Beruntung aku tidak sendirian. Setidaknya masih ada Dion dan temannya yang mau menolongku dan menutup mulut.
Saat aku sedang santai duduk di sofa mewah yang baru saja kubeli minggu lalu, suara bel berbunyi. Dengan malas, aku bangkit dan melangkah menuju pintu utama. Ternyata itu Tasya. "Ini, Kak. Aduh, aku bingung, sayuran mana yang harus dibeli? Lagian aneh deh, biasanya kan Kakak suka belanja ke pedagang sayur keliling!" keluhnya sambil menyerahkan beberapa kresek berisi lauk pauk beserta sayuran. "Kali-kali lah kamu bantu Kakak, Dek," jawabku singkat sambil mengambil kresek-kresek tersebut. Dia berjalan begitu saja melewatiku. Sebelum menyusulnya, aku terlebih dahulu menyimpan kresek itu di dapur. Aku menghela napas saat melihat Tasya duduk di atas sofa. "Dek, mandi dulu gih, atau enggak ganti baju. Kamu habis dari luar soalnya!" tegurku dengan suara yang sedikit tegas. Dia tidak banyak bicara. Langsung bangkit dan pergi ke kamar mandi yang berada di dapur. Pandangan mataku terfokus pada ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ya, aku memang tidak pernah mengecek ponsel Tasya maupun Raka karena aku benar-benar menjaga privasi mereka. Tapi kali ini berbeda. Seperti ada dorongan kuat. Aku memastikan kalau Tasya masih lama di dalam kamar mandi. Dengan cepat, aku menyambar ponselnya dan menyalakannya. Namun sialnya, ponsel itu dikunci menggunakan sidik jari. Aku mendesah pelan. Mungkin bukan waktunya. Saat aku ingin menyimpan ponselnya kembali, tiba-tiba saja berdering, menandakan ada pesan masuk. Terpampang di layar depan ponselnya sebuah pesan dari My Type. > Sayang... Udah pulang kuliahnya? Mas kangen deh. Sepertinya kita akan jarang berduaan di kamar selama Nadia masih cuti. Aku mengerutkan dahi saat membaca pesan itu. My Type? Siapa dia? Kenapa membawa namaku? Apa itu Raka, suamiku? Jika iya, mereka benar-benar jahat. Pintu kamar mandi terbuka. Dengan cepat, aku mematikan ponselnya dan menyimpannya kembali di tempat semula. "Tumben mandi di kamar mandi bawah, Sya?" tanyaku basa-basi. "Iya, Kak. Males ke atas soalnya," jawabnya, tangan sibuk mengeringkan rambutnya. "Oh iya, Dek, ponselmu tadi berdering," ucapku santai. Aku bisa melihat wajahnya menegang, tapi sedetik kemudian dia mengubah ekspresinya menjadi biasa lagi. Aku tersenyum getir. "Kakak ngecek ponselku?" tanyanya sedikit gugup. Aku menggeleng pelan dan berkata, "Enggak lah, Dek. Sejak kapan Kakak suka ngecek HP orang lain?" Dia menghela napas lega. Wajah pucatnya menguap entah ke mana. Apa yang mengirim pesan tadi benar-benar Raka? Aku melirik jam dinding. Pukul 4 sore. Sebentar lagi, Raka akan pulang kerja. Aku turun ke dapur untuk menyiapkan makan malam kami bertiga. Biasanya, yang selalu menyiapkan adalah Bi Surti, yang datang pagi dan pulang malam. Tapi kali ini, aku sengaja memberhentikannya beberapa hari. Tanganku dengan lincah memotong bawang. Sudah lama aku tidak menyiapkan makanan seperti ini. Saat aku sedang fokus membuat sop ayam kesukaan Raka, tiba-tiba tangan kekarnya memelukku dari belakang. "Mas... baru pulang?" tanyaku lembut, sedikit menoleh ke arahnya. Aku membiarkannya memelukku lebih lama. Jujur saja, aku merindukan momen-momen ini. "Mas kangen banget sama kamu, Sayang. Teruslah seperti ini. Luangkan waktu sedikit saja untuk suamimu," katanya dengan suara manja, membuatku merasa sedikit bersalah. Aku menoleh, membalikkan badanku ke arahnya sehingga kami saling berhadapan. Tanganku melingkar di lehernya. Deru napas kami saling bersahutan. Dengan lembut, aku berkata, "Maaf ya, Mas... Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sampai melupakan kewajibanku sebagai seorang istri." "Jangan merasa bersalah seperti itu. Aku mengerti, tugas seorang dokter memang tidak mudah. Tapi setidaknya, sesekali kita harus me time seperti ini," katanya lembut. Tangannya sibuk memainkan rambut panjangku yang sengaja kuurai. Dalam posisi seperti ini, aku tidak akan percaya kalau suamiku selingkuh. Karena dia begitu memperlakukanku dengan baik, penuh pengertian, dan tidak pernah menuntut apa pun. Saat kami sedang berduaan di dapur, Tasya turun dengan mengenakan celana super pendek. Aku langsung mengerutkan dahi. Kenapa dia berpakaian seperti itu? Seketika, Raka melepaskan pelukannya dari pinggangku. Aku menatapnya dengan heran, tapi dia hanya berbisik pelan, "Nggak enak kalau kita bermesraan di depannya." Aku tersenyum kecut, tapi tidak mengatakan apa-apa. Aku melihat Tasya mencuri-curi pandang ke arah Raka. Dan yang membuatku semakin tidak nyaman, Raka pun melakukan hal yang sama. Apa mereka pikir aku tidak memperhatikan mereka? Saat aku sibuk menyiapkan makan malam, suasana di antara mereka terasa aneh. Mereka tampak seperti sepasang kekasih yang saling malu-malu, bukan seperti ipar yang seharusnya menjaga batas. Perasaan tidak enak menyelusup ke dalam hatiku. Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin aku perhatikan, semakin jelas ada sesuatu yang janggal. Dulu, aku terlalu percaya. Aku menganggap adikku pasti melihat Raka sebagai kakaknya sendiri. Tapi sekarang... aku mulai meragukan segalanya. Aku berpura-pura pergi ke kamar dengan alasan ingin mengganti pakaian. Padahal, tujuan sebenarnya adalah mengecek rekaman CCTV di dapur. Aku ingin tahu bagaimana sikap mereka saat aku tidak ada. Dengan hati berdebar, aku membuka rekaman. Namun, saat melihat apa yang terjadi, tubuhku langsung menegang. Mataku membelalak, napasku tercekat. Tasya adik kandungku sendiri mendekat ke arah Raka, lalu tanpa ragu, ia duduk di pangkuan suamiku. Dengan pakaian minim seperti itu, pemandangan di depan mataku terasa seperti mimpi buruk. Tanganku gemetar, dadaku terasa sesak. Aku ingin percaya bahwa ini hanya kesalahpahaman, tapi bukti di depan mataku tak bisa dibantah. Rasa sakit dan amarah bercampur menjadi satu. Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku selama ini? Dadaku terasa sesak, tapi bukan karena ingin menangis. Ini bukan saatnya untuk menjadi perempuan lemah. Aku marah, kecewa, dan jijik pada pengkhianatan yang terjadi tepat di depan mataku. Tanganku mengepal, rahangku mengeras. Aku menatap layar CCTV tanpa berkedip, memastikan bahwa apa yang kulihat bukan sekadar ilusi. Tapi tidak, ini nyata. Adik kandungku sendiri duduk di pangkuan suamiku, seolah-olah itu adalah tempat yang memang seharusnya untuknya. Bodohnya aku selama ini terlalu percaya, terlalu baik, terlalu menganggap enteng segala hal. Aku bukan perempuan naif yang akan menangis di pojokan dan menunggu belas kasihan. Tidak. Jika mereka pikir bisa mempermainkanku, mereka salah besar. Aku mengatur napas, menahan emosi yang siap meledak. Ini belum waktunya untuk bertindak gegabah. Aku harus cerdas, harus mengendalikan situasi. Mereka belum tahu bahwa aku sudah melihat semuanya. Dan itu adalah keuntunganku. Senyum miring terbit di wajahku. Baiklah, jika mereka ingin bermain, aku akan memastikan mereka berhadapan dengan lawan yang tidak mudah dikalahkan. Saat makan malam, aku duduk dengan tenang, memasang wajah tanpa ekspresi. Suamiku dan Tasya duduk di seberang, terlihat biasa saja atau setidaknya berusaha terlihat biasa. Aku menyendok makananku perlahan, menikmati setiap detik sebelum aku menjatuhkan bom besar di hadapan mereka. “Aku sudah mengambil keputusan,” ucapku santai, meletakkan sendok dan garpu. “Aku memutuskan untuk resign dari pekerjaanku sebagai dokter.” Aku menatap Raka dan Tasya dengan tajam, ingin melihat bagaimana reaksi mereka. Dan benar saja wajah mereka menegang dalam sekejap. Raka mencoba menyembunyikan keterkejutannya, tapi tangannya yang tiba-tiba berhenti mengaduk sup membuatku tahu bahwa dia sedang memproses kata-kataku. Sementara itu, Tasya terlihat lebih gugup. Sendoknya hampir jatuh dari genggamannya sebelum dia buru-buru memasukkan makanan ke mulutnya, seolah ingin mengalihkan perhatian. Aku menyandarkan tubuh