Share

DIA KIRA AKU BODOH

Auteur: Ayuwine
last update Dernière mise à jour: 2025-05-22 20:20:29

Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu.

Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini.

Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17.

Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan.

Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu.

Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu penglihatanku.

"Ah... Mas... enak..."

Dengan cepat aku menoleh. Suara itu... Mataku memandang liar ke segala arah, telingaku terasa panas, jantungku berdegup kencang.

"Aku akan keluar, Sayang... ah..."

Suara pria? Asalnya dari kamar Tasya? Apa mungkin itu...

Tunggu...

Aku menghela napas panjang, menghirup udara lalu menghembuskannya perlahan. Berusaha mengontrol amarah dan detak jantungku yang semakin tak terkendali.

Saat kurasa sudah cukup tenang, aku melangkah pelan ke arah kamar Tasya. Dia bodoh atau bagaimana? Kenapa tidak menutup pintu?

Dan tunggu... Itu... Itu mantan suamiku? Tasya? Apa?!

Aku kira mereka sudah tidak berhubungan lagi. Aku kira Tasya benar-benar berubah.

Aku menyipitkan mata. Oke... jadi selama ini dia berbohong? Bersikap manis hanyalah topeng demi bisa hidup enak lagi? Tega sekali, Tasya.

Baiklah... aku akan ikuti permainanmu.

Setelah melihat pasangan menjijikkan itu, aku dengan cepat pergi—tak lupa membawa kembali cake yang sudah kubeli.

Di dalam mobil, aku terdiam. Merenung. Apa-apaan ini? Kenapa aku begitu bodoh, tidak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang hanya modus?

Tiba-tiba aku teringat sahabatku—ya, Aldo. Dengan ragu, aku menelponnya.

"Ya, ada apa, Nad?" tanyanya di seberang sana. Terlihat jelas nada khawatir dalam suaranya. Aku terkekeh pelan. Begitu pedulinya dia padaku.

"Aku butuh bantuanmu lagi. Bisa kita bicara?" jawabku, sedikit memohon.

Hening...

Ya ampun, dia tidak menjawab. Apa dia sudah lelah dengan kisah hidupku yang memilukan dan menyedihkan ini?

Aku menghela napas panjang. Baru saja jempol ini ingin menekan layar ponsel, tiba-tiba dia bersuara,

"Oke, di mana?"

Ah, aku lega sekali. Aku tersenyum tipis dan segera memberitahunya di mana kami akan bertemu.

.

.

.

Aku dan Aldo sudah berada di sebuah kafe. Seperti biasa, dia tidak sendirian—dia bersama Resti. Aku sedikit canggung, tapi mungkin mereka memang sedang dekat.

"Ada masalah apa?" tanyanya tanpa basa-basi.

Aku menunduk. "Sebelumnya, maaf ya, Do. Aku sering menyusahkanmu, tapi setelah ini, aku akan berusaha sendiri," ucapku dengan nada tidak enak hati. Saat melihat tatapan Resti seperti itu—seakan-akan aku mengganggu waktu mereka—aku jadi semakin merasa bersalah.

"Ngomong apa sih, Nad? Kita sahabat, apaan sih!" sela Aldo dengan nada kesal. Terlihat jelas wajahnya penuh kekesalan.

Aku menghela napas, pandanganku kini lurus ke depan. "Tasya, Do..." lirihku pelan. Air mataku jatuh begitu saja. Ya, sekarang aku tidak bisa pura-pura kuat lagi. Aku cukup lelah.

"Nad, kenapa?" tanyanya, menggenggam tanganku yang ada di atas meja. "Apa dia melakukan sesuatu lagi?" sambungnya. Terlihat jelas kekecewaan dan kekhawatiran di wajahnya.

Aku mengangguk pelan, menatapnya dengan intens. "Dia berbohong. Selama ini, sikap baiknya cuma tipuan," jelasku sedikit terbata-bata. Jujur saja, aku terlalu sulit mengatakan semuanya. Rasanya seperti mimpi buruk yang nyata.

"Maksudnya?" Kini Resti yang bersuara. Tatapan tidak sukanya berubah menjadi hangat dan penuh kekhawatiran.

Dengan terbata-bata, aku menceritakan semuanya. Air mata yang tak lagi bisa kutahan terus mengalir, membasahi pipi mulusku.

Resti dan Aldo dengan sabar mendengarkan setiap keluhanku. Tatapan mereka begitu hangat, membuatku merasa cukup lega—setidaknya aku tidak sendiri.

"Setelah ini, kamu akan melakukan apa?" tanya Aldo, membuka suara setelah aku selesai mengungkapkan semuanya.

Aku menatap mereka dengan tatapan tegar. Air mata yang masih menetes perlahan kuusap.

"Aku akan mengikuti alurnya," jawabku tegas.

Mereka berdua saling berpandangan, seolah tak percaya dengan perkataanku.

"Ini yang aku suka dari kamu," jawabnya pelan, dengan tatapan yang sulit aku artikan.

"Kamu kuat, tegar. gak semua perempuan akan bisa sekuat kamu," sambungnya. sedikit membuat hatiku bergetar.

Aku tersenyum tipis. Perasaan itu muncul lagi. Tapi dengan kuat, aku menepisnya.

"Rencana apa itu?" tanya Resti pelan.

Aku tersenyum miring, lalu membisikkan rencana yang sudah kususun di dalam kepalaku.

Mereka berdua tercengang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.

"Apa kamu akan sanggup tinggal bersama seorang pengkhianat? Bagaimana nanti kalau Tasya berniat menyingkirkanmu demi harta dan tempat tinggalmu?" tanya Resti khawatir.

Aku menelan ludah dengan kasar. Ternyata, Resti sampai sejauh itu memikirkan kemungkinannya.

"Aku yakin adikku tidak akan berani menyakiti fisikku. Tidak masalah. Aku akan sanggup menangani semuanya," ucapku, mencoba meyakinkan mereka berdua.

.

.

.

Setelah berunding dengan mereka, aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.

Aldo dan Resti sempat menawarkan diri untuk mengantarku, tapi aku menolaknya dengan halus.

Dan sekarang, aku berdiri di atas jembatan, menatap kosong ke arah aliran air yang mengalir deras di bawah sana.

Hari yang semakin malam membuat angin terasa semakin menusuk dingin.

Saat aku sedang menenangkan diri, tiba-tiba suara seorang pria mengejutkanku.

"Hei! Jangan loncat!" teriaknya lantang.

Aku spontan menoleh ke belakang, menyipitkan mata, mencoba memastikan apakah pria itu benar-benar berbicara padaku.

Pria itu berjalan cepat ke arahku, lalu menarik kasar tanganku hingga aku menjauh dari tepi jembatan.

Aku hanya bisa menatapnya dengan heran, sebelum dengan cepat menepis tanganku dari genggamannya.

"Perempuan gila!" teriaknya lagi, sukses membuatku terperanjat.

"Aku nggak tahu apa masalahmu, tapi semua masalah nggak bisa diselesaikan dengan bunuh diri!" lanjutnya dengan nada kesal.

Ah… sekarang aku mengerti. Dia mengira aku hendak bunuh diri?

Astaga, siapa sebenarnya pria ini? Siapa yang gila—aku, atau dia?

Belum sempat aku membuka suara, lagi-lagi dia menyela,

"Apa kau bisu?" tanyanya dengan nada sedikit kasar.

"KAU YANG GILA!"

Teriakku lantang, suaraku menggema di udara malam.

Dia terlihat kaget, bahkan sedikit terkejut oleh reaksiku.

Dengan tatapan kesal, aku berbalik dan pergi, menghentakkan kakiku keras-keras di setiap langkah.

Namun sebelum benar-benar pergi, aku menoleh sekali lagi ke arahnya, menjulurkan lidah—lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

Aku mendengus kesal di dalam mobil.

"Ada apa dengan hari ini?" gumamku pelan.

Aku baru saja mengetahui hal besar—kelakuan adikku yang sebenarnya.

Belum selesai memproses itu, aku malah bertemu orang asing yang menyebalkan.

Saat aku benar-benar ingin pulang, mataku menangkap sosok pedagang bubur di ujung jalan. Ia sedang bersama seorang anak kecil yang mengenakan pakaian mewah. Aku menyipitkan mata, terasa aneh saja.

Aku mendekat ke arah mereka berdua. Terlihat jelas betapa akrabnya mereka.

Senyum manis tersungging di bibirku saat mereka menatapku dengan heran.

"Hai, aku punya sebuah cake. Makan bareng, ya?" ucapku lembut, sambil menyerahkan cake yang sebenarnya kubeli untuk adikku itu.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   DIA KIRA AKU BODOH

    Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl

  • Sekarang Giliranku   TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

    Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua

  • Sekarang Giliranku   DIA BERUSAHA MEMPERBAIKI SEMUANYA

    "Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur

  • Sekarang Giliranku   CEROBOH

    Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,

  • Sekarang Giliranku   LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

    Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

  • Sekarang Giliranku   AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

    Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek

  • Sekarang Giliranku   UNTUK APA DIA DATANG

    Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

    Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.

  • Sekarang Giliranku   PENTING NYA BERSYUKUR

    Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status