MasukOperasi odontektomi dengan komplikasi infeksi itu memakan waktu jauh lebih lama dari perkiraan awal. Dua gigi bungsu tumbuh miring ke arah tulang rahang, satu di antaranya menekan saraf, sementara sisi lain sudah membentuk kantong kista kecil yang meradang. Raya sudah berada di ruang operasi sejak pagi buta, berdiri di bawah lampu sorot putih yang dinginnya seperti menembus tulang, memimpin prosedur dengan konsentrasi penuh.Tangannya bergerak presisi—insisi kecil, refleksi flap mukosa, pengeboran tulang secara bertahap agar tidak merusak saraf. Suara high-speed drill berdengung konstan, menjadi latar yang nyaris hipnotis. Setiap tahap memerlukan kehati-hatian ekstra. Ia tidak bisa terburu-buru. Satu kesalahan saja bisa berarti parestesia permanen bagi pasien.Jam di dinding bergerak pelan, ketika gigi terakhir akhirnya terangkat utuh dan area kista dibersihkan sempurna, Raya menarik napas panjang di balik masker. Jahitan ditutup rapi, perdarahan terkontrol, tanda vital stabil.“Baik
Raya kembali ke kandang emasnya.Terasa megah, mahal, dan sepenuhnya tanpa kehangatan. Dengan helaan napas yang terasa berat di dada. Dua bulan telah berlalu sejak ia kembali ke penthouse ini. Dua bulan yang terasa seperti dua abad. Waktu berjalan, tapi tidak benar-benar bergerak; ia hanya menumpuk, menekan, dan membuat segalanya terasa semakin sunyi.Di tempat ini, keheningan bukan sekadar ketiadaan suara. Ia hidup. Ia berlapis. Dibangun dari bata-bata kebiasaan yang mati, dari obrolan yang tak pernah selesai, dari senyum yang masih dipasang tapi tak lagi sampai ke mata. Raya hidup di antara dinding-dinding itu, terpenjara dalam rutinitas yang rapi dan sempurna di mata orang lain—namun hampa di dalam.Ia ingin pergi.Keinginan itu tumbuh setiap hari, semakin kuat, semakin mendesak. Ia ingin mengakhiri semua ini, ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Ardava yang sesungguhnya sudah lama pergi dari hatinya. Tubuhnya masih berada di sini, menjalani peran sebagai istri, tapi jiwanya… j
Raya selesai berganti baju dan membersihkan diri di kamar mandi yang luas. Ia sudah kehabisan pakaian bersih, sehingga satu-satunya pilihan adalah kemeja putih milik Jagara yang tergantung rapi di belakang pintu. Ia mengenakannya, merasakan kain katun yang lembut dan hangat di kulitnya. Kemeja itu terlalu besar, ujung lengannya menutupi hampir setengah pahanya, dan aroma Jagara yang khas campuran mint dan deterjen masih menempel, sebuah penghibur yang tak terduga di tengah kekacauan hatinya.Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju sumber aroma sedap yang mulai memenuhi apartemen. Dan di sana, di dapur yang disinot cahaya hangat dari lampu sorot, Jagara sudah kembali memasak untuknya. Punggungnya yang tegap menghadap Raya, fokus pada panci di atas kompor. Raya mendekat secara perlahan, lalu memeluk lelaki itu dari belakang, meletakkan kepalanya di punggung Jagara yang bidang. Ia bisa merasakan bagaimana otot-otot lelaki itu sedikit rileks di bawah pelukannya."Padahal aku yang mau m
Ini adalah hari terakhir.Hari terakhir Raya menginap di apartemen Jagara sebelum Ardava kembali besok, sebuah kesadaran yang datang tanpa aba-aba, terasa pahit dan manis dalam waktu yang bersamaan. Seperti meneguk sesuatu yang hangat, tapi meninggalkan rasa getir di tenggorokan.Usai menyelesaikan shift paginya yang melelahkan, Raya tidak langsung pulang. Ia menyempatkan diri berjalan ke minimarket kecil di ujung blok apartemen. Langkahnya pelan, menyusuri trotoar dengan angin sore yang menyentuh kulitnya lembut. Ada tujuan sederhana di kepalanya—sesuatu yang membuat langkahnya terasa lebih ringan dari biasanya.Ia membeli ayam segar, serai, jahe, bawang, beberapa bumbu pelengkap. Tidak ada yang istimewa dari daftar belanjaan itu, namun kantung plastik yang kini menggantung di tangannya terasa berat. Bukan karena isinya, melainkan karena harapan yang tanpa sadar ia titipkan di dalamnya.Lift membawanya naik dalam diam. Ketika pintu terbuka, kesunyian apartemen Jagara langsung menyamb
Raya tahu bahkan sejak awal kalau semua ini berlebihan.Ia tidak sekarat. Tidak pingsan. Tidak sesak napas sampai membutuhkan tabung oksigen. Hanya tiga buah keripik kentang yang ternyata mengandung bumbu udang. Tiga buah saja. Reaksi alerginya pun sudah mulai mereda sejak di perjalanan.Namun tetap saja, kini ia duduk di atas meja pemeriksaan yang dingin, kertas alasnya berkeresek setiap kali ia bergerak, dengan bau antiseptik menusuk hidung dan lampu putih yang membuat kulitnya terlihat lebih pucat dari seharusnya.Ia merasa konyol.Tapi setiap kali Raya melirik ke samping, ke arah Jagara, rasa konyol itu langsung runtuh.Lelaki itu duduk terlalu tegak di kursi besi kecil, telapak tangannya saling mengunci di atas paha. Rahangnya mengeras, otot di pelipisnya terlihat menegang, dan matanya yang biasanya gelap dan tenang—kini memerah, bukan karena marah sepenuhnya, melainkan karena khawatir yang ditahan terlalu lama. Wajah itu membuat Raya tak punya tenaga untuk membantah ketika Jaga
Lampu sorot kecil yang terang menyorot ke arah mulut seorang anak lelaki berusia tujuh tahun di ruang periksa. Raya menyeringai kecil, melihat dengan jelas lubang kecil yang telah mulai menggerogoti geraham susu sang pasien."Sayang, kalau kamu terus makan permen tanpa sikat gigi, nanti giginya jadi seperti lubang galian ini, lho. Nanti kamu nggak bisa senyum lebar lagi kalau main sama teman-teman," kata Raya dengan suara yang lembut namun tegas, sambil menunjukkan gambar di layar monitor.Anak kecil itu mengerucutkan bibirnya, matanya melirik ke arah ibunya yang berstandi di samping ranjang. "Tapi permen itu enak, Dok.""Iya, semuanya yang enak itu kadang berbahaya," jawab Raya, lalu menoleh pada sang ibu. "Sebaiknya dibatasi, Bu. Kasih sebagai hadiah, bukan camilan sehari-hari. Kalau tidak, bisa jadi infeksi dan harus dicabut nanti."Setelah ibu si anak mengangguk mengerti dan membawa putranya keluar, Raya menarik napas panjang. Ia melepas masker wajahnya dengan lembut, meletakkan a







