Kaluna sedang asyik bermain ponsel saat sebuah tangan terulur dan mengambil ponsel itu darinya.
"Pak Guru ...?" Kaluna terkejut sedikit."Siapa yang suruh kamu main ponsel?" tanya Estefan dingin sambil memandang Kaluna. "Saya suruh kamu berdiri.""Sudah, Pak." Kaluna mengangguk sambil menegakkan tubuhnya."Kamu pakai rok mini lagi?" tanya Estefan menyelidik sambil menyapukan pandangannya ke arah rok Kaluna yang panjangnya hanya sampai di atas lutut. "Kamu tidak bisa memahami instruksi saya dengan baik?"Kaluna hanya nyengir sendiri, dia justru heran karena Estefan baru menyadarinya sekarang. Padahal dia sudah kembali mengenakan rok mininya lagi sejak beberapa hari yang lalu."Masalahnya begini, saya ambil yang tercepat di lemari." Kaluna beralasan. "dapatnya yang ini."Estefan menarik napas, dia bukan orang yang sabar sebenarnya. Namun, profesinya sebagai seorang guru menuntutnya memiliki kesabaran dalam menghadapi murid-muridnya."Ponsel kamu saya sita," kata Estefan datar. "Dan kamu harus tetap berdiri sampai sisa jam pelajaran saya usai. Paham?"Kaluna menganggukkan kepalanya.“Baik, Pak.” Dia mengangguk ringan sementara Estefan berlalu pergi sambil membawa ponselnya ke dalam kelas.Jelas saja Kaluna tampak tenang-tenang saja saat Estefan menyita ponselnya karena dia masih punya stok ponsel nganggur yang lumayan banyak di rumah."Ciee, kena hukuman terus!" Yohan menjulurkan kepala dari jendela kelas sebelah dan meledek Kaluna."Diam deh, kamu belajar aja sana." Kaluna balik mencibir. "Anak Baik."Yohan hanya menyeringai dan menarik kepalanya kembali. Selanjutnya Kaluna berdiri sambil sesekali menguap hingga jam pergantian pelajaran berdering nyaring.Estefan keluar dari kelas dan mendekati Kaluna yang masih kuat berdiri."Ini ponsel kamu," kata Estefan datar sembari mengulurkan benda pipih itu kepada Kaluna. "Sekarang masuk kelas, ikuti pelajaran dengan baik dan usahakan jangan bikin masalah lagi."Kaluna mengangguk sambil menerima ponselnya kembali."Terima kasih, Pak!" katanya sambil tersenyum manis dan melenggang pergi dari hadapan sang wali kelas. Bukan Kaluna namanya kalau tiada membuat masalah di sekolah.Cewek itu bertekat untuk terus berulah sampai SMA Oasis mengambil keputusan untuk mengeluarkannya dari sekolah."Lun, nggak capek apa kamu bikin masalah terus sama Pak Stefan?" komentar Clara tak habis pikir. "Seram banget tahu lihat Pak Stefan marah-marah kayak tadi. "Kaluna meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk dengan santai."Pak Estefan itu kalau marah seru," komentar Kaluna ringan sambil bertopang dagu dan memandang ke arah whiteboard."Kamu juga jangan banyak tingkah dong Lun," sahut Davi si ketua kelas. "Nanti kita semua yang ikut kena imbasnya.""Mana ada," bantah Kaluna cuek. "Karena setiap murid akan menanggung dosanya sendiri-sendiri, Dav. Jadi kamu nggak usah khawatir deh."Davi memilih diam dan tidak menanggapi. Bukannya dia takut melawan Kaluna, tapi membiarkan cewek itu bertindak sesuka hati menurutnya adalah keputusan yang paling bijak.Kaluna sendiri tetap bersikap santai selama jam pelajaran berlangsung, hingga tiba saat istirahat dan dia langsung pergi ke kantin mendahului teman-temannya.Kaluna terpaku di kursinya saat Estefan berjalan melewati mejanya. Guru muda itu terlihat memesan sesuatu kepada salah satu pegawai kantin. Setelahnya dia duduk di meja yang berjarak agak jauh dari tempat Kaluna duduk dan menunggu pesanannya sambil bermain ponsel.Kaluna menyeruput es jeruknya pelan-pelan, sambil sesekali matanya melirik Estefan yang sedang memandang ponselnya dengan serius sementara satu tangannya membetulkan kacamatanya yang melorot di ujung hidungnya.Saat di posisi itulah, Kaluna merasa maklum jika sosok Estefan begitu dikagumi oleh sebagian besar murid perempuan di SMA Oasis.Estefan yang sedang sibuk berkirim pesan dengan ibunya, sesekali melirik Kaluna yang langsung menyibukkan diri dengan mengaduk-aduk es jeruknya menggunakan sedotan.Ada hal mendesak lainnya yang begitu mengganggu pikiran Estefan selain urusan pelanggaran peraturan yang dilakukan muridnya. Beberapa waktu belakangan ini sang ibu terus mendesaknya untuk mau dipertemukan dengan cewek yang rencananya akan dijodohkan kepadanya.Otak Estefan berpikir sangat keras, dia harus mencari alasan yang bagus untuk bisa menolak rencana ibunya terkait soal perjodohan.