Home / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / KALIAN PIKIR AKU SEKUAT ITU?

Share

KALIAN PIKIR AKU SEKUAT ITU?

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-03-26 11:43:29

Di sini... Sekarang aku sedang berada di apartemen. Sengaja aku menyewanya untuk beberapa hari ke depan. Rasanya berat sekali untuk pulang. Itu rumah hasil kerja kerasku, tapi bisa-bisanya mereka melakukan itu di rumahku.

Ponselku terus berdering. Beberapa orang mengirimkan pesan padaku. Dengan malas, aku menyambar ponsel dan membaca setiap pesan yang mereka kirimkan.

Di dalam grup, suasana sangat ramai. Mereka terus menanyakan perasaanku saat ini.

Rina: Maaf banget, aku nggak tahu harus ngomong apa... Aku juga baru lihat videonya. Kamu kuat, kan?

Dewi: Astaga, ini keterlaluan! Adikmu sendiri dan suamimu? Aku nggak bisa bayangin gimana perasaan kamu sekarang.

Nia: Kenapa kamu nggak jawab, sih? Kita khawatir! Please, kasih tahu kalau kamu baik-baik aja.

Santi: Gimana mungkin dia baik-baik aja, Nia? Lo lihat sendiri videonya, kan? Itu penghinaan terbesar buat seorang istri!

Andi: Gue udah kepengin hajar suami lo. Bangsat banget dia!

Aku menggigit bibir, menahan isak yang hampir pecah. Tanganku gemetar saat membaca setiap pesan yang masuk. Semua orang sudah tahu. Semua orang sudah melihat. Aib itu tersebar ke mana-mana.

Mungkin aku keterlaluan karena sudah menyebarkan video syur mereka ke media sosial. Tapi itu akibatnya. Mereka berani macam-macam di belakangku, dan sekarang mereka harus merasakan bagaimana rasanya dihancurkan seperti yang mereka lakukan padaku.

Aku bukan orang suci. Aku juga bukan tipe yang bisa diam saja ketika diinjak-injak. Jika mereka berpikir bisa mengkhianatiku dan tetap hidup tenang, mereka salah besar.

Ponselku terus bergetar, notifikasi dari media sosial membanjiri layar. Video itu sudah tersebar luas. Ribuan komentar memenuhi kolom, ada yang mengutuk mereka, ada yang terkejut, dan ada juga yang menyalahkanku karena tega melakukan ini.

"Gila! Ini penghinaan terbesar! Suami dan adik sendiri?!"

"Kok bisa-bisanya mereka ngelakuin itu di rumah istrinya sendiri? Jijik banget!"

"Tapi kok disebarin sih? Nggak kasihan sama keluarganya?"

"Ya ampun, kalau gue jadi dia, mungkin gue udah gila! Ini sakit banget!"

Aku membuang napas kasar. Apakah aku menyesal? Tidak. Aku hanya membalas perlakuan mereka. Mereka yang memulainya, dan aku hanya memastikan mereka mendapatkan balasan yang pantas.

Sekarang, biarkan dunia tahu siapa pengkhianat sebenarnya.

Mungkin di hadapan semua orang, aku akan terlihat baik-baik saja dan kuat. Tapi kenyataannya, rasa sakit itu selalu muncul saat aku sendirian seperti sekarang ini.

Perasaan itu kembali menyeruak, menghantam dadaku dengan begitu keras. Sakit. Terlalu sakit. Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa kuhentikan.

Ayah, Ibu… lihatlah.

Hubungan persaudaraan kami hancur. Bukan karena orang lain, tapi karena ulah Tasya adikku satu-satunya. Adik yang selama ini kusayangi lebih dari diriku sendiri.

Dan sekarang, aku benar-benar sendirian.

Beruntung, aku masih dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya, mereka memberiku sedikit ruang untuk bernapas di tengah semua kekacauan ini.

Aku terdiam sesaat, mencoba mengeluarkan rasa sakit ini. Ingin rasanya berteriak, meluapkan semuanya, tapi untuk apa? Itu hanya akan membuang-buang tenaga.

Tiba-tiba, rasa penasaran muncul di benakku. Ke mana mereka pergi setelah semua ini? Dengan perlahan, aku mengambil kembali ponselku yang tergeletak di atas meja. Jemariku gemetar saat membuka rekaman CCTV rumah.

Begitu melihatnya, aku tertawa miris. Mereka tidak punya malu?

Di layar, terlihat jelas mereka masih berada di rumahku. Di rumahku! Bahkan, mereka dengan santainya duduk di sofa, menonton TV berdua, menikmati camilan yang selalu kusimpan di lemari makanan. Seolah tidak ada yang terjadi. Seolah dunia tidak sedang memperbincangkan pengkhianatan mereka.

Astaga... kenapa mereka menjijikkan sekali?

Apa mereka tidak melihat media sosial? Atau mereka memang sudah tidak punya rasa malu?

