Home / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

Share

LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-04-09 10:54:22

Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya?

"Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka.

"Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar.

Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku.

"Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

"Kak... maafkan aku," ucapnya lagi dengan suara yang mulai terisak.

Aku menoleh, menguatkan emosiku. Tanganku kulipat di depan dada, menyandarkan tubuhku di tembok.

"Apa kamu pernah berpikir sebelumnya? Tidak, kan? Inilah risikonya telah mengkhianati kakakmu sendiri, Tasya," ujarku dengan nada dingin yang menusuk hatinya.

"Kak, aku mohon... bantu aku. Aku... aku... takut kembali ke kosan, bahkan aku kabur dari rumah sakit. Maafkan aku, Kak. Aku mohon, beri aku kesempatan kedua..." ucapnya dengan isak tangis yang semakin kencang.

" Aku hanya mempunyai kamu di dunia ini. Aku sendirian, Kak..." lanjutnya lagi dengan suara yang semakin bergetar.

Aku menggeram, menatapnya dengan tajam. Dadaku bergemuruh kencang, tanganku mengepal kuat.

"Sudah tahu kamu hanya memiliki aku, tapi kenapa kamu mengkhianati kakakmu sendiri, Tasya!" teriakku dengan suara yang menggelegar.

Muak sekali aku dengannya saat ini. Astaga. Bagaimana bisa aku mempunyai adik seperti dia?

"Aku menyesal, Kak..." lirihnya pelan, hampir seperti bisikan.

Saat aku membuka suara untuk mengusirnya, tiba-tiba dia mengerang kesakitan. Tangannya meremas perutnya.

"Sakit sekali, Kak... tolong!" teriaknya dengan suara bergetar.

Amarahku seketika lenyap, berganti dengan rasa khawatir. Dengan cepat aku menghampirinya dan memeluknya.

"Apa yang sakit, Tasya?" tanyaku panik.

Tubuhnya bergetar hebat. Dengan cepat aku membuka perban di perutnya. Ya ampun! Jahitannya menganga!

Tanpa berpikir panjang, aku menidurkan Tasya dan segera menelepon dokter. Tidak, aku tidak bisa menangani ini sendirian!

Aku masih menggenggam ponsel di tanganku, menunggu dokter mengangkat telepon. Jantungku berdegup kencang, sementara napas Tasya terdengar semakin berat.

"Tasya, bertahanlah... Dokter akan segera datang," bisikku, meskipun aku sendiri tidak tahu apakah kata-kata itu bisa menenangkannya.

Tubuhnya semakin lemah. Keringat dingin membanjiri dahinya, dan bibirnya mulai pucat. Aku meraih tangannya yang gemetar, menggenggamnya erat.

"Kak..." suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Aku menunduk mendekatinya. "Aku di sini, Tasya. Aku tidak akan meninggalkanmu," ucapku, meskipun tadi aku sempat ingin mengusirnya.

Tasya tersenyum lemah, lalu kelopak matanya mulai tertutup perlahan. Panik, aku menepuk pipinya pelan. "Jangan tidur, Tasya! Bertahan, tolong!"

Tak lama kemudian, suara bel apartemenku berbunyi nyaring. Aku melompat berdiri dan berlari membukanya. Seorang dokter bersama seorang perawat masuk dengan membawa perlengkapan medis.

"Dia kehilangan banyak darah. Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang juga!" ujar dokter setelah memeriksa jahitan di perut Tasya yang menganga.

Tanpa pikir panjang, aku mengangguk. Mataku panas, air mata menggenang, tapi aku menahannya. Aku tidak boleh menangis sekarang.

Saat mereka mengangkat Tasya ke tandu, aku menggenggam tangannya erat. "Aku akan ikut," ujarku tegas.

Dokter mengangguk, lalu mereka membawa Tasya keluar. Aku mengikuti mereka dengan langkah tergesa, perasaan kacau balau. Amarahku mungkin belum sepenuhnya hilang, tapi saat ini hanya ada satu hal yang kupikirkan—menyelamatkan adikku.

Aku duduk di samping ranjang rumah sakit, menatap wajah Tasya yang masih pucat. Alat medis terpasang di tubuhnya, menunjukkan betapa kritis kondisinya tadi. Tapi sekarang, napasnya sudah lebih stabil, dan dokter mengatakan bahwa dia mulai membaik.

Aku seharusnya lega. Aku seharusnya merasa tenang melihatnya selamat. Tapi perasaan itu tak kunjung datang.

Tasya membuka matanya perlahan, kelopaknya bergerak lemah sebelum akhirnya melihat ke arahku. "Kak..." suaranya serak.

Aku hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Rasa khawatir yang tadi begitu kuat perlahan tergeser oleh perasaan lain kemarahan, kekecewaan, luka yang belum bisa sembuh begitu saja.

"Maaf..." lirihnya lagi. Matanya berkaca-kaca, penuh dengan rasa bersalah.

