“Dan namaku sendiri adalah Lesayu,” pria separuh baya bertubuh bungkuk itu memperkenalkan diri. Ia palingkan wajah, melihat ke arah perempuan muda di dekatnya. “Keluarlah dulu. Biar aku yang menjaganya.”
“Baik, Ayah.” Eshal bangkit berdiri. “Oh, iya. Ayah,” langkahnya sesaat tertunda, ia telengkan kepala, “jangan lupa, manusia itu harus segera meminum ramuannya.”
Lesayu mengangguk halus, lalu melirik ke arah pintu. Memberikan kode agar anaknya segera keluar dari ruangan.
Setelah menyaksikan punggung Eshal menghilang di balik pintu kayu, lekas-lekas Lesayu mengalihkan perhatian ke arah Marca. “Tenangkan dulu dirimu. Kau harus banyak-banyak beristirahat. Lukamu cukup parah.”
“Apa yang sudah kau lakukan kepadaku? Di mana ini?”
“Kami membawa kalian ke desa kami. Desa Sikmatu.” Lesayu beringsut mendekat ke arah Marca. “Ini. Minumlah,” ucapnya semb
Ia sendiri tak pernah berencana untuk melakukan ini semua. Intuisinya yang menggiring langkah kakinya hingga sampai di rumah masa kecil yang sudah beberapa tahun tak pernah ia kunjungi lagi. Seharusnya juga tidak untuk saat ini.Di ujung malam menuju pagi, pintu kayu berserat kasar itu diketuk secara berendeng. Jelas sekarang bukan waktu yang tepat untuk datang bertamu, tetapi Rea tak peduli. Ada hal penting yang harus segera ia selesaikan.Pintu terbuka, dan seorang pria separuh baya yang muncul dari balik pintu seketika mencureng dengan kedua mata memerah.“Apa kebiasaan burukmu itu tidak dapat kau rubah sedikit saja?” tukas Bunaga. Melihat kedatangan anak semata wayangnya, ia tampak bersungut-sungut.“Apa yang telah Ayah rencanakan?”Sambil berkacak pinggang, Bunaga memandang lekat-lekat wajah Rea. “Sudah berapa kali aku memperingatkanmu untuk tidak mencampuri urusanku?”“Aku tidak akan pern
Sang surya kini tengah menempati singgasana tertingginya di atas langit sana, namun entah mengapa, cahayanya bagai redup. Tertutup kepulan awan pekat. Tak ada rintik hujan. Hanya kilatan cahaya yang terus-terusan menyambar.Di tengah-tengah himpitan jajaran bangunan yang tinggi menjulang, sebuah bangunan besar yang tengah dikerubungi oleh banyak orang tampak temaram. Di dalamnya, suasana terasa begitu menegangkan. Mencekam. Mengerikan.Ketiga sosok pria separuh baya duduk bersama dengan wajah terlipat. Mereka tengah menantikan kehadiran seseorang. Ini adalah kali pertama, sejak terakhir kali mereka berada di satu ruangan yang sama. Hampir dua puluh tahun lamanya.Meja besar berbentuk persegi menjadi pemisah antara satu dan yang lainnya. Mereka bertiga telah bersepakat untuk tetap duduk saling berjauhan. Dari dulu memang seperti itu. Tak ada satu pun dari mereka yang mau berdekatan, kecuali dengan satu tujuan.Seorang pria berusia separuh baya—berper
Sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh ayahnya, Eshal telah menyiapkan beberapa gelas air bersih yang ia letakkan di dekat nampan. Air di dalam gelas-gelas itu akan digunakan untuk mengguyur wajah Marca yang sudah tak sadarkan diri sejak semalam.Semoga ini benar-benar berhasil, memegang satu gelas berisikan air, batin Eshal mulai meragu. Tepat ke arah wajah Marca, Eshal menyiramkan air dalam gelas itu. Sekejap, kelopak mata, beserta mulut Marca membuka. Tarikan napas panjang spontan dilakukan. Kedua paru-parunya seakan menagih jatah udara segar dalam jumlah besar.“Di mana aku?” terengah, Marca bertanya.“Kau masih di rumahku.”Dengan mata sembap, Marca berusaha menatap lamat-lamat perempuan muda di sampingnya. “Apa aku belum mati?” ia bertanya kembali.“Sayangnya belum. Kalau sudah kau pasti tidak akan bisa lagi berbincang denganku seperti ini.”Merasa tugasnya telah usai, Eshal