***Kaluna berjalan melewati kantor guru dengan begitu ceria. Meskipun dia datang pagi demi memenuhi kewajibannya menjalani hukuman yang diberkan Estefan kepadanya, tapi cewek itu tidak keberatan karena tiba di sekolah saat suasana masih sepi merupakan pengalaman langka baginya selama menjadi seorang murid.“Tolong, terimalah perasaan saya!”Kaluna memperlambat langkah kakinya ketika mendengar suara perempuan dari kantor guru yang pintunya terbuka.“Maaf, saya tidak bisa.”Mata Kaluna membelalak ketika dia mendengar suara Estefan yang menyahut dengan nada datar khas miliknya.“Tapi Pak, saya benar-benar menyukai Pak Guru ... Tidak bisakah Bapak menerima perasaan ....”“Kamu harus sadar status antara kamu dan saya, karena guru dan murid sejatinya tidak berhak memiliki hubungan istimewa melebihi apa pun.” Estefan memotong dengan dingin dan begitu tegas.Kaluna melirik sedikit melalui celah pintu dan melihat murid perempuan itu memaksakan diri tersenyum tapi tidak cukup kuat untuk membalas ucapan Estefan.“Di luar sekolah, kita bukan lagi guru dan muridnya.” Murid perempuan itu berkata setelah terdiam selama beberapa saat, kemudian dia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan kantor guru detik itu juga.Kaluna sempat termangu memandangi kepergian si murid perempuan yang berlari menjauh, sampai dia terlambat menyadari sesuatu dan ....“Apa yang kamu lihat?” tanya sebuah suara dengan nada sedingin es yang sudah mulai Kaluna hapal di luar kepala.“Eh, Pak Guru ...” Kaluna meringis dan agak merepet juga saat menyadari tatapan tajam Estefan yang rasanya seribu kali lebih tajam daripada pedang ketika menangkap basah dirinya yang ketahuan menguping.“Cepat lakukan hukuman kamu,” perintah Estefan dingin. “Bersihkan kantor guru sebelum staf pengajar yang lain berdatangan.”“Baik Pak,” angguk Kaluna ketika Estefan berjalan pergi melewatinya tanpa senyum sedikitpun.Kaluna bergidik dan cepat-cepat melaksanakan hukuman yang diberikan wali kelasnya.Sebelum bel masuk berbunyi, Estefan mengecek ponselnya di toilet khusus guru. Ternyata Vivian berkali-kali menghubunginya sejak tadi, tapi tentu saja Estefan tidak memedulikannya.Selain panggilan tak terjawab dari Vivian, ada pesan dari sang ayah yang sangat mengganggu pikiran Estefan pagi itu. Ayahnya mengirimi Estefan pesan yang mengingatkannya untuk ikut pertemuan dengan calon yang rencananya akan dijodohkan dalam waktu dekat ini.“Bu, aku sudah capek dengan kegiatan mengajarku di sekolah.” Estefan melayangkan protes ketika sore harinya dia menelepon Vivian saat dia selesai mengajar. “Jadi jangan paksa aku untuk ikut pertemuan seperti itu.”“Ini pertemuan penting, Rey.” Vivian menukas. “Ibu cuma minta kamu sama cewek itu bertemu dulu, atau ibu akan memecat kamu sebagai anak.”“Bu, itu terlalu berlebihan!” protes Estefan, membuat sang ibu tertawa pelan dari seberang sana.“Ibu tidak mau tahu, Rey. Awal bulan depan ibu akan urus semuanya,” sambung Vivian tegas, yang jelas tidak bisa dibantah oleh Estefan sedikitpun lagi.Bersambung –Senin itu Kaluna masuk sekolah seperti biasanya, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah Estefan sudah tiba di kantor guru dan bersiap mengingatkannya tentang sisa hukuman yang harus dia kerjakan selama seminggu penuh. “Luna!” Terdengar suara Yohan memanggil saat Kaluna sedang berjalan di koridor. “Gimana urusanmu sama Pak Stefan?”Kaluna memandang Yohan sekilas dan tidak yakin jika harus membagikan pengalamannya berurusan dengan Estefan. Sejak pengkhianatan yang dilakukan Rara kepadanya dulu, Kaluna sudah tidak percaya lagi dengan yang namanya teman. Karena itulah dia tidak pernah berminat menjalin pertemanan dengan siapapun di sekolah-sekolah sebelumnya.