ke kursi, menatap mereka satu per satu. “Mulai sekarang, aku akan lebih banyak di rumah,” lanjutku, nada suaraku terdengar tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. “Aku ingin fokus mengurus keluarga.” Aku bisa merasakan ketegangan di ruangan ini meningkat. Raka menelan ludah, berusaha mencari kata-kata. “Sayang, kamu yakin? Bukannya selama ini kamu sangat mencintai pekerjaanmu?” Aku tersenyum tipis. “Tentu saja. Tapi sekarang, ada hal yang lebih penting untuk kupantau.” Kutatap mereka lekat-lekat, memastikan mereka tahu bahwa ini bukan sekadar keputusan. Ini adalah peringatan. Ancaman halus yang kuberikan tanpa perlu meninggikan suara. Tasya semakin gelisah, menundukkan kepala, sementara Raka berusaha tetap tenang. Tapi aku tahu, di dalam benaknya, dia sedang panik. Bagus. Biarkan mereka tahu bahwa aku tidak sebodoh yang mereka kira. Biarkan mereka tahu bahwa aku ada di sini, mengawasi setiap gerakan mereka.Ia menunduk sejenak, menarik napas panjang. "Aku... sempat ingin menanyakan. Tapi kupikir... mungkin kamu yang nggak mau membahasnya," jawab Aldo akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Tasya tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Aku paham. Aku pun dulu menghindar, tapi bukan berarti aku lupa. Kak Nadia satu-satunya keluarga yang pernah melindungiku... meski kami sempat menjauh." Tasya berbicara pelan, namun suaranya jernih dan mantap. Kata demi kata mengalir, seperti aliran sungai yang akhirnya menemukan jalan keluar setelah lama tertahan oleh batu-batu luka dan penyesalan. Ia menceritakan semuanya tanpa disaring, tanpa dihias. Tentang dirinya yang dulu masih dipenuhi amarah dan iri. Tentang Nadia, kakaknya yang selalu melindungi namun akhirnya justru ia jauhi. Tentang perceraian, pengkhianatan, pelarian, dan keputusan besar untuk meninggalkan Indonesia. Aldo mendengarkan dengan saksama. Tak ada satu pun jeda yang ia potong. Matanya sesekali membesar, lalu k
Sementara itu, jauh di belahan dunia lain… Taysa hidup dalam damai. Ia tak tahu bahwa saat ini, kakaknya sedang bertengkar hebat dengan perempuan yang merebut suaminya. Ia tak tahu bahwa Nadia membela dirinya mati-matian, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri demi membela sang adik. Kalau Taysa tahu... Mungkin ia akan pulang. Ia akan memeluk kakaknya erat-erat, menangis di dadanya, dan berkata: “Terima kasih karena tidak pernah benar-benar meninggalkanku.” Tapi untuk saat ini, Taysa menikmati kedamaiannya di negeri asing yang kini ia sebut rumah Amerika. Beruntung, Arumi, putri sulungnya, begitu mudah beradaptasi. Di sekolah barunya, Arumi cepat akrab dengan teman-temannya. Ia fasih berbahasa Inggris dan sangat mandiri untuk seusianya. Sementara bayi mungilnya dititipkan pada seorang pengasuh tepercaya di rumah, Taysa sibuk menjalankan restoran kecil masakan khas Indonesia yang baru saja ia buka. Dan ternyata… sambutan orang-orang luar biasa. Restorannya rama
“Udin dan Taysa… sudah bercerai,” ujar Dina akhirnya, suaranya bergetar. “Kami baru menikah kemarin. Setelah… setelah seminggu lalu Taysa mengusir Udin dan pergi entah ke mana…” Setiap katanya terdengar terbata, seperti menyusun kepingan kebenaran yang berserakan. Tapi nada suaranya tak sepenuhnya meyakinkan. Nadia menyipitkan mata. Ia merasakan ada yang janggal. Matanya menelusuri wajah Dina seperti mencari celah kebohongan yang mungkin tersembunyi. Sebelum sempat ia bicara lagi, suara David memotong udara. “Jangan berbohong. saya bisa saja memasukkan kalian ke penjara.” Seketika semua kepala menoleh ke arahnya termasuk Nadia. Suaranya datar. Pelan. Tapi ada sesuatu yang begitu dingin dalam nada itu. Serius. Mengancam. Wajah David kini berubah. Tidak lagi tenang seperti sebelumnya. Kali ini... datar. Kaku. Sorot matanya tajam, nyaris tak berkedip. Wajah yang biasanya hangat, kini seperti topeng tanpa emosi membeku, menakutkan. Nadia bahkan terdiam. Ia mengenal sisi ini.
