Bias cahaya lampu gantung jatuh samar ke lantai marmer, memantulkan siluet sepatu hak rendah yang gemetar. Di balik salah satu pintu bilik toilet, suara isakan tertahan terdengar pelan namun memilukan. Sesekali suara itu bergetar—rapuh, seperti benang kusut yang siap putus kapan saja.Jihan duduk di penutup kloset dengan lutut ditekuk, wajahnya terkubur dalam kedua telapak tangan. Bahunya naik turun, napasnya tercekik, dan tangisnya—meski diusahakan pelan—tak mampu ditahan. Bibirnya bergetar, dan kalimat-kalimat penuh kepedihan pun meluncur tanpa sadar dari mulutnya.“Aku tidak menjiplak ... sumpah demi Allah, bukan aku ....” suaranya gemetar, seperti ranting kecil digoyang angin badai. “Jangan ... jangan suspend aku ... kumohon ...”Air matanya jatuh deras, mengalir melintasi pipinya yang kini pucat. Matanya sembab, bibirnya kering. Ia bicara seolah sedang berdialog dengan takdir yang tiba-tiba menusuk dari belakang.Di luar, pintu utama toilet terbuka dengan bunyi klik pelan. Sepatu
Hening.Hanya suara detik jam digital dan desiran AC yang terdengar di ruang kerja Jihan. Matanya terpaku pada layar monitor, jari-jarinya bergerak ragu di atas mouse. Raut wajahnya tegang. Ia sedang menyusun laporan terakhir dari hasil analisis kebutuhan pasar yang ia serap selama dua bulan terakhir—hasil observasi dan diskusi diam-diam dari ruang-ruang pertemuan tempat ia selalu duduk sebagai pendengar diam. Ia tidak menonjolkan diri. Ia hanya menyimak, mencatat, lalu menyusun simpulan.Itu sebabnya Reynand dan tim pemilik proyek mempercayainya mengolah data lintas divisi—karena Jihan, tak seperti yang lain, tidak pernah menuntut sorotan.Namun hari itu, nalurinya terusik. Ada sesuatu yang tak sinkron dalam sistem. File mentah idenya yang ia simpan dalam folder terenkripsi... lenyap.Klik. Klik. Klik. Tidak ada.Napasnya sedikit tercekat. “Apa mungkin aku salah simpan?" Ia bergumam lirih. Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk cepat. Tak lama kemudian sosok itu masuk yang ternyata ad
Gedung Raicore Technology, Lantai 52Suara high heels Alira Rachman bergema di sepanjang lorong kaca, seperti palu hakim yang mengetuk palu vonis. Setiap langkahnya mengandung ritme yang tidak hanya menggetarkan ubin marmer, tapi juga menyiratkan sesuatu yang lebih gelap—sebuah keputusan yang telah bulat, tanpa ruang untuk negosiasi. Ia tak sekadar datang. Ia menyerbu.Penampilannya tampak seperti potongan dari halaman majalah mode ternama—gaun midi berwarna marun membungkus tubuh semampainya dengan presisi tajam, kontras dengan mantel panjang berwarna hitam yang berkibar setiap kali ia melangkah. Rambutnya ditata ketat, terikat tinggi, mempertegas rahangnya yang kaku dan ekspresi wajah tanpa cela: dingin, penuh kontrol, dan menyimpan bara yang belum padam.Ia tidak sekadar memancarkan aura kekuasaan. Ia adalah kekuasaan itu sendiri—berwujud dalam sosok wanita yang tahu apa yang ia inginkan, dan lebih tahu lagi cara mendapatkannya.Sesampainya di ruang eksekutif lantai atas, pintu ot
Begitu pintu rumah tertutup kembali setelah kepergian kedua orangtuanya, suasana seketika terasa lebih senyap, namun bukan berarti lebih tenang. Yang tersisa hanyalah denting waktu yang lambat, dan napas kecil di pelukan Reynand—napas Rangga yang belum juga kembali stabil. Tubuh mungil itu masih melekat erat pada dada ayahnya, seolah takut kehilangan tempat berlindung.Reynand tak bergeming. Bahkan tak sedikit pun menoleh ke arah pintu yang baru saja tertutup. Matanya hanya menatap rambut lembut putranya yang menyentuh dagunya. Tangannya terangkat pelan, membelai ubun-ubun Rangga dengan ritme penuh kasih, berusaha mengusir sisa takut yang mungkin masih bersarang di hati anaknya.“Tidak apa-apa, Nak,” bisiknya lembut, seperti doa yang terlepas dari relung paling dalam. “Ayah di sini.”Ia duduk perlahan di sofa, menggendong Rangga di pangkuannya, mendekapnya seperti menahan dunia agar tidak menyentuh bocah itu terlalu keras. Di balik pelukan itu, terbit sebuah rasa bersalah yang tak te
Dengan langkah berat, Reynand berdiri di depan cermin besar yang tergantung di ruang tamu. Kemeja putih telah terpasang rapi di tubuhnya, namun bukan pakaian yang menjadi fokusnya saat ini. Tatapan matanya kosong, tertuju pada bayangan dirinya yang tampak begitu asing—seorang pria dewasa yang masih dihantui luka masa kecilnya.Pagi itu seharusnya ia jalani bersama Jihan. Namun sebuah kabar mendadak datang. Ayah Jihan jatuh sakit. Tanpa berpikir panjang, Jihan memutuskan pulang ke rumah orangtuanya. Ia bahkan sempat meminta maaf karena tidak bisa mendampingi Reynand menyambut kedatangan kedua orangtuanya.“Maaf, Mas... aku tahu hari ini berat. Tapi Ayah butuh aku,” kata Jihan dengan suara lirih di telepon tadi pagi.Reynand tidak menyalahkannya. Sama sekali tidak. Ia bahkan tidak tahu apakah dirinya memang ingin Jihan berada di sana atau hanya berharap ada seseorang yang bisa dijadikan tameng saat luka lama kembali menganga.Kini, suasana rumah terasa terlalu besar untuk dirinya sendir
Setelah memutuskan telepon secara sepihak, Reynand melempar ponselnya ke arah sofa. Bukan dengan kekerasan penuh, tapi cukup keras untuk menunjukkan betapa tak terbendung amarah yang membuncah dalam dirinya. Pundaknya naik-turun, napasnya berat dan tak beraturan. Wajahnya memerah, bukan karena malu, melainkan karena bara dendam yang selama ini terkubur rapi, kini kembali menyala hanya karena satu panggilan dari masa lalu.Jihan memandangnya dari kejauhan dengan mata yang berkaca. Ia melihat lelaki itu bukan hanya sebagai sosok kepala keluarga, bukan pula sekadar suami, tapi seorang anak laki-laki yang hatinya dicabik oleh pengkhianatan paling kejam dari orang yang seharusnya menjadi tempat paling aman di dunia ini, ibunya sendiri. Dengan hati-hati, Jihan berdiri dari sofa. Rangga masih terlelap dalam pelukannya, maka ia membaringkan anak itu dengan lembut di atas karpet empuk, lalu melangkah pelan menghampiri suaminya. Langkahnya ringan, tapi setiap derapnya membawa keteguhan dan ket