Singapura
Nadhima bangkit dengan berhati-hati agar anak-anaknya tidak terbangun. Artemis dan Apollo memang suka bertanya yang tidak-tidak.
“Dari mana bayi berasal?” Nadhima tersenyum geli, lalu berganti raut murung. Ingatan itu tak seharusnya dimunculkan lagi. Apalagi tentang malam itu. Nadhima menggeleng kemudian keluar dari kamar.
Tenggat waktu komiknya tinggal satu hari lagi. Malam ini pun dia harus kembali lembur.
“Ayo, semangat,” ucap Nadhima saat sudah duduk di depan drawing tab miliknya.
***
“Ada apa, Sayang?” tanya Nadhima begitu melihat sang anak pulang dengan wajah merengut.
Apollo bersedekap angkuh. Dagunya terangkat tinggi. “Mama, aku sudah tidak tahan lagi.”
Nadhima meneguk ludahnya. Jangan-jangan ada yang mengejek Apollo anak haram seperti dirinya dulu.
“Tidak tahan apa? Ayo, cerita sama Mama!” Nadhima menepuk sisi sofa di sampingnya dengan khawatir.
Apollo duduk di samping sang ibu masih dengan bersedekap. “Aku tidak tahan. Mereka semua bodoh. Satu gadis itu apa lagi.”
“Maksudnya?”
Apollo mendesah lelah. “Aku selama ini sudah menahan diri. Tapi anak-anak di kelasku bodoh semua. Terutama Daphne. Mama tahu, gadis itu masih memakai tas Elsa di umurnya yang sudah tujuh tahun. Mama bayangkan! Dia bukan bayi. Dia tujuh tahun, Ma. Tujuh tahun!” ucap Apollo, seolah orang yang ia ceritakan melakukan hal paling tabu di dunia.
Gadis itu kan berumur tujuh tahun, bukannya tujuh puluh tahun. Apa salahnya suka Frozen, jawab Nadhima dalam hati. Namun ia hanya mengangguk-angguk menyimak cerita sang anak.
“Rambutnya pun aneh sekali. Setiap hari dia menempel benda-benda aneh di rambutnya. Waktu itu dia mengepang rambutnya dan menempel bunga-bunga banyak sekali di sana. Dia kira dia putri dalam dongeng apa?” Wajah bulat Apollo mencibir lucu. “Hari ini lebih parah lagi. Dia menguncir dua rambutnya dan memakai pita aneh yang sangat besar. Dia pasti mengira dirinya tampak lucu. Padahal tidak. Anak-anak laki-laki terus menggodanya. Mereka menarik rambutnya yang aneh itu.” Nadhima menahan senyum melihat wajah Apollo yang memerah karena kesal. “Dia kelihatan senang sekali mengejar mereka yang mengganggunya. Seharusnya dia mengikat rambutnya biasa-biasa saja biar tak ada yang mengganggu. Iya kan, Ma?” Apollo mendongak pada sang ibu meminta persetujuan.
“Menurut Mama tak ada salahnya menghias rambut dengan cantik.”
“Ha? Mama pasti bercanda. Tapi anak-anak laki-laki---”
“Dan Mama yakin Daphne senang bermain dengan mereka,” ucap Nadhima berusaha tampak seserius mungkin, sengaja ingin menggoda putranya.
Apollo tampak akan meledak. “Dia senang? Tidak mungkin. Dia bodoh sekali.” Apollo semakin cemberut. “Mereka sangat nakal. Kenapa dia senang?”
Meski gemas Nadhima jadi tidak tega putranya kecewa begitu. “Sayang, anak-anak itu mengganggunya pasti hanya bercanda. Apa Daphne terluka saat bersama mereka?”
“Tidak,” jawab Apollo tanpa mau melihat wajah ibunya.
“Jika tak ada yang terluka atau marah, Mama rasa tak ada salahnya. Kecuali jika Daphne benar-benar terganggu dan menangis, saat itu kau harus menolongnya.”
“Hah... kenapa aku harus menolongnya?”
“Tentu saja karena kalian teman.”
“Aku tak suka gadis itu.” Apollo semakin membuang muka dari ibunya.
Iya, kau suka padanya, sahut Nadhima dalam hati.
“Dan, Apollo...”
