Share

MEMASANG CCTV

Penulis: Ayuwine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-24 11:01:25

Jangan tanya tentang perasaanku saat ini. Tentu saja sangat sakit, sesak. Baru mendengar dari tetangga saja sudah sesakit ini, tidak bisa dibayangkan jika mereka benar-benar berkhianat di belakangku.

Aku merenung, merencanakan bagaimana caranya membalas mereka berdua. Tapi sebelum itu, aku akan memasang CCTV terlebih dahulu. Setidaknya, harus ada bukti perselingkuhan mereka dulu. Bagaimanapun, Bi Asih adalah orang lain. Mungkin dia salah paham atau hanya menebak saja.

Memang belakangan ini mereka sangat dekat, apalagi saat banyak pasien di rumah sakit tempatku bekerja yang membuat aku jarang pulang dan libur. Mereka sering menghabiskan waktu berdua.

Tapi, apa mungkin mereka melakukan perbuatan keji itu? Aku sedikit keliru, tapi ah sudahlah. Kepalaku hampir pecah memikirkan masalah yang belum nyata ini.

Aku merogoh ponsel di saku celanaku. Jari-jariku menari di atas layar ponsel, mencari nama kontak temanku yang bisa memasang CCTV. Sebenarnya, bisa saja menyuruh tukang, tapi aku juga butuh seseorang untuk menguatkanku.

Setelah beberapa menit berdering, akhirnya dia mengangkat teleponku.

"Halo? Ada apa? Tumben menelpon?" ejeknya dengan nada yang terdengar ketus.

Aku terkekeh pelan, paham betul dia saat ini marah padaku.

"Maafin aku, Aldo. Aku gak bermaksud memutus pertemanan kita," balasku dengan sedikit rasa bersalah.

"Sudahlah, jangan telepon aku. Nanti suamimu itu marah," ketusnya.

"Aldo, aku mohon, jangan marah. Siapa lagi teman yang aku punya selain kamu? Aku butuh bantuanmu. Ini masalah Raka," rengekku tanpa basa-basi.

Hening.

"Halo?" ucapku lagi, berusaha tenang. Jujur, aku ingin marah sekarang. Aku berkata panjang lebar, tapi dia malah diam.

"Diam. Aku sekarang menuju rumahmu!" tegasnya, lalu menutup ponsel secara sepihak.

Aku tertegun lalu tertawa kecil. Ternyata Aldo belum berubah. Dia memang tipe cowok cuek, namun jika aku ada masalah, dia selalu menjadi garda terdepan.

Hubungan kami sempat memburuk karena ulah Raka, suamiku. Dia melarang aku berhubungan dengan semua teman laki-lakiku. Awalnya aku keberatan, tapi dia berkata ini demi rumah tangga kami. Dia terlalu cemburu, katanya, dia begitu takut kehilangan aku.

Perkataan manis itu membuat aku luluh dan berani menjauh dari Aldo. Beruntung, Aldo masih peduli padaku.

Tunggu… aku terbelalak. Dia mengatakan akan ke rumahku? Astaga... aku harus mengulur waktu agar Tasya tidak segera pulang.

Dengan cepat, aku menelepon adik kesayanganku itu. Satu kali, dua kali aku meneleponnya, namun tidak ada jawaban. Hingga panggilan ke lima, dia baru mengangkatnya. Aku sedikit kesal.

"Halo, Kak? Maaf, Kak, tadi aku sedang ada kelas, dan ini aku mau pulang kok," perkataannya membuatku terbelalak. Astaga, bahkan Aldo belum sampai! Bisa gagal rencanaku jika Tasya pulang sekarang.

Dengan tenang, aku menjawab, "Gini, Dek, boleh gak Kakak minta tolong?"

"Tentu, Kak. Katakan saja," ujarnya di seberang sana. Napasku sedikit lega.

"Tolong belikan sayur dan mayur di pasar ya, Dek. Nanti uangnya Kakak transfer. Soalnya, kulkas hampir kosong," ucapku, memberi alasan.

Setelah aku menutup telepon, suara bel rumah berbunyi nyaring. Aku menoleh dan melangkah santai ke arah pintu utama. Saat membuka pintu, aku mendapati Aldo berdiri di sana bersama seorang perempuan.

Mataku sekilas memandang perempuan di samping Aldo. Ada rasa tidak nyaman yang menjalar, meski aku sendiri tak tahu kenapa. Aku buru-buru mengusir pikiran itu mungkin dia hanya teman kerja Aldo.

Aku menyapa mereka dengan hangat. Perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Resti, teman kerja Aldo.

"Bagaimana?" tanya Aldo tiba-tiba, membuatku menoleh ke arahnya dengan bingung.

"Hah?"

Dia mendesah. "Apa yang sedang kamu rencanakan? Ada masalah apa?" tanyanya, lalu menjitak ringan jidatku.

Dia masih sama seperti dulu. Aku hanya memasang wajah cemberut di depannya, sementara dia malah terkekeh pelan.

Aku mempersilakan mereka masuk. Sebelum menjelaskan masalah rumah tanggaku yang masih belum terbukti, aku melirik sekilas ke arah Resti.

Aldo seolah mengerti. "Tenang saja, Resti bisa membantu," selanya, membuatku sedikit bisa bernapas lega tanpa takut masalahku tersebar.

Aku mulai menjelaskan semuanya—tentang gerak-gerik aneh antara suamiku dan adikku, tentang bagaimana aku pernah memergoki mereka berdua di kamar, dan terakhir, tentang tetanggaku, Bu Nasih, yang mencurigai hubungan mereka.

Aldo mendengarkan dengan seksama. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa sedikit pun menyela penjelasanku.

"Jadi, kamu benar-benar yakin mereka selingkuh?" Aldo menatapku tajam.

Aku menghela napas. "Aku nggak tahu, Do… Tapi aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku nggak bisa terus-menerus dihantui pikiran ini."

Aldo dan Resti saling melirik sebelum akhirnya kami bertiga mulai merencanakan sesuatu.

Apakah suamiku dan adikku benar-benar berkhianat, atau ini hanya isapan jempol? Entahlah. Semuanya akan terungkap nanti, setelah rencana kami dijalankan.

Dalam waktu dua jam, mereka berdua berhasil memasang CCTV berukuran kecil di sudut-sudut yang tidak akan disangka oleh siapa pun.

"Sudah selesai. Aku sudah memasang beberapa CCTV kecil di setiap sudut ruangan dan juga di balik pot kecil itu. Kamu bisa memantau semuanya lewat ponselmu. Tenang saja, semua kamar sudah kami pasangi CCTV, kecuali kamarmu," jelas Aldo panjang lebar, membuat hatiku merasa lega.

"Makasih banyak, Do, Res. Kalian benar-benar membantuku," ujarku tulus.

"Semoga kecurigaanmu hanya isapan jempol saja, ya, Nad," balas Resti, mengelus pelan bahuku.

Aku mengangguk pelan. "Semoga saja, Res," timpalku, berdoa dalam hati agar perkataan Resti benar.

Namun, jauh di dalam benakku, aku mulai meragukan diri sendiri. Apakah aku benar-benar siap menghadapi kenyataan jika suamiku dan adikku memang berkhianat?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sekarang Giliranku   END....

    Ia menunduk sejenak, menarik napas panjang. "Aku... sempat ingin menanyakan. Tapi kupikir... mungkin kamu yang nggak mau membahasnya," jawab Aldo akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Tasya tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Aku paham. Aku pun dulu menghindar, tapi bukan berarti aku lupa. Kak Nadia satu-satunya keluarga yang pernah melindungiku... meski kami sempat menjauh." Tasya berbicara pelan, namun suaranya jernih dan mantap. Kata demi kata mengalir, seperti aliran sungai yang akhirnya menemukan jalan keluar setelah lama tertahan oleh batu-batu luka dan penyesalan. Ia menceritakan semuanya tanpa disaring, tanpa dihias. Tentang dirinya yang dulu masih dipenuhi amarah dan iri. Tentang Nadia, kakaknya yang selalu melindungi namun akhirnya justru ia jauhi. Tentang perceraian, pengkhianatan, pelarian, dan keputusan besar untuk meninggalkan Indonesia. Aldo mendengarkan dengan saksama. Tak ada satu pun jeda yang ia potong. Matanya sesekali membesar, lalu k

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA DUINIA SEMUNGIL INI YA..

    Sementara itu, jauh di belahan dunia lain… Taysa hidup dalam damai. Ia tak tahu bahwa saat ini, kakaknya sedang bertengkar hebat dengan perempuan yang merebut suaminya. Ia tak tahu bahwa Nadia membela dirinya mati-matian, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri demi membela sang adik. Kalau Taysa tahu... Mungkin ia akan pulang. Ia akan memeluk kakaknya erat-erat, menangis di dadanya, dan berkata: “Terima kasih karena tidak pernah benar-benar meninggalkanku.” Tapi untuk saat ini, Taysa menikmati kedamaiannya di negeri asing yang kini ia sebut rumah Amerika. Beruntung, Arumi, putri sulungnya, begitu mudah beradaptasi. Di sekolah barunya, Arumi cepat akrab dengan teman-temannya. Ia fasih berbahasa Inggris dan sangat mandiri untuk seusianya. Sementara bayi mungilnya dititipkan pada seorang pengasuh tepercaya di rumah, Taysa sibuk menjalankan restoran kecil masakan khas Indonesia yang baru saja ia buka. Dan ternyata… sambutan orang-orang luar biasa. Restorannya rama

  • Sekarang Giliranku   KERIBUTAN DI CAFE

    “Udin dan Taysa… sudah bercerai,” ujar Dina akhirnya, suaranya bergetar. “Kami baru menikah kemarin. Setelah… setelah seminggu lalu Taysa mengusir Udin dan pergi entah ke mana…” Setiap katanya terdengar terbata, seperti menyusun kepingan kebenaran yang berserakan. Tapi nada suaranya tak sepenuhnya meyakinkan. Nadia menyipitkan mata. Ia merasakan ada yang janggal. Matanya menelusuri wajah Dina seperti mencari celah kebohongan yang mungkin tersembunyi. Sebelum sempat ia bicara lagi, suara David memotong udara. “Jangan berbohong. saya bisa saja memasukkan kalian ke penjara.” Seketika semua kepala menoleh ke arahnya termasuk Nadia. Suaranya datar. Pelan. Tapi ada sesuatu yang begitu dingin dalam nada itu. Serius. Mengancam. Wajah David kini berubah. Tidak lagi tenang seperti sebelumnya. Kali ini... datar. Kaku. Sorot matanya tajam, nyaris tak berkedip. Wajah yang biasanya hangat, kini seperti topeng tanpa emosi membeku, menakutkan. Nadia bahkan terdiam. Ia mengenal sisi ini.

  • Sekarang Giliranku   AMERIKA

    Pagi di Amerika saat musim salju terasa seperti dunia yang baru saja terlahir kembali hening, bersih, dan membeku dalam waktu. Cahaya matahari masih malu-malu menembus langit kelabu, menciptakan semburat oranye pucat di balik awan dingin. Pepohonan berdiri kaku, ranting-rantingnya menggigil, dibalut es tipis seperti renda kristal alami. Jalanan sunyi, hanya suara gemerisik lembut salju yang jatuh dari atap atau suara jejak kaki pertama di trotoar yang mengganggu keheningan suci itu. Asap putih mengepul dari cerobong-cerobong rumah, naik perlahan dan lenyap di udara beku. Dari jendela-jendela rumah, lampu-lampu kuning masih menyala hangat, memantul lembut di kaca yang dilapisi embun beku. Aroma kayu terbakar dan kopi hangat menyelinap ke luar melalui celah pintu yang sebentar terbuka saat seseorang menyapa pagi. Taysa menghembuskan napas lega. Sudah seminggu sejak ia pindah ke Amerika, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Damai. Tak ada lagi rasa taku

  • Sekarang Giliranku   MASA LALU YANG TAK PERNAH BERAKHIR

    "Mas, itu sudah sepuluh tahun yang lalu! Kenapa kamu masih mempermasalahkannya?!" seruku sambil menatap tajam ke arahnya. Aku benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan itu semua? Apa tak ada alasan lain yang lebih manusiawi? Udin menggeleng pelan. Tatapannya menembus mataku, dalam... tapi dingin. Tak ada lagi sisa cinta. Tak ada kagum. Tak ada pengagungan seperti dulu. Aku mundur perlahan. Jujur saja, ini sangat menyakitkan. "Aku lelah, Tasya... Aku lelah," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun menancap tajam. "Bertahun-tahun aku berjuang memperbaiki nama baikmu. Sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi diriku sendiri. Aku terlalu sibuk memikirkan kamu... perasaanmu... dan pandangan orang-orang terhadapmu." Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Seperti sedang membebaskan sesak yang ia simpan bertahun-tahun. Aku hanya diam. Menunggu... Kalimat berikutnya apa? Apalagi yang akan dia katakan? "Ini mungkin... balasan untukmu, Ta

  • Sekarang Giliranku   MASALALU MENJADI BOOMERANG

    "Mas... kau sungguh akan meninggalkanku?" Tasya bertanya dengan suara bergetar, tak menyangka bahwa Udin benar-benar mengucapkan kata-kata itu. Udin mengangguk pelan. Matanya mulai basah, namun ia menahan tangisnya. Sebenarnya, ia tidak ingin pergi tapi hatinya terlalu lelah dengan kehidupan yang harus selalu tampak sempurna. Ia rindu menjadi dirinya sendiri. "Aku lelah, Tasya..." Ucapnya lirih, napasnya tercekat. Tasya menunduk. Air matanya jatuh tanpa henti. "Mas... kita sudah tak lagi di kampung. Kita di sini berjuang bersama," katanya sambil mencoba menahan kepergian suaminya. Udin menggeleng lemah. Ia tahu itu. Tapi hatinya sudah terlalu dalam tertambat pada orang lain... pada Dina. "Lihat anak kita, Mas," lanjut Tasya. Suaranya bergetar, tak mampu lagi berpura-pura kuat. Tubuhnya gemetar saat membayangkan wajah kedua putri mereka. Ia telah berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangga ini demi anak-anak. Tapi Udin... justru berselingkuh di belakangnya. "Ak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status