Masuk"Raya?"
Satu kata itu, yang diucapkan dengan suara serak yang masih terasa familiar namun lebih dalam dari yang Raya ingat, berhasil membekukan waktu.
Tubuh Raya menegang seketika. Ia seperti melihat hantu dari masa lalunya yang bereinkarnasi menjadi sosok yang begitu sempurna.
Dan dalam beberapa detik selanjutnya, dunia Raya yang baru saja hancur berantakan seakan berhenti berputar. Seakan roda kehidupan hanya berfokus pada satu titik: sosok yang begitu menawan di hadapannya.
"Kamu... kamu ngapain disini?"
Dan saat suara Jagara kembali terdengar, indra pendengaran Raya seakan perlahan pulih. Digantikan dengan wajah gelagapannya, seolah bertemu dengan malaikat pencabut nyawa yang berwujud tampan.
Namun belum juga Raya menjawab, kepala Jagara menoleh ke arah belakang Raya, matanya menyisir ruangan kosong di belakangnya, seolah mencari sosok lain di sana.
"Sama suami kamu?"
Jelas, gelengan kecil itu Raya keluarkan. Ia seperti kehabisan kata-kata untuk menjawab, seolah pita suaranya tersumbat oleh rasa sakit yang baru saja ia kubur dan kejutan yang kini menyerangnya bertubi-tubi.
Namun, sekuat tenaga, Raya memberanikan dirinya dan menatap kembali wajah tampan dengan tubuh yang tingginya jauh di atas dirinya. "Kamu sendiri, ngapain disini?"
Ada jeda beberapa detik sebelum Jagara bersuara. Sebuah panggilan dari resepsionis yang melayaninya membuat lelaki itu sempat berpaling sebentar. Dengan gerakan yang efisien, ia menerima seberkas dokumen dan sebuah kertas tebal yang dilipat rapi, mirip undangan berwarna emas yang dibungkus pita cantik.
Kertas... undangan?
Raya mematung, matanya tidak bisa berkedip, melihat bagaimana Jagara berbicara singkat dengan sang resepsionis, tersenyum begitu menawan, senyum yang tidak pernah ia lihat selama tujuh tahun mereka bersama dan baru kemudian kembali menatapnya.
"Saya sedang survey venue," Jagara akhirnya bersuara, dengan wajah tanpa aba-aba dan ekspresi apapun yang bisa dibaca. Kertas yang mengilap itu dijulurkan ke arah Raya.
"Minggu depan saya nikah, Raya."
Raya mematung untuk kesekian kalinya dalam beberapa menit terakhir. Matanya menatap sebuah undangan pernikahan yang kini berada tepat di hadapannya, dengan nama jelas tercetak dengan huruf emas yang elegan
Meski ragu di awal, perlahan ia menjulurkan tangannya yang gemetar, menerima undangan itu dengan sisa-sisa pertahanannya yang sudah runtuh. "Oh.. oh ya? Di... di sini?"
Jagara mengangguk satu kali, hanya satu kali. Singkat. Tegas.
Hal yang mau tak mau, Raya balas dengan senyuman termanis yang bisa ia perlihatkan di tengah puing-puing hatinya. "Selamat ya, Gara. Aku turut seneng dengernya."
"Makasih, Raya," kata Jagara, matanya menatapnya dalam, seolah menembus jiwa. "Mungkin ini semua juga berkat doa kamu waktu itu."
Glek.
Raya menelan ludahnya susah payah. Berkat. Doa Kamu. Katanya. Kalimat itu bukanlah pujian. Itu adalah belati. Pengingat bahwa doanya dulu agar Gara menjadi seseorang yang "layak" di mata ibunya, telah dikabulkan. Tapi doa itu tidak menyertakan dirinya di sisinya.
Karena tak tahu harus merespon apa, Raya memilih diam. Beruntung, resepsionis yang tadi melayaninya memanggil, memberinya kesempatan untuk mengalihkan wajah sendu dari hadapan Jagara.
"Nona Liraya, ini kunci kamar Anda. Kamar premium deluxe nomor 808."
"Terima kasih, Ge," kata Raya pada resepsionis wanita itu. Ia kembali menatap Jagara. "Aku duluan ya, Gara. Lancar sampai hari-Hnya."
Sekali lagi, Jagara mengangguk singkat. "Kalau kamu gak sibuk, mungkin bisa datang, sama suami kamu."
Raya terdiam. Ia seperti mendapatkan karma yang sangat kejam atas ucapan menyakitkannya tujuh tahun lalu. Ia dulu mengundangnya bersama pasangannya, dan kini ia mendapat hal yang sama. Dan Raya hanya bisa menelan semua itu pahit-pahit dan berakhir dengan anggukan singkat.
