Aku merasa puas melihat wajah mereka yang seolah mendapat ancaman. Baiklah, Tasya. Jika itu yang kamu pilih, apakah kamu lupa selama ini siapa yang menyayangimu? Aku, kakakmu satu-satunya, yang bahkan rela berkorban demi dirimu. Tapi, ini balasan yang kudapat? Merebut suamiku sendiri?
Aku tidak akan tinggal diam. Kalian harus merasakan apa yang aku rasakan. Keputusan pura-pura resign ini hanyalah awal dari pembalasan dendamku. Lihat saja nanti. Setelah makan malam, aku berpamitan lebih dulu ke kamar. Namun, sebelum pergi, aku sengaja menyuruh Tasya mencuci piring bekas makan kami. Wajahnya langsung berubah masam. Seumur hidup, baru kali ini aku menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah. Aku tersenyum sinis dalam hati. Apa kurang baik aku sebagai kakak? Aku menyekolahkannya tinggi-tinggi, memberinya segala yang dia butuhkan, tapi ternyata sia-sia. Dasar tidak tahu diri! Dari sudut mataku, aku melihat Raka mengekor di belakangku. Aku teringat bagaimana dulu Tasya pernah mengejeknya, meremehkan suamiku dan mengatakan bahwa aku tidak pantas bersamanya. Tapi sekarang? Dia malah merebutnya dariku. Lucu sekali. Dia menjilat ludahnya sendiri. "Sayang, apa kamu yakin dengan keputusanmu? Tarik kembali sebelum kamu benar-benar mengajukan resign ke atasanmu," ucap Raka, suaranya terdengar khawatir. Tanpa menoleh dan terus melangkah, aku menjawab tenang, "Tidak, Mas. Aku sudah menelepon atasan kok. Tenang saja, aku sudah resmi resign." Aku berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada lembut, "Aku ingin fokus mengurus kamu, Mas. Aku ingin punya anak darimu." Itu bohong. Sebenarnya, aku ingin bercerai darinya. Tak sudi aku memiliki keturunan dari pria seperti dia. Keesokan paginya, aku baru menyadari betapa dekatnya mereka sebagai ipar. Aku tersenyum getir, menertawakan kebodohan dan keluguanku sendiri. Astaga, ke mana saja aku selama ini? Ternyata, mereka sudah seperti sepasang kekasih. Aku memperhatikan mereka dari rekaman CCTV yang terhubung ke ponselku. Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi, tapi kedua insan itu sudah berada di dalam kamar Tasya. Ya, mereka berduaan di kamar adikku. Berani sekali, bukan? Suamiku benar-benar kelewatan. Apakah dia pikir aku bisa tidur nyenyak setelah mengetahui perselingkuhan mereka? Mataku membulat saat melihat mereka ternyata sudah sejauh itu tidur bersama dan melakukan hubungan intim? Astaga… Perasaanku begitu kacau, sakit sekali. Aku kira pengkhianatan mereka tidak akan separah ini. Tasya, adikku sendiri, dan suamiku… Mereka benar-benar melakukannya? Sejak kapan? Sejak kapan mereka mengkhianatiku seperti ini? Tanpa kusadari, air mataku jatuh begitu saja. Tanganku gemetar memegang ponsel, dan akhirnya, aku mematikan rekaman itu. Aku tak sanggup lagi melihatnya. Rasa sakit ini begitu nyata, begitu menusuk. Aku menepuk dadaku berkali-kali, mencoba meredakan sesak yang mencekik dada. Menjijikkan sekali! Aku tidak bisa membiarkan mereka terus melakukan zina di rumahku. Tasya… adikku sendiri… Dia benar-benar tega mengkhianati kakaknya seperti ini. Aku masih sulit percaya, tapi bukti sudah ada di depan mataku. Kenapa hidupku harus seperti ini? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Astaga, Tasya… Aku tak akan diam saja. Tanganku mengepal erat. Lihat saja, hubungan adik-kakak kita selesai sampai di sini. Aku akan memberikan suamiku padanya biar dia merasakan sendiri bagaimana rasanya hidup dengan pria pengkhianat seperti itu! Derap langkah terdengar mendekat ke arah kamarku. Dengan cepat, aku berpura-pura tidur. Ternyata benar, Raka masuk ke dalam kamar. Sungguh menjijikkan rasanya melihatnya berdiri di sana seolah tak terjadi apa-apa. Ya Tuhan, aku ingin sekali menendang kepalanya dan mengusirnya dari sini! Tapi tidak. Aku harus