Home / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / INILAH AKIBAT NYA

Share

INILAH AKIBAT NYA

Author: Ayuwine
last update Huling Na-update: 2025-03-25 20:36:10

Aku menghela napas dalam-dalam. Beruntung semuanya dibantu oleh Aldo. Dia menepuk pundakku dengan lembut.

"Apa sudah siap?" tanyanya.

Aku menoleh ke arahnya, lalu tanpa ragu mengangguk.

Tanpa sepengetahuan Raka, aku telah mengajukan perceraian ke pengadilan. Semua bukti sudah aku serahkan, berharap proses perceraian ini tidak akan memakan waktu lama. Setelah itu, kami menyebarkan video mesum mereka ke beberapa akun media sosial yang sengaja kami buat untuk menjaga identitas.

Beberapa hari ini, aku dan Aldo sibuk mengurus perceraian dan semua bukti perselingkuhan itu. Sempat terpikir bagaimana nasib adikku nanti, tapi dengan cepat aku menepisnya. Kenapa aku harus sibuk memikirkan dia? Bahkan dia sendiri tega merebut suamiku.

"Apa rencanamu selanjutnya?" suara Aldo membuyarkan lamunanku.

Aku hanya tersenyum tipis. "Entahlah... Aku akan fokus saja dengan pekerjaanku, mengurus para pasien." Jawabku asal.

Aldo hanya mengangguk pelan. Sekarang kami berada di rooftop gedung tertinggi di kota ini. Aku yang memintanya untuk menemani. Entahlah, saat ini aku tidak ingin sendirian. Kesendirian hanya akan membuat pikiranku kemana-mana. Aku tidak ingin lagi menangisi mereka. Terlalu berharga rasanya air mataku untuk diteteskan demi orang-orang itu. Beruntung Aldo selalu menemaniku kemanapun aku pergi.

Aku menghela napas panjang, menikmati angin malam yang menyapu wajahku. Dingin… tapi cukup menenangkan. Sementara itu, Aldo setia berdiri di belakangku.

"Ingat, jangan loncat ya," ucapnya memperingatkanku.

Aku langsung menoleh dan menatapnya tajam. "Aku tidak bodoh, Aldo," sahutku kesal.

Dia hanya terkekeh kecil.

Sudahlah, tidak apa-apa. Setidaknya dia masih sudi menemaniku di atas gedung, bahkan di pukul 12 malam seperti ini.

Saat aku sedang menikmati angin malam, ponselku tiba-tiba berdering. Dengan cepat aku merogohnya dari dalam saku celana.

Keningku berkerut saat melihat nama Tasya muncul di layar. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkatnya.

"Kak… pulanglah cepat! Ada... ada masalah!" teriaknya dengan suara isakan tangis.

Aku menatap Aldo dengan heran. Dia hanya mengangkat kedua bahunya, tanda tidak tahu apa yang sedang terjadi.

"Ada apa?" tanyaku malas.

"Aku… aku… diarak warga, Kak!" rengeknya dari seberang telepon.

Aku membelalakkan mata, lalu menepuk keningku dengan kuat. Astaga! Aku lupa! Beberapa menit yang lalu, aku memang sempat menghubungi Pak RT dan meminta warga datang ke rumah karena aku melihat rekaman CCTV yang menunjukkan mereka sedang melakukan hubungan terlarang.

Aku dan Aldo segera bergegas menuju rumah. Jantungku berdegup kencang, entah karena amarah atau rasa sakit yang kembali menyeruak.

Begitu tiba, pemandangan di depan mataku membuat tubuhku menegang. Di sana, Raka dan Tasya hanya tertutup seprei, dikelilingi warga yang menatap mereka dengan tatapan penuh amarah dan jijik.

Aku terdiam. Hati ini terasa perih, seolah ditusuk berulang kali. Melihat mereka dalam keadaan seperti itu membuat luka yang coba kupendam kembali menganga.

"Kuatkan dirimu, Nad," bisik Aldo, menggenggam lenganku dengan lembut, memberikan kekuatan yang kubutuhkan.

Aku menarik napas dalam, lalu melangkah pelan mendekati mereka. Kerumunan warga memberi jalan, membiarkanku berdiri tepat di depan sosok yang dulu kupanggil suami dan adik kandungku sendiri.