“Hmm?”
“Kau tidak boleh menyebut teman-temanmu bodoh. Itu tidak baik.”
Kali ini Apollo menatap ibunya. “Kenapa? Mereka memang bodoh. Aku harus terus mempelajari pelajaran bayi karena mereka.”
“Sayang, hanya karena sesuatu mudah untukmu bukan berarti mudah juga untuk orang lain.”
“Ha... aku kesal sekali!” Nadhima sontak melihat pada putrinya yang baru pulang.
Artemis langsung mengambil tempat kosong di sisi lain sang ibu. “Kenapa dia payah sekali.”
Ya, ini dia. Keluhan lain dari para genius.
“Mama, aku benar-benar tak mengerti. Apa susahnya coba menggambar jerapah. Aku sudah menunjukkan caranya berkali-kali, tapi dia sama sekali tak bisa mengikuti. Padahal ada contohnya. Tinggal gambar saja apa susahnya coba.”
Bibir Nadhima menarik garis tipis, lalu ia memasang senyum ibu-lembut-penuh-pengertian yang biasanya. “Sayang...”
“Iya, aku tahu,” sahut Artemis duluan. “Tidak semua orang bisa melakukan apa yang kulakukan.”
“Kalau begitu seharusnya kau sudah mengerti, kan?”
“Aku masih tak mengerti.”
“Aku juga,” sahut Apollo. “Itu tak mengubah kenyataan kalau mereka lebih bodoh daripada aku. Lalu kenapa hanya aku yang harus memahami mereka. Lagi pula bagus mereka sadar kalau mereka memang bodoh. Kita harus tahu batas dan kemampuan kita, kan? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Tak ada salahnya dengan hal itu.”
“Benar, aku setuju dengan Apollo. Mereka jauh lebih payah daripada aku.”
“Sayang, ini bukan masalah siapa yang lebih baik. Ini masalah hati dan perasaaan. Jika kau mengatakan orang lain bodoh dan ingin mereka sadar bahwa kemampuan mereka di bawahmu, artinya kau orang yang sangat egois dan jahat. Tak ada orang yang senang direndahkan begitu. Tak ada orang yang mau dikatai bodoh. Walau mereka sendiri sadar mereka tak sepintar Apollo atau seberbakat Artemis, bukan berarti mereka tak akan sedih kalian sebut payah.” Nadhima menatap anak-anaknya secara bergantian. “Jika Mama memaksa kalian bernyanyi sebagus Celine Dion, dan Mama mengatai kalian payah karena tak bisa, memangnya kalian tidak kesal?”
Kedua bocah tersebut hanya diam.
“Coba sekarang kalian bernyanyi!”
Kedua anaknya mendesah. “Ah, Mama.”
“Kenapa?”
“Aku tak bisa menyanyi,” jawab Artemis. Sementara Apollo hanya berdiam diri saja.
"Kenapa tak bisa? Itu kan hanya bernyanyi. Semua orang bisa melakukannya."
Apollo menjawab, "Tapi tak semua orang memiliki suara sebagus Celine Dion."
Nadhima tersenyum. "Ada sesuatu yang tak bisa diubah. Jadi jangan menghina orang tersebut karena kekurangannya. Kira-kira bagaimana perasaan kalian kalau teman sekelas mengejek suara kalian?”
“Sedih, marah,” jawab Artemis. "Kan bukan salahku kalau suaraku tak seindah para penyanyi."
“Apollo?” tanya Nadhima.
“Ya, ya, aku tak akan suka. Itu menyebalkan.”
Meski tak sebaik Artemis, Apollo cukup bagus dalam menggambar. Nilai akademik Artemis pun cukup baik dibanding teman-temannya yang lain. Dan menyanyi adalah salah satu bidang yang mereka tak bisa kuasai.
“Kalau begitu kalian janji tak akan berkata buruk ke teman lagi?”
“Ya,” jawab Apollo.
“Iya, Mama. Aku hanya kesal pada Rose," Artemis membela diri. "Aku tak pernah mengatainya.”
“Kau masih berteman dengan anak itu?” Apollo mencibir.
“Lihat, Mama,” adu Artemis. “Apollo mengejek Rose.”
Apollo langsung melengos. “Aku tak mengejek kekasih Jack itu.”
