Home / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

Share

TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-04-11 16:22:31

Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang.

Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus.

"Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih.

Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja.

"Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal.

Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di luar," katanya, terkekeh kecil.

Tasya hanya tersenyum tipis, memandang sang kakak dengan tatapan sulit diartikan.

"Dek, kakak berangkat dulu, ya. Tolong jaga rumah. Kayaknya hari ini kakak pulang malam, ada banyak jadwal operasi," pamit Nadia sambil mengusap lembut lengan adiknya.

Sebelum pergi, mereka saling berpelukan.

"Semangat ya, Kak!" ucap Tasya berusaha menyemangati.

Nadia tersenyum, mengacungkan jempol sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

Senyum licik terukir di wajah Tasya. "Maafkan aku, Kak, tapi siapa yang tidak marah saat kakaknya sendiri menelantarkan adiknya?" gumamnya lirih, menatap tajam ke arah pintu tempat Nadia baru saja pergi.

Tasya berjalan ke balkon, membiarkan angin pagi menyapu wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar. "Ah... segarnya..." gumamnya pelan dengan mata terpejam.

Tangannya merogoh ponsel dari saku. Dia segera menekan nomor yang sudah dihafalnya.

"Halo? Cepatlah kemari. Kak Nadia sudah berangkat kerja, dan dia bilang akan pulang malam. Kita punya banyak waktu," ucap Tasya penuh semangat.

"Baik, sayang. Tunggu aku," jawab seorang pria di seberang sana, membuat senyum di wajah Tasya semakin lebar.

Tanpa membuang waktu, dia berlari ke kamar Nadia, mencari pakaian terbaik yang bisa dikenakannya. Namun, kekecewaan melanda saat dia merasa tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan seleranya.

Dengan kesal, Tasya kembali ke kamarnya. Dia memilih pakaian yang lebih berani—gaun pendek tanpa lengan yang menampilkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Siapa pun yang melihatnya pasti akan terpesona.

Beberapa menit kemudian, bel apartemen berbunyi. Sebelum membukanya, Tasya mengintip terlebih dahulu. Senyumnya melebar saat melihat sosok yang dinantikannya.

Tasya cepat-cepat membuka pintu. "Hai, sayang... kangen banget," ucapnya manja.

Pria itu hanya tersenyum. Tasya segera merangkulnya dan menariknya masuk. Namun, sebelum itu, dia memastikan pintu apartemen Nadia terkunci rapat.

"Kamu pintar bermain drama, sayang," puji pria itu, mencolek dagu Tasya dengan penuh godaan.

Tasya tersenyum malu-malu. "Ini semua demi kita. Aku sudah tidak ingin hidup susah, Mas. Makanya aku bermain drama, bahkan rela merendahkan diri di depannya," ujarnya dengan wajah cemberut.

"Jangan marah dong, sayang. Untung waktu itu aku punya ide bagus, dan lihat? Setelah drama itu, dia membiarkanmu tinggal lagi di sini," ujar pria itu dengan nada puas, menaik-turunkan alisnya.

Tasya terkekeh kecil. "Iya, sih, Mas... Kamu memang pintar. Membuat rencana supaya aku pura-pura diperkosa, dan setelah itu, kita bisa bebas tinggal serta makan di sini. Walaupun aku harus jadi babu dulu..." keluhnya, mengerucutkan bibir.

Tanpa sepengetahuan Nadia, selama ini Tasya hanya berpura-pura. Dia memainkan drama dengan sempurna, seolah-olah sudah berubah, hanya demi mendapatkan kembali kepercayaan dari kakaknya.

Dan benar saja, Nadia menerimanya kembali tanpa tahu bahwa adiknya tidak akan pernah benar-benar berubah menjadi baik.

"Mas, kenapa sih kamu nggak mau menikah denganku? Kalau kita menikah, kita nggak perlu lagi numpang di rumah Kak Nadia. Aku sudah lelah jadi babu di sini, pura-pura baik itu capek!" keluh Tasya pada Raka.

Sementara itu, Raka hanya memutar bola matanya dengan malas. Jika bukan karena kecantikan dan kemolekan tubuh Tasya, mungkin dia sudah lama meninggalkannya.

