Kaluna terasa pegal-pegal selama menunggu pelajaran matematika berakhir. Sesekali Estefan melongok melewati jendela untuk melihat apakah dirinya masih berdiri di tempat semula atau tidak. "Sudah kapok?" Estefan langsung mendatangi Kaluna saat jam pelajaran matematika itu akhirnya berakhir. "Lain kali kalau kamu telat lagi, saya akan suruh kamu berdiri di tengah-tengah halaman sekolah sana." Estefan mengangkat tangannya dan menunjuk ke pusat halaman sekolah hingga Kaluna menoleh dan mengikuti arah pandangannya. "Panas, Pak!" komentar Kaluna. "Makanya jangan banyak tingkah," sahut Estefan datar. "Kamu sudah kelas tiga, bisa tidak sih kamu jangan bikin saya repot?" Kaluna hanya meringis saja dan memilih melipir perlahan meninggalkan Estefan yang masih berdiri. "Kamu hobi banget sih bikin Pak Stefan marah?" komentar Kiki ketika Kaluna muncul di dalam kelas. "Heran." "Habis gimana," sahut Kaluna sambil mengangkat bahunya. "Aku tadi sih niatnya nggak mau sekolah, tapi ... telanjur mas
Kaluna tiba di rumah dengan wajah kusut dan lelah meskipun dia pulang sekolah dengan menumpang mobil yang menjemputnya. "Capek, Lun?" sambut Ola ketika keponakannya muncul di dapur. "Sini, makan dulu." "Iya, Tante ..." sahut Kaluna tidak bersemangat. "Aku mau cepat-cepat lulus aja deh, capek sekolah begini terus ...." "Habis itu menikah?" celetuk Ola sambil tersenyum menggoda ke arah Kaluna. "Tante, aku nggak tertarik menikah." Kaluna menggelengkan kepalanya. "Aku mau kerja aja deh, jadi wanita karir." Ola menarik napas. "Kamu lebih baik menikah sama pengusaha sukses kalau mau cara instan menjadi seorang wanita karir," sahut Ola, dengan sangat hati-hati dia tidak menyinggung nama Dewangga karena jelas dia masih anak sekolah dan juga mantan kekasih Kaluna. "Pikiran aku nggak sependek itu, Tante. Gampang deh," keluh Kaluna sementara salah satu asisten rumah tangga menyiapkan makan untuk Kaluna. "Tapi kan setidaknya kalau kamu sudah punya tunangan, kamu nggak akan kebingungan menc
"Itu siapa sih, Tante?" tanya Kaluna dengan suara berbisik ketika mereka dipersilakan masuk ke dalam rumah. "Masa kamu lupa?" balas Ola seraya ikut berbisik. "Itu Rey, yang rencananya mau Tante nikahkan sama kamu ...." "APA?!" "Shhhh!" Ola buru-buru membekap mulut Kaluna dengan telapak tangannya. "Ngomongnya jangan keras-keras kenapa sih, Lun?" Ola meringis dan segera melepas tangannya dari wajah Kaluna. "Selamat datang!" Ola berdiri anggun di depan pintu ketika Vivian dan Rey lewat. "Terima kasih," sahut Vivian. "Kamu apa kabar, Luna?"Disapa sedemikian rupa, membuat Kaluna tersentak pelan dan menoleh dengan malu-malu ke arah wanita itu."Baik, Tante ..." jawab Kaluna tersendat. Acara makan-makan itu pun berlangsung lancar dan satu minggu kemudian, acara berganti di kediaman Vivian. Entah apa tujuan pastinya, pikir Kaluna."Rey, kamu temani Luna ngobrol dulu." Vivian menoleh ke arah putranya yang berdiri mematung tidak jauh dari mereka. Kaluna ikut menoleh dan memicingkan mat
Sambil mengendap-endap seperti maling, Kaluna berjalan pelan mendekati mobil wali kelasnya, setelah itu dia melongok ke jendela yang terbuka untuk membuat Estefan terkejut dan ...."Hayo, Pak Guru ... eh?"Kaluna menutup mulutnya dengan tangan ketika tatapan matanya tertumbuk kepada cowok paling tampan yang pernah dia lihat seumur hidupnya.Bahkan lebih tampan daripada Dewangga, mantan terindahnya."Kok ...?" Kaluna tergeragap, matanya menyipit memandang Estefan yang balas menatapnya dengan ekspresi malas dan dingin yang bercampur menjadi satu.Paling tidak, Kaluna pikir cowok itu adalah Estefan."Apa?" balas cowok itu menantang.Kaluna terdiam dengan mulut terkatup rapat, bahkan suaranya pun terdengar persis sama."Kamu ... eh ... kamu Rey kan?" tunjuk Kaluna, refleks jarinya terangkat dan nyaris menyentuh wajah rupawan yang ada di hadapannya. "Anaknya Tante Vivian?""Jangan tunjuk-tunjuk, yang sopan sedikit." Cowok itu menepis jari Kalu