“Oh, kau bercanda Apollo.” Gantian Artemis yang tampak mencibir kakak laki-lakinya.
Nadhima menggeleng mendengar anak-anak sekarang yang sudah pacar-pacaran. “Mama tak pernah mendengar tentang Jack? Apa Rose suka padanya?”
“Mama tak pernah nonton film itu?” tanya Artemis dengan wajah polosnya.
Nadhima berpikir sejenak dan langsung kaget. “Film?" sentaknya agak terlalu keras. “Film apa yang kau maksud, Artemis?”
Tak mungkin film itu, kan?
Jack? Rose? Lukisan bugi---
Astaga!
“Serius Mama tidak tahu?” Kini giliran Apollo yang menjawab. “Bukannya film itu sangat terkenal? Jack dan Rose. Yang kapal tenggelam itu, Mama.”
Tidak, tidak. Jangan anak laki-lakinya juga.
Napas Nadhima tercekat. “Kalian tahu film itu dari mana?”
“Miss Harisson,” jawab keduanya serantak.
Lagi? Miss Harisson lagi? Sebenarnya apa yang sudah perawan tua itu lakukan pada anak-anaknya yang manis?
“Nak, kalian tak boleh menontonnya. Bagaimana bisa Miss... Miss Harisson...” Nadhima tak tahu harus berkata apa.
“Ada apa lagi, Ma?” Artemis tampak curiga. “Kenapa lagi-lagi tak boleh? Miss Harisson boleh menontonnya sampai menangis.”
“Benar,” sambung Apollo. “Dia memanggil-manggil Jack seolah kekasihnya sendiri yang tenggelam.”
Sudah diputuskan, Miss Harisson adalah contoh yang buruk untuk anak-anaknya.
“Film itu untuk orang dewasa. Kalau kalian menontonnya kalian tak akan bisa tumbuh dewasa.”
"Bagaimana bisa---"
"Untuk orang dewasa!" tegas Nadhima.
“Baiklah,” jawab Artemis akhirnya. “Lagi pula kami tak sengaja melihatnya.”
“Kapan kalian melihatnya?”
Artemis menjawab, “Saat Mama pergi menemui Tante Melati dan menitipkan kami di rumah Miss Harisson. Saat terbangun ingin buang air kecil kami mendengar Miss Harisson menangisi Jack.”
Oh, Jack yang malang. Tapi syukurlah Miss Harisson tak dengan sengaja mengajak anak-anaknya menonton.
“Jadi kalian hanya melihat Jack yang meninggal?”
“Iya. Jack tenggelam. Memang kenapa?” tanya Artemis.
“Tidak apa-apa,” jawab Nadhima cepat.
“Tapi besoknya Miss Harisson berkata Jack juga suka menggambar. Benar aku tak boleh menontonnya?”
“Tak boleh!”
Nadhima bisa gila. Jack seniman yang tak senonoh untuk putrinya.
“Jadi bagaimana pameranmu, ha?” Lebih baik Nadhima mengalihkan pembicaraan saja.
Artemis menjawab dengan agak malas, “Pamerannya minggu depan. Seperti yang kukatakan sejak berhari-hari yang lalu. Mama tenang saja. Kalau lukisanku terjual aku akan membelikan sebuah toko untuk menjual alat-alat gambar untuk Mama. Kita bisa mengurusnya bersama.”