Ia hanya ingin enyah dari hadapan lelaki itu, meski nyatanya, takdir berkata lain. Karena baru saja tiga kali melangkah, tubuh Raya sempoyongan karna rasa ngilu dari lukanya di lutut yang masih basah oleh darah.
Beruntung... atau mungkin tidak... kedua tangan kokoh Jagara menahan tubuhnya sebelum untuk kedua kalinya ia menabrak lantai marmer yang dingin. Mereka bersentuhan secara singkat. Bau cologne mahalnya yang khas kembali menghirup indra penciuman Raya, membangkitkan ribuan kenangan yang ia coba kubur.
"Kamu gak pa–" Jagara berhenti bertanya saat matanya yang tajam menangkap tetesan darah segar dari arah lutut Raya yang robek.
Dengan gerakan cepat yang mengejutkan, lelaki itu berlutut di depannya dan memeriksa kaki jenjang Raya dengan seksama, sebelum kembali mengangkat kepalanya, menatap gadis itu dengan mata yang penuh kekhawatiran.
"Ini kenapa? Kamu jatuh?"
Secepat kilat, Raya berjalan mundur, melepaskan sentuhan tangan Jagara dari kulitnya yang terasa hangat dan terlarang. Ia menggeleng. Raya yang segera menarik koper pink rusaknya dan berjalan tertatih menuju lift, hanya ingin kabur dari situasi memalukan itu sebelum tarikan tangan Jagara kembali menghentikan langkahnya.
"Raya, kamu luka."
Karena tak tahu harus merespon apa, tawa kecil yang pahit adalah apa yang Raya lakukan. "Aku tau,Gara. Inikan kaki aku."
"Gak lucu," meski nyatanya, wajah serius Jagara justru yang terlihat, membuat Raya bingung. "Kamu sama siapa disini? Temen kamu? Suami kamu? Atau lagi ada kerjaan?"
Tak ingin menjawab pertanyaan bertubi-tubi itu, Raya kembali melangkah mundur, menatap Jagara dengan manik mata seriusnya. Dan setelah itu, Raya kembali melangkah meninggalkan lelaki itu. Ia menekan tombol lift dan menunggu dengan gelisah. Dan saat pintu terbuka, sambaran cepat yang menarik koper pink Raya menyapa.
Tanpa mengatakan apapun, Jagara berjalan mendahului memasuki lift. Tanpa menoleh ke arahnya, hanya membawa koper itu dan menunggu Raya masuk ke dalam bersamanya.
Tak ada yang bersuara. Di dalam lift yang terasa begitu sempit, Raya hanya pasrah dan menekan lantai delapan. Ia bisa melihat bayangan mereka berdua di pintu lift yang mengkilap. Ia, yang kusut dan acak-acakan, dan Gara, yang tampan dan rapi. Kontras yang menyakitkan.
Bahkan sampai pintu lift terbuka di lorong hotel, Jagara hanya berjalan pelan mengikuti langkahnya yang pincang. Tanpa mengatakan apapun.
"Aku nginep di kamar ini." Sampai di depan kamar nomor 808, Raya berhenti sembari menoleh ke arah lelaki itu.
Dan anehnya, tanpa mengatakan apapun, Jagara meletakkan koper itu dengan pelan di depan pintu dan berbalik pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sementara Raya, hanya bisa terpaku menatap punggung kokoh itu yang berjalan menjauh. Ia mengatakan terima kasih dalam hatinya, berulang-ulang, hingga punggung itu menghilang kembali ke dalam lift, meninggalkannya sendirian dengan kehancuran, undangan pernikahan mantan kekasih, dan sebuah luka di lutut yang terasa semakin perih.