Di mata Kuja, Bunaga, kakeknya, adalah sosok paling misterius yang tak mungkin Kuja selami jalan pikirannya. Selama ini, meski berstatus sebagai seorang cucu, Kuja tak pernah mengenal Bunaga layaknya seorang cucu mengenal kakeknya. Hubungan mereka berdua tak lebih dari seorang Tetua dan penduduk desa.Bunaga sendiri adalah seorang Tetua Desa yang dikenal memiliki kepribadian tertutup. Ia akan bicara seperlunya. Bertindak seminimal mungkin. Ia tidak akan ikut berdebat dalam pengambilan keputusan jikalau hal yang didebatkan itu bukanlah urusan penting. Dan acap kali, keputusan yang diambil oleh Bunaga justru menjadi satu-satunya keputusan yang paling jitu untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap terlampau rumit bagi banyak orang. Dan lagi, teruntuk sebagian besar penduduk desa, Bunaga sering dianggap sebagai pemimpin yang sebenarnya.Sambil menimang-nimang keputusan yang telah ia ambil, Kuja berjalan pelan meninggalkan rumah. Hatinya kecut. Sebenarnya, Kuja tak yak
Denging suara hewan-hewan kecil menggiring langkah mereka untuk semakin jauh memasuki daerah hutan desa Neras. Dengan penuh kewaspadaan, Wakaru memutar bola matanya. Perangkap bisa ada di mana saja. Ia dan rombongan harus tetap berhati-hati jika tak ingin terperosok ke salah satu jebakan yang kemungkinan besar ada di depan.Dalam sekejap, sekelumit pergerakan kecil menarik perhatian semua orang.“Siapa itu?” tanya Sanna, setengah berseru.Berjalan di posisi paling depan, Wakaru menoleh ke belakang. “Bodoh! Kecilkan suaramu!” desisnya.“Ba—baik, Wakaru.”“Kita harus tetap waspada. Jangan terlalu banyak bicara. Musuh kita kali ini bisa saja mengintai dari sudut yang tak kan pernah kita duga.”Beberapa Penjaga desa Podom di balik punggung Wakaru sontak menganggukkan kepala. Segera, mereka kembali melanjutkan perjalanan dengan pandangan mata tetap awas mengamati sekitar.Sementara itu,
Jika saja Eshal sempat menemukan alasan yang pas untuk menolak perintah ayahnya, pastinya tanpa berpikir panjang alasan itu sudah langsung terlontar keluar dari mulutnya. Sejak awal kedatangan rombongan tamu yang datang tanpa diundang, Eshal sudah sependapat dengan sepupunya—Axelle—ia tak akan sudi menerima orang-orang asing untuk masuk ke desa mereka. Kembali.“Ke mana kita akan pergi?” memecah kesunyian, berjalan tepat di belakang Eshal, Buda mengajukan pertanyaan.Eshal yang bertugas memimpin barisan tak memberikan respons apa pun. Baginya, pertanyaan itu sama sekali tak butuh jawaban.“Eshal!” dari kejauhan, seorang lelaki berteriak memanggil.Eshal mengerling. Suara itu terlalu familier untuk diabaikan. Di ujung penglihatannya, ada seorang lelaki bertubuh tinggi dengan dada bidang yang terlihat tengah berlari secara tergesa. Axelle?“Ada apa?” tanya Eshal.“Apa yang kau laku
Usai melewati beberapa rumah penduduk, Eshal membawa rombongannya ke ujung tembok batu yang terlihat gagah menjulang. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu besi. Dari dalam saku celana, ia meraih sebuah anak kunci. Eshal lalu memasukkan anak kunci itu ke dalam lubang pintu. Perlahan, memutarnya searah jarum jam.Pelan-pelan, tangan Eshal bergerak meraih tuas. Bersiap memutarnya. “Sebentar lagi kita akan memasuki daerah bebas,” ucapnya kepada para Penjaga desa Jamahitpa. “Bersiaplah.”Tuas pun diputar, dan pintu besi di hadapan Eshal membuka. Cahaya matahari seketika menyengat nyalang. Dari sorot matanya, Marcapada merasa area hutan di depannya sungguh sangat jauh berbeda dari area hutan yang pernah ia lewati sebelumnya. Di sana, pohon-pohon tumbuh jarang dan saling berjauhan. Sejauh pandangan mata ditebarkan, tak tampak satu pun semak belukar yang biasanya bergumul mesra dengan batang pohon ataupun berbagai macam tumbuhan lain.&ldquo
Sebelum menaiki hewan tunggangannya, ke arah dua makhluk bersisik yang masih lahap menyantap daging manusia, Muriel menoleh.“Muriel. Kau mau ke mana lagi?” tanya Mormo yang melihat Muriel telah naik ke atas punggung hewan berbulu putih.Tak menjawab, Muriel justru melenggang pergi. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.“Kurang ajar,” damprat Behemoth yang langsung bangkit berdiri.“Sudahlah, Behemoth. Biarkan saja,” kata Mormo sambil menyeka sisa-sisa darah di sekitar mulutnya. Wujudnya kini telah kembali berubah menjadi manusia. “Muriel memang seperti itu.”“Tetapi kali ini dia benar-benar keterlaluan. Dia sama sekali tak menganggap kita ada.”Tak lagi menyahuti, perhatian Mormo justru teralih ke arah lain. Ia merasa ada pergerakan mencurigakan dari balik semak belukar yang posisinya berada lumayan jauh dari tempatnya berdiri sekarang.“Ada apa, Mormo?”&ldq