"Nad… ini salah paham! Aku bisa jelaskan!" Raka merintih, wajahnya sudah lebam, mungkin akibat amukan warga.

Aku menatapnya tanpa ekspresi. Tak ada lagi air mata untuknya. Tak ada lagi belas kasih untuk mereka berdua.

Aku menatap mereka dingin.

Tasya menangis tersedu-sedu, wajahnya dipenuhi air mata dan keringat. Tangannya gemetar, mencengkeram erat seprei yang menutupi tubuhnya. "Kak, tolong! Ini nggak seperti yang Kakak lihat! Aku... aku dijebak!" suaranya bergetar, seakan benar-benar ketakutan.

Aku mendengus sinis. "Dijebak?" ulangku dengan nada mengejek. "Jadi, kau mau bilang ada yang memaksa kalian berdua tidur bersama? Di rumahku? Di tempat tidurku?"

Tasya menggeleng cepat. "Bukan begitu, Kak! Aku… aku khilaf! Raka juga! Ini semua hanya kesalahan!"

Aku menoleh ke arah Raka yang masih duduk bersimpuh di lantai. Wajahnya lebam dan bibirnya pecah, mungkin akibat pukulan warga yang geram. Berbeda dengan Tasya yang menangis dan memohon, pria itu hanya menunduk, tampak berpikir keras.

"Nad, aku minta maaf… Aku nggak tahu apa yang merasukiku, tapi aku nggak pernah berniat menyakitimu," kata Raka akhirnya, suaranya pelan dan serak.

Aku tertawa kecil. "Tidak pernah berniat menyakitiku?" Aku menatapnya tajam. "Kau berselingkuh dengan adikku, Raka. Adik kandungku sendiri. Dan kau bilang kau tidak berniat menyakitiku?"

Raka terdiam. Dia tahu tidak ada alasan yang bisa membenarkan perbuatannya.

Dari belakang, Aldo melangkah maju. "Kalau tidak ada yang berniat menyakiti, kenapa melakukannya?" tanyanya tajam. "Perselingkuhan itu bukan ketidaksengajaan, itu pilihan. Dan kalian berdua memilih mengkhianati nya."

Tasya kembali meratap, meraih tanganku. "Kak, kumohon… Maafkan aku! Aku adikmu! Aku akan melakukan apa saja! Aku rela pergi jauh kalau itu maumu! Tapi jangan buat aku malu seperti ini, Kak!"

Aku menepis tangannya dengan kasar. "Malu?" Aku menatapnya dengan sinis. "Kau tidak malu saat merebut suamiku. Kau tidak malu saat mengkhianatiku. Tapi sekarang kau takut dipermalukan?"

Tasya menunduk, menangis semakin kencang. Raka pun hanya bisa terdiam.

Aku menarik napas dalam, menoleh ke arah warga yang masih mengawasi. "Sudah cukup. Mereka pantas dipermalukan, tapi aku tidak mau membuang lebih banyak waktu untuk mereka. Biarkan mereka pergi. Aku sudah mengurus perceraian, dan setelah ini, aku tidak mau melihat wajah mereka lagi."

Warga mulai membubarkan diri setelah mendengar ucapanku. Beberapa masih bergumam kesal, tetapi perlahan mereka pergi. Raka dan Tasya tetap terduduk di lantai, seperti anak kecil yang baru saja dimarahi.

Aku berbalik, meninggalkan mereka. Tidak ada gunanya menangisi pengkhianatan. Bagiku, mereka sudah mati sejak malam itu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sekarang Giliranku   DIA KIRA AKU BODOH

    Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl

  • Sekarang Giliranku   TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

    Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua

  • Sekarang Giliranku   DIA BERUSAHA MEMPERBAIKI SEMUANYA

    "Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur

  • Sekarang Giliranku   CEROBOH

    Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,

  • Sekarang Giliranku   LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

    Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

  • Sekarang Giliranku   AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

    Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek

  • Sekarang Giliranku   UNTUK APA DIA DATANG

    Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

    Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.

  • Sekarang Giliranku   PENTING NYA BERSYUKUR

    Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status