Yohan tersenyum sinis.“Halah, ngaku aja deh. Aku nggak heran kalau kamu begitu,” katanya sembari menutup botol air mineralnya, kemudian memandang Kaluna lurus-lurus. “Kamu bukan murid cewek pertama yang mengalaminya kok.”Kaluna buru-buru menoleh ke arah Yohan.“Mengalami apa?” tanyanya penasaran, otak Kaluna seketika bertualang ke arah yang tidak semestinya. “Mengalami fase jatuh cinta sama Pak Stefan,” jawab Yohan datar. “Ya itu wajar, karena dia memang dikagumi banyak murid.”Kaluna mengangguk lagi.“Kamu ... tahu banyak tentang wali kelas aku rupanya,” komentar Kaluna pelan dengan tatapan menerawang.“Kan sudah aku bilang kalau aku itu murid lama di sekolah ini, gimana sih?” sergah Yohan sambil melirik Kaluna. “Nggak dengar, ya?”Kaluna hanya cengengesan.“Tapi ... aku curiga deh sama dia,” katanya lagi sambil memperhatikan sebagian murid yang baru saja muncul dengan aneka jajanan di tangannya. “Pak Stefan itu guru asli di sini bukan, sih?”Yohan mendengus pelan.“Kam
Kaluna terdiam mendengar nasehat panjang lebar uang Ola berikan untuknya.“Jadi maksud Tante aku harus bersikap ramah kalau ketemu sama Dewa atau Rara di jalan?” komentar Kaluna ragu. “Sedangkan emosi aku aja bisa mendadak bangkit begitu teringat nama mereka.”Ola menggelengkan kepalanya.“Itu berarti kalau kamu belum bisa berdamai sama masa lalu,” kata Ola sembari memegang bahu keponakannya. “Tante paham kalau kamu sakit hati, pasti susah untuk melupakan. Jalan satu-satunya adalah menerima kalau Dewa dan Rara memang bersalah. Kamu nggak bisa mengubah atau memperbaiki itu, tapi kamu bisa mengatasinya dengan membuktikan kepada dunia kalau kamu baik-baik saja.”Kaluna balas memandang sang tante dengan wajah muram.“Masalah Rara, kamu bisa kok cari pengganti dia. Memangnya teman di dunia ini cuma satu? Kira-kira gambarannya seperti itu,” ujar Ola menambahkan. “Ya sudah, makan dulu sana.”Mau tak mau, kali ini Kaluna mengangguk karena perutnya juga sudah mulai merintih kelaparan.“
Baik Kaluna maupun Yohan sama-sama menoleh dan melihat Pak Kemal berkacak pinggang dari koridor kelas satu, membuat mereka berdua nyengir tanpa rasa bersalah sama sekali.“Kamu, Kaluna! Saya akan laporkan ini kepada wali kelas kamu, Pak Stefan!” lanjut Pak Kemal lagi, setelah itu dia meneruskan langkahnya sementara Kaluna masih tergantung di gerbang dengan Yohan memegangi kedua pinggangnya.“Mampus deh kita ...” keluh Kaluna seraya berpegangan pada gerbang. “Yo, ini gimana ....”“Alah, biasanya juga kita sering kena hukuman.” Yohan menyahut tanpa mendongak, beberapa murid koridor sebelah kanan dan kiri mereka kini mulai menunjuk-nunjuk sambil nyengir tertahan karena melihat Kaluna yang tergantung di gerbang sekolah sedemikian rupa.“Bukan masalah itu!” tukas Kaluna sambil mengayunkan kedua kakinya. “Ini gimana cara turunnya maksud aku!”“Jangan nendang-nendang!” balas Yohan, kali ini terpaksa mendongak untuk memandang Kaluna. “Kayak bayi dalam kandungan aja kamu ....”“Ini aku t
“Masih satu setengah jam lebih, jangan sampai kita pingsan.” Kaluna beralasan. “Kamu juga boleh bersandar di punggung aku kok, nggak usah gengsi.”Yohan tentu tidak mau rugi, kini punggungnya ikut bersandar di punggung Kaluna hingga hukuman mereka berakhir saat bel istirahat berdering nyaring.“Gimana, bubar nggak nih?” tanya Yohan sambil menoleh. “Atau nunggu wali kelas kita yang suruh ...?”Kaluna menarik napas. Malu juga kalau dilihat murid-murid dari tingkat satu sampai tiga seperti ini, pikirnya.“Ini Pak Estefan ngapain dulu sih?” gerutu Kaluna. “Keburu kita jadi bahan tontonan banyak murid kayak begini.”Yohan mengedarkan pandangan ke arah murid-murid yang sebagian sudah keluar dari ruang kelas masing-masing. “Bodo amat lah,” komentar Yohan. “Aku sih bukan tipe senior yang jaim, jadi biarkan adik-adik tingkat itu melihatku apa adanya.”Kaluna melengos mendengar pengakuan Yohan, dia bersandar dengan nyaman di punggungnya dan memasang wajah tak peduli ketika beberapa muri