Dua hari berlalu sejak pertengkaran hebat itu. Dua hari tanpa Jagara. Raya menggunakannya sebagai sebuah pelepasan, sebuah upaya sia-sia untuk mencari kembali potongan dirinya yang berserakan di mana-mana. Ia berkeliling Bali. Ia menyaksikan matahari terbenam yang dramatis di Uluwatu, duduk di atas tebing karang sambil menikmati pertunjukan Tari Kecak yang magis, di mana puluhan pria bertelanjang dada mengiringi cerita Ramayana dengan suara "cak, cak, cak" yang hipnotis. Tanpa ponsel, tanpa gangguan. Hanya dirinya seorang diri dan keajaiban Bali.Ia bahkan berkunjung ke beberapa museum di Ubud, membiarkan dirinya terserap dalam seni dan sejarah, mencoba melupakan penderitaan modernnya. Tidak sampai disana, Raya juga menikmati pijatan Bali yang kuat dan menenangkan, mencoba meremas remas-remas ketegangan di otot-ototnya yang sudah terbentuk selama berminggu-minggu. Kemudian, ia membeli beberapa baju baru, gaun-gaun sederhana yang terasa lebih 'layak' untuk dikenakan, dan berakhir
Raya menggeliat dengan gerakan tak tentu arah. Sakit. Kepalanya terasa seperti dihantam palu godam dari dalam, sementara perutnya berputar-putar seperti ada penggilingan daging di sana. Ia meringis kesakitan sambil memegangi kening dan perutnya secara bersamaan. Setiap otot di tubuhnya terasa menolak untuk diajak bergerak. Tenggorokannya terasa kering gersang, seperti padang pasir yang kehausan selama berabad-abad.Dengan sisa tenaga yang tersisa, gadis itu bangkit dan duduk di tepi tempat tidur yang terasa terlalu besar. Matanya menatap sekeliling ruangan yang samar-samar, sebelum ia menemukan sebuah gelas berisi air mineral yang sudah siap di atas nakas. Secepat kilat, Raya menyambar gelas itu dan meneguknya dengan ganas, tanpa memedulikan air yang tumpah membasahi bajunya, sampai gelas itu kosong. Masih dengan tangan yang mengacak-acak rambutnya yang kusut, Raya perlahan membuka matanya sepenuhnya. Dan sebentar, ini bukan kamar premium deluxe yang ia pesan. Ruangan ini… terasa
"Bli, Arak Attacknya satu lagi, ya."Itu adalah gelas ketiga Raya malam ini. Ditemani suasana malam Bali yang menyejukkan, ia duduk di atas beanbag besar yang mengarah langsung ke arah pantai. Suara musik house yang diputar dengan volume rendah dari speaker tersembunyi, bersyukur karena di lantai dasar hotel yang ia tempati, terdapat sebuah beach club eksklusif yang bisa dikunjungi khusus untuk tamu hotel yang menginap.Jadi, setelah setengah hari sia-sia mencoba berselancar dan berniat pergi berbelanja baju baru, Raya memutuskan untuk memulai malam dengan cara yang lebih efektif: meminum minuman beralkohol keras dan melupakan semuanya terlebih dahulu.Salah satu alasan mengapa ia menyukai Bali adalah karena di sini, tak akan ada yang menatapnya aneh. Semuanya tampak asing dalam kesendirian masing-masing. Seorang wanita yang mabuk seorang diri dengan tatapan kosong yang mengarah ke lautan lepas hanyalah pemandangan biasa. Begitu sempurna untuk pelariannya.Dengan pandangan yang suda
"Raya?"Satu kata itu, yang diucapkan dengan suara serak yang masih terasa familiar namun lebih dalam dari yang Raya ingat, berhasil membekukan waktu. Tubuh Raya menegang seketika. Ia seperti melihat hantu dari masa lalunya yang bereinkarnasi menjadi sosok yang begitu sempurna. Dan dalam beberapa detik selanjutnya, dunia Raya yang baru saja hancur berantakan seakan berhenti berputar. Seakan roda kehidupan hanya berfokus pada satu titik: sosok yang begitu menawan di hadapannya."Kamu... kamu ngapain disini?" Dan saat suara Jagara kembali terdengar, indra pendengaran Raya seakan perlahan pulih. Digantikan dengan wajah gelagapannya, seolah bertemu dengan malaikat pencabut nyawa yang berwujud tampan.Namun belum juga Raya menjawab, kepala Jagara menoleh ke arah belakang Raya, matanya menyisir ruangan kosong di belakangnya, seolah mencari sosok lain di sana."Sama suami kamu?"Jelas, gelengan kecil itu Raya keluarkan. Ia seperti kehabisan kata-kata untuk menjawab, seolah pita suaranya t
Dua tahun. Sudah hampir dua tahun Raya menikahi pria yang dianggapnya sebagai jaminan masa depan. Sebuah kesepakatan bisnis yang dibungkus dengan embun-embun cinta. Ardava adalah pria yang tampan, mapan, dan yang terpenting disetujui oleh ibunya. Di atas kertas, mereka sempurna. Sebuah pasangan yang layak menghiasi majalah gaya hidup.Tapi di malam hujan yang dingin ini, di dalam penthouse mewah yang menjadi sanggah hidupnya, kesempurnaan itu retak menjadi seribu kepingan.Penthouse mewah yang dulu terasa aman kini dingin seperti kuburan. Belakangan Ardava makin sering “lembur”, makin jarang pulang, makin jarang menyentuhnya. Ada sesuatu yang hilang… atau seseorang.Pintu terbuka. Ardava masuk, masih tampak rapi meski mengaku kelelahan. “Konferensi melelahkan. Aku mandi dulu.”Konferensi. Padahal siang tadi, Raya mendengar acara itu dibatalkan.Ia tak menjawab. Tatapannya terkunci pada ponsel Ardava di meja kopi. Begitu shower menyala, layar ponsel ikut menyala. Ikon aplikasi denga







