Masuk
Dua tahun. Sudah hampir dua tahun Raya menikahi pria yang dianggapnya sebagai jaminan masa depan.
Sebuah kesepakatan bisnis yang dibungkus dengan embun-embun cinta.
Ardava adalah pria yang tampan, mapan, dan yang terpenting disetujui oleh ibunya.
Di atas kertas, mereka sempurna. Sebuah pasangan yang layak menghiasi majalah gaya hidup.
Tapi di malam hujan yang dingin ini, di dalam penthouse mewah yang menjadi sanggah hidupnya, kesempurnaan itu retak menjadi seribu kepingan.
Penthouse mewah yang dulu terasa aman kini dingin seperti kuburan. Belakangan Ardava makin sering “lembur”, makin jarang pulang, makin jarang menyentuhnya. Ada sesuatu yang hilang… atau seseorang.
Pintu terbuka. Ardava masuk, masih tampak rapi meski mengaku kelelahan. “Konferensi melelahkan. Aku mandi dulu.”
Konferensi. Padahal siang tadi, Raya mendengar acara itu dibatalkan.
Ia tak menjawab. Tatapannya terkunci pada ponsel Ardava di meja kopi. Begitu shower menyala, layar ponsel ikut menyala. Ikon aplikasi dengan hati merah—aplikasi yang dulu menghancurkan pernikahan orang tuanya.
Profil Ardava terbuka. Ardava, 36. Lajang.
Dadanya seperti ditusuk. Lalu notifikasi muncul menampilkan layar notifikasi emoticon hati menyala.
Citra: I’m so happy today! Besok kalau kamu keluar kota lagi, kabarin aku ya, sayang.Raya menjatuhkan ponselnya. Rasanya seperti terbakar. Dunia yang susah payah ia bangun kembali runtuh, sama seperti tujuh tahun lalu ketika ia meninggalkan Jagara demi pria “lebih pantas”.
Pintu kamar mandi terbuka. Ardava muncul hanya dengan handuk.
“Raya? Kamu kenapa?”“Aku tahu semuanya.” Raya mengangkat ponselnya, tangan bergetar. “Tentang Citra. Tentang aplikasi itu. Tentang status kamu.”
"Aku akan hubungin pengacara. Aku mau cerai."
Kata 'cerai' itu membuat Ardava membeku. "Cerai? Raya, kamu gila? Karena satu kesalahan kecil?"
"Satu kesalahan kecil?" Raya membentak, air matanya yang tahan ia pecahkan. \
Ini bukan yang pertama.
Itu adalah kalimat terakhir Raya sebelum ia membanting keras pintu kamarnya.
Dengan napas memburu, ia menatap sekitar. Ia tidak bisa tinggal di rumah ini. Ia tidak bisa tinggal di mana pun di Jakarta. Di tengah kehancurannya, ia membuka laptopnya dan memesan tiket satu arah.
Sambil mengetik 'Bali' di kolom pencarian tiket, hatinya kembali diserang penyesalan. Tujuh tahun lalu, ia melakukan hal yang sama.
Ia memilih pria yang dianggap 'sempurna' oleh ibunya dan membuang Jagara, pria yang rela berlutut di koridor kampus, memohon agar dirinya jangan pergi.
**
Dengan mata sembab dan hidung yang memerah, Raya menarik koper pink usangnya saat pintu Bandara Ngurah Rai Bali menyambutnya.
Udara pantai yang lembab dan hangat langsung menerpa wajahnya, membawa aroma khas Bali, perpaduan antara garam laut, dupa, dan bunga frangipani, yang sudah hampir lima tahun tidak ia hirup.
Ia bersusah payah menarik koper itu, sebuah penampung segala kesedihan dan satu-satunya barang yang ia bawa saat kabur dari rumah, mencoba menghentikan sebuah taksi berwarna kuning yang tumben tidak berjejer di depan bandara seperti biasanya.
Ia mematikan ponselnya sejak meninggalkan rumah. Ia butuh ketenangan. Ia ingin menjauh dari hiruk pikuk dunia yang baru saja menghancurkannya, dari segala panggilan dan pesan yang mungkin masih terus berusaha menembus pertahanannya.