Aku menarik napas dalam, mencoba menahan badai di hatiku. Aku ingin mengatakan bahwa aku sudah memaafkannya. Aku ingin bersikap seperti dulu, seperti saat aku selalu melindunginya tanpa ragu. Tapi luka yang dia buat masih ada, masih terasa.

"Yang penting sekarang kamu sembuh dulu," jawabku datar, menghindari tatapan memohonnya.

Tasya menggigit bibirnya, seakan tahu bahwa aku belum bisa memaafkannya. Tapi dia tidak memaksa, hanya mengangguk pelan dan membuang pandangannya ke langit-langit kamar rumah sakit.

Keheningan menyelimuti kami. Aku ingin berbicara, tapi setiap kata terasa terlalu berat untuk diucapkan. Mungkin butuh waktu. Mungkin butuh lebih dari sekadar kata maaf. Aku hanya tahu satu hal—aku belum siap untuk sepenuhnya memaafkan.

Lima hari sudah Tasya dirawat, dan kondisinya mulai menunjukkan kesembuhan. Namun, satu hal yang membuatku heran—kemana Raka?

Dia sama sekali tidak menengok Tasya, padahal aku sudah menelponnya, memberitahu bahwa kekasihnya sedang dirawat di rumah sakit. Aku benar-benar tidak mengerti, bukankah dia mencintai adikku?

Aku pikir Raka benar-benar mencintai Tasya. Adikku bahkan rela merebutnya dariku demi kebahagiaannya. Tapi ternyata, Raka benar-benar pria brengsek. Jika memang dia tidak mencintai Tasya, setidaknya jangan menyakitinya. Cukup aku saja yang merasakan sakit ini, bukan adikku juga.

"Kak, boleh aku tinggal bersamamu?" tanyanya, membuyarkan lamunanku.

Dheg.

Hatiku terasa seperti dihantam ribuan batu. Kenapa dengannya? Apa dia tidak ingat dengan kesalahannya?

Aku menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban di matanya. Tasya tampak lelah, tapi ada ketulusan dalam sorotnya. Namun, hatiku masih terlalu penuh dengan luka untuk langsung menerimanya kembali.

"Tidak. Maaf, Tasya. Kau memang masih adikku, tapi aku rasa hubungan kita tidak akan sehangat dulu," jawabku, berusaha menahan rasa marah, tangis, dan kesedihan yang bercampur aduk dalam hatiku.

Jika orang lain yang mengkhianatiku, mungkin tidak akan sesakit ini. Tapi yang membuat semuanya terasa lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa adikku sendiri, Tasya, yang merebut suamiku.

Dia terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia hanya bisa menangis tanpa mengatakan apa pun.

"Aku akan menyewakan satu kontrakan dekat apartemenku. Aku akan membayarnya selama setahun, sisanya kau usahakan sendiri. Aku juga akan memberimu uang lima juta, tapi hanya kali ini saja. Aku tidak akan memberikannya lagi," ucapku panjang lebar. "Bukankah kau kuliah? Apa sudah selesai?"

Aku menatapnya, menunggu jawaban. Tapi Tasya masih tetap diam, hanya air matanya yang terus mengalir tanpa henti.

"Aku di keluarkan, Kak..." jawabnya lemah dengan suara isakan.

Aku menghela napas panjang. Sungguh, aku dibuat kecewa olehnya. Aku mati-matian bekerja, banting tulang untuk membiayai pendidikannya, berharap dia bisa sukses, memiliki masa depan yang lebih baik. Tapi apa yang kudapatkan sekarang? Kekecewaan dan pengkhianatan.

Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. "Kenapa, Tasya? Kenapa kau begitu tega? Aku sudah melakukan segalanya untukmu, tapi ini balasanmu?" suaraku bergetar.

Tasya menunduk, bahunya bergetar karena tangisnya. "Aku... aku menyesal, Kak. Aku bodoh... Aku terlalu mencintai Raka sampai tak bisa berpikir jernih..."

Aku tertawa sinis. "Cinta? Apa itu lebih penting dari keluarga? Aku bukan cuma kehilangan suami, Tasya. Aku kehilangan adikku juga. Kau yang membuat jarak ini ada di antara kita."

Tasya semakin menangis, tapi aku tak bisa lagi mengasihaninya. Luka yang dia berikan terlalu dalam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   DIA KIRA AKU BODOH

    Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl

  • Sekarang Giliranku   TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

    Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua

  • Sekarang Giliranku   DIA BERUSAHA MEMPERBAIKI SEMUANYA

    "Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur

  • Sekarang Giliranku   CEROBOH

    Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,

  • Sekarang Giliranku   LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

    Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

  • Sekarang Giliranku   AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

    Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek

  • Sekarang Giliranku   UNTUK APA DIA DATANG

    Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

    Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.

  • Sekarang Giliranku   PENTING NYA BERSYUKUR

    Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status