Share

Nyaman

Entah kenapa ia merasa nyaman berada di dalam pelukan Liam, rasanya seolah ia telah berada di tangan yang tepat. Ucapan Liam selanjutnya semakin membuat Elena mempercayakan hidupnya pada suaminya itu,

"Mulai sekarang kamu tidak perlu bersedih lagi, Wifey. Karena sekarang kamu telah memiliki aku, dan aku akan selalu melindungimu sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah untukmu," bisik Liam. Meski terdengar pelan, namun jelas terdengar ketegasan di dalam suaranya.

Hati Elena terasa teduh dan terharu saat mendengarnya, tiap patah kata yang LIam ucapkan barusan seperti siraman air di hatinya yang terasa gersang, dan ia akan mengingat betul janji pertama yang Liam ucapkan untuknya itu,  "Terima kasih ... " ucap Elena lirih. Ia menahan dirinya untuk tidak mengalirkan airmatanya lagi.

"Itu sudah menjadi kewajibanku sebagai suamimu, My Wifey. Dan karena kita sama-sama telah sepakat untuk terus melanjutkan pernikahan dadakan kita, maka kamu pun akan memiliki keluarga lagi, Mommy, Daddy dan juga adikku akan menjadi adikmu juga. Mulai sekarang, kamu tidak hidup sebatang kara lagi. Kamu memiliki kami, keluarga barumu."

Sepertinya Tuhan masih berbaik hati pada Elena, karena setelah terusir dari keluarganya, ia malah mendapatkan keluarga baru melalui cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Semua terjadi karena kuasa-Nya.

Tapi ... Bagaimana kalau keluarga Liam tidak dapat menerimanya?

Belajar dari cara orangtua Elena dalam menilai seseorang yang dianggap pantas atau tidak sebagai menantunya, Elena takut kalau keluarga Liam pun akan seperti itu. Orangtua Elena hanya menilai seseorang dari status sosialnya saja. 

Kalau memang orang tua Liam sama seperti orangtuanya, seharusnya Elena tidak perlu merasa khawatir, tapi kalau ia masih menjadi anggota keluarga Foxmoore. Sedangkan saat ini, Elena tidak ubahnya seperti anak yatim piatu yang tidak memiliki arah dan juga tujuan, yang dipungut Liam di pinggir jalan untuk dijadikan istrinya. Mungkinkah keluarga Liam akan menerimanya begitu saja?

Karena lama tidak mendapatkan jawaban dari Elena, Liam yang selalu berpikir cepat itu pun menduga kalau Elena tengah khawatir pada penerimaan keluarganya. Dan Liam sangat mengerti itu,

"Dengar, keluargaku akan menerimamu dengan baik. Dan terutama Mommyku, dia sangat ingin memiliki menantu. Bukankah aku sudah pernah cerita padamu kan kalau Mommyku selalu mengejarku dengan pernikahan. Jadi ya aku yakin sekali kalau keluargaku akan menerima kamu dengan tangan terbuka. Dan adik perempuanku pun akan senang karena memiliki kakak perempuan yang bisa diajak bertukar-pikiran."

Apakah Elena baru saja menghela napas lega? Sepertinya iya, karena setelah mendengar penjelasan Liam tadi, sebagian kekhawatirannya perlahan menghilang. Kata-kata Liam seolah menjadi suntikan penyemangat untuk Elena berani menghadapi keluarga suaminya itu.

"Aku pun akan dengan senang hati menerima keluargamu. Aku ... " Air mata Elena kembali mengalir keluar. Awalnya memang Elena tidak mau terlihat cengeng lagi di depan Liam, tapi saat itu rasanya tidak dapat terlukiskan dengan kata-kata saat menghadapi kenyataan kalau ia telah terusir dari keluarganya, dan beralih ke keluarga yang lain, keluarga yang sama sekali tidak Elena kenal.

