Home / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / KECURIGAAN TETANGGA

Share

KECURIGAAN TETANGGA

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-03-24 08:30:36

Dengan perasaan campur aduk, aku dengan cepat mengetuk pintu kamar adikku.

"Tasya, Mas, sedang apa kalian di dalam?" pekikku dengan suara bergetar, menahan amarah dan tangis.

Beberapa detik kemudian, pintu dibuka dari dalam. Aku mengerutkan dahi saat mendengar kunci dibuka. Apa mereka mengunci kamar? Pertanyaan itu berputar di pikiranku.

Muncullah suamiku dan adikku bersamaan.

Aku memandang wajah mereka dengan saksama, memperhatikan dengan dalam. "Kenapa kalian berada di dalam kamar berduaan?" tanyaku dengan nada dingin dan tegas.

Tasya hanya diam menunduk. Untuk pertama kalinya, aku berbicara begitu tegas padanya.

"Jangan salah paham, Nad. Tasya meminta tolong untuk mengerjakan skripsinya," sela Raka dengan nada yang begitu tenang. Tapi aku sedikit ragu dengan jawabannya. Aku menatap Tasya dengan tajam.

"Apa benar?"

Tasya mengangguk kecil.

"Tatap mata Kakak, Dek. Sejak kapan kamu seperti ini? Pandanglah orang yang mengajakmu bicara!" ujarku dengan tatapan melotot, seolah ingin menerkam.

"Jangan kasar begitu, Nad. Dia adikmu," bela suamiku, membuat darahku mendidih. Aku mendelik ke arahnya tanpa berniat sama sekali menanggapinya.

"Iya, Kak, benar. Aku sedikit sulit mengerjakan tugas. Tugasnya berisi tentang investasi, dan bukannya jurusan Kak Raka hampir sama dengan pekerjaannya?" timpalnya, mencoba membela diri.

Aku sedikit tertegun. Benar juga yang dikatakan Tasya. Memang Tasya mengambil jurusan akuntansi perkantoran di universitasnya.

Aku sedikit lega. Tidak mungkin juga mereka akan berbuat lebih dari sekadar adik dan kakak, kan?

Tapi tunggu... Aku kembali menatap mereka dengan tajam.

"Lalu kenapa kalian harus mengunci pintu? Bukannya di rumah ini hanya ada kalian berdua? Tidak akan ada yang mengganggu juga, bukan?" tanyaku, menelisik mereka satu per satu.

"Ya ampun, Nadia... Aku suamimu, dan ini adikmu. Kenapa kamu berpikir sejauh itu? Adikmu adalah adikku juga, Nad," suaranya sedikit meninggi, seolah-olah akulah yang berbuat salah di sini. Dan memang, ada benarnya juga dia mengatakan seperti itu.

Syukurlah jika itu kenyataannya. Setidaknya aku merasa sedikit lega.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, aku pergi meninggalkan mereka berdua di sana. Biarkan saja, aku akan memberi mereka sedikit pelajaran. Tidak baik seorang suami berduaan bersama iparnya di dalam kamar dalam keadaan terkunci. Setan bisa kapan saja menghasut, kan?

Setelah kejadian itu, aku sedikit merasa parno. Aku memutuskan mengambil cuti dalam beberapa hari ke depan. Aku rindu suamiku, rindu berduaan dengannya, dan aku juga ingin fokus pada program kehamilan.

Saat aku sedang duduk santai di teras, menyesap secangkir teh yang disandingkan dengan membaca majalah kesehatan, Tasya menghampiriku dan menatapku dengan heran.

"Loh, Kakak belum berangkat?" tanyanya dengan dahi sedikit berkerut.

Aku hanya menoleh sekilas dan kembali menyesap teh. "Tidak, Dek. Kakak ambil cuti."

Dia hanya ber-"oh" ria sambil mengangguk-angguk kecil.

"Tasya, sudah siap belum? Ayo berangkat!" teriak suamiku dari dalam rumah. Aku dan Tasya menoleh bersamaan ke arah suara.

"Loh, Nad, belum berangkat?" tanyanya, sama persis seperti adikku tadi. Kenapa mereka berdua ini? Akhir-akhir ini sangat kompak, aku perhatikan.

"Kakak sedang mengambil cuti," sela Tasya, membuatku sedikit heran. Aku mencuri-curi pandang pada mereka berdua. Seperti ada kekecewaan di raut wajahnya. Ada apa dengan mereka?

"Ya sudah, aku berangkat kerja dulu ya, Nad. Sekalian antar Tasya ke kampus," pamitnya, menyodorkan tangannya padaku.

Dengan senang hati, aku mencium punggung tangannya. Tidak lupa, Tasya juga mengambil tanganku dan menciumnya.

Sejak kapan mereka pergi bareng?

Aku menggelengkan kepalaku cepat. Kenapa aku merasa cemburu pada adikku sendiri? Ya ampun, pikiranku mulai ke mana-mana.

Aku memfokuskan kembali pikiranku pada majalah yang kupegang. Sebelum itu, aku menyesap teh beraroma bunga melati ini. Ah, hangat dan wangi.

Pikiranku mulai kembali dingin dan tenang. Tapi beberapa menit kemudian, salah satu tetanggaku berkunjung ke rumah.

"Bu Nadia, lama ya kita nggak berjumpa," ucapnya berbasa-basi.

Dengan cepat, aku menyimpan majalah yang kubaca tadi. "Ah, iya, Bu Asih. Saya baru ambil cuti sekarang," jawabku tak kalah ramah.

"Sendirian di rumah, Bu?" tanyanya lagi, sambil menoleh ke dalam rumah. Aku sedikit risih, tapi tetap menampilkan wajah ramah.

"Iya, Bu. Suami saya kerja, dan adik saya kuliah."

"Jangan sering membiarkan mereka terlalu dekat, Bu Nadia," selanya, membuatku sedikit mengerutkan dahi.

"Kenapa memangnya, Bu?" tanyaku, penasaran.

"Maaf ya, Bu Nadia. Bukannya bermaksud apa-apa, tapi saya dan tetangga lainnya sering melihat kedekatan antara adik dan suami Ibu secara tidak wajar," jelasnya dengan sedikit berbisik, membuat perasaanku jadi tidak karuan.

"Ah, Ibu ini, bisa saja," aku menanggapi dengan candaan dan sedikit terkekeh.

"Ya, semoga saja tidak terjadi apa-apa di masa depan, Bu. Soalnya banyak kejadian seperti itu," timpal Bu Asih, membuat perasaanku sedikit tak enak.

Aku tertegun. Kenapa dia berkata seperti itu? Seolah-olah dia mengetahui sesuatu. Tanpa niat menanggapi lebih lanjut, aku hanya tersenyum tipis. Namun, sebelum Bu Asih pamit pergi, dia mengatakan sesuatu yang membuat jantungku berdetak lebih cepat.

"Jangan pernah biarkan mereka berdua, ya, Bu. Soalnya gerak-gerik Tasya itu aneh. Dia selalu manja, bahkan saya sering melihat mereka saling suap di teras depan, seolah-olah tidak punya malu mempertontonkan kemesraan mereka di hadapan semua orang. Sebaiknya pasang CCTV saja. Bukan maksud saya memfitnah, tapi lebih baik dicoba dulu. Saya tidak tega melihat Bu Nadia yang kerja banting tulang sendirian, sementara suami malah bermesraan dengan adik sendiri."

Setelah Bu Asih pergi, aku duduk diam di teras, menyesap teh yang kini terasa hambar di lidah. Kata-katanya terus berputar di kepalaku. Suamiku dan adikku… benar-benar sedekat itu?

Aku menghela napas, mencoba berpikir logis. Ini Tasya, adikku sendiri. Dan Raka, suamiku. Apa mungkin mereka melakukan sesuatu yang tidak seharusnya? Tidak masuk akal. Aku yang tinggal serumah dengan mereka, aku yang mengenal mereka lebih dari siapa pun. Tapi, kenapa kata-kata Bu Asih membuat dadaku terasa sesak?

Aku bukan perempuan bodoh yang mudah termakan gosip. Tapi aku juga bukan orang yang akan mengabaikan sesuatu begitu saja. Kecurigaanku memang sempat muncul sejak kejadian di kamar itu, tapi aku mencoba menepisnya. Sekarang, setelah mendengar cerita dari orang luar, rasa ragu itu kembali mengusik pikiranku.

Apa aku terlalu berpikir berlebihan? Atau justru selama ini aku terlalu menutup mata?

Aku menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Mungkin aku harus mencari tahu sendiri. Bukan dengan emosi, bukan dengan tuduhan, tapi dengan cara yang lebih cerdas. Jika memang tidak ada apa-apa, setidaknya aku bisa tenang. Tapi kalau ada yang disembunyikan… aku harus bersiap menghadapi kenyataan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   DIA KIRA AKU BODOH

    Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl

  • Sekarang Giliranku   TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

    Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua

  • Sekarang Giliranku   DIA BERUSAHA MEMPERBAIKI SEMUANYA

    "Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur

  • Sekarang Giliranku   CEROBOH

    Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,

  • Sekarang Giliranku   LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

    Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

  • Sekarang Giliranku   AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

    Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek

  • Sekarang Giliranku   UNTUK APA DIA DATANG

    Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

    Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.

  • Sekarang Giliranku   PENTING NYA BERSYUKUR

    Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status