***
Sincerely,Dark PeppermintSingapura "Kenapa lo mendadak tertarik sama seni dah?" tanya Kiram sambil melihat-lihat lukisan. "Iseng aja. Keluarga gue harus keliatan dermawan kan." Kiram mendecih. "Kalo mau keliatan dermawan tuh donasi ke mana gitu kek. Kirim bantuan makanan ke Afrika atau apa gitu. Terus suruh wartawan cetak beritanya besar-besar. Ananda Diras Efendy, pemimpin baru EFY, si tampan dan dermawan yang menyumbangkan uang sebesar 1 triliun rupiah untuk anak-anak di Afrika. Terus seluruh surat kabar, berita televisi, sampai artikel di internet memuat kebaikan hati lo itu.” Kiram tersenyum lucu. “Lo ngelakuin ini karena perusahaan mainan itu, kan? Leoco?” “Kalau udah tahu kenapa nanya?” “Basa-basi aja." Kiram mengedikkan bahu. "Kenapa lo tertarik banget sih sama pabrik mainan? Emang apa hebatnya? Lo juga kagak punya anak.” Terkadang pertanyaan Kiram bisa sangat bodoh dan tidak berguna. Yang dia ucapkan hanya supaya ada hal yang
“Kenapa tidak boleh?” Artemis tampak ingin menangis. Dengan tegas Nadhima mengutarakan keberatannya, “Mama sudah pikirkan. Sebaiknya kau sekarang fokus sekolah saja dulu. Bagaimanapun kau hanya anak-anak Artemis. Apa kau tak ingin punya kehidupan normal seperti anak-anak pada umumnya?” “Tidak! Aku mau ikut pameran! Pokoknya aku mau terus ikut pameran itu.” Nadhima sudah menduga tak akan gampang membujuk anaknya. Ia sendiri tak masalah jika ikut pameran memang keinginan Artemis sendiri, tapi sekarang tak bisa lagi. Ada masalah yang lebih gawat. “Apa kau segitu inginnya membuka toko alat gambar itu dengan Mama? Kau tak perlu melakukan ini. Mama yang akan mengumpulkan uangnya. Karya baru Mama menunjukkan hasil yang bagus. Kau tak perlu melakukan ini.” “Aku tak melakukannya hanya karena Mama, aku melakukannya untuk diriku sendiriku juga. Ini mimpiku, Mama.” Hati Nadhima teriris. Bagaimana bisa ia menghancurkan mimpi anaknya seperti ini. Ta
“Dan sekarang kita pergi ke rumah penduduk setempat buat bujuk bocah ingusan ikut pameran lagi,” Kiram masih saja mengeluh. “Kalo lo gak seneng mending turun deh.” Diras memutar kemudi ke kiri sesuai petunjuk G****e Maps. “Gue lebih suka pergi sendiri daripada harus dengar ocehan lo terus.” “Uhh.. dinginnya. Ras, lo jelas banget butuh gue buat masalah ini. Emang lo kira mudah apa buat bujuk mahmud.” “Siapa Mahmud?” Kiram terawa terbahak. “Pengetahuan lo tentang bahasa gaul menurun. Tujuh tahun di Inggris bikin lo sekuno kakek gue. Mahmud tuh singkatan mama muda. Gue yang sama-sama tinggal di negeri orang juga tahu.” Kiram berhenti sejenak. “Lo jelas gak tahu gimana teknik memenangkan hati perempuan dari kata-kata. Man, wajah aja sekarang tuh gak cukup. Apalagi buat para mama. Plus, lo juga pasti gak paham gimana memikat hati anak perempuan.” Diras tak menjawab. “Hah... lo diem lagi. Apa gak bisa lo jawab dikit aja buat nunjuki
“Apollo?” Nadhima mengernyit menatap dua orang yang sedang membelakanginya itu. Apollo sedang berbicara dengan orang asing. “Permisi, Anda-anda sekalian ini siapa?” Diras berbalik ke belakang dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Dengan Ibu Nadhima?” tebak Diras. Hal ini sama sekali tak Diras sangka-sangka. Wanita itu sangat sesuai dengan tipe kesukaannya. Wajah, postur, dan hal yang paling menonjol, lehernya. Benarkah dia ibunya Apollo dan Artemis? Sementara itu Nadhima juga tampak kaget. Namun bukan karena wajah Diras terasa familier, melainkan karena pria itu menggunakan bahasa Indonesia. Jujur saja perasaannya berubah waswas. Indonesia tak pernah berarti baik untuknya. “Iya. Anda siapa, ya?” Nadhima mendekati Apollo dan memeluk bahunya. Bentuk perlindungan yang tanpa sadar ia lakukan. Sebenarnya Diras sudah bersiap jika mendadak Nadhima akan berkata, "Kamu! Cowok berengsek! Ngapain kamu di sini, ha? Setelah ngelupain saya yang lagi hamil, k