Namun apapun reaksi keluarga Liam nantinya, Elena pastinya akan menerima mereka dengan lapang dada. Ia tidak akan banyak mengeluh, ia tidak mau kehilangan sebuah keluarga lagi. Tidak setelah ia merasakan sakitnya pergi dari keluarga yang selama ini ia kenal.

Elena kembali merasakan kelembutan Liam saat jemari pria itu menghapus airmatanya. Lalu mengarahkan wajah Elena hingga menatap penuh padannya agar Elena dapat melihat keseriusan ucapannya, "Kenapa? Kamu masih ragu dengan keluargaku? Kalau memang seperti itu, kita bisa tinggal di rumah yang terpisah dengan keluargaku."

Jadi, Liam masih tinggal bersama dengan keluarganya? Hal yang tidak biasa untuk ukuran pria Barat, apalagi yang terlahir di negara Paman Sam ini. Biasanya setelah menginjak usia delapan belas tahun, kebanyakan dari mereka akan memilih tinggal di rumah yang terpisah dengan orangtuanya, demi kebebasan hidup yang akan mereka jalani nantinya.

"Tidak, aku tidak meragukannya. Melihat betapa baiknya dirimu, aku yakin kalau keluargamu pun tidak akan jauh berbeda denganmu."

Bukankah buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya?

Liam terlihat mengangguk pelan sambil menghapus air mata Elena, "Kalau memang seperti itu, lalu untuk apa air mata ini?"

"Airmata bahagia, ya airmata bahagia. Karena pada akhirnya aku memiliki keluarga lagi."

"Kalau begitu, jangan bersedih lagi, ok? Aku tidak mau melihat mata istriku sembab karena kesedihannya. Aku hanya ingin melihatmu selalu dipenuhi dengan tawa. Aku akan memastikan kamu bahagia, dan tidak akan pernah menyesal karena telah memilih melanjutkan pernikahan kita ini."

Elena kembali memeluk Liam, "Sekali lagi terima kasih, Liam," ucapnya.

"Kalau mau berterimakasih padaku, jangan hanya sekedar ucapan saja, My Wifey," goda Liam. Biasanya jika wanita sedang sedih, maka obatnya adalah memberinya kesenangan fisik. Apalagi kalau bukan penyatuan mereka.

Elena menjauhkan sedikit badannya untuk menatap wajah tampan Liam,  Lalu kamu mau aku melakukan apa? Berdansa denganmu di sini? Tapi kan tidak ada musik yang akan mengiringi dansa kita."

"Oh no! Tidak lagi Liam!" tolak Elena yang meski Liam belum menyatakan keinginannya, namun Elena dapat membacanya dari tatapan nakal suaminya itu.

"Kenapa sudah menolak saja? Padahal aku belum menyebutkan keinginan aku itu," kekeh Liam. Elena menyipitkan kedua matanya saat merespon,

"Jelas terlihat di wajah kamu itu, Liam. Berapa kali semalam aku melihatnya, dan aku merasakan dampak dari tatapan mesum kamu itu," sungutnya.

"Tapi kamu senang kan? Jujur saja kalau kamu juga ingin merasakannya," goda Liam, sontak saja wajah Elena memerah karenanya. Liam tahu persis apa yang sedang Elena pikirkan. Meski mulut Elena menolak, tapi bagian pribadinya seolah berteriak penuh semangat ingin segera menyambut milik Liam lagi.

"Cih, siapa yang senang?" sanggah Elena sambil menoleh ke lautan lepas. Pekikan pelan keluar dari mulut Elena saat dengan cepat ia sudah berada di dalam bopongan Liam.

"Kamu tidak pandai berbohong, Wifey. Meski kamu tidak mau jujur padaku, aku akan tetap memberikan apa yang diam-diam kamu inginkan itu."

"Liam turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri! Aku malu! Bagaimana kalau ada yang melihat kita?"

"Karena kamu sudah menikahi Liam Payne, maka kamu harus menanggalkan urat malumu itu, Wifey." kekeh Liam sambil terus melangkah menuju Villa mereka.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
siti yulianti
oh ternyata Liam sangat romantis dan tanggung jawab
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status