Bagaimana mungkin setelah kejadian pagi tadi setelah polisi menggerebek mereka, setelah video mereka tersebar mereka masih bisa bertingkah seakan semuanya baik-baik saja?

Dan warga? Ke mana warga?!

Kenapa tidak ada yang mengusir para pezina itu dari rumahku?!

Kenapa aku harus memiliki seorang adik berhati iblis seperti Tasya?

Apa yang membuatnya berani melakukan ini padaku kakaknya, yang selalu rela berkorban demi dirinya?

Kenapa harus Tasya?

Jika orang lain yang mengkhianatiku, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini.

Ponselku kembali bergetar, menampilkan nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku menerimanya.

"Halo? Kamu di apartemen, kan? Boleh aku dan Resti ke sana?" tanyanya dengan nada cemas.

Aku tersenyum tipis meski terasa hambar. "Aku baik-baik saja, Do. Tenang saja." Aku sedikit terkekeh, meskipun suaraku terdengar serak.

"Kamu menangis?" Suaranya semakin khawatir.

Aku menghela napas pelan. "Aku hanya manusia, Aldo. Wajar kalau aku menangis karena rasa sakit ini." Kujawab sambil berusaha bercanda, berharap dia tidak terlalu mengkhawatirkanku.

Tapi tiba-tiba, dia langsung memutuskan panggilan secara sepihak.

Aku mengerutkan dahi, menatap layar ponsel dengan bingung. Kenapa Aldo tiba-tiba seperti ini?

Aku menghela napas, lalu bangkit dari tempat tidur. Aku harus mencoba melupakan rasa sakit ini. Aku tidak ingin terus berlarut-larut dalam kesedihan.

Mungkin besok aku akan kembali bekerja. Aku tidak peduli dengan tatapan iba atau bisikan orang-orang di sekitarku. Aku tidak butuh simpati mereka.

Dengan langkah pelan, aku menuju kulkas dan mengambil sebungkus cokelat. Orang bilang, cokelat bisa membuat pikiran lebih tenang, bukan? Dengan perlahan, aku membukanya, lalu berjalan menuju jendela.

Di luar, langit malam tampak gelap, tapi bintang-bintang bertaburan di atas sana, menerangi kegelapan itu.

Apakah akan ada seseorang yang menerangiku?

Seseorang yang hadir seperti bintang, memberi cahaya di tengah gelapnya hidupku?

Aku terkekeh pelan, menyadari betapa konyolnya pikiranku barusan.

Siapa yang mau dengan seorang janda sepertiku?

Siapa yang butuh pria?

Aku tidak butuh cinta, tidak butuh janji-janji manis yang pada akhirnya hanya menghancurkanku. Aku hanya butuh uang. Itu saja.

Saat aku menikmati cokelat di tanganku, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Aku mengernyit, sedikit penasaran. Dengan langkah hati-hati, aku mendekat dan mengintip dari balik pintu.

Ternyata Aldo dan Resti.

Aku tersenyum tipis. Mereka.

Merekalah bintang-bintangku.

"Kami mengkhawatirkanmu, Nad. Tinggallah di kosanku untuk sementara," ucap Resti sambil menggenggam tanganku. "Mungkin tidak semewah apartemenmu, tapi setidaknya, kamu punya teman yang menemani."

Kami bertiga duduk di atas tempat tidurku.

Aku menatap Resti, sedikit tersentuh. Kami baru mengenal beberapa hari, tapi dia sudah sepeduli ini padaku.

"Mendingan kamu tinggal dulu sama Resti," sela Aldo tiba-tiba. "Jangan pernah membiarkan dirimu sendirian, Nad. Karena saat sendiri, otak dan pikiran kita bisa berkelana ke tempat yang tidak seharusnya."

Aku terdiam, memproses ucapannya. Cara dia menatapku saat mengatakannya… entah kenapa, ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat hatiku bergetar.

"Aku takut merepotkan..." bisikku pelan, merasa tidak enak hati.

"Besok juga aku sudah mulai bekerja lagi," lanjutku dengan senyum manis senyum yang kupaksakan.

Resti dan Aldo saling pandang, lalu Resti bertanya dengan ragu, "Apa kamu yakin?"

Aldo menatapku serius. "Jangan sampai pikiranmu tidak fokus saat bekerja, Nad. Ingat, kamu seorang dokter. Kamu bertanggung jawab atas nyawa orang lain. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan hanya karena pikiranmu masih kacau."

Aku terdiam. Kata-kata Aldo menampar kesadaranku.

Dia benar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   DIA KIRA AKU BODOH

    Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl

  • Sekarang Giliranku   TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

    Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua

  • Sekarang Giliranku   DIA BERUSAHA MEMPERBAIKI SEMUANYA

    "Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur

  • Sekarang Giliranku   CEROBOH

    Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,

  • Sekarang Giliranku   LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

    Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

  • Sekarang Giliranku   AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

    Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek

  • Sekarang Giliranku   UNTUK APA DIA DATANG

    Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

    Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.

  • Sekarang Giliranku   PENTING NYA BERSYUKUR

    Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status