“Seharusnya kau jangan memakai pita bodoh begitu kalau tidak mau diganggu anak laki-laki,” cibir Apollo melihat Daphne yang ngos-ngosan sehabis mengejar anak laki-laki yang menarik rambutnya. “Kau tidak belajar dari kesalahan ya.”Wajah cantik Daphne cemberut. “Memang apa salahnya? Aku memakainya karena cantik.”Apollo semakin kesal. “Kau pasti senang sekali mengejar anak laki-laki begitu.”“Apa? Apa maksudmu? Kau menganggap aku ini genit?” Daphne kecil tak habis pikir, ia sungguh memakainya karena cantik.“Aku tak berkata begitu. Aku hanya bilang kau terlihat senang. Dan pita itu sama sekali tak cantik. Kau kelihatan bodoh memakainya."Pipi Daphne menggembung. Wajahnya memerah. “Kau benar-benar menyebalkan,” jeritnya lalu meninggalkan Apollo.Apollo sendiri hanya diam. Memperhatikan rambut Daphne yang bergoyang-goyang karena pergerakannya. Perlahan wajahnya memera
“Jadi Artemis tidak ada di sana?”“Tidak, Mrs. Nadhima. Artemis tidak datang kemari. Kukira dia ikut pameran.”“Dia tak mengikutinya, Bu. Kalau begitu saya tutup teleponnya. Jika Ibu bertemu Artemis tolong hubungi saya.”Nadhima gelisah. Sejak tadi Artemis tak kunjung pulang. Padahal hari sudah mulai sore. Ia sudah menelepon sekolah, teman-teman Artemis, Mrs. Leong, dan juga akademi menggambar yang diikuti Artemis, semuanya tak tahu di mana dia.Miss Harisson yang sedari tadi mendengarkan percakapan di telepon terlihat tak kalah cemas. “Coba kau hubungi ponselnya sekali lagi. Mungkin tadi dia hanya tidak mendengar.”“Iya.” Sekali lagi Artemis tak menjawab panggilannya. “Apollo ada di taman bukan, Miss Harisson?”“Iya. Dia pamit untuk pergi bermain. Mungkin saja mereka bermain bersama.” Sedikit harapan terpancar di wajah kedua wanita itu. Mungkin Artemis hanya
“Ada dua perawatan yang dapat diterapkan. Pertama pemasangan ransel verband sebagai penopang. Anda diharuskan untuk istirahat total selama dua bulan dan bahu tak boleh digerakkan.”Tulang selangka Diras patah. Sebelum Nadhima berhasil meraih Artemis laki-laki itu sudah lebih dulu menyambarnya, lalu terserempet badan truk, kemudian terjatuh. Artemis tak mengalami luka serius. Namun Diras terluka cukup parah. Terutama lengan kanannya yang terasa amat menyakitkan saat digerakkan.“Metode kedua adalah operasi pemasangan pen. Sehari setelah pemasangan Anda sudah bisa menggerakkan tangan Anda.”“Lo gak takut operasi, kan?” Kiram yang mendampingi Diras bertanya.“Enggaklah.” Sejujurnya Diras masih malas menanggapi Kiram. Tubuhnya sakit dan ia mudah merasa kesal. Namun jika ia marah sekarang, Nadhima yang sejak tadi menatapnya khawatir pasti akan semakin merasa bersalah.Setelah mendengar beberapa penjelasan
“Mama minta maaf karena buat kamu ikut dalam kekacauan tadi.”“Kenapa Mama selalu merasa bersalah. Aku memang anak kecil, tapi Mama gak perlu melindungiku sampai segitunya. Aku paham beberapa hal, dan aku terima semua itu, Mama.”Nadhima terdiam. Apollo paham dan tak masalah disebut anak haram serta menerima hal tersebut.“Itu bukan salah Mama. Yang penting selama ini Mama baik samaku dan Artemis. Gak bersyukur banget kalau aku masih merasa kurang padahal udah punya Mama. Dan gak tau diri banget kalau aku nyalahin Mama.”Yang penting bukan status kelahiran anak tersebut, anak siapa yang dia lahirkan itu, tapi cara orang itu memaknai dan menjalani hidupnya sebagai orang tua. Tak semua orang beruntung mendapat pernikahan yang layak. Memiliki hubungan yang normal. Sekuat apa pun ia telah berusaha.Dan lagi apa salah anak itu sampai dilabeli "haram". Saat ia sendiri tak tahu kenapa ia berada di dunia ini. Saat ia bel