Berjalan tergopoh-gopoh di atas aspal yang panas, tiba-tiba ia mendengar suara crack yang keras. Hak sepatu heels yang ia kenakan—sepatu mahal yang dulu ia beli untuk menemani Ardava ke sebuah gala dinner—patah. Keseimbangannya buyar, dan dengan satu gerakan tidak berdaya, ia terjatuh membentur aspal yang kasar.
Nyeri tajam menusuk lututnya. Ia menoleh, sebuah goresan luka yang menganga berdarah dengan rasa ngilu yang menjalar hingga ke persendian.
Sialnya, pagi ini ia mengenakan celana pendek denim dan baju kaos oversize yang sudah lama tak ia pakai, pakaian yang dulu ia simpan di lemari karena merasa 'tidak pantas' dikenakan oleh seorang istri dari lelaki terpandang seperti Ardava.
"Atas nama Liraya Nadindra, kamar premium deluxe dengan total menginap satu minggu, betul?" tanya si resepsionis.
Raya mengangguk saat pria itu mengkonfirmasi, ia masih seperti belum memiliki kekuatan penuh untuk bersuara.
Kepalanya menoleh ke sekeliling, mendapati suasana lobi yang hening dan bersih khas hotel mewah. Ia menunggu proses check-in, menunggu kunci kamarnya, sambil berusaha mengabaikan nyeri di kakinya yang semakin terasa perih.
Hingga samar, sebuah suara dari meja resepsionis di sebelahnya membuyarkan lamunannya. Suara yang terdengar profesional, namun ada sesuatu dalam nama yang diucapkan yang membuat seluruh sistem saraf Raya membeku.
"Jagara Raksa Baskarana, untuk tipe president suite, benar?"
Tubuh Raya mematung. Darahnya yang tadi mengalir pelan di pembuluh nadi, tiba-tiba terasa berdesir kencang, seolah dilempari ribuan jarum es. Dan dengan gerakan yang sangat lambat, seolah ia ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar, kepala Raya perlahan menoleh ke arah sumber suara.
Dan di sanalah ia melihatnya.
Jagara, berdiri di sana.
Dua hari berlalu sejak pertengkaran hebat itu. Dua hari tanpa Jagara. Raya menggunakannya sebagai sebuah pelepasan, sebuah upaya sia-sia untuk mencari kembali potongan dirinya yang berserakan di mana-mana. Ia berkeliling Bali. Ia menyaksikan matahari terbenam yang dramatis di Uluwatu, duduk di atas tebing karang sambil menikmati pertunjukan Tari Kecak yang magis, di mana puluhan pria bertelanjang dada mengiringi cerita Ramayana dengan suara "cak, cak, cak" yang hipnotis. Tanpa ponsel, tanpa gangguan. Hanya dirinya seorang diri dan keajaiban Bali.Ia bahkan berkunjung ke beberapa museum di Ubud, membiarkan dirinya terserap dalam seni dan sejarah, mencoba melupakan penderitaan modernnya. Tidak sampai disana, Raya juga menikmati pijatan Bali yang kuat dan menenangkan, mencoba meremas remas-remas ketegangan di otot-ototnya yang sudah terbentuk selama berminggu-minggu. Kemudian, ia membeli beberapa baju baru, gaun-gaun sederhana yang terasa lebih 'layak' untuk dikenakan, dan berakhir
Raya menggeliat dengan gerakan tak tentu arah. Sakit. Kepalanya terasa seperti dihantam palu godam dari dalam, sementara perutnya berputar-putar seperti ada penggilingan daging di sana. Ia meringis kesakitan sambil memegangi kening dan perutnya secara bersamaan. Setiap otot di tubuhnya terasa menolak untuk diajak bergerak. Tenggorokannya terasa kering gersang, seperti padang pasir yang kehausan selama berabad-abad.Dengan sisa tenaga yang tersisa, gadis itu bangkit dan duduk di tepi tempat tidur yang terasa terlalu besar. Matanya menatap sekeliling ruangan yang samar-samar, sebelum ia menemukan sebuah gelas berisi air mineral yang sudah siap di atas nakas. Secepat kilat, Raya menyambar gelas itu dan meneguknya dengan ganas, tanpa memedulikan air yang tumpah membasahi bajunya, sampai gelas itu kosong. Masih dengan tangan yang mengacak-acak rambutnya yang kusut, Raya perlahan membuka matanya sepenuhnya. Dan sebentar, ini bukan kamar premium deluxe yang ia pesan. Ruangan ini… terasa