Pagi di Amerika saat musim salju terasa seperti dunia yang baru saja terlahir kembali hening, bersih, dan membeku dalam waktu. Cahaya matahari masih malu-malu menembus langit kelabu, menciptakan semburat oranye pucat di balik awan dingin. Pepohonan berdiri kaku, ranting-rantingnya menggigil, dibalut es tipis seperti renda kristal alami. Jalanan sunyi, hanya suara gemerisik lembut salju yang jatuh dari atap atau suara jejak kaki pertama di trotoar yang mengganggu keheningan suci itu. Asap putih mengepul dari cerobong-cerobong rumah, naik perlahan dan lenyap di udara beku. Dari jendela-jendela rumah, lampu-lampu kuning masih menyala hangat, memantul lembut di kaca yang dilapisi embun beku. Aroma kayu terbakar dan kopi hangat menyelinap ke luar melalui celah pintu yang sebentar terbuka saat seseorang menyapa pagi. Taysa menghembuskan napas lega. Sudah seminggu sejak ia pindah ke Amerika, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Damai. Tak ada lagi rasa taku
"Mas, itu sudah sepuluh tahun yang lalu! Kenapa kamu masih mempermasalahkannya?!" seruku sambil menatap tajam ke arahnya. Aku benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan itu semua? Apa tak ada alasan lain yang lebih manusiawi? Udin menggeleng pelan. Tatapannya menembus mataku, dalam... tapi dingin. Tak ada lagi sisa cinta. Tak ada kagum. Tak ada pengagungan seperti dulu. Aku mundur perlahan. Jujur saja, ini sangat menyakitkan. "Aku lelah, Tasya... Aku lelah," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun menancap tajam. "Bertahun-tahun aku berjuang memperbaiki nama baikmu. Sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi diriku sendiri. Aku terlalu sibuk memikirkan kamu... perasaanmu... dan pandangan orang-orang terhadapmu." Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Seperti sedang membebaskan sesak yang ia simpan bertahun-tahun. Aku hanya diam. Menunggu... Kalimat berikutnya apa? Apalagi yang akan dia katakan? "Ini mungkin... balasan untukmu, Ta
"Mas... kau sungguh akan meninggalkanku?" Tasya bertanya dengan suara bergetar, tak menyangka bahwa Udin benar-benar mengucapkan kata-kata itu. Udin mengangguk pelan. Matanya mulai basah, namun ia menahan tangisnya. Sebenarnya, ia tidak ingin pergi tapi hatinya terlalu lelah dengan kehidupan yang harus selalu tampak sempurna. Ia rindu menjadi dirinya sendiri. "Aku lelah, Tasya..." Ucapnya lirih, napasnya tercekat. Tasya menunduk. Air matanya jatuh tanpa henti. "Mas... kita sudah tak lagi di kampung. Kita di sini berjuang bersama," katanya sambil mencoba menahan kepergian suaminya. Udin menggeleng lemah. Ia tahu itu. Tapi hatinya sudah terlalu dalam tertambat pada orang lain... pada Dina. "Lihat anak kita, Mas," lanjut Tasya. Suaranya bergetar, tak mampu lagi berpura-pura kuat. Tubuhnya gemetar saat membayangkan wajah kedua putri mereka. Ia telah berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangga ini demi anak-anak. Tapi Udin... justru berselingkuh di belakangnya. "Ak