“Pak Estefan benar-benar konsisten sama ucapannya,” kata Kaluna tanpa menghentikan langkahnya. “Aku heran dia belum juga mengeluarkan aku dari sekolah.”“Kan aku sudah bilang, mendingan kamu mengundurkan diri sendiri,” komentar Yohan sambil menaikkan sebelah alisnya. ”Ngapain harus nunggu Pak Stefan yang mengeluarkan kamu?"“Aku ka
"Luna di dalam Pak, saya tidak macam-macam kok!” ucap Dewangga cepat-cepat. “Saya mengajak Luna reuni tadi ... Kami teman lama di sekolahnya yang dulu ....”“Reuni yang berakhir di apartemen?” tukas Estefan. “Kamu pikir saya bodoh? Kaluna tidak mungkin ke sini tanpa kamu paksa, kan?"Dewangga menelan ludah.“Maafkan saya Pak,” katanya. “Saya menyesal ....”“Keluar sekarang, saya mau cari Kaluna.” Estefan mengusir sambil menerobos masuk ke kamar untuk menjemput muridnya. Dilihatnya Kaluna sedang berbaring tidak sadarkan diri di tempat tidur, dengan seragam sekolah lengkap, sementara rambut panjangnya tergerai menutupi sebagian bantalnya. Bibir mungil dan sebagian wajah Kaluna juga memerah, dengan dua kancing seragam bagian atasnya sudah terbuka. Estefan mengaitkan kancing seragam Kaluna hingga menutup, kemudian berusaha membangunkannya. "Kaluna?” panggil Estefan. “Kaluna, bangun!”Kaluna hanya mengerang sebentar tanpa merespons panggilan gurunya. "Kaluna, apa pantas kamu berada di k
Estefan menoleh dan mendengus melihat Kaluna masih saja mendesaknya.“Pak Guru, saya ... saya tidak tahu apa yang sudah terjadi di antara kita ...” Kaluna melipat kedua tangannya dengan mimik memelas. “Tapi saya mohon jangan ceritakan ini pada siapapun di sekolah, Bapak boleh minta bayaran berapa pun yang Bapak mau, tapi tolong jangan cerita apa-apa.”Estefan mengernyitkan dahinya saat mendengar permohonan Kaluna barusan. Dia harus susah payah menahan tawanya ketika Kaluna berkata akan memberinya bayaran.“Kamu berani bayar saya berapa memangnya?” tanya Estefan sambil memandang Kaluna. “Lebih tinggi dari gaji saya sebagai guru?”“Saya bisa membayar berapapun yang Bapak mau,” janji Kaluna. “Asal Bapak tidak cerita apa-apa tentang kejadian tadi sama teman-teman saya.”Estefan memandang Kaluna lebih serius, dia tidak mengerti kenapa muridnya itu bisa begitu yakin bahwa dirinya akan mau menerima bayaran untuk tutup mulut soal kejadian tadi. “Kita sepakat saja ya Pak,” kata Kaluna akhirnya
“Tante jangan membuatku merasa cuma jadi beban hidup Tante selama ini,” ucap Kaluna. “Lagipula aku nggak mau menikah sama orang asing yang nggak aku cintai.”“Bukan maksud tante menganggap kamu sebagai beban, Lun. Justru tante sedang berusaha merancang masa depan yang baik buat kamu," kata Ola menggebu-gebu. “Percaya sama tante, Luna.”Kaluna memegang keningnya, dia tidak mengerti dengan keinginan tantenya yang tiba-tiba begini.Kaluna tahu bahwa Ola harus merawatnya setelah ayah dan ibunya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil, tapi dia juga tahu bahwa ada setumpuk uang yang ditinggalkan kedua orang tuanya sehingga Ola tidak perlu merasa terlalu terbebani. Jadi, untuk apa Ola mulai mendesaknya untuk menjodohkannya di usia yang sebegini mudanya?Di kediaman orang tuanya, Estefan juga sedang menghadapi desakan yang sama dari Vivian. "Rey, kenalan saja dulu. Menikahnya bisa kapan-kapan," bujuk Vivian. "Bu, aku sibuk mengajar. Aku masih bisa mencari jodoh saat aku benar-benar s