bermain cantik. Jangan gegabah. Aku akan membuat mereka membayar semuanya. Dia duduk di sampingku, meregangkan seluruh ototnya dengan santai. Cih, menjijikkan sekali. "Nad, maafin aku ya. Aku menyayangimu, tapi adikmu lebih liar dan menggoda darimu," bisiknya, diiringi tawa kecil yang terdengar begitu meremehkan. Dia benar-benar mengira aku masih tertidur? Dasar bajingan! Aku menahan napas, berusaha keras agar emosiku tidak meledak saat itu juga. Tanganku mengepal di bawah selimut, kuku-kuku jariku hampir menembus kulit telapak tangan. Raka masih di sampingku, entah menyangka aku benar-benar tertidur atau hanya ingin memastikan reaksiku. Aku harus tetap tenang. Aku tidak boleh gegabah. Baiklah, kalau ini permainan yang mereka mulai, aku akan mengakhirinya dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan. Perlahan, aku membuka mata, berpura-pura seperti baru terbangun. "Mas?" suaraku lirih, seolah aku masih mengantuk. Raka tersenyum tipis, sama sekali tidak tahu bahwa aku sudah melihat semuanya. "Tidurlah lagi, sayang. Aku cuma mau lihat kamu sebentar," katanya sambil mengusap kepalaku. Aku membalas senyumannya, meski dalam hati ingin menampar wajahnya. "Mas, aku mau liburan sebentar. Rasanya pengen menenangkan pikiran," kataku, menyusun rencana. Mata Raka sedikit menyipit. "Liburan? Kenapa tiba-tiba?" Aku tertawa kecil. "Aku capek, Mas. Aku juga mau lebih fokus ke kita. Siapa tahu setelah ini kita bisa punya anak," kataku manis, menekan kata punya anak dengan penuh kebencian. Raka tertawa kecil, lalu mengangguk. "Baiklah, aku nggak akan melarang kalau itu bikin kamu senang." Aku tersenyum puas dalam hati. Bagus, dia tidak curiga. Sekarang, aku hanya perlu menjalankan rencana ini dengan sempurna. Lihat saja, aku akan membuat mereka berdua menyesali semua ini. Setelah memastikan Raka dan Tasya tidak curiga, aku mulai menyusun rencana. Aku berpura-pura lelah, mengeluhkan stres, lalu meminta izin untuk pergi liburan sendirian. "Mas, aku ingin pergi beberapa hari untuk menenangkan diri," kataku dengan nada lembut saat kami duduk di meja makan. Raka menatapku sejenak sebelum mengangguk. "Kalau itu bisa bikin kamu lebih baik, ya sudah. Tapi jangan lama-lama, ya?" Aku tersenyum tipis. "Iya, aku cuma butuh waktu sebentar." Tanpa banyak bertanya, Raka mengizinkanku pergi. Begitu juga dengan Tasya, yang hanya menunduk, mungkin lega karena merasa aku akan menjauh dari mereka sementara waktu. Mereka tidak tahu bahwa aku bukan benar-benar pergi berlibur. Aku justru pergi untuk menyusun rencana. Di tempat yang jauh dari mereka, aku mulai mengumpulkan bukti. Aku menyimpan rekaman CCTV yang memperlihatkan pengkhianatan mereka. Aku juga menyewa seseorang untuk menyelidiki lebih dalam sejak kapan hubungan terlarang itu dimulai. Semakin banyak bukti yang kukumpulkan, semakin besar kepuasan yang kurasakan. Aku tidak akan mengamuk atau menangis di depan mereka. Tidak. Aku akan memastikan Raka dan Tasya merasakan rasa malu yang sama seperti yang mereka berikan padaku. Aku akan membuat mereka mengingat momen ini seumur hidup. Saat rencana sudah matang, aku kembali ke rumah dengan senyum tipis. Mereka menyambutku dengan wajah biasa seolah tidak ada yang terjadi. Tapi aku tahu, dalam waktu dekat, kehidupan mereka akan berubah selamanya.Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl
Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua
"Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur
Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,
Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.
Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek
Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny
Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.
Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra