Dengan perasaan campur aduk, aku dengan cepat mengetuk pintu kamar adikku.
"Tasya, Mas, sedang apa kalian di dalam?" pekikku dengan suara bergetar, menahan amarah dan tangis. Beberapa detik kemudian, pintu dibuka dari dalam. Aku mengerutkan dahi saat mendengar kunci dibuka. Apa mereka mengunci kamar? Pertanyaan itu berputar di pikiranku. Muncullah suamiku dan adikku bersamaan. Aku memandang wajah mereka dengan saksama, memperhatikan dengan dalam. "Kenapa kalian berada di dalam kamar berduaan?" tanyaku dengan nada dingin dan tegas. Tasya hanya diam menunduk. Untuk pertama kalinya, aku berbicara begitu tegas padanya. "Jangan salah paham, Nad. Tasya meminta tolong untuk mengerjakan skripsinya," sela Raka dengan nada yang begitu tenang. Tapi aku sedikit ragu dengan jawabannya. Aku menatap Tasya dengan tajam. "Apa benar?" Tasya mengangguk kecil. "Tatap mata Kakak, Dek. Sejak kapan kamu seperti ini? Pandanglah orang yang mengajakmu bicara!" ujarku dengan tatapan melotot, seolah ingin menerkam. "Jangan kasar begitu, Nad. Dia adikmu," bela suamiku, membuat darahku mendidih. Aku mendelik ke arahnya tanpa berniat sama sekali menanggapinya. "Iya, Kak, benar. Aku sedikit sulit mengerjakan tugas. Soalnya tugas aku tentang investasi, Kak Raka ‘kan ngerti soal itu…" timpalnya, mencoba membela diri. Aku sedikit tertegun. Benar juga yang dikatakan Tasya. Memang Tasya mengambil jurusan akuntansi perkantoran di universitasnya. Aku sedikit lega. Tidak mungkin juga mereka akan berbuat lebih dari sekadar adik dan kakak, kan? Tapi tunggu... Aku kembali menatap mereka dengan tajam. "Lalu kenapa kalian harus mengunci pintu? Bukannya di rumah ini hanya ada kalian berdua? Tidak akan ada yang mengganggu juga, bukan?" tanyaku, menelisik mereka satu per satu. "Ya ampun, Nadia... Aku suamimu, dan ini adikmu. Kenapa kamu berpikir sejauh itu? Adikmu adalah adikku juga, Nad," suaranya sedikit meninggi, seolah-olah akulah yang berbuat salah di sini. Dan memang, ada benarnya juga dia mengatakan seperti itu. Syukurlah jika itu kenyataannya. Setidaknya aku merasa sedikit lega. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, aku pergi meninggalkan mereka berdua di sana. Biarkan saja, aku akan memberi mereka sedikit pelajaran. Tidak baik seorang suami berduaan bersama iparnya di dalam kamar dalam keadaan terkunci. Setan bisa kapan saja menghasut, kan? Setelah kejadian itu, aku sedikit merasa parno. Aku memutuskan mengambil cuti dalam beberapa hari ke depan. Aku rindu suamiku, rindu berduaan dengannya, dan aku juga ingin fokus pada program kehamilan. Saat aku sedang duduk santai di teras, menyesap secangkir teh yang disandingkan dengan membaca majalah kesehatan, Tasya menghampiriku dan menatapku dengan heran. "Loh, Kakak belum berangkat?" tanyanya dengan dahi sedikit berkerut. Aku hanya menoleh sekilas dan kembali menyesap teh. "Tidak, Dek. Kakak ambil cuti." Dia hanya ber-"oh" ria sambil mengangguk-angguk kecil. "Tasya, sudah siap belum? Ayo berangkat!" teriak suamiku dari dalam rumah. Aku dan Tasya menoleh bersamaan ke arah suara. "Loh, Nad, belum berangkat?" tanyanya, sama persis seperti adikku tadi. Kenapa mereka berdua ini? Akhir-akhir ini sangat kompak, aku perhatikan. "Kakak sedang mengambil cuti," sela Tasya, membuatku sedikit heran. Aku mencuri-curi pandang pada mereka berdua. Seperti ada kekecewaan di raut wajahnya. Ada apa dengan mereka? "Ya sudah, aku berangkat kerja dulu ya, Nad. Sekalian antar Tasya ke kampus," pamitnya, menyodorkan tangannya padaku. Dengan senang hati, aku mencium punggung tangannya. Tidak lupa, Tasya juga mengambil tanganku dan menciumnya. Sejak kapan mereka pergi bareng? Aku menggelengkan kepalaku cepat. Kenapa aku merasa cemburu pada adikku sendiri? Ya ampun, pikiranku mulai ke mana-mana. Aku memfokuskan kembali pikiranku pada majalah yang kupegang. Sebelum itu, aku menyesap teh beraroma bunga melati ini. Ah, hangat dan wangi. Pikiranku mulai kembali dingin dan tenang. Tapi beberapa menit kemudian, salah satu tetanggaku berkunjung ke rumah. "Bu Nadia, lama ya kita nggak berjumpa," ucapnya berbasa-basi. Dengan cepat, aku menyimpan majalah yang kubaca tadi. "Ah, iya, Bu Asih. Saya baru ambil cuti sekarang," jawabku tak kalah ramah. "Sendirian di rumah, Bu?" tanyanya lagi, sambil menoleh ke dalam rumah. Aku sedikit risih, tapi tetap menampilkan wajah ramah. "Iya, Bu. Suami saya kerja, dan adik saya kuliah." "Jangan sering membiarkan mereka terlalu dekat, Bu Nadia," selanya, membuatku sedikit mengerutkan dahi. "Kenapa memangnya, Bu?" tanyaku, penasaran. "Maaf ya, Bu Nadia. Bukannya bermaksud apa-apa, tapi saya dan tetangga lainnya sering melihat kedekatan antara adik dan suami Ibu secara tidak wajar," jelasnya dengan sedikit berbisik, membuat perasaanku jadi tidak karuan. "Ah, Ibu ini, bisa saja," aku menanggapi dengan candaan dan sedikit terkekeh. "Ya, semoga saja tidak terjadi apa-apa di masa depan, Bu. Soalnya banyak kejadian seperti itu," timpal Bu Asih, membuat perasaanku sedikit tak enak. Tanganku gemetar tanpa kusadari. Entah karena marah, takut, atau kecewa, aku sendiri tak tahu. Ucapan Bu Asih bagai bisikan setan yang merobek kepercayaan di dadaku. Tanpa niat menanggapi lebih lanjut, aku hanya tersenyum tipis. Namun, sebelum Bu Asih pamit pergi, dia mengatakan sesuatu yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Jangan pernah biarkan mereka berdua, ya, Bu. Soalnya gerak-gerik Tasya itu aneh. Dia selalu manja, bahkan saya sering melihat mereka saling suap di teras depan, seolah-olah tidak punya malu mempertontonkan kemesraan mereka di hadapan semua orang. Sebaiknya pasang CCTV saja. Bukan maksud saya memfitnah, tapi lebih baik dicoba dulu. Saya tidak tega melihat Bu Nadia yang kerja banting tulang sendirian, sementara suami malah bermesraan dengan adik sendiri." Setelah Bu Asih pergi, aku duduk diam di teras, menyesap teh yang kini terasa hambar di lidah. Kata-katanya terus berputar di kepalaku. Suamiku dan adikku… benar-benar sedekat itu? Aku menghela napas, mencoba berpikir logis. Ini Tasya, adikku sendiri. Dan Raka, suamiku. Apa mungkin mereka melakukan sesuatu yang tidak seharusnya? Tidak masuk akal. Aku yang tinggal serumah dengan mereka, aku yang mengenal mereka lebih dari siapa pun. Tapi, kenapa kata-kata Bu Asih membuat dadaku terasa sesak? Aku bukan perempuan bodoh yang mudah termakan gosip. Tapi aku juga bukan orang yang akan mengabaikan sesuatu begitu saja. Kecurigaanku memang sempat muncul sejak kejadian di kamar itu, tapi aku mencoba menepisnya. Sekarang, setelah mendengar cerita dari orang luar, rasa ragu itu kembali mengusik pikiranku. Apa aku terlalu berpikir berlebihan? Atau justru selama ini aku terlalu menutup mata? Aku menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Mungkin aku harus mencari tahu sendiri. Bukan dengan emosi, bukan dengan tuduhan, tapi dengan cara yang lebih cerdas. Jika memang tidak ada apa-apa, setidaknya aku bisa tenang. Tapi kalau ada yang disembunyikan… aku harus bersiap menghadapi kenyataan.Ia menunduk sejenak, menarik napas panjang. "Aku... sempat ingin menanyakan. Tapi kupikir... mungkin kamu yang nggak mau membahasnya," jawab Aldo akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Tasya tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Aku paham. Aku pun dulu menghindar, tapi bukan berarti aku lupa. Kak Nadia satu-satunya keluarga yang pernah melindungiku... meski kami sempat menjauh." Tasya berbicara pelan, namun suaranya jernih dan mantap. Kata demi kata mengalir, seperti aliran sungai yang akhirnya menemukan jalan keluar setelah lama tertahan oleh batu-batu luka dan penyesalan. Ia menceritakan semuanya tanpa disaring, tanpa dihias. Tentang dirinya yang dulu masih dipenuhi amarah dan iri. Tentang Nadia, kakaknya yang selalu melindungi namun akhirnya justru ia jauhi. Tentang perceraian, pengkhianatan, pelarian, dan keputusan besar untuk meninggalkan Indonesia. Aldo mendengarkan dengan saksama. Tak ada satu pun jeda yang ia potong. Matanya sesekali membesar, lalu k
Sementara itu, jauh di belahan dunia lain… Taysa hidup dalam damai. Ia tak tahu bahwa saat ini, kakaknya sedang bertengkar hebat dengan perempuan yang merebut suaminya. Ia tak tahu bahwa Nadia membela dirinya mati-matian, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri demi membela sang adik. Kalau Taysa tahu... Mungkin ia akan pulang. Ia akan memeluk kakaknya erat-erat, menangis di dadanya, dan berkata: “Terima kasih karena tidak pernah benar-benar meninggalkanku.” Tapi untuk saat ini, Taysa menikmati kedamaiannya di negeri asing yang kini ia sebut rumah Amerika. Beruntung, Arumi, putri sulungnya, begitu mudah beradaptasi. Di sekolah barunya, Arumi cepat akrab dengan teman-temannya. Ia fasih berbahasa Inggris dan sangat mandiri untuk seusianya. Sementara bayi mungilnya dititipkan pada seorang pengasuh tepercaya di rumah, Taysa sibuk menjalankan restoran kecil masakan khas Indonesia yang baru saja ia buka. Dan ternyata… sambutan orang-orang luar biasa. Restorannya rama
“Udin dan Taysa… sudah bercerai,” ujar Dina akhirnya, suaranya bergetar. “Kami baru menikah kemarin. Setelah… setelah seminggu lalu Taysa mengusir Udin dan pergi entah ke mana…” Setiap katanya terdengar terbata, seperti menyusun kepingan kebenaran yang berserakan. Tapi nada suaranya tak sepenuhnya meyakinkan. Nadia menyipitkan mata. Ia merasakan ada yang janggal. Matanya menelusuri wajah Dina seperti mencari celah kebohongan yang mungkin tersembunyi. Sebelum sempat ia bicara lagi, suara David memotong udara. “Jangan berbohong. saya bisa saja memasukkan kalian ke penjara.” Seketika semua kepala menoleh ke arahnya termasuk Nadia. Suaranya datar. Pelan. Tapi ada sesuatu yang begitu dingin dalam nada itu. Serius. Mengancam. Wajah David kini berubah. Tidak lagi tenang seperti sebelumnya. Kali ini... datar. Kaku. Sorot matanya tajam, nyaris tak berkedip. Wajah yang biasanya hangat, kini seperti topeng tanpa emosi membeku, menakutkan. Nadia bahkan terdiam. Ia mengenal sisi ini.
Pagi di Amerika saat musim salju terasa seperti dunia yang baru saja terlahir kembali hening, bersih, dan membeku dalam waktu. Cahaya matahari masih malu-malu menembus langit kelabu, menciptakan semburat oranye pucat di balik awan dingin. Pepohonan berdiri kaku, ranting-rantingnya menggigil, dibalut es tipis seperti renda kristal alami. Jalanan sunyi, hanya suara gemerisik lembut salju yang jatuh dari atap atau suara jejak kaki pertama di trotoar yang mengganggu keheningan suci itu. Asap putih mengepul dari cerobong-cerobong rumah, naik perlahan dan lenyap di udara beku. Dari jendela-jendela rumah, lampu-lampu kuning masih menyala hangat, memantul lembut di kaca yang dilapisi embun beku. Aroma kayu terbakar dan kopi hangat menyelinap ke luar melalui celah pintu yang sebentar terbuka saat seseorang menyapa pagi. Taysa menghembuskan napas lega. Sudah seminggu sejak ia pindah ke Amerika, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Damai. Tak ada lagi rasa taku
"Mas, itu sudah sepuluh tahun yang lalu! Kenapa kamu masih mempermasalahkannya?!" seruku sambil menatap tajam ke arahnya. Aku benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan itu semua? Apa tak ada alasan lain yang lebih manusiawi? Udin menggeleng pelan. Tatapannya menembus mataku, dalam... tapi dingin. Tak ada lagi sisa cinta. Tak ada kagum. Tak ada pengagungan seperti dulu. Aku mundur perlahan. Jujur saja, ini sangat menyakitkan. "Aku lelah, Tasya... Aku lelah," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun menancap tajam. "Bertahun-tahun aku berjuang memperbaiki nama baikmu. Sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi diriku sendiri. Aku terlalu sibuk memikirkan kamu... perasaanmu... dan pandangan orang-orang terhadapmu." Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Seperti sedang membebaskan sesak yang ia simpan bertahun-tahun. Aku hanya diam. Menunggu... Kalimat berikutnya apa? Apalagi yang akan dia katakan? "Ini mungkin... balasan untukmu, Ta
"Mas... kau sungguh akan meninggalkanku?" Tasya bertanya dengan suara bergetar, tak menyangka bahwa Udin benar-benar mengucapkan kata-kata itu. Udin mengangguk pelan. Matanya mulai basah, namun ia menahan tangisnya. Sebenarnya, ia tidak ingin pergi tapi hatinya terlalu lelah dengan kehidupan yang harus selalu tampak sempurna. Ia rindu menjadi dirinya sendiri. "Aku lelah, Tasya..." Ucapnya lirih, napasnya tercekat. Tasya menunduk. Air matanya jatuh tanpa henti. "Mas... kita sudah tak lagi di kampung. Kita di sini berjuang bersama," katanya sambil mencoba menahan kepergian suaminya. Udin menggeleng lemah. Ia tahu itu. Tapi hatinya sudah terlalu dalam tertambat pada orang lain... pada Dina. "Lihat anak kita, Mas," lanjut Tasya. Suaranya bergetar, tak mampu lagi berpura-pura kuat. Tubuhnya gemetar saat membayangkan wajah kedua putri mereka. Ia telah berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangga ini demi anak-anak. Tapi Udin... justru berselingkuh di belakangnya. "Ak