Share

8. Kembalinya Sang Pewaris Tahta

Jakarta, Indonesia

Tujuh tahun kemudian...

“Kak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.” Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi.

Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. “Kamu masih juga suka sama dia?”

“Iya. Masih suka banget,” jawab Vanilla bersemangat.

“Dia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?” tanyanya sekali lagi, memastikan.

Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. “Emangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.”

Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. “Iya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.”

“Ihhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!”

Vanilla memang segigih itu kalau sudah menginginkan sesuatu. Dan yang bisa Valentino lakukan hanya menuruti keinginan sang adik.

“Oke-oke. Kamu boleh ikut malam ini.”

Vanilla melompat dan berteriak senang. “Benar, ya? Jangan ingkar janji loh. Aku mau cari baju dulu.”

Diras telah kembali ke Indonesia sebulan yang lalu saat ayahnya meninggal dunia. Sebagai pewaris satu-satunya EFY Group Diras tak punya pilihan selain menetap kembali di tanah kelahirannya. EFY Group sendiri adalah perusahaan multinasional yang bergerak di beberapa bidang. Finansial, properti, sumber daya alam, fashion, serta hiburan. Lalu malam ini, semua teman Diras sepakat mengadakan penyambutan untuk sang putra mahkota yang baru mendapat tahtanya.

“Diras...”

“Ya... my bro...”

“Apa kabar, man?”

“Ngapain aja lo selama ngilang di Landon?”

“Eh, masih hidup lo, bro?”

Semua sambutan itu terucap saat Diras pertama kali masuk ke dalam ruang VIP kelab yang mereka kunjungi.

“Ya,” jawab Diras seadanya tanpa berusaha beramah tamah, lalu duduk di sofa kosong terdekat. Jujur ia sedikit malas pergi ke sini. Jika bukan karena embel-embel 'sudah lama tidak ketemu' dan pentingnya menjaga relasi Diras tak akan datang. Rapat pemegang saham baru dilakukan minggu lalu. Hari ini tepat seminggu ia menjabat sebagai presiden direktur. Masih banyak hal yang harus dia urus, termasuk menyelesaikan proyek terakhir ayahnya. Orang yang meninggal secara tiba-tiba.

Tak ada yang siap akan kehilangan pimpinan perusahan yang sudah berkontribusi selama hampir empat puluh tahun itu. Maka dari itu Diras memiliki tugas dan tanggung jawab besar sekarang. Apalagi di usianya yang baru tiga puluh empat tahun banyak orang yang masih meragukan kemampuannya.

“Jadi gimana Landon?” Valentino datang dan duduk di sampingnya. “Katanya waktu itu cuma mau liburan. Nyatanya lo di sana selama tujuh tahun.”

“Ya, gitu deh. Gak ada yang istimewa. Cuma pengin cari pengalaman aja di sana.”

Mendadak Kiram datang mendekati keduanya. “Sebenarnya Diras gak mau balik kar---“ Diras langsung membekap mulut sahabatnya.

“Bacot. Mending tutup mulut lo deh.”

Kiram mengangkat kedua tangan tanda menyerah. “Oke. Sori deh.” Lalu beralih pada Valentino. “Dia makin sensitif sejak tinggal di Landon.”

“Orang paling sabar pun bakal berubah sensitif kalau ngomong sama elo, Ram,” cibir Diras kesal.

Bro, lo butuh kehangatan matahari. Bagus deh lo tinggal lagi di sini. Cuaca dingin benar-benar bikin lo tambah beku.” Kiram mengambil gelas minuman, tergoda untuk menyiramnya ke wajah Diras.

Valentino hanya menggeleng melihat dua sahabatnya sejak kecil beradu mulut. “Lo sendiri kenapa balik, Ram?”

Akhirnya setelah banyak pergolakan batin Kiram lebih memilih meminum minumannya, dan menjawab Valentino, “Gue cuma sebentar doang di sini. Padahal gue ke sini buat nemenin si kampret,” laki-laki itu menunjuk Diras dengan dagunya, “tapi orangnya malah gak tahu terima kasih.”

“Jadi lo mau balik ke Landon lagi?” tanya seorang teman yang lain.

“Ya. Tapi beberapa waktu ini gue mau di sini dulu. Hepi-hepi lah. Hahaha...”

Beberapa orang menimpali perkataan Kiram. Lalu mereka saling mencibir, bercanda, dan tertawa bersama.

“Kak...” Vanilla datang mendekati Diras, Valentino yang paham pun bergeser memberi tempat duduk untuk adiknya. “Kakak apa kabar?”

Diras bergeser sedikit saat Vanilla duduk terlalu mepet padanya. “Baik. Kamu... Vanilla, kan?”

Wajah Vanilla berubah cerah. Tangannya menyelipkan sejumput rambut ke balik telinga. “Iya. Aku Vanilla, Kak. Dulu Kakak pernah mumpet di kamar aku waktu Kakak sama Kak Tino mecahin guci di rumah kami.”

Bukan hal yang aneh jika Diras selalu menghabiskan waktu liburannya dengan menginap di rumah teman. Dan rumah Valentino adalah salah satu tempat yang sering ia kunjungi setiap libur sekolah ketika malas berada di rumah. Setidaknya begitu sebelum Vanilla mulai mengikutinya ke mana-mana.

“Oh, iya.”

“Rasanya baru kemarin kita masih main bareng bertiga,” ucap Vanilla sambil membasahi bibir. Tubuhnya perlahan semakin mendekat ke arah Diras lagi. “Kakak bakal terus di sini, kan?”

“Rencananya sih gitu.”

By the way, lo beneran jadi sponsor salah satu pameran seni rupa di Singapura?” Valentino sengaja memancing pembicaraan ini. Jika berhasil adiknya bisa punya alasan untuk bertemu Diras di pameran tersebut. Sementara itu Vanilla senang setengah mati mendengarnya. Sejak kecil orang tuanya mendukung dia yang berminat di bidang seni rupa.

Bukankah ini pertanda baik sebab Diras menunjukkan ketertarikan pada bidang yang digeluti Vanilla?

“Lo tahu dari mana?” tanya Diras merasa tak nyaman.

Valentino menunjuk Kiram yang sedang mengobrol heboh dengan teman-temannya yang lain.

“Sialan. Tuh anak gak bisa jaga rahasia.” Diras menyambar segelas minuman.

“Kenapa hal ini rahasia?” tanya Vanilla penasaran. Mungkin saja Diras melakukan ini karena dirinya. “Apa ada sesuatu?” Matanya mengedip dengan cantik, menunggu jawaban.

“Bukan rahasia sih.” Diras tak bisa mengatakan kalau ia malas jika orang-orang tahu setiap hal yang sedang atau ingin ia kerjakan. Dan sepertinya temannya si mulut bocor itu senang sekali mengumbar-umbar setiap hal yang ia lakukan. “Gimana kabar orang tua kalian?” Akhirnya Diras memilih mencari topik pembicaraan lain.

“Baik,” jawab Vanilla sedikit sebal. Bukan ini respons yang ia inginkan. Namun tak masalah, mungkin Diras hanya malu mengatakan secara terus terang kalau ia tertarik dengan seni karena Vanilla. Baiklah, Vanilla akan mendesak Diras mengatakan yang sebenarnya. “Kenapa Kakak tiba-tiba jadi sponsor pameran seni? Aku gak tahu Kakak tertarik di bidang itu.”

“Ini penting untuk suatu hal,” jawab Diras seadanya.

“Penting untuk apa?” Mata perempuan itu berbinar-binar penuh harap.

Diras hanya melihatnya sekilas dan mengembuskan napas. “Kenapa kamu penasaran banget?”

“Ya... Kakak kan tahu aku tertarik sama seni. Aku juga udah sering berkunjung ke galeri-galeri terkenal di seluruh dunia.” Gadis itu memainkan ujung rambutnya. “Kayaknya pameran itu menarik deh, Kak.”

“Kalau kamu tertarik, datang aja.”

“Benar?” Wanita itu terpekik senang.

“Ya.”

Vanilla terlihat semakin senang. Diras tak mengerti kenapa ia sesenang itu. Lagi pula semua orang bisa datang ke pameran itu selagi mampu membeli tiketnya.

***

Sincerely,

Dark Peppermint

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status