Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri.
Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun, langit masih gelap. Aku meraih ponsel di nakas, dan angka digital menunjukkan pukul lima pagi. Aku menarik napas panjang. Waktunya bersiap-siap—mandi, mencari sarapan, lalu berangkat kerja. Saat mengemudi di jalanan yang masih sepi, mataku sibuk mencari tempat makan. Aku ingin sesuatu yang sederhana, jadi pedagang kaki lima sepertinya pilihan yang tepat—tentu saja yang higienis. Aku menyipitkan mata, melihat tulisan "Tukang Bubur" di seberang jalan. Namun, tidak ada tempat parkir di sana. Akhirnya, aku memutuskan untuk menepi di seberang jalan. Dengan tergesa-gesa, aku turun dari mobil dan mulai menyeberang. Sial. Dari arah kanan, suara deru motor mendekat dengan cepat. Aku membeku. Napasku tercekat. "AAAAAAA!" Aku spontan menutup wajah dengan kedua tangan. Jantungku serasa berhenti berdetak. Cekit... Suara rem mendadak menggema, ban motor berdecit tajam di aspal. Aku terengah-engah, perlahan menurunkan tangan dari wajahku. Astaga, aku masih hidup. "Hati-hati dong kalau nyebrang!" Suara berat itu menusuk telingaku. Aku menoleh dan melihat seorang pria dengan helm full-face menatap tajam ke arahku. Sorot matanya dingin, menusuk seperti bilah pisau. "Maaf, Pak! Maaf!" ucapku cepat, tanpa berani menatapnya lama-lama. Tanpa menunggu responsnya, aku segera berlari menuju tukang bubur. Ya Tuhan, aku benar-benar lapar sekarang. Saat aku sedang menyantap bubur abang-abang, suara seseorang yang aku kenali memanggilku. "Kak..." ucapnya dengan suara lembut. Aku menoleh. Mataku membulat. Sungguh, kenapa aku harus bertemu dengannya sekarang? Mood sarapanku tiba-tiba hilang. "Kakak masih suka makan bubur di sini? Ini kan sarapan kesukaan kita, Kak," ucapnya lagi dengan antusias. Aku baru ingat, ini memang bubur langganan kami. Setiap akhir pekan, kami selalu sarapan di sini, bercanda, saling menyuapi. Rasanya dulu momen menyenangkan itu tak akan pernah berakhir. Aku berdehem. "Aku hanya lapar, jadi ke sini," jawabku dingin. Senyum di wajahnya yang tadi antusias kini memudar. "Kak, apa kita bisa seperti dulu?" tanyanya lirih. "Aku benar-benar sendirian... Aku tidak pernah bisa jauh darimu, Kak." Aku tersenyum samar. Jujur saja, aku juga merindukan adik kecilku yang dulu—Tasya yang dulu, bukan yang sekarang. Tasya yang sekarang terasa begitu asing bagiku. Aku berdeham lagi. "Tasya yang dulu yang kurindukan. Kamu yang sekarang terasa asing," jawabku tanpa memikirkan perasaannya. "Dengan cara apa aku harus meminta maaf, Kak? Apa perlu aku mencium kakimu?" Ia berkata dengan cepat, lalu tiba-tiba menunduk, hendak mencium kakiku. Dengan cepat aku berdiri. Tatapanku marah. Semua orang menoleh ke arah kami. "Apa-apaan kamu, Tasya!" bentakku, tak peduli pada tatapan heran orang-orang. Tanpa berkata lagi, aku bergegas pergi. Sebelum pergi, aku menyelipkan uang lima puluh ribu ke tangan pedagang bubur, lalu berlari. Air mataku jatuh begitu saja. Tasya benar-benar keterlaluan. Maksudnya apa bersikap seperti itu? Apa dia ingin menjatuhkan nama baikku? Atau ada alasan lain? Dia benar-benar sudah berubah. Pukul sebelas malam, aku pulang kerja. Badanku terasa remuk sekali. Saat aku ingin tidur, ponselku bergetar. Ternyata, itu Tasya. Aku memutar bola mataku dengan malas, tetapi panggilan darinya terus masuk. Akhirnya, dengan terpaksa, aku mengangkatnya. "Kak... tolong, Kak! Aku... aku hampir diperkosa!" teriaknya histeris. Seketika tubuhku menegang. "Apa?! Di mana kamu sekarang?!" Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri—Tasya sedang dicekal oleh dua orang pria, sementara satu orang lainnya hendak menyentuhnya. Dengan cepat, Aldo bergerak. Dia memukul dan menendang ketiga orang itu hingga mereka tersungkur. Para pria itu meringis kesakitan, meminta ampun, sampai akhirnya mereka pergi. Tasya berlari menghampiriku, memelukku erat dengan tangis histeris. Keringat dingin membasahi tubuhnya. "Kak... aku takut," isaknya, masih mendekapku. Aku benar-benar tidak tega. Semarah apa pun aku padanya, dia tetap adikku. Dengan tangan bergetar, aku membalas pelukannya dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Tidak apa-apa. Aku ada di sini," ucapku, meski suaraku sedikit bergetar. Aku menatap Aldo. Dia balik menatapku dengan ekspresi yang sulit aku artikan. "Makasih, Do... Kamu selalu ada setiap kali aku butuh bantuan," ucapku padanya. Dia mengangguk pelan dengan senyum khasnya. "Tidak apa-apa. Aku akan selalu ada untukmu," jawabnya, membuat jantungku berdetak tak karuan. "Bukan maksudku mengatur, Nad, tapi lebih baik jangan biarkan Tasya sendirian dulu. Bawa dia tinggal bersamamu sementara. Lihat kondisinya, dia gemetar hebat karena ketakutan," ujarnya lagi dengan nada khawatir. Aku tertegun. Tasya masih memelukku erat, tangisnya belum juga reda. Apakah aku bisa tinggal bersama seseorang yang telah merebut kebahagiaanku?Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl
Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua
"Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur
Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,
Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.
Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek
Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny
Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.
Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra