Jangan tanya tentang perasaanku saat ini. Tentu saja sangat sakit, sesak. Baru mendengar dari tetangga saja sudah sesakit ini, tidak bisa dibayangkan jika mereka benar-benar berkhianat di belakangku.
Aku merenung, merencanakan bagaimana caranya membalas mereka berdua. Tapi sebelum itu, aku akan memasang CCTV terlebih dahulu. Setidaknya, harus ada bukti perselingkuhan mereka dulu. Bagaimanapun, Bi Asih adalah orang lain. Mungkin dia salah paham atau hanya menebak saja. Memang belakangan ini mereka sangat dekat, apalagi saat banyak pasien di rumah sakit tempatku bekerja yang membuat aku jarang pulang dan libur. Mereka sering menghabiskan waktu berdua. Tapi, apa mungkin mereka melakukan perbuatan keji itu? Aku sedikit keliru, tapi ah sudahlah. Kepalaku hampir pecah memikirkan masalah yang belum nyata ini. Aku merogoh ponsel di saku celanaku. Jari-jariku menari di atas layar ponsel, mencari nama kontak temanku yang bisa memasang CCTV. Sebenarnya, bisa saja menyuruh tukang, tapi aku juga butuh seseorang untuk menguatkanku. Setelah beberapa menit berdering, akhirnya dia mengangkat teleponku. "Halo? Ada apa? Tumben menelpon?" ejeknya dengan nada yang terdengar ketus. Aku terkekeh pelan, paham betul dia saat ini marah padaku. "Maafin aku, Aldo. Aku gak bermaksud memutus pertemanan kita," balasku dengan sedikit rasa bersalah. "Sudahlah, jangan telepon aku. Nanti suamimu itu marah," ketusnya. "Aldo, aku mohon, jangan marah. Siapa lagi teman yang aku punya selain kamu? Aku butuh bantuanmu. Ini masalah Raka," rengekku tanpa basa-basi. Hening. "Halo?" ucapku lagi, berusaha tenang. Jujur, aku ingin marah sekarang. Aku berkata panjang lebar, tapi dia malah diam. "Diam. Aku sekarang menuju rumahmu!" tegasnya, lalu menutup ponsel secara sepihak. Aku tertegun lalu tertawa kecil. Ternyata Aldo belum berubah. Dia memang tipe cowok cuek, namun jika aku ada masalah, dia selalu menjadi garda terdepan. Hubungan kami sempat memburuk karena ulah Raka, suamiku. Dia melarang aku berhubungan dengan semua teman laki-lakiku. Awalnya aku keberatan, tapi dia berkata ini demi rumah tangga kami. Dia terlalu cemburu, katanya, dia begitu takut kehilangan aku. Perkataan manis itu membuat aku luluh dan berani menjauh dari Aldo. Beruntung, Aldo masih peduli padaku. Tunggu… aku terbelalak. Dia mengatakan akan ke rumahku? Astaga... aku harus mengulur waktu agar Tasya tidak segera pulang. Dengan cepat, aku menelepon adik kesayanganku itu. Satu kali, dua kali aku meneleponnya, namun tidak ada jawaban. Hingga panggilan ke lima, dia baru mengangkatnya. Aku sedikit kesal. "Halo, Kak? Maaf, Kak, tadi aku sedang ada kelas, dan ini aku mau pulang kok," perkataannya membuatku terbelalak. Astaga, bahkan Aldo belum sampai! Bisa gagal rencanaku jika Tasya pulang sekarang. Dengan tenang, aku menjawab, "Gini, Dek, boleh gak Kakak minta tolong?" "Tentu, Kak. Katakan saja," ujarnya di seberang sana. Napasku sedikit lega. "Tolong belikan sayur dan mayur di pasar ya, Dek. Nanti uangnya Kakak transfer. Soalnya, kulkas hampir kosong," ucapku, memberi alasan. Setelah aku menutup telepon, suara bel rumah berbunyi nyaring. Aku menoleh dan melangkah santai ke arah pintu utama. Saat membuka pintu, aku mendapati Aldo berdiri di sana bersama seorang perempuan. Mataku sekilas memandang perempuan di samping Aldo. Ada rasa tidak nyaman yang menjalar, meski aku sendiri tak tahu kenapa. Aku buru-buru mengusir pikiran itu mungkin dia hanya teman kerja Aldo. Aku menyapa mereka dengan hangat. Perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Resti, teman kerja Aldo. "Bagaimana?" tanya Aldo tiba-tiba, membuatku menoleh ke arahnya dengan bingung. "Hah?" Dia mendesah. "Apa yang sedang kamu rencanakan? Ada masalah apa?" tanyanya, lalu menjitak ringan jidatku. Dia masih sama seperti dulu. Aku hanya memasang wajah cemberut di depannya, sementara dia malah terkekeh pelan. Aku mempersilakan mereka masuk. Sebelum menjelaskan masalah rumah tanggaku yang masih belum terbukti, aku melirik sekilas ke arah Resti. Aldo seolah mengerti. "Tenang saja, Resti bisa membantu," selanya, membuatku sedikit bisa bernapas lega tanpa takut masalahku tersebar. Aku mulai menjelaskan semuanya—tentang gerak-gerik aneh antara suamiku dan adikku, tentang bagaimana aku pernah memergoki mereka berdua di kamar, dan terakhir, tentang tetanggaku, Bu Nasih, yang mencurigai hubungan mereka. Aldo mendengarkan dengan seksama. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa sedikit pun menyela penjelasanku. "Jadi, kamu benar-benar yakin mereka selingkuh?" Aldo menatapku tajam. Aku menghela napas. "Aku nggak tahu, Do… Tapi aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku nggak bisa terus-menerus dihantui pikiran ini." Aldo dan Resti saling melirik sebelum akhirnya kami bertiga mulai merencanakan sesuatu. Apakah suamiku dan adikku benar-benar berkhianat, atau ini hanya isapan jempol? Entahlah. Semuanya akan terungkap nanti, setelah rencana kami dijalankan. Dalam waktu dua jam, mereka berdua berhasil memasang CCTV berukuran kecil di sudut-sudut yang tidak akan disangka oleh siapa pun. "Sudah selesai. Aku sudah memasang beberapa CCTV kecil di setiap sudut ruangan dan juga di balik pot kecil itu. Kamu bisa memantau semuanya lewat ponselmu. Tenang saja, semua kamar sudah kami pasangi CCTV, kecuali kamarmu," jelas Aldo panjang lebar, membuat hatiku merasa lega. "Makasih banyak, Do, Res. Kalian benar-benar membantuku," ujarku tulus. "Semoga kecurigaanmu hanya isapan jempol saja, ya, Nad," balas Resti, mengelus pelan bahuku. Aku mengangguk pelan. "Semoga saja, Res," timpalku, berdoa dalam hati agar perkataan Resti benar. Namun, jauh di dalam benakku, aku mulai meragukan diri sendiri. Apakah aku benar-benar siap menghadapi kenyataan jika suamiku dan adikku memang berkhianat?Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl
Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua
"Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur
Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,
Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.
Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek
Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny
Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.
Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra