Hari ini ia kembali menjadi anak yang tak tahu aturan. Sudah berkali-kali ia tidak mendengarkan perkataan orangtuanya, tidak menaati aturan di desanya, dan kali ini, ia kembali menerobos masuk.
Bukannya ia tak pernah mendapat teguran. Sudah berulang kali ia diperingatkan, sudah kesekian kali ia mendapatkan hukuman, namun nyatanya ia tak pernah jera dalam melakukan kenakalannya.
Baru empat hari yang lalu ia genap berusia delapan belas tahun, tetapi, saat ini, ia telah resmi dinobatkan menjadi seorang Muka Panto. Bukan jabatan yang dicapai karena kerja keras atau perjuangan, melainkan karena anugerah yang dibawanya sejak lahir. Dan karena ia telah menjadi seorang Muka Panto perempuan pertama, sekaligus termuda, maka segala kelebihannya itu menjadi perdebatan yang begitu menguras emosi dari semua Panarima Mandat yang ada.
“Ini adalah keputusan yang sangat berbahaya. Muka Panto tidak seharusnya seorang perempuan,” seorang Panarima Mandat dengan tubuh bercahaya be
Berjalan di posisi paling depan, langkah Gunawan mendadak terhenti. Kedua matanya membelalak. Mulutnya sontak menganga. Di ujung penglihatannya, seberantak tulang belulang berserakan di mana-mana.“Ada apa?” tanya Sukra. Ia ikut melongok. “Sialan! Tulang-tulang siapa ini?”Mendengar kegaduhan di depan, beberapa Penjaga lainnya sontak merangsek maju.“Kenapa bisa banyak sekali?” gumam Buda. Tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.“Tidak salah lagi, ini pasti tulang belulang manusia,” Tumpak ikut bergumam sembari kepalanya memutar melihat sekitar. Sorot matanya tertumbuk pada beberapa tengkorak yang sudah tak lagi berbentuk.Paramarta berjongkok di dekat salah satu tengkorak. Ia mendengus. Ada aroma anyir yang tercium. “Sepertinya sebagian tulang belulang ini masih baru." Ia mengambil salah satu tulang. Melihatnya lebih dekat. “Lihat saja, masih ada sisa-sisa jaringan yang belum me
Di ujung dedaunan yang bergumul berkelindan, ekor mata Darangga menangkap selarik cahaya jingga. Sekejap, langkahnya tertunda. “Berhenti,” ia berseru.Hampir berbarengan, pergerakan barisan di balik punggung Darangga terhenti. Beberapa sempat tersentak tatkala mendengar instruksi yang diberikan sekonyong-konyong.“Sebentar lagi akan gelap, kita istirahat di tempat ini,” ujar Darangga. Ia lalu berbalik. “Bagi jadi dua kelompok. Satu kelompok mencari kayu bakar, dan satu kelompok lagi menyiapkan lahan untuk tempat istirahat.”“Siapa yang menyuruhmu memberikan perintah? Kau bukan pemimpin di sini,” tukas Sukra.“Jadi, begitu?” Darangga menyunggingkan senyum sebelah sudut. “Silakan. Kita lihat, apakah kau punya rencana yang lebih baik?”Dengan mulut terkatup, Sukra hanya bisa membisu di tempatnya berdiri. Kedua tangannya kuat mengepal.Melihat ekspresi dari lawan bicaranya,
Kedua mata Ben terus menyipit. Keningnya terlipat. Kulit keriputnya seakan mengencang ditarik otot-otot yang terkadang menolak usia yang sudah tak lagi muda. Di depannya, dengan posisi terduduk di atas kursi, seorang lelaki telah basah kuyup terguyur peluh.“Apa lagi yang kau curi, Saka?” Ben bertanya dengan nada tinggi. Wajah itu mengintimidasi.“A—aku tak mencuri apa pun,” tergagap, Saka berusaha menjawab.“Bohong! Kau pasti mencuri sesuatu lagi dari tempat ini!” hardik Ben.“Tidak. Sungguh. Aku tidak mencurinya.”“Lalu?”Saka menundukkan kepala. Tak mungkin lagi ia berbohong. Perlahan, ia mulai membuka suara, “Aku hanya meminjamnya … sebentar.”Telah mendapat jawaban yang diinginkan, Ben bangkit berdiri. Tersenyum tipis. “Barang apa yang sekarang kau ambil?” ia kembali bertanya. Kali ini nada suaranya sedikit diturunkan.Saka tak
Gundukan bekas api unggun sisa semalam kini hanya mengepulkan cerih-cerih asap ke udara. Tepat setelah cahaya matahari memperjelas pandangan, kesembilan Penjaga desa Jamahitpa bergegas kembali melanjutkan perjalanan. Di depan, Paramarta gantian bertugas memimpin jalan.Di tengah-tengah perjalanan, beberapa kali sudah, kesembilan lelaki itu dikejutkan oleh kehadiran orang-orang berpenampilan mengerikan yang tanpa ancang-ancang langsung menyerang. Dalam kondisi semacam itu, jelas tak ada lagi pilihan. Mereka harus terus berjalan sembari menggenggam erat senjata di tangan. Bersiap kapan saja memulai pertarungan.“Aku sudah tak kuat. Kita harus istirahat dulu,” gumam Wrahaspati yang berjalan di bagian paling belakang. Tubuhnya tiba-tiba merosot jatuh.“Tuan Muda, kau tak apa-apa?” Tumpak beringsut cepat.Wrahaspati mencureng ke arah Tumpak. “Aku kelelahan, Bodoh! Cepat. Suruh mereka berhenti.”“Ba⸺baik, Tuan.&r