"Sabar dulu, sayang. Aku masih mengumpulkan uang dulu," jawab Raka beralasan, meskipun dalam hatinya dia sama sekali tidak ingin menjadikan Tasya sebagai istrinya.

"Lebih baik aku mengejar Nadia lagi. Dia punya segalanya, sementara adiknya hanya memiliki tubuh cantik saja," batinnya, menatap Tasya dengan penuh kebencian.

Alasan Raka masih bertahan dengan Tasya adalah karena Tasya terkesan bodoh—terlalu mudah dibohongi, berbeda dengan Nadia. Jika Nadia dikhianati dan disakiti, dia akan pergi, menghindar, dan menutup semua akses.

Namun, Tasya berbeda. Bahkan setelah menerima penyiksaan dan kekerasan dari Raka, dia tetap bisa luluh hanya dengan kata-kata manis lelaki itu.

Flashback...

Tasya duduk di lantai kontrakannya yang sempit, air matanya mengalir deras. Dia merutuki hidupnya yang kini penuh kesulitan. Bahkan, Nadia—kakaknya sendiri—tak lagi peduli padanya. Di tangannya, uang lima juta rupiah yang diberikan Nadia terasa begitu menyesakkan.

"Bagaimana lagi caranya agar aku bisa tinggal di apartemen mewah itu? Semua cara sudah kulakukan, tapi Nadia benar-benar keras kepala," gumamnya kesal.

Ketukan di pintu tiba-tiba terdengar, membuat Tasya mengerutkan dahi. Hatinya berdebar. "Siapa? Apa itu Kak Nadia? Apa dia berubah pikiran?" pikirnya penuh harap.

Namun, saat pintu terbuka, ekspresi wajahnya langsung berubah drastis. Tatapannya dipenuhi kemarahan.

"Kau...!" teriak Tasya dengan suara menggelegar. "Untuk apa kau ke sini? Setelah mencampakkan aku dan membiarkanku sendirian di meja operasi, hah?!" bentaknya dengan penuh emosi.

Pria di hadapannya menunduk, tampak menyesal. "Tenang dulu, Tasya. Maafkan aku," ucapnya lirih, mencoba meredakan amarah Tasya.

Tasya tertawa sinis. "Maaf? Kamu pikir ucapan maafmu bisa mengembalikan hidupku? Aku sudah berkorban banyak demi kamu!" suaranya bergetar, menahan amarah dan tangis yang ingin pecah.

"Aku akan memperbaiki semuanya. Maafkan aku, saat itu aku benar-benar bingung, Tasya," pria itu kembali berusaha membujuknya.

Mata Tasya kini dipenuhi amarah yang membara. "Pergi sana! Biarkan aku hidup sendirian! Gara-gara kamu, Kak Nadia membenciku! Bodohnya aku, bisa-bisanya mencintai suami kakakku sendiri! Bahkan... kamu membiarkan aku keguguran! Kamu menendang perutku hingga anak kita mati, Mas!"

Teriakan itu menggema di ruangan sempit itu. Kali ini, emosinya benar-benar memuncak. Tangisnya pecah, ia meraung histeris.

Melihat itu, Raka langsung menerobos masuk dan memeluk Tasya erat. "Aku akan memperbaiki semuanya," bisiknya lembut di telinga Tasya. "Aku akan membuatmu tinggal lagi bersama kakakmu. Kita bisa jalani hubungan ini secara diam-diam, tanpa kekurangan uang..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   DIA KIRA AKU BODOH

    Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl

  • Sekarang Giliranku   TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

    Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua

  • Sekarang Giliranku   DIA BERUSAHA MEMPERBAIKI SEMUANYA

    "Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur

  • Sekarang Giliranku   CEROBOH

    Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,

  • Sekarang Giliranku   LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

    Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

  • Sekarang Giliranku   AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

    Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek

  • Sekarang Giliranku   UNTUK APA DIA DATANG

    Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

    Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.

  • Sekarang Giliranku   PENTING NYA BERSYUKUR

    Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status