Ola begitu berambisi untuk mengatur pertemuan Kaluna dengan putra dari salah seorang kenalannya, sementara Hendra justru terlihat tidak mau ikut campur dengan rencana yang disusun istrinya untuk sang keponakan. “Apa menurutmu ini tidak terlalu buru-buru? Keponakan kita masih sekolah.” komentar Hendra. “Kamu terlalu berambisi ....”“Shh!” desis Ola. “Kamu lihat, Luna baru bisa mendapatkan semua harta orang tuanya kalau dia sudah menikah. Setidaknya kita harus menemukan calon suami yang mau kita ajak kerja sama.”Hendra mengangguk saja karena dia merasa bahwa itu sudah urusan keluarga sang istri.Jadilah Ola mengatur sendiri pertemuan itu tanpa meminta izin Kaluna terlebih dahulu. Kaluna sendiri begitu heran saat sang tante tiba-tiba mengajaknya ikut arisan yang diadakan di rumah salah seorang teman. "Kok tumben aku diajak, Tante?" tanya Kaluna dengan wajah heran."Biar kamu sekali-kali melihat dunia luar," jawab Ola beralasan. "Tante mau kamu sedikit berbaur dengan orang lain seperti
Estefan hanya tersenyum singkat, tak lebih dari satu detik dan dia segera menarik tangannya sendiri sampai lepas dari genggaman Kaluna. "Ah, maaf ...!" "Kamu boleh pulang sekarang," kata Estefan datar seakan mengusir keberadaan Kaluna dari ruang kesiswaan. Kaluna mengangguk sopan sebelum akhirnya dia berlalu pergi meninggalkan Estefan yang sedang membereskan meja. "Lun, jangan lupa besok kamu harus ikut tante arisan." Ola mengingatkan ketika Kaluna tiba di rumah dengan diantar sopir pribadi. "Besok ...? Aku kira masih minggu depan!" Kaluna pura-pura lupa sambil meringis memandang tantenya. "Nggak ada alasan," sahut Ola sambil mencubit pelan pipi Kaluna. "Dunia luar itu indah, Lun. Jadi nggak ada salahnya kamu ikut tante arisan. Teman-teman tante kadang bawa anak mereka juga." Kaluna hanya diam mendengarkan, dia tahu alasan Ola lebih memilih mengajaknya daripada mengajak anaknya sendiri yang seorang laki-laki. "Malas banget ..." keluh Kaluna sambil menjatuhkan diri di tempat tid
Ketika Ola begitu mengagumi penampilan Kaluna dengan kecantikannya yang luar biasa, Hendra justru terlihat ragu-ragu menyaksikan keponakan satu-satunya didandani layaknya perempuan dewasa.“Kamu sepertinya berlebihan, itu keponakan kamu sendiri lho!” komentar Hendra dengan berbisik saat Ola duduk di sampingnya. “Kamu jangan terlalu kelihatan berambisi di depan Luna ...”“Shh!” desis Ola, sebisa mungkin dia bicara tegas tanpa mengeluarkan suara. “Kamu lihat kan, Luna begitu anggun. Ya ampun Sayang, sini senyum sebentar.”Kaluna sempat memandang tantenya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Melihat Kaluna hanya duduk diam di belakang, Ola buru-buru mengingatkannya bahwa ini hanyalah acara arisan biasa. Setelah itu Ola segera mendesak suaminya untuk pergi mengantar mereka ke lokasi pertemuan.Di sepanjang perjalanan, Ola selalu menyuruh Kaluna untuk tersenyum lebih sering daripada biasanya. Lama-lama Kaluna jadi merasa janggal dengan sikap tantenya yang terlalu berlebihan untuk sebuah aca
Di waktu yang sama, tapi di tempat yang berbeda ....Dewangga duduk di meja belajar sambil menumpangkan satu kakinya ke atas kaki yang lain, sementara jarinya sibuk menggulir layar ponselnya. "Estefan Reyvonda ...?" gumamnya sembari mengingat-ingat sesuatu dalam benaknya. Dewangga merasa seperti pernah melihat wajah dingin yang tampak di layar ponselnya itu, tetapi dia hanya samar-samar membayangkannya. Tidak berapa lama kemudian, satu tangan Dewangga membentuk kepalan dan meninju ujung mejanya dengan keras hingga beberapa barang yang ada di atasnya ikut bergetar seakan merasakan kemarahannya yang mulai bergolak. "Nggak peduli siapapun dia, aku akan tetap menuntut balas ..." geramnya sembari menyipit menatap foto laki-laki dewasa muda itu dengan kebencian yang menggelora di dada. Sementara itu di rumah, Vivian dan Ola sengaja melanjutkan perbincangan mereka di ruang keluarga untuk memberi waktu bagi Kaluna dan Rey agar saling mengenal satu sama lain secara alami. "Saya tidak mengi