"Bli, Arak Attacknya satu lagi, ya."Itu adalah gelas ketiga Raya malam ini. Ditemani suasana malam Bali yang menyejukkan, ia duduk di atas beanbag besar yang mengarah langsung ke arah pantai. Suara musik house yang diputar dengan volume rendah dari speaker tersembunyi, bersyukur karena di lantai dasar hotel yang ia tempati, terdapat sebuah beach club eksklusif yang bisa dikunjungi khusus untuk tamu hotel yang menginap.Jadi, setelah setengah hari sia-sia mencoba berselancar dan berniat pergi berbelanja baju baru, Raya memutuskan untuk memulai malam dengan cara yang lebih efektif: meminum minuman beralkohol keras dan melupakan semuanya terlebih dahulu.Salah satu alasan mengapa ia menyukai Bali adalah karena di sini, tak akan ada yang menatapnya aneh. Semuanya tampak asing dalam kesendirian masing-masing. Seorang wanita yang mabuk seorang diri dengan tatapan kosong yang mengarah ke lautan lepas hanyalah pemandangan biasa. Begitu sempurna untuk pelariannya.Dengan pandangan yang suda
"Raya?"Satu kata itu, yang diucapkan dengan suara serak yang masih terasa familiar namun lebih dalam dari yang Raya ingat, berhasil membekukan waktu. Tubuh Raya menegang seketika. Ia seperti melihat hantu dari masa lalunya yang bereinkarnasi menjadi sosok yang begitu sempurna. Dan dalam beberapa detik selanjutnya, dunia Raya yang baru saja hancur berantakan seakan berhenti berputar. Seakan roda kehidupan hanya berfokus pada satu titik: sosok yang begitu menawan di hadapannya."Kamu... kamu ngapain disini?" Dan saat suara Jagara kembali terdengar, indra pendengaran Raya seakan perlahan pulih. Digantikan dengan wajah gelagapannya, seolah bertemu dengan malaikat pencabut nyawa yang berwujud tampan.Namun belum juga Raya menjawab, kepala Jagara menoleh ke arah belakang Raya, matanya menyisir ruangan kosong di belakangnya, seolah mencari sosok lain di sana."Sama suami kamu?"Jelas, gelengan kecil itu Raya keluarkan. Ia seperti kehabisan kata-kata untuk menjawab, seolah pita suaranya t
Dua tahun. Sudah hampir dua tahun Raya menikahi pria yang dianggapnya sebagai jaminan masa depan. Sebuah kesepakatan bisnis yang dibungkus dengan embun-embun cinta. Ardava adalah pria yang tampan, mapan, dan yang terpenting disetujui oleh ibunya. Di atas kertas, mereka sempurna. Sebuah pasangan yang layak menghiasi majalah gaya hidup.Tapi di malam hujan yang dingin ini, di dalam penthouse mewah yang menjadi sanggah hidupnya, kesempurnaan itu retak menjadi seribu kepingan.Penthouse mewah yang dulu terasa aman kini dingin seperti kuburan. Belakangan Ardava makin sering “lembur”, makin jarang pulang, makin jarang menyentuhnya. Ada sesuatu yang hilang… atau seseorang.Pintu terbuka. Ardava masuk, masih tampak rapi meski mengaku kelelahan. “Konferensi melelahkan. Aku mandi dulu.”Konferensi. Padahal siang tadi, Raya mendengar acara itu dibatalkan.Ia tak menjawab. Tatapannya terkunci pada ponsel Ardava di meja kopi. Begitu shower menyala, layar ponsel ikut menyala. Ikon aplikasi denga