Kedua mata Gunawan tak beranjak menerawang ke dalam gumpalan kabut. Kedua kakinya tak mungkin lagi melangkah lebih jauh. Kabut pekat di depannya kini telah benar-benar memangkas jarak pandang.“Apa benar semua kabut ini ada akibat benturan kekuatan dua pendiri kerajaan?” gumam Gunawan dengan mata berbinar. Ada rasa takut bercampur kagum.“Tak kusangka, akan sedahsyat ini kekuatan mereka,” berdiri di sebelah Gunawan, Paramarta ikut bergumam, sama takjubnya.“Kita tak lagi punya banyak waktu,” kata Darangga. “Kita harus mencoba melewati jembatan ini.” Ia menarik napas panjang. Kedua kakinya lalu bergerak. Melangkah masuk ke dalam gumpalan kabut.“Bagaimana, Tuan?”“Jangan tanya aku, Budak!”“Kau dulu, Adikku,” kata Gunawan kepada Paramarta. “Aku akan berada tepat di belakangmu.”Sontak, Paramarta mengerling ke arah samping.“Suda
Dari ekor matanya, dua tiang menara raksasa berdiri kokoh, menjulang tinggi menyentuh langit. Di kiri dan kanan, ada dua tali baja seukuran satu batang pohon besar, yang masing-masing membentang menuju ke satu ujung menara.Pandangan Buda lalu menyapu ke arah bawah. Lantai jembatan itu tampak masih bisa dilalui. Walau terlihat jelas, di beberapa titik ada bagian-bagian berkarat yang mestinya sudah harus diganti.Sekilas kemudian, Buda mengangkat kepala. Mengamati latar hitam yang menaungi Jembatan Pertemuan. Langit gelap dengan hanya sedikit penghias sudah cukup meremangkan bulu kuduknya. Sedari tadi, ia tak henti-hentinya mengedip-ngedipkan bola mata. Menelan ludah. Apa yang ia lihat ternyata tak berubah.Sangsi pun bertumbuh. Berjalan semakin dekat ke arah jembatan, degup jantung Buda semakin tak karuan.“Jangan terlalu banyak berpikir. Inilah konsekuensi yang harus kau ambil.” Berada tepat di belakang Buda, Marca berbisik sinis. “Cepa
Kedua mata Marca tetap awas menerawang. Tak begitu sulit menemukan ranting kering di lebatnya semak belukar ketika cahaya bulan menyorot tepat di tempatnya berdiri. Tangannya lalu terjulur, satu lagi ranting kering berhasil ia kumpulkan.“Terima kasih kau telah menolongku,” Buda berkata kepada Marca. Di saat yang sama, ia juga tengah berburu ranting-ranting kering. Di tempat itu, hanya ada mereka berdua.Marca terdiam. Begitu saja, ia melangkah pergi.“Kau harus memberi tahuku bagaimana semuanya bisa terjadi? Bagaimana kau bisa tahu mengenai semua hal itu? Bagaimana kau tahu, kalau dengan mandi di sungai, kita bisa melihat wujud Jembatan Pertemuan?”Langkah Marca tertunda. Ia telengkan kepala. “Kurasa tak akan ada satu pun dari pertanyaanmu yang akan kujawab,” ujarnya, dingin. “Lebih baik kau mempercepat gerakkanmu. Ini sudah larut malam. Kita harus segera beristirahat.” Dengan pandangan lurus, Marca melanju
Satu per satu bulir keringat berjatuhan. Sambil mengepalkan kedua tangan, Kuja bangkit berdiri. “Siapa berikutnya?” ia edarkan pandangan. Melihat sekeliling.Puluhan lelaki sontak berdiri gemetaran. Perempuan muda yang kini tengah mereka hadapi sangat jauh dari kesan anggun dan menawan—seperti yang sempat dibayangkan di awal. Waktu pertama kali Kuja hadir pun, ada aura yang amat jauh berbeda dari perempuan kebanyakan.Dua hari lalu, Luca membawa Kuja ke sebuah tempat rahasia. Sebuah tempat yang sangat tersembunyi dan hanya diketahui oleh segelintir orang. Namun sebelum sampai ke tempat yang dijanjikan itu, mereka berdua terlebih dahulu berdiri di pinggiran tebing curam. Memandangi riak air laut yang bergerak tak menentu.“Kita akan turun ke bawah sana?” Kuja melongok, mengamati tebing terjal yang dihempas berkali-kali oleh ombak-ombak besar.Luca mengangguk. “Ikuti aku.” Ia lalu berjalan ke sebuah rumah usang yang