama satu bulan.
Gadis dengan setelan jeans hitam beserta blouse berwarna putih itu, menyandarkan kepalanya pada tiang, bersiap menemui mimpi-mimpi di jalan. Namun, baru semenit matanya terpejam, telinganya terusik oleh langkah kaki manusia yang bergerombol menuju suatu tempat. Hye Jin terbelalak melihat para manusia yang berkumpul di satu titik sambil berceloteh ramai. “Sepertinya ada yang menarik!” serunya semangat sambil menyampirkan ransel hitamnya di bahu.
Gadis itu berlari mengikuti orang-orang di depannya, tidak butuh waktu lama untuk menemukan sumber dari kerumunan para manusia tersebut. Tubuh kecilnya berjinjit di antara para lelaki bertubuh tinggi yang berdiri di depannya, kepalanya berusaha masuk di antara orang-orang berbadan tegap di sekelilingnya. Kedua matanya terbelalak saat melihat percikan darah bercampur dengan serpihan besi kendaraan. Kecelakaan besar telah terjadi di jalan tersebut, antara bus mini dan truk.
Sepuluh anak TK tewas di tempat, beberapa ada yang terhimpit di dalam bus mini yang mereka tumpangi. Pengemudi truk juga bernasib naas, lelaki itu tewas di tempat. Satu persatu brankar diturunkan untuk membawa tubuh-tubuh mungil bersimbah darah, mengotori seragam mereka yang berwarna kuning. Tangisan para orang tua menggema di tempat itu, sambil memeluk tubuh kecil sang buah hati yang terbujur kaku dan dingin, dengan kedua mata yang tertutup rapat.
“Ah … ini bisa jadi berita menarik!” serunya sambil menerobos tubuh-tubuh manusia yang menghalanginya. Gadis itu pun segera mengarahkan kameranya untuk memotret dari segala sudut di TKP – Tempat Kejadian Peristiwa – tak peduli orang-orang di sekelilingnya juga berusaha menyingkirkan tubuh kurus Hye Jin dari sana.
Kedua matanya berkelana, menyisiri setiap sudut untuk mencari narasumber yang bisa diwawancarai mengenai kecelakaan tersebut. Kedua kakinya melangkah dengan lincah menghampiri seorang Polisi yang sedang memasang garis kuning di sekitar tempat itu. Ia merogoh saku jaketnya, mengambil alat rekam di sana.
“Mohon maaf Pak, bisakah Anda menjelaskan lebih rinci tentang kecelakaan ini? Menurut Bapak apa penyebab kecelakaan ini?” tanyanya lantang sambil mengarahkan alat rekam itu ke depan mulut Polisi muda, dengan tanda nama bertuliskan Kim Won Seok di dadanya.
Dengan tatapan acuh, Polisi itu berlalu meninggalkan Hye Jin tanpa memberikan informasi. Wajah datar, bibir tebal terkatup rapat, serta kedua mata yang tajam, hanya tertuju pada pekerjaannya, ia tak melirik sedikit pun ke arah gadis yang menunggu dengan tangan di udara.
Gadis dengan ransel besar di punggungnya itu tidak menyerah, ia kembali mendekati Polisi berkulit putih kecokelatan itu dengan berani. “Mohon maaf Pak, bisakah Anda menjelaskannya? Apakah benar tidak ada korban selamat pada kejadian ini?” tanyanya lagi dengan suara yang lebih lantang.
Sungguh Dejavu, Hye Jin diabaikan (lagi). Polisi itu berlalu, dan berjalan meninggalkan TKP setelah memasang garis Polisi dengan rapi. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya, dan tak sedikit pun kepalanya menoleh ke arah gadis itu.
“Dasar sombong!” pekik Hye Jin dalam hati sambil melempar alat rekamnya ke dalam jaket. Ia kembali mengambil gambar di tempat itu, sambil mendengus kesal.
Dalam hitungan menit, setelah petugas mengamankan TKP dan membubarkan warga. Tempat tersebut menjadi hening, para Polisi mulai kembali ke tempat masing-masing, hanya ada beberapa orang yang berjaga. Melihat situasi emas tersebut, kedua kaki Hye Jin dengan nakal melewati garis kuning di dekatnya. Sambil menoleh ke kanan dan kiri memastikan keadaan masih kondusif, dirinya perlahan mendekati bus mini yang sudah hancur parah. Bagian depan bus tersebut hancur lebur, bagian belakang pun tak lebih baik dari bagian depan. Bus mini yang ditumpangi belasan anak TK itu, sempat terdorong dan akhirnya menabrak tiang jalan.
Gadis yang tidak kenal takut itu, berdiri di samping bus mini sambil memotret bagian dalam yang dipenuhi bercak darah anak-anak bernasib malang. Hye Jin terhenti sejenak, mematung di tempat saat lensanya menangkap tas kecil berwarna kuning yang penuh dengan darah segar. Gadis itu terguncang hingga sulit berdiri, ia menelan air liurnya dengan kasar, memaksa dirinya untuk kuat dan melanjutkan pekerjaan tersebut.
Setelah puas mengambil gambar dari setiap sudut bus mini tersebut, Hye Jin mendekati truk yang berada di depannya. Siluet mengejutkan memancingnya untuk mendekat. Sepasang sepatu pengemudi truk itu tertinggal di sana, pasti tertinggal saat tim evakuasi menyelamatkan pria berusia 30 tahunan tersebut, yang kakinya sempat terhimpit besi-besi bagian depan truk.
“Apa yang Anda lakukan di sana?” teriak seseorang dari kejauhan, disusul dengan suara langkah sepatu yang cepat.
Gadis itu menoleh saat dirinya mengarahkan lensa kamera ke arah setir truk yang dipenuhi bercak darah sang pengemudi. “Aissshhhh!” pekiknya kesal saat melihat Polisi muda yang semula mengabaikannya sedang berlari dengan wajah emosi. Hye Jin membuang pandangannya, dan fokus pada pekerjaan yang tertunda.
Telapak tangan yang besar dan kekar menutupi lensa kamera gadis itu, “Kenapa Anda bisa masuk ke TKP?” tanyanya geram.
Dengan santai Hye Jin menghempaskan tangan Polisi itu dari lensa kameranya. “Memangnya kenapa? Saya hanya mengambil gambar untuk dijadikan bahan berita,” jawabnya berani. Ia kembali mengarahkan kameranya di tempat yang sama, walau mendapatkan Polisi itu kembali melakukan hal yang sama juga.
“Hal yang Anda lakukan ini bisa merusak TKP, terlebih Anda tidak memakai pelindung kaki apalagi sarung tangan. Tim forensik belum memeriksa TKP, dan Anda sudah berjalan-jalan di atasnya. Itu sama saja Anda sudah merusak TKP!” Polisi berseragam lengkap itu menggenggam erat kamera milik Hye Jin, dengan sorot mata yang tajam.
“Saya tidak menyentuh bus dan truk itu, saya juga tidak menginjak-injak bagian dalamnya.” Gadis itu berdalih dengan suara yang lantang, kepalanya mendongak dan menantang pria itu.
“Tetap saja Anda tidak boleh di sini!” serunya sambil menarik tangan Hye Jin.
Hye Jin menatap pantulan dirinya di depan cermin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Setelah menghabiskan waktu 15 menit di sana, entah mengapa gaun merah yang kini melekat di tubuhnya terlihat begitu menjijikan. Bahunya yang cerah terbuka lebar, kedua kakinya yang jenjang terekspos karena gaun yang ujungnya berhenti 10cm di atas lututnya. Rambutnya lurusnya digerai, dan menghantarkan aroma sampo yang khas. Seberapa lama pun gadis itu menatap dirinya, pakaiannya tetap membawa kesan menggelikan.Ia memberanikan diri keluar dari toilet yang sudah menahannya cukup lama. Menunjukkan penampilannya untuk pertama kali kepada Dong Joon yang menunggu di depan pintu. Pria yang sudah rapi mengenakan pakaian sehari-harinya berusaha menahan tawa saat tubuh gadis itu berdiri di sampingnya.Mereka berdiri di depan sebuah klub malam dengan dua orang pria berjas hitam yang menjaga di depan pintu. Berkali-kali Hye Jin memastikan bahwa alamat yang diberikan Kang Gi Won tid
“Kau tahu ini ilegal kan? Aku harap kau bisa menggunakannya sebijak mungkin. Jangan sampai kekasihmu tahu, sebesar apapun cintanya padamu, tetap saja dia seorang Polisi yang taat.” Suara gerak jari di atas keyboard terdengar bersamaan rasa takut dari seseorang yang berbicara di panggilan tersebut. Tepatnya sudah tiga kali pria di seberang panggilan itu mengingatkan Hye Jin, sambil memohon untuk melindungi dirinya.Hye Jin tertunduk, memainkan cincin putih yang melingkar di jari tengahnya. Telinganya mendengarkan suara pria yang sudah berbicara dengannya selama lima menit lewat airpods hitam miliknya. Mulutnya tak bisa mengatakan apa-apa. Tatapannya berkelana, pikirannya pun ikut ke sana kemari. Ia membiarkan pria di balik panggilan itu mengulangi kalimat yang sama, dengan rasa khawatir yang sama. Hingga Hye Jin hanya mengucapkan kata "tenang saja" pada setiap kekhawatirannya.Obesesinya terhadap gadis-gadis itu telah membuat langkahnya semaki
Hye Jin sampai di rooftop dengan napas yang berantakan, ia menghampiri beberapa polisi yang berjaga di depan pintu rooftop tersebut. “Apa yang kalian lakukan di sini? Apa kalian mengurungnya di sana?” tanyanya tidak peduli sambil mendekati pintu tersebut. Bertolak pinggang dengan napas yang tersengal-sengal, serta keringat yang membasahi wajahnya, Hye Jin mencoba mendorong para petugas yang berjaga.Salah satu Polisi wanita mendorong tubuh Hye Jin pelan. Ia terus menghalagi langkah wanita itu, dan menahan tubuhnya untuk maju. Tatapan tajam dari balik bulu mata hitamnya, ikut menghalangi langkah gadis itu. “Jika kau masuk ke sana, dia akan melompat!” ancamnya tegas.“Apa kau akan berdiam diri di sini hanya karena gadis itu mengancam akan melompat, jika ada yang masuk ke sana? Lalu apakah dia tidak akan melompat jika ditinggal seperti itu?” tanya Hye Jin sambil menghempaskan tangan Polwan itu dengan keras. “Apa kau Polisi baru?” sambungnya sambil membuka pintu tersebut dengan tendangan
Aroma telur dan mentega mengudara di dalam sebuah toko kue yang berdiri di pinggiran jalan Gangnam. Kedua mata Hye Jin membulat besar, melihat berbagai macam bentuk kue tar di dalam etalase. Mulai dari rasa cokelat, strawberry, red velvet, hingga green tea, membuat gadis itu dilema untuk memilih. Aroma dari kue-kue itu bercampur di indera penciuman Hye Jin.“Saya mau yang ini ya,” kata Hye Jin menunjuk kue tar di dalam etalase dengan balutan cokelat yang tebal di sekelilingnya. “Tolong tambahkan tulisan juga yah di atasnya.”“Saengil Chukkae, Chagiya[1]!” ucap gadis itu setelah berpikir keras kata-kata yang harus ditulisnya di atas kue tersebut.Sang pegawai dengan seragam hitamnya tersenyum manis, ia menulis di atas kue itu dengan krim tipis berwarna putih. Setelah selesai, kue tersebut dimasukkan ke dalam kotak berwarna putih.Hye Jin meletakkan kotak kue itu di sampingnya, senyumannya tid
MayMotel telah menjadi tempat yang sepi setelah kematian seorang gadis, tempat yang menyimpan banyak misteri dengan segudang pertanyaan dari masyarakat. Begitupun dengan Hye Jin, pikirannya masih dipenuhi oleh ribuan pertanyaan tentang hubungan pemilik penginapan tersebut dengan Song Mi Ah, bahkan ambisinya ingin mencari tahu tentang kematian gadis itu lebih jelas lagi.Kini gadis itu berdiri di samping mobilnya dengan kedua mata yang tak berpaling dari pintu utama motel tersebut. Menahan sinar matahari yang menyorot langsung ke arahnya, demi menunggu seseorang keluar dari sana.“Seonbae! Bagaimana kalau kita masuk saja? Kita kan tidak tahu kapan pria itu akan keluar,” kata Dong Joon.Hye Jin menggeleng cepat, “Aku tidak suka masuk ke sana.”Setelah 20 menit berlalu, Kang Gi Won keluar dari motel itu dengan kacamata hitam terpasang di kedua matanya. Tubuhnya seketika mematung saat berpapasan dengan Hye Jin di parkiran mote
Hye Jin berjalan ke dapur dengan menenteng buku pelajaran Sains di tangan kanannya. Ia menenggak segelas air mineral, sambil bersandar pada bar dapur yang tingginya hampir setengah tubuh gadis itu. Di ruang tamu, suara berisik saling bersahutan. Kedua matanya enggan melihat ke arah objek yang membuat kebisingan di hari libur.Gadis itu menatap bukunya di bar dapur dengan tatapan kosong, jari telunjuknya mendorong gelas kosong di samping buku itu sampai ke ujung bar. Prakkk, suara gelas jatuh ke lantai membuat kedua orang yang berada di ruang tamu menyadari keberadaan Hye Jin. Wanita dengan setelan jas berwarna biru menatap ke arah anak gadisnya penuh tanya, hari libur tidak akan membuatnya berdiam diri di rumah. Pria yang berdiri di sampingnya, seorang workaholic lainnya. Beradu argumen tidak pernah ada habisnya saat kedua oramg itu bertemu.Hye Jin menatap kosong pada pecahan gelas di lantai dapurnya. “Kenapa berhenti? Lanjutkan saja!” serunya sambil melangkah